Kamis, 17 Oktober 2013

Kawin Kontrak -Epilog

haihai begini yah rasanya ngebajak blog orang hehehe....
mumpung yang empunya lagi sibuk ngurusin Dora dan saya dipercaya untuk ngebajak blog ini ya ini lah hasilnya hehehe perkenalkan saya admin baru disini nama saya Biru..
ok deh berhubung ni blog dah lama g pos malam ini khusus saya pos 2 bab dan bab ini adalah bab epilog dari pasangan gokil kita say goodbye buat ENDO n RIMA..


Kawin Kontrak -EPILOG





Aku berdiri di bawah siraman air dari shower. Mencoba mengatur nafasku yang memburu karena semua yang baru saja terjadi. Aku tahu kalau tingkat libido wanita saat hamil bisa menjadi lebih tinggi dari biasanya dan inilah yang memang terjadi. Ini sudah ke-dua kalinya aku mandi dari waktu sore tadi. Itu belum dihitung dari paginya. Apalagi hari ini hari libur.
Aku menghela nafas panjang kemudian mematikan shower dan mengeringkan tubuhku dengan handuk. Semua persiapan kami sudah siap. Di tengah kehamilan yang sudah 9 bulan ini, kami berdua harus siap dengan semua kemungkinan yang terjadi. Dokter sudah mewanti-wanti agar kami selalu siaga dengan semua tanda-tanda kelahiran yang mungkin muncul sewaktu-waktu. Bahkan sebuah tas berisi baju ganti, dan juga peralatan bayi sudah siap semenjak 3 bulan yang lalu dan isinya semakin hari semakin lengkap saja.
“Sayang, kamu baru mandi?”
Aku tersenyum mendengar suara itu. Suara yang selalu membuatku merasa bahagia. Suara yang selalu menemaniku setiap saat sekarang.
“Iya, kamu belum tidur?”
Dia menggeleng, kemudian terlihat menghela nafas pelan. Itu membuatku sedikit khawatir. Apa dia kelelahan? Selama seminggu ini dia selalu sibuk dan itu membuatku sedikit bersalah. Aku mendekat ke arahnya kemudian mencium keningnya perlahan. Menikmati setiap sentuhan kulitnya di bibirku. Menyesap perlahan wangi tubuhnya yang selalu memabukkanku.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku lagi.
Dia tersenyum melihatku kemudian menyandarkan kepalanya ke pipiku.
“Sayang, aku mau lagi,” ujarnya perlahan. Aku terkesiap mendengarnya. Bahkan tubuhku masih belum kering benar setelah mandi barusan, dan saat ini dia sudah mulai merayuku lagi. “Sayang…”
“Rima, kamu nanti bisa sakit!”
****

Menangis adalah senjata terbesar wanita. Itu yang selalu Diva katakan kepadaku beberapa waktu yang lalu.
“Ingat, kita punya kemampuan itu dan kita bisa pakai dalam peperangan!” ujar Diva berapi-api saat menemaniku di ruang tunggu dokter kandungan.
“Memang aku lagi perang sama siapa, Di?” tanyaku heran
Diva melirik sebal ke arahku dan itu merupakan indikasi bahwa aku baru saja menanyakan sebuah pertanyaan yang sangat bodoh.
“Rima, pernikahan itu sebuah peperangan!”
“Aku nggak pernah perang sama Endo. Kita emang pernah tengkar, tapi kita nggak pernah sampai perang, Di!” jawabku.
“Aduh…susah ya ngomong sama ibu hamil! Lemotmu sudah semakin melebihi batas sabarku, Rim!” ujar Diva sembari membahas hal yang lainnya setelah itu.
Malam ini, aku tahu maksud dari kata-katanya. Dan sudah kuputuskan malam ini untuk menggunakan senjata itu secara sadar (biasanya aku menangis secara tidak sadar dan itu sedikit memalukan bagiku). Dan hasilnya, tepat seperti kata Diva, Endo mau melakukan apa yang aku mau.  
Hasilnya, sekali lagi malam ini aku berhasil memenuhi dorongan libido kehamilanku. Entah bagaimana bisa, kehamilan ini membunuh semua rasa malu yang kumiliki dan selalu meminta kesediaan Endo untuk memenuhinya. Bahkan selelah apapun Endo selalu bersedia memenuhinya, dan itu membuatku sedikit merasa bersalah.
