Kali ini bisa cepet muncul gara-gara bab 4 sudah hampir selesai.
wowowowowowwowowowowowwow....
Eke lagi keranjingan nulis dan itu bikin rajutan eke rada terbengkalai.
belum lagi novel-novel terjemahan (yang masih aseli belum di terjemahin) yang ngantri buat di baca.
FYI lagi keranjingan sama Wallbanger (padahal baru 1 bab doang bacanya!) dan agak berharap segera di post di +Portal Novel: Baca Cerita Online versi terjemahannya, tuluuunggg....tuluuung... mas +Yudi portalnovel , segerakanlah wujudkan impian eke. satu lagi bacaan yang bikin penasaran dan penasaran itu beneran gak enak (rasanya kayak kebelet tapi kamar mandi lagi mampet. gak enak banget kan?) SIYA alias Surrender In Your Arms, punya jeng +Shin Haido , kenapa author yang satu itu demen bener bikin eke penasaran. Apa gak kasian sama rasa kebelet eke....(nangis sambil nari keliling toilet). satu lagi blog yang ngantri buat eke baca, apalagi kalau bukan Gadis pengasong fiksi. eke masih nunggu apdetan terbarunya juga.
Tuh kan bener, banyak banget yang reading list eke yang blom sempat terjamah (dan belum sempat terupdate! cepet apdeeetttt!!!)
Jadi sodara-sodaraaa.... seperti biasa... bab 4nya ntar hari senin ya. wekekekekekekekekekekekekek.....
sulamat munikmati kawin kontraknya....
BAB 3
ENDO
“Perusahaan
itu sebetulnya bukan urusanku lagi. Dia sudah memiliki manajemennya sendiri.”
Wanita
di ponsel itu masih saja terus merajuk. Endo mendesah pelan mendengarnya
memohon di ponselnya hingga sebuah nama yang mengusik ingatannya di masa lalu
muncul.
“Rima?”
“Kau
masih ingat kan? Rima adik kelasmu dulu. Bukannya kalian juga sempat dekat?”
ujar wanita itu di ponselnya.
“Toko
itu milik Rima?” tanya Endo lagi memastikan.
Wanita
itu mendesis sebal mendengar Endo mengulangi lagi pertanyaannya. Dia segera
mengucapkan sebuah alamat untuk tempat pertemuan mereka agar Endo bisa bicara
empat mata dengannya.
“Baiklah,
kita ketemu di tempat itu,” Endo menyetujui penawaran wanita itu dan menutup
ponselnya.
Rima.
Nama
wanita itu kembali memenuhi pikirannya. Di hempaskannya tubuhnya ke sofa hitam
miliknya, kemudian dia menghisap dalam rokoknya dan menghembuskannya perlahan.
Asap rokok yang putih berkabut keluar pelan dari bibirnya. Ingatannya melayang
kembali pada masa SMA-nya. Masa yang hampir dia lupakan karena semua tekanan
pekerjaan yang dia dapat selama ini. Masa yang selalu membuatnya mengingat satu
nama yang sampai saat ini selalu mengulik hatinya. Nama yang membuatnya tak
sanggup menyimpan nama wanita lain di hatinya.
Rima.
Asap
rokok kembali keluar dari hidung dan mulut Endo. Ketika SMA dia bukan seorang
perokok seperti saat ini. Endo ketika SMA adalah anak laki-laki yang sedikit
berbeda dengan pria yang sedang menghisap rokok saat ini. Endo SMA adalah anak
laki-laki yang cukup ceria dan juga bebas dari semua beban masalah kecuali
sekolahnya. Dan Rima, anak perempuan itu, adalah anak perempuan yang sudah
membuat hati Endo SMA berlari kencang seperti Roller Coaster.
Pertemuan
pertama mereka terjadi ketika Endo terpaksa harus menjadi wakil dari kelasnya
untuk menjadi panitia acara sekolah. Itu membuanya terpaksa harus mengikuti
acara rapat dengan siswa perwakilan dari kelas lain. Membuatnya harus bertemu
dengan Rima untuk pertama kalinya ketika dia kebingungan memilih tempat duduk.
Endo
tersenyum mengingat kembali masa itu. Masa dimana dia kesulitan mencari tempat
duduk, bukan karena tidak ada bangku kosong yang tersedia, tapi lebih karena
para wanita yang berada di sebelah bangku kosong itu seakan siap menerkamnya
setap saat kalau dia memilih duduk di sebelah mereka. Sedangkan bangku para
pria sudah terisi semua. Akhirnya pilihannya jatuh pada bangku sepupunya yang
juga menjadi panitia acara itu bersama temannya.
“Bisa
gak sih kamu cari bangku lain? Sempit banget tau!” protes Diva ketika Endo
menjejalkan pantatnya ke bangku yang dia duduki.
“Tempat
lain ngeri! Kamu aja gih yang pindah!”
“Ogah
banget! Aduuuhh… geser dikit napa? Pantat atau buldozer sih?”
Endo
tetap bergeming di bangkunya dan Diva, sepupunya, terus saja mengomel protes.
Saat itu dia melihat Rima, pasangan Diva, berdiri dan pindah duduk di bangku
kosong meja lain. Endo yang ketika itu tak pernah melihat sosok Rima sebelumnya
tertarik memperhatikan cewek itu lebih lanjut.
“Rim,
ngapain pindah? Tuh kan, kamu aja yang pindah sana Ndo! Ngerusuh aja!” protes
Diva lagi.
Rima
cuma tersenyum menggeleng dan mulai mengeluarkan catatannya. Dia terlihat jauh
lebih tenang daripada cewek lain yang sibuk memperhatikan Endo atau bahkan
menyapanya. Itu membuat Endo sangat penasaran dengan sosok Rima yang pendiam.
Selama ini dia tidak pernah menyadari sosok Rima yang selalu berada di sebelah
Diva. Mungkin karena dia selalu merasa sebal dengan sepupunya yang rewel itu
atau mungkin karena kerewelan Diva yang menutupi sosok sederhana Rima. Anak
perempuan itu benar-benar sederhana.
Tubuh
Rima cenderung pendek dan juga kurus dibanding anak perempuan lain yang sibuk
menarik perhatiannya. Rambutnya yang hitam lurus sebahu diikat dengan karet
rambut berwarna merah. Kulitnya berwarna putih bersih dengan hidung mungil yang
begitu menggemaskan. Sementara cewek lain sibuk memakai polesan make-up, Rima
lebih cenderung memoles wajahnya hanya dengan bedak yang ketika siang, bedak
itu sudah terlihat luntur. Sebuah tepukan keras membuatnya tersadar dari
pengamatannya ke Rima.
“Jangan
macem-macem! Dia sahabatku! Tempeleng kalo berani-berani!” ancam Diva sengit.
Endo
merengut sebal melihat sepupunya. Umur mereka berbeda dua tahun darinya, tapi
sifat sepupunya sangat kurang ajar. Dari kecil mereka selalu bertengkar setiap
bertemu dan banyak hal yang menjadi penyebabnya. Kali ini Diva kembali bersikap
kurang ajar dan bahkan berani mengancamnya.
“Emang
yakin bisa?” tanya Endo membalas.
“Endo,
jangan mulai!” sebuah desisan panjang membuat Endo dan Diva terdiam beberapa
saat. Desisan itu muncul dari mulut kecil Rima. Diva tersenyum dan meminta maaf
kemudian kembali berbisik mengancam Endo, “Dia sahabatku. Jangan sampai kamu
bikin dia nangis kayak cewek-cewek lain!”
“Aku
gak pernah bikin cewek nangis!”
“Oci,
Eva, Lulu….”
“Itu
bukan salahku, mereka yang ke- GR-an!”
“Mita,
Amri, Luna…”
“Mereka
sendiri yang menyebar gosip soal pacaran. Aku cuma meluruskan!”
“Indah,
Tata, Robi…”
“Aku
sudah bilang kalau mereka yang sok mendekatiku seenaknya. Hei, Robi bahkan
bukan cewek!” protes Endo keras.