Walaupun setelahnya aku masih memintanya kembali.
Endo melirik ke arahku yang sedang berusaha bangun untuk mengambil segelas air di sebelahku. Dengan sigap dia mengulurkan tangannya dan mengambilkanku gelas. Itu membuat dadanya yang bidang terpampang jelas di wajahku dan sekali lagi hati kecilku mengambil alih tubuhku untuk menyentuhnya.
“Sayang, kita baru aja selesai,” ujar Endo perlahan.
“Nggak suka?” tanyaku sedih.
Endo menghela nafasnya pelan dan menyerahkan gelas yang dia bawa kepadaku. Dia menungguku meminum air di gelas itu sampai habis kemudian mengambilnya kembali untuk diletakkan di meja di sebelahku. Dengan perlahan, Endo mengecup bibirku dan juga keningku.
“Aku takut kamu capek sayang. Perkiraan kelahirannya masih 2 minggu lagi,” ujar Endo.
“Aku nggak capek!” jawabku cepat.
Endo tersenyum kemudian merebahkan tubuhku di atas ranjang dan dia berada di atasku lagi. Senyuman di wajah tampan Endo membuatku merona dan itu membuat seluruh ototku terasa tegang, bahkan otot perutku. Dia mulai mencium wajah dan juga leherku. Lama, tapi menyenangkan, dan sekali lagi membuat perutku terasa tegang. Sama seperti saat kami melakukan hal ini di sesi sebelumnya. Sudah sekitar beberapa kali aku merasakan hal ini.
Beberapa kali?
Aku menyorongkan wajah Endo menjauh dariku dan mulai terlihat panik. Endo sendiri terlihat bingung melihat sikapku.
“Sayang!” ujarku panik memanggilnya,”Aku sepertinya kontraksi deh!”
Mata Endo terbelalak dan wajahnya berubah panik seketika.
“Apa? Sejak kapan?” teriaknya bingung.
“Mungkin setiap 20 menit. Ini sudah keempat kalinya,”
“Astaga, Rima! Kenapa kamu baru bilang?” ujar Endo panik kemudian segera meraih celana maupun kaosnya yang berserakan di sudut ranjang.
“Habisnya, waktu-nya kan masih 2 minggu lagi. Jadinya…astaga…!”
“Astaga kenapa? Ayo cepat kamu ganti baju!” Endo terlihat semakin panik bahkan saat memasukkan kaosnya sendiri.
Aku teringat sebuah artikel dari majalah yang kubaca kemarin. Artikel yang mengatakan bahwa sperma bisa mengakibatkan kontraksi bagi ibu hamil. Dengan segera aku mencari artikel itu di tumpukan majalah di sebelahku dan menunjukkannya kepada Endo. Endo membaca artikel itu cepat sebelum akhirnya melihat semakin panik ke arahku.
“Cepat, tunggu apalagi kalau begitu? Kita ke Rumah Sakit sekarang! Aku telpon dokter Lita, kamu segera ganti baju!” perintah Endo dan dia berlari mengambil ponselnya di ruang kerja.
Aku terdiam dan kembali merasakan kontraksi di rahimku. Hingga suara keras membuatku terkejut. Endo sudah terlihat tersungkur di lantai dan menabrak pintu kamar kami. Sepertinya dia baru saja tersandung kakinya sendiri karena sangat terburu-buru.
“Rima, cepetan! Kamu nunggu apalagi?” teriak Endo.
Aku menggeleng kemudian mulai menangis.
“Rima?” suara Endo terdengar lebih pelan, tapi tetap terasa panik.
“Aku nggak mau ke Rumah Sakit!”
“Ap..apa? Kenapa? Kamu mau kemana? Aku antarkan nanti. Kamu ada opsi tempat bersalin lain, Sayang?” tanya Endo perlahan dan segera berjalan ke arahku.
“Aku nggak mau! Aku nggak mau kemana-mana!” jawabku sembari menangis semakin keras.
“Kenapa Rim?” tanya Endo lagi.
“Aku malu, Ndo! Nanti ketahuan kalau kita habis…”
“ASTAGA RIMA!”
Sebuah teriakan itu membuat seluruh tubuhku secara otomatis mengikuti perintah Endo sebelumnya.
****

Endo berjalan gelisah menunggu dokter kandungan Rima yang tidak kunjung tiba. Wajahnya masih terlihat pucat sementara ponselnya terus dia genggam. Sementara itu Rima terlihat sesekali merintih kesakitan di ranjang sebelahnya. Suara ketukan di pintu membuatnya segera menoleh dan menemukan Diva di sana.
“Kenapa kamu? Mana dokter Lita?” tanya Endo panik.
“Emang aku manajernya, tahu dia ada dimana?” jawab Diva sembari mencibir.
Diva segera berlari ke arah Rima dan menggenggam tangannya. Sementara Rima tersenyum di tengah rasa nyeri yang dia rasakan.
“Kamu kok ke sini, Di?” tanya Rima perlahan dan kembali wajahnya terlihat menahan nyeri.
“Ambil nafas dalam, hembuskan lewat mulut…ya, begitu! Sahabatku mau melahirkan, aku wajib datang dong!” jawab Diva kemudian menyeka keringat di kening Rima dengan sapu tangan yang dia bawa. “Sudah berapa menit sekali, kontraksinya, Rim?”
Rima mengambil nafas dalam kemudian menghembuskannya lewat mulutnya.
“Lima menit sekali!”
“Setelah ini, kamu bakalan jadi ibu!” ujar Diva dan sebuah senyuman bahagia, muncul di bibir Rima. Endo melihat semua itu dan ikut tersenyum.
 “Tapi Di, ini lebih cepat 2 minggu dari yang dikatak dokter!” ujar Rima sedikit panik.
“Enggak apa-apa. Semuanya pasti baik-baik aja! Yang penting kamu tenang, semua pasti lancar!” Diva kembali membelai kening Rima kemudian memperhatikan Endo yang berdiri di sebelahnya. “Makanya, jangan kimpoi mulu!”
“DIVA!” teriak Endo dan Rima bersamaan.
“Aduh, pada rewel deh! Aku kan bilang berdasarkan bukti!”
“Bukti apa?” tanya Endo heran.
“Tuh, kaosmu kebalik!” jawab Diva santai dan wajah Endo langsung berubah merah padam.
Dengan segera dia melepas kaosnya, dan tepat saat akan mengenakan kembali, terdengar suara histeris dari arah pintu. seorang perempuan paruh baya terlihat terkejut dan segera menutup mulutnya.
“Dokter Lita?” tanya Endo.
“Maaf, saya tadi kaget!” jawab dokter Lita sembari mengusap dadanya beberapa kali, “Ibu Rima, sudah siap?”
“Siap apa, dok?” tanya Rima mulai terengah-engah menahan rasa sakitnya.
“Siap nari India.” Jawab dokter Lita sembari memeriksa Rima.
“Ah, dokter bercanda!” jawab Rima.
“Ya siap melahirkan doong! Ayo kita ke Ruang Bersalin! Sudah bukaan lima ini.”
“Nggak di sini dokter?” tanya Rima panik.
“Nanti habis melahirkan, baru ke sini lagi!” jawab dokter Lita sembari tersenyum.
Sementara itu, Rima mulai merasa semakin panik. Ruang Bersalin ada di lantai bawah, dan dia saat ini di lantai dua. Satu-satunya yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua hanyalah sebuah tangga. Itu berarti dia harus berjuang menuruni tangga itu. Padahal, saat ini untuk duduk saja dia sudah sangat kesakitan.
“Dokter, saya nggak kuat!” protes Rima, dan Endo terlihat sangat panik melihat hal itu.
“Kuat…pasti kuat!”
“Dokter kok tahu? Emang dokter peramal?” tanya Endo panik.
“Saya kan dokter, ya tahu dong!” sekali lagi dokter Lita menjawab santai.
Endo dan Rima langsung menatap serentak ke arah Diva dan Diva cuma tersenyum.
“Udah, ikutin aja! Tanggung enak dah!”
Dan akhirnya dengan pasrah, Rima berjaan menuruni tangga dituntun Endo dan juga Diva. Sesekali mereka berhenti saat Rima mulai merasakan kontraksinya lagi dan mulai berjalan saat kontraksinya sedikit mereda. Saat Rima merasakan kontraksinya terasa semakin sakit, dia akhirnya berteriak dan terdengar suara-suara dari lantai dua.