Diva
meringis, menertawakan sepupunya yang seakan kehabisan akal membantah semua
bukti-bukti yang dia berikan. Diva tahu bagaimana Endo yang sebenarnya. Sepupunya
itu memang sangat tampan untuk ukuran pria dan itu membuatnya selalu menjadi
pusat perhatian. Ketampanan Endo dan juga bakatnya yang lain, membuat sepupunya
dijadikan target operasi oleh banyak wanita. Diva sering menjadi korban kesalah
pahaman dari para penggemar Endo yang tidak mengetahui status sepupu di antara
mereka. Itu yang membuat Diva mengancam Endo untuk menjauhi Rima. Rima terlalu
pemalu dan juga penakut untuk bisa menghadapi serangan penggemar Endo.
Tapi
kali ini Endo bisa mengerti bagaimana rasanya terperangkap pada pesona
seseorang. Endo sudah terperangkap sempurna pada pesona Rima. Semenjak
pertemuan pertama mereka, mata Endo selalu mencari sosok Rima yang kadang
tersembunyi di balik punggung Diva. Bagai kehilangan akal sehat, Endo mencari
semua informasi dari Rima, walaupun itu berarti dia harus melewati kerewelan
Diva terlebih dahulu. Hingga di suatu hari, entah darimana keberanian itu
muncul, Endo menyapa Rima untuk pertama kalinya. Gadis itu awalnya sedikit
kebingungan, tapi dia memberikan senyumannya yang membuat malam-malam Endo
diwarnai kebahagiaan karena membayangkan senyuman itu. Itulah awal saat mereka
mulai bisa bicara satu sama lain. Awal ketika Endo berusaha memiliki gadis itu
dan selalu menginginkannya untuk berada di sisinya.
Deringan
ponsel menyadarkan lamunan Endo tentang Rima. Dia mencibir ketika mengetahui
nama yang muncul di layar ponsel itu. Kenapa Diva selalu mengganggu kedekatannya
dengan Rima, bahkan di saat dia hanya mencoba berkhayal tentang gadis itu. Endo
mengangkat ponselnya dan lansung menerima nada keras dari sepupunya.
“Jangan
bilang kau belum berangkat!”
Bagaimana
dia bisa tahu? Apa Diva sudah memasang kamera di apartemennya?
“Aku
sudah siap berangkat!”
“Kau
mau aku menunggu lama? Cepat berangkat dan jangan buat aku menunggu!”
Ponsel
itu ditutup keras dan membuat Endo sedikit terkejut. Apa-apaan anak ini! Kenapa
dia harus emosi seperti itu, dan kenapa harus Endo yang mendapatkan tulahnya.
Endo mengencangkan dasi yang dia gunakan dan menarik jas-nya yang tergeletak di
punggung sofa. Sebuah kacamata hitam disematkan untuk menutup matanya yang
berwarna kelabu. Senyum di wajahnya tersungging membayangkan dia akan berurusan
dengan Rima kembali.
****
“Jalanan
macet, Diva!” sanggah Endo di ponsel ketika Diva menelponnya sekali lagi. Endo
memutar setir mobilnya sedikit kekiri untuk menghindari lubang di jalan. “Kau
pikir aku berbohong? Dengar, aku sudah menyediakan waktu untukmu, jadi sabar
dan tunggu!”
Endo
menutup ponselnya sebal. Diva benar-benar sepupunya yang sangat menyebalkan.
Dia sangsi, akan ada pria yang mau hidup dengan macan gunung seperti sepupunya
itu. Dengan bersungut-sungut dia mencoba mencari ruang di jalanan yang sedikit
padat ini.
Sial!
Jalanan ini selalu macet di waku makan siang seperti sekarang. Ini semua karena
apartemen baru yang semakin menambah kemacetan di areal jalanan ini dan itu
membuat mobil Endo berjalan sangat lamban. Endo mencari-cari lagi celah yang
bisa dia lalui untuk mempercepat laju kendaraannya, hingga matanya menemukan
sosok yang sangat menarik.
Sosok
seorang wanita yang duduk dan memakan tomat dengan rakusnya di sebuah halte.