“Itu mau keluar di tangga, anaknya!” terdengar suara dari beberapa ibu-ibu yang sedang bergosip di atas.
“Endo, ayo cepat! Aku nggak mau anakku lahir di tangga!” teriak Rima panik dan membuat Diva tertawa terbahak.
Saat di depan ruang bersalin, dokter Lita menghentikan langkah mereka dan bertanya kepada Endo, “Bapak beneran mau ikut masuk?”
“Iya, dok!”
“Yakin nggak takut darah?”
“Iya, dok!”
“Yakin nggak mual bau darah?”
“Iya!”
“Yakin nggak…”
“DOKTER, SUAMI SAYA MASUK ATAU SAYA SERET DIA KE DALAM KALAU NGGAK MAU MENEMANI!” Rima berteriak keras kemudian mulai kembali histeris menahan kontraksinya.
“Silahkan kalau begitu!” jawab dokter Lita datar seakan melupakan semua kesulitan yang baru saja dia lakukan.
Rima terus merintih di atas ranjang bersalin dan beberapa perawat terlihat membantunya mempersiapkan persalinan. Sementara Endo beada di sebelahnya memegang erat tangan Rima.
“Sayang, tahan ya! Sabar!”
“Sudah pembukaan tiga, ayo siap-siap ya Bu!” ujar dokter Lita lagi.
“Siap-siap apa, dok?” tanya Rima perlahan.
“Siap-siap nari India! Ya elah bu, melahirkan dong! Ingat, pantatnya jangan diangkat, mengejannya ikuti perintah saya ya! Kalau saya bilang ‘yak’, ibu langsung mengejan! Ibu mengerti?”
Rima mengangguk.
“Yak!”
“Sekarang dok?” tanya Rima.
“Hastagaaahhh!” ujar dokter Lita
****

“Siapa yang paling ganteng? Pasti anak Papa! Bilang Paaa…pa..!”
Aku tersenyum mendengar Endo menggoda anak kami yang masih berusia 4 bulan di ranjang. Sekali lagi dia membuat mimik wajah yang lucu dan langsung bersemangat saat Jati terlihat tersenyum
“Jati masih bayi, Pa. masih belum bisa bilang Papa!” ujarku sembari mempersiapkan baju ganti untuk Jati.
“Biarin! Yang penting, Jati nanti bilang Papa dulu ya, Sayang!”
“Seenaknya!” jawabku.
Endo mengecup pipi dan juga kening Jati beberapa kali sebelum akhirnya berdiri dan memelukku.
“Makasih ya, Sayang!” ujar Endo perlahan.
Aku tersenyum kemudian membalas memeluknya, “Untuk apa?”
“Untuk anak setampan Jati. Untuk kesediaanmu mengandung dan melahirkan anakku!”
Endo kemudian mengecup bibirku sebelum melepaskan pelukannya. Aku beringsut ke arah Jati dan melihat bayi kecilku yang tampan sudah kembali tertidur.
“Astaga, selalu deh! Setiap sama Papa-nya, Jati mesti tidur. Mandinya terpaksa molor ini!” ujarku kesal sembari membelai kepala anakku.
“Itu tandanya, Jati nyaman deket Papa-nya!”
“Tapi mandinya jadi molor, Ndo! Padahal aku sudah nyiapin semuanya. Terpaksa nunggu satu jam sampai Jati bangun ini!”
Endo meraih jemariku kemudian menggenggamnya erat.
“Sayang,” ujarnya lembut, “Gimana kalau kita bikin adik buat Jati sementara dia masih tidur?”
Sebuah senyuman mengakhiri kalimat itu dan langsung membuat pipiku merona merah.
****








huaaaaaa mba ikeeeee kayanya aq bukan bantuin tapi malah ngerusak ini blog deeeehhh
 huks... maafkan aq

Kawin Kontrak -Bab 23

BAB 23
ENDO










“Kenapa kamu harus mengembalikan cek ini kepadaku?” tanya Sofi sedikit terkejut ketika melihat cek itu berada di depannya.
“Jadi benar cek ini darimu?” tanya Endo. “Logo perusahaan yang tertera di map yang kamu berikan kepadaku, ketika menawarkan desainermu, mirip dengan logo yang ada di cek ini.”
Sofi membentuk sebuah senyuman di bibirnya yang indah. Dia menatap Endo dengan lebih lembut. Tiba-tiba saja kemarin malam asisten Endo menghubunginya untuk membuat janji sebuah pertemuan dengan Endo. Dan saat mereka bertemu di ruangan Endo, tanpa banyak bicara, Endo menyodorkan cek yang dulu dia berikan kepada Rima.
“Aku tahu kamu akan tahu dari siapa cek itu berasal, dan sepertinya ini saatnya,” ujar Sofi
“Untuk apa? Aku sama sekali tidak membutuhkan ini,” jawab Endo singkat.
“Pertama, kamu menolak bantuan dari desainer agensiku, kemudian cek ini. Itu kunci kebebasanmu, Ndo!”
“Dari apa?”
“Dari wanita yang berniat menguasaimu, Ndo. Wanita yang memanfaatkan semua peristiwa untuk mendapatkan dirimu.”
Endo tersenyum miris mendengar perkataan Sofi. Gadis itu sudah melangkah terlalu jauh dalam mencampuri urusannya.
“Akulah yang mengunci kebebasan Rima. Semua kulakukan demi mendapatkan dia, Sof.”
“Kamu tahu bahwa itu semua tidak benar! Kamu memaksakan dirimu untuk mencintai orang yang tidak pernah mencintaimu! Kamu membutakan matamu dari orang yang benar-benar mencintaimu. Itu semua salah, Ndo!
Gadis itu punya pilihan untuk tetap bersamamu atau meninggalkanmu, dan dia memilih untuk meninggalkanmu! Dia hanya memikirkan materi, dan keluarganya sendiri ketika bersamamu. Aku hanya memberi dia kesempatan mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku…aku mau kamu sadar betapa kamu melakukan kesalahan, Ndo!”
“Lalu apa yang kamu pikir, semua yang kamu lakukan ini benar?” teriak Endo kesal. Dia menarik nafas dalam, menyesal membentak Sofi. Segera diambilnya rokok di kantongnya dan mulai menghidupkannya.
“Aku cuma mau kamu sadar dan kita kembali lagi seperti dulu, Ndo. Apa kamu sadar kalau kamu memperlakukan gadis itu secara tidak adil? Kamu anggap dia pelarian diriku. Aku sudah memperhatikan semuanya, mengumpulkan semua informasi dan menemukan kalau kamu memilihnya karena mirip denganku. Aku selalu membuka hatiku untukmu, Ndo.”
Endo tercekat mendengar semua perkataan Sofi. Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Bagaimana bisa semua pemikiran yang salah itu kemudian mendorongnya untuk menjauhkan Rima dari dirinya?
“Kamu! Kamu yang pelarianku, Sof!” sentak Endo kesal. Dia kemudian mendengus pelan, menyesali semua teriakannya saat melihat Sofi ketakutan di depannya, ”Aku minta maaf, tapi aku sudah mencintai gadis itu jauh sebelum kita bertemu. Aku mencintainya sampai membiarkan dirimu muncul di kehidupanku karena kamu mirip dengannya. Berusaha berpikir bahwa aku sedang bersama dengannya, bukan denganmu! Maaf Sof, aku benar-benar minta maaf karena melakukan semua itu kepadamu.”
“Bohong! Kamu cinta aku, Ndo!”
Sofi seakan tak percaya dengan semua perkataan Endo. Tangannya gemetaran dan dadanya terasa nyeri mendengar itu semua.
“Sofi, aku…”
“Kamu selalu mencintai aku dan aku yakin itu walaupun kita sudah lama berpisah!”
“Sofi…”
“Kamu menerima semua perlakuanku kepadamu, bahkan memelukku selembut ketika kita masih bersama.”
“Sofi, maaf! Maafkan semua perbuatanku kepadaku. Aku mencintai Rima. Sejak awal bertemu dengannya, aku selalu mencintai istriku.”
Sofi tercekat mendengar semua penuturan Endo. Semua hal yang dulu Endo lakukan kepadanya cuma sebuah pelarian. Dia adalah sebuah pelarian dari seorang gadis di masa lalu Endo. Dan sekarang dia mengejar cinta yang sebenarnya tidak pernah ada di hati Endo untuknya.