Dia bisa melihat aura kesedihan melingkupi wanita itu. Diperhatikannya
lekat-lekat wajah wanita itu akibat dorongan rasa penasarannya. Rambut panjang
sebahunya hampir menutupi wajah wanita itu, tapi dia masih bisa melihat dua mata
yang sembab dan juga hidung mungil yang memerah. Hidung mungil, dia kembali
teringat dengan Rima. Mungkin saat ini Rima akan berpenampilan seperti wanita
itu, begitu sederhana. Hanya mengenakan blus longgar berwarna biru dan celana
jeans, bukan kaos ketat ataupn rok mini yang selalu digunakan para wanita di
sekeliling Endo. Sekali lagi dia memperhatikan wanita yang mirip Rima itu.
Salah.
Itu
memang Rima.
Endo
menghidupkan lampu sein-nya dan membelokkan setirnya untuk menepi ke arah halte
itu. Sekali lagi dia memperhatikan wajah wanita itu dan kembali memastikan
bahwa wanita itu benar-benar Rima. Jantungnya berdebar keras menyaksikan
kebetulan ini. Dibukanya jendela mobilnya perlahan dan di sebutnya nama gadis
itu.
“Rima?”
Gadis
itu terkejut dan mencari asal suara yang memanggil namanya hingga kedua matanya
melihat ke arah Endo yang berada di dalam mobil. Endo tersenyum melihat wajah
heran gadis itu. Mungkin Rima telah melupakan sosok dirinya semenjak kejadian
terakhir sebelum mereka berpisah dan Endo tidak menyalahkan hal itu. Endo
keluar dari mobilnya dan mendatangi gadis yang masih kebingungan itu. Dibukanya
kacamata hitam yang menutup mata kelabunya.
“Rima,”
sapa Endo lagi
Rima
masih tetap sama dengan bayangannya selama ini. Tubuh kecil yang menggemaskan,
rambut hitam lurus sebahu, dan juga hidung mungilnya yang selalu membuat Endo
ingin menciumnya. Hanya saja, dia selalu membayangkan gadis itu tersenyum dan
kali ini gadis itu terlihat seperti habis menangis. Gadis itu terlihat berusaha
menelan potongan tomat yang berada di dalam mulutnya.
“Endo?”
Dia
masih mengingatnya. Endo merasakan angin segar melewati hatinya yang selama ini
selalu memikirkan Rima. Tanpa harus di suruh, Endo duduk di sebelah gadis itu. Gadis
itu tampak sedikit salah tingkah menghadapi Endo yang tiba-tiba berada di
sisinya. Sudah hampir 10 tahun mereka berpisah dan mereka bertemu di halte
untuk pertemuan pertamanya. Endo masi bisa melihat sisi pemalu gadis itu. Dia
jatuh cinta sekali lagi kepada Rima.
“Bagaimana
kabarmu?” tanya Endo berbasa-basi. Endo tahu pasti kabar gadis itu, tokonya
terlibat hutang dan dia harus segera membayar hutang itu besok lusa. Gadis itu
hanya tersenyum sembari melempar sisa tomat di tangannya ke tong sampah
terdekat.
“Mas
Endo sendiri gimana kabarnya?”
tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Endo sebelumnya.
“Sibuk,
beberapa pekerjaan meminta harus segera diselesaikan. Kebetulan yang menarik
kalau aku bertemu denganmu di sini ya!”
Rima
terkekeh, membuat Endo kembali merasakan hatinya seperti terkena sengatan
listrik mendengar suara tawa gadis itu.
“Sekarang
sudah jadi pengusaha sukses! Mana anak istrinya?”
Pertanyaan
yang sangat bagus dari mulut gadis itu. Membuat Endo tak perlu berpikir
bagaimana cara menyampaikan statusnya sendiri.
“Single, masih jomblo di umur yang hampir
kepala tiga ini!” jawab Endo tegas. Bagaimana dia bisa mendapatkan pasangan
kalau gadis ini masih terus membayangi hatinya. “Kamu sendiri?”
Dia
terlihat sedikit terkejut mendengar pertanyaan Endo, kemudian berusaha
tersenyum. Itu membuat Endo sedikit khawatir. Apa dia sudah memiliki pasangan?
Apa gadis itu sudah menikah?
“Sama,
masih belum laku,” jawab Rima pelan.
Kembali
lagi Endo merasakan hatinya terasa melayang. Rima masih sendiri dan itu berarti
dia masih punya kesempatan. Wajah Rima kembali memenuhi dada Endo hingga
tiba-tiba raut wajah itu berubah panik. Dia seperti berusaha bersembunyi di
balik tubuh Endo. Mata gadis itu seperti melihat ketakutan ke arah lain. Endo
melihat ke arah pandangan Rima dan menemukan seorang pria yang sepertinya
sedang kebingungan. Siapa pria itu?
Rima
terlihat begitu ketakutan dan dia berusaha menyembunyikan dirinya lebih dalam
di balik tubuh Endo. Tanpa banyak bertanya, Endo melepaskan jasnya dan
memakaikannya ke tubuh Rima, membuat gadis itu sedikit kebingungan.
“Mas
Endo?”
Endo
mendesis, menghentikan pertanyaan Rima. Kemudian dia memakaikan kacamata ke
wajah gadis itu dan mengambil bungkusan plastik yang dibawa Rima. Endo menggapai
lengan Rima dan menggandengnya memasuki
mobil sedan miliknya yang terparkir tepat di depan mereka. Rima terlihat
sedikit enggan, tapi pria yang sedang kebingungan itu semakin mendekat ke arah mereka.
Itu membuat Rima tak bisa menolak ajakan Endo untuk memasuki mobilnya. Dari
dalam mobil mereka bisa melihat pria itu berlalu dan masih terlihat kebingungan
mencari sesuatu. Endo menyalakan mesin mobilnya dan berlalu meninggalkan pria
itu sendiri di halte.
“Kamu
kenal dia?” tanya Endo dari dalam mobil.
Rima
melepas kacamata Endo dan meletakkannya di dashboard
mobil. Dia tampak sedikit kebingungan menjawab pertanyaan Endo, tapi Endo
memaksanya dengan pandangan mata yang dia berikan.
“Mantan
pacar semenjak dia selingkuh,” jawab Rima singkat. Nada suaranya mengandung
kesedihan dan itu membuat Endo ingin kembali kemudian menghajar pria itu.
“Kamu
pantas dapat yang lebih baik!” jawab Endo geram.
Rima
tersenyum dan mengusap matanya. Sepertinya dia baru saja kembali menangis.
Sial! Endo benar-benar ingin kembali dan menghajar pria keparat itu. Pria itu
mendapatkan keberuntungan menjadi kekasih Rima, tapi dia berani
meninggalkannya. Seandainya Endo yang mendapatkan kesempatan itu, maka dia akan
selalu menjaga Rima di dalam pelukannya.
“Mas
Endo…”
“Endo!”
“Hah?”
“Panggil
aku Endo saja. Tanpa embel-embel ‘Mas’ di depannya. Bahkan Diva saja tidak
pernah memanggilku dengan embel-embel itu!” ujar Endo.
Rima
terkekeh, sepertinya dia sangat mengerti kelakuan sepupu Endo yang kurang ajar
itu. Jelas sekali kalau umur Endo jauh lebih tua, tapi tak pernah sekalipun
Diva memanggilnya dengan sebutan ‘Mas” atau panggilan penghormatan lain.
“Baik,”
Rima menarik nafas sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. Sedikit ragu
diamencoba memanggil Endo tanpa embel-embel, “Endo, aku lebih baik turun di
sini saja,” ujar Rima. Endo merengut heran.
“Kau
tak mau kuantarkan ke rumahmu sekalian?” tanya Endo yang dijawab dengan
gelengan pelan dari Rima.
“Aku
harus menenangkan diri dulu sebelum sampai di rumah. Berjalan sendiri itu cara
yang paling ampuh untuk menenangkan diri,” jawab Rima.
Endo
setuju dengan hal itu, Rima memang perlu untuk melakukan hal yang bisa dia
anggap penemuan ketenangan. Sekali lagi Endo menepikan mobilnya dan menurunkan
Rima di trotoar. Sebelum Rima turun, Endo mengambil dompet di saku celananya
kemudian terlihat mencari sesuatu di dalam dompetnya.