Sofi mulai menangis memikirkan itu semua. Semua pengorbanan yang dia lakukan cuma sebuah kesia-siaan saja. Lelaki di depannya ini tak lebih dari seorang lelaki brengsek yang hanya ingin memuaskan ke egoisannya sendiri dan melupakan keberadaan Sofi di hadapannya. Dia hanya pengganti dari cinta masa lalu Endo. Direngkuhnya selembar cek di hadapannya, kemudian dimasukkan paksa ke dalam kantongnya.
“Kumohon katakan dimana dia, Sof!” pinta Endo menghiba dan itu membuat Sofi sangat terguncang. Bahkan Endo mengulangi lagi permintaannya, “Kumohon, Sof…”
Sofi sama sekali tidak membayangkan semua ini yang akan dia terima. Bahkan pria yang dia puja memohon padanya, demi wanita lain dan bukan dirinya. Pria dihadapannya menolak semua cinta yang dia berikan dan lebih memilih wanita lain. Membuat harga diri dan juga kepercayaan diri Sofi sangat terluka.
“Aku tidak pernah tahu dimana dia. Aku tidak pernah mau tahu dimana dia dan persetan dengan wanita itu juga dirimu, Ndo!” teriak Sofi putus asa. “Kamu tak lebih dari pria yang tak punya harapan. Bodohnya aku mengejarmu! Sekarang rasakan sendiri kehancuranmu dan jangan pernah meminta pemohonan maaf dariku!”
Sofi meninggalkan Endo sendiri yang masih terpaku menatap kosong sosok dirinya yang sudah berlalu. Endo sudah tak mengharapkan apapun dari Sofi. Satu-satunya hal yang dia harapkan saat ini adalah Rima. Keberadaan Rima yang sudah menghilang selama beberapa bulan ini dari hadapannya. Meninggalkannya dalam kesedihan dan juga kesakitan yang mendalam.
Selama beberapa saat Endo mulai menyesali semua tindakan bodohnya di masa lalu. Menyesali semua perbuatannya kepada semua gadis yang pernah menjadi pelariannya. Menyesali perbuatannya membuat Rima pergi. Menyesali perbuatannya tidak mempercayai istrinya sendiri dan menuduhnya seperti yang Sofi pikirkan. Masih bisakah dia bertemu kembali dengan Rima? Daripada jabatan CEO yang di amanahkan kepadanya dari kakek dan ayahnya, dia lebih berharap bisa bersama Rima hingga akhir hidupnya.
“Pak, rapatnya akan segera dimulai!” ujar Lukas tiba-tiba yang sudah berada di depan pintu ruangannya yang terbuka.
Endo mengangguk dan mengambil jasnya yang tersampir di kursi kerjanya, kemudian mematikan rokok yang dia hisap di asbak yang ada di atas mejanya. Dia menarik nafas perlahan dan meyakinkan dirinya. Setelah ini, setelah semua pekerjaan brengsek yang membuat istrinya harus berkorban banyak ini selesai, dia akan pergi menyelesaikan semuanya. Lukas membukakan pintu lebih lebar dan terlihat Sandi, Indra maupun Tika yang terlihat sangat gugup menunggu di belakang Lukas. Mereka tersenyum ketika menatap Endo dan mengangguk menyapanya. Endo melangkah mantap menuju ruang rapat bersama keempat orang itu. Sekali lagi dia akan mempertahankan jabatan CEO-nya di hadapan semua pemegang saham.
“Aku akan tetep milih kamu, Ndo!”
Tiba-tiba suara Diva muncul di belakang Endo. Dia berjalan sedikit tergesa karena merasa hampir saja terlambat mengikuti rapat ini. Endo menahan langkahnya dan menunggu Diva hingga berada di sebelahnya.
“Tumben kamu ikutan rapat pemegang saham? Biasanya…”
“Biasanya Papa, tapi kali ini kan saham yang orang tuaku punya sudah atas namaku. Itu artinya, aku harus menyediakan waktu untuk ikut acara-acara rapat membosankan seperti ini!”
“Yakin nggak mau jadi sainganku?” tanya Endo menggoda sembari melanjutkan perjalanan menuju ruang rapat.
“Ogah, dokter masih jadi profesi kebanggaanku.”
“Iya, mentang-mentang calon istri kontraktor!”
Diva langsung melancarkan tendangan ke arah pantat Endo, tapi berhasil Endo hindari. Itu membuat wajah Diva semakin terlihat marah, tapi mereka akhirnya kembali bersikap formal ketika berada di depan ruang rapat.