“Rima,
tolong hubungi aku,” ujar Endo sembari memberikan kartu namanya. Rima menerima
kartu nama itu dan memasukkannya ke dalam tas yang dia bawa sebelum keluar dari
dalam mobil Endo.
“Rima,
bawaanmu!”
“Bawa
saja! Aku sudah tidak butuh itu lagi!” jawab Rima. Endo melirik ke arah kantong
plastik di jok belakang dan menebak-nebak apa isinya.
“Trims
Mas…err…sori..Endo!” ujar Rima sebelum menutup pitu mobil Endo dan Endo
membalasnya dengan sebuah senyuman.
****
“Kamu telat! Aku sudah lumutan nunggu di
sini!” ujar Diva bersungut-sungut melihat Endo yang baru datang.
Endo
menyeret kursi yang terdekat dengan Diva kemudian duduk dengan tenang. Tak lama
seorang pelayan datang dan menanyakan pesanan Endo sembari menyerahkan daftar
menu kepadanya. Pelayan itu terlihat sesekali melirik terpesona pada Endo dan
tidak menyadari Diva yang terlihat sangat marah
“Kopi
panas, segelas!” ujar Endo sambil menyerahkan daftar menu itu kembali ke
pelayan yang masih terpesona itu.
“Macet?
Bisa kasih alasan lain?” tanya Diva sebal.
Endo
menghela nafas, diambilnya rokok dan pemantik dari saku celananya dan kemudian
menghidupkan sebatang rokok. Sebuah hembusan pelan membuat asap putih melayang
keluar dari bibirnya. Diva menyerahkan lembaran berkas penagihan yang dia dapat
dari Rima. Endo menerima berkas itu dan membacanya perlahan.
Dia
melihat nama perusahaan konveksi miliknya tertera di kop surat itu. Sebuah
angka bernilai ratusan juta akibat pelanggaran kontrak menarik perhatiannya dan
membuatnya berpikir apa yang dilakukan Rima hingga tokonya bisa melanggar
kontrak.
“Dia
ditipu!” jelas Diva ketika Endo menanyakannya.
“Kau
bisa memberiku nomer ponsel Rima?”
“Tidak!
Aku hanya memintamu membantunya, memberi perpanjangan waktu pembayaran ataupun
mungkin juga keringanan denda kontrak!” sanggah Diva.
Endo
melihat sebal ke arah Diva.
“Aku
ketemu Rima!”
“Kamu
ketemu siapa?” tanya Diva tak percaya.
“Rima!
Tidak bisa selamanya menyembunyikan dia, huh?” ujar Endo sebal.
Diva
tercekat, menelan ludahnya getir.
“Aku
punya alasan untuk menyembunyikan dia! Apa kau lupa dengan yang sudah dilakukan
penggemarmu terhadapnya? Dia tak pantas mendapatkan itu semua!”
“Kau
bukan ibunya!” protes Endo, kemudian menyesap rokoknya kembali.
“Aku
sahabatnya, dan aku berhak melindungi dia dari sepupu berbahaya sepertimu!”
jawab Diva. “Lagipula dia sudah punya pacar!”
“Lalu,
kemana kau ketika dia berpacaran dengan pria yang sudah berani
mengkhianatinya?”
“Apa?”
“Aku
menemukannya menangis dan dikejar pacarnya yang bajingan itu. Seandainya Rima
bersamaku, dia tak akan pernah mendapatkan pengkhianatan seperti itu!” jawab
Endo sebal. Diva selalu menjadikan masa lalu sebagai alasan untuk menjauhkan
Rima dari dirinya.
“Apa
yang terjadi?” tanya Diva panik.
“Bagaimana
aku tahu? Kau yang sahabatnya!” sanggah Endo. “Sekarang, biarkan aku mendekati
Rima atau aku melupakan semua ini!”
“Kau
tak akan bisa melakukannya,” jawab Diva tak percaya.
“Kau
sudah membuatku kehilangan Rima selama 10 tahun terakhir. Apa kau masih yakin,
aku tak mampu melakukan semuanya sendiri saat ini?”