“Kalian siap?” tanya Endo kepada para stafnya. Lukas dan juga tim Sandi mengangguk mantap menjawab pertanyaan Endo. “Tenang saja, aku akan tetap menduduki posisi ini!”
“Pede!” ejek Diva.
“Terutama setelah Bu dokter Diva, pemilik 25% saham grup ini menyatakan kesediaannya untuk tetap memilihku sebagai CEO,” lanjut Endo sembari melirik ke arah Diva.
Diva hanya tersenyum dan memberikan sebuah pukulan ringan di bahu Endo.
“Ayo berjuang Mr. CEO!” ujar Diva
****

Ruang kantor Endo terasa sangat lengang. Setelah semua masalah sudah terselesaikan dengan baik, Endo kembali menikmati masa santainya. Menikmati pencariannya istrinya kembali. Setelah dulu selama 10 tahun dia mencari sosok Rima, kali ini setelah mereka bersatu, dia harus kembali mencarinya. Tapi kali ini dia tidak akan mencari pelampiasan dari perasaannya terhadap Rima seperti dulu. Dia harus menemukan istrinya.
Setelah rapat pemegang saham beberapa minggu yang lalu, Endo selalu menghilang dari kantornya untuk mencari keberadaan Rima. Tidak ada satu orang-pun yang memprotes keadaan itu, terutama setelah Endo mampu memukau para pemegang saham dengan semua gebrakannya. Ide-idenya walaupun dirasa gila, tapi tetap brilian. Tidak ada satupun yang bisa menolak kemampuan Endo sebagai seorang CEO di grup Widjaya. Bahkan Burhan Hakim yang sebelumnya begitu santer menghembuskan gosip yang menjatuhkan Endo, tidak mampu berkata apapun. Terutama setelah anaknya – Tiara – lolos dari ancaman penjara. Tapi itu tidak membuat Endo gembira. Ketika semua orang sudah meninggalkan ruang rapat, dia kembali harus menghadapi kenyataan bahwa dia masih harus menemukan Rima. Semua jabatan tangan, semua pujian akan hasil pekerjaannya tetap tidak bisa membuatnya merasa bahagia.
Entah sudah batang rokok keberapa saat ini. Endo kembali menghisap perlahan rokoknya dan mencoba memejamkan matanya, memikirkan cara untuk mencari Rima. Dia sudah mencoba mencarinya ke rumah orang tuanya, tapi malah Ayah maupun adiknya sama sekali tidak mengetahui hal itu. Itu membuat Endo harus berbohong dan mengatakan Rima sedang berlibur hanya supaya keluarga Rima tidak khawatir. Dia sudah mencari ke seluruh tempat yang memiliki peluang akan Rima singgahi, tapi tetap tidak menemukan apapun. Seakan-akan istrinya itu sudah hilang di telan bumi.  
“Masih di sini?”
Endo sedikit terkejut dan melihat Diva berdiri di depan pintu masuk ruang rapat.
“Kamu, ada apa?” tanya Endo kembali menghisap rokoknya dalam dan menghembuskannya perlahan.
Diva berjalan pelan menuju kursi di dekat Endo kemudian segera duduk di sana. Dia menatap Endo lagi. Sepupunya itu terlihat sangat depresi dan pipinya terlihat jauh lebih cekung. Diva sangat yakin, Endo depresi bukan karena pekerjaannya, tapi itu semua karena sahabatnya, Rima.
“Kenapa kamu tidak memilih untuk bahagia?” tanya Diva lirih, menatap Endo yang terlihat sangat kacau.
“Kenapa aku harus bahagia?”
“Masalah perusahaanmu sudah beres dan kamu kembali menjadi orang nomer satu di grup-mu sendiri. Kamu juga sudah menyingkirkan semua sumber masalahmu selama ini.” jelas Diva. Endo meringis mendengar itu semua.
“Kamu tahu apa yang paling membuatku bahagia,” ujar Endo kemudian menghisap rokoknya dalam.
“Dia sudah mendapatkan ketenangannya saat ini. Semua masalah yang terjadi membuatnya tertekan. Semua permainanmu sudah membuatnya terluka, Ndo.”