Diva
menyumpahi Endo sembari memberikan ponselnya yang berisi nomer Rima. Sebuah
senyum kemenangan terkembang di wajah Endo.
****
Kawin Kontrak Bab 4
Index Kawin Kontrak
Makasih Jeng Rike ...
BalasHapusbab 4 nya ntr malem aja ya.... Hahaha
weksss...
Hapus*pingsan
aw aw Endo udh cinta toh.. Bguuuuuuuss!
BalasHapusTnggal nunggu rima jatuh cinta *.*
Mksih mba rike.. #kecup basah
wekekekekekekkekekek sama-sama silaaa
HapusAw aw aw
BalasHapusMba ike ŜãÝåňĢ bisa G̲̮̲̅͡åк̲̮̲̅͡ d percepat bab 4nya, msh kepo nih "kedip2 mata"
bisa.... WB...WB..WB..
Hapus*kumat demonya
waw waw waw
BalasHapusmakin seru.
ayo endo berjuang teruz bwt dpt rima,.
wah pokoknya haruz hapend nh.
klo g ntr ayah dara aq culik.
wkwkwk kabuuuurr.
*balik lg bwt ngucpin makash mb ike
kabuuur lg.
ini kenapa si bapak jadi target penculikan si eka mulu...
Hapuswekekekekekkekekekekekke
JengRik....mana lanjutannyaaaa??? #ngrusuh sambil bawa golok !
BalasHapusApa yang dilakukan fans Endo pada Rima sampe m'buat Diva harus mnyembunyikan Rimaa????
Cuusss..dposting..
Klo nggak, aq lapor masYud jangan teelin Wallbanger !! *hellooww,,emangya lu sapa, Riska??? #pletaak..
ampuunnn nyonyaaa.... ampuuunnn...
Hapusentar hari senin laahhhh... wekekekekekkekekek
sek jeng... nie WB bahasa nginggris aelom katam-katam...
mba ike kentang bgt. Tapi thanx y
BalasHapusntar nambah wortel sama sayur kol-nya juga yuaaa.... weekekekekekekekekekkkekek
Hapusasikk... kok jd cinta ya diriku sama Endoo.. mas Endooo.... endaaangg....... cium eike donkkk... :logat bencis: wkwkkw
BalasHapusduh jeng ike.. sering2 aja bikin cerita kyk gini... eike seneng deh cin.. mwah.... gk sabar nunggu Rima di"mainin" ama Endo.. ehememmmm....
eike juga cinta jeng sama dirimyuuu wakakakakkakakakakakakak
Hapusappuaaahhhh... di'mainin'?
*mikir keras
**sok mikir keras
wekekekekekekkekekek
falin into u endo...
BalasHapuskasiiihaaannnn buuuukkkk.... beraaaaatttt buuuukkkk...
Hapuswakaakakakakakakak
mbk ike.....bab selanjutnya jgn lame2 :)*kpn kawin kontraknya....
BalasHapusseninnnnn...seniiinnnn...
Hapusisniiiiinnnnn...(kayakpilem upil ipil)
mau cepet? mana WB?
mba rike..hari senin itu masih lama banget, kan bab selanjutnya nya udah mau kelar, langsung posting aja setelah kelar ya mba, sebelum hari senin kan kelarnya? hihi.
BalasHapuspukulaaaannnn petiiiiiirrrrrrrr....
Hapusyak dez....
*kabor sebelum ditangkep boboboy....
sini Endo,, aku kasih nomor ponselku aja gimana?? hahaha....
BalasHapusboleh kan ante yah? ;)
yak dipileh..dipileeehh...dipileeeehhhh... wekekekekekekekkekekekekek
HapusWuahhhhh ntu kenapa blog eik nangkring? Nyahahahaha... Ish ada yg mau bantuin saya untuk bahasa banci? Aye lagi berkutat dengan cerita dengan maincast banci nieh. Muahahahahahaha...
BalasHapusEndoooooooo <3 <3 <3
*tendang Rima ke jurang! Muahahahahaha
*cerita ini berakhir dengan adegan kekerasan yg tidak baik untuk kesehatan jantung #eh?
Aye tunggu next-nya.
*cipok macho mbak Rike*
*melipir pergi