Endo menatap dalam sosok Diva dan mencerna semua perkataannya. Bayangan-bayangan tentang Rima terus menerus muncul dan tak pernah berhenti muncul di kepalanya.
“Kamu betul, aku sama sekali bukan pria yang pantas buat Rima. Aku cuma pecundang yang begitu sok melindunginya, padahal sebetulnya aku yang dia lindungi. Aku memaksakan perasaanku kepadanya tanpa pernah mengerti perasaannya kepadaku. Kamu betul, dia berhak bahagia,” ujar Endo lirih. “Tapi aku ingin mengatakan padanya bahwa aku sangat membutuhkan dia, Di!”
Diva tersenyum kemudian berjalan ke arah Endo dan menepuk punggung sepupunya.
“Sekarang kamu merasa membutuhkan dia, Ndo?” tanya Diva.
“Aku selalu membutuhkan dia, Di. Aku selalu membutuhkan dia dan dia sama sekali tidak bisa tergantikan.”
“Tapi semua perbuatanmu dulu seakan mengatakan bahwa dia selalu bisa digantikan wanita lain. Apa kamu tahu itu membuatnya sangat terluka dan sangat tidak percaya akan dirinya sendiri? Membuatnya tidak mempercayai kenyataan kalau kamu tergila-gila dengannya.”
Endo menghisap dalam rokoknya dan menghembuskannya perlahan. Membayangkan semua hal yang dia paksakan kepada Rima. Dan dia sama sekali tidak menyadari kalau perasaan istrinya sangat rentan akan semua perlakuannya.
“Seandainya saja Rima memiliki perasaan yang sama denganmu, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Diva penasaran.
Endo menghisap rokoknya dalam untuk yang terakhir kali, kemudian membuangnya. Asap putih keluar dari mulut dan hidungnya.
“Aku akan membuatnya bahagia. Aku akan membuatnya bahagia sesuai dengan keinginannya,” jawab Endo.
“Kalau keinginannya bersama denganmu?”
Endo menatap Diva tak percaya. Sepupunya tersenyum dan menyodorkan sebuah kertas kepadanya. Dengan ragu Endo mengambil dan membaca tulisan yang tertera di kertas itu yang ternyata alamat di kota lain.
“Kamu lulus,” jawab Diva. Endo melihat Diva masih tidak percaya. “Kalau kamu tadi masih mengatakan hal-hal yang egois, aku tidak akan pernah memberikan kertas itu. Tapi ternyata kamu lulus.”
“Maksudmu?”
“Cepat jemput dia sekarang!” jawab Diva.
Sebuah senyum terkembang di wajah Endo. Kertas ini yang akan menghubungkannya kepada Rima, wanita yang selama ini dia cari dan dia rindukan. Endo segera berlari menuju mobilnya yang terparkir. Sementara Diva terduduk dan menghela nafas lega sendiri.
****

RIMA

“Lha kenapa nangis, mbak?”
Aku terkejut melihat Ayu, salah seorang pegawai Tante Irma, yang tiba-tiba muncul di sebelahku dan mengusap punggungku. Dengan tergesa aku menghapus air mataku dan tersenyum kepadanya
“Ini, sedih banget filem-nya!” ujarku sembari menunjuk film Korea yang tayang sore ini.
Salah satu adegan yang membuatku menangis adalah saat si wanita terpaksa meninggalkan kekasihnya hanya gara-gara hasutan wanita lain. Entah kenapa hatiku merasa sakit. Mungkin karena aku merasakan apa yang wanita itu rasakan. Merasakan bagaimana sakitnya hati yang harus meninggalkan kekasihnya. Dan itu membuat air mataku kembali turun.
Aku selalu menyumpahi kesenanganku akan sinteron dan menyumpahi rasa empatiku yang berlebihan akan cerita itu. Bagaimana bisa, seorang wanita yang sudah berusia di atas 25 tahun sepertiku masih terjebak dengan semua cerita fiksi di layar kaca itu? Tapi biarpun aku tahu itu semua hanya fiksi, aku selalu menghayati setiap adegan dan juga ceritanya. Padahal, sebagai seorang ibu hamil, aku membutuhkan semua ketenangan baik secara fisik maupun mental.
Ketenangan, itu yang kurasakan saat berada di tempat ini. Hampir 3 bulan aku berada di kota kecil ini dan berusaha hidup dengan usahaku sendiri (dan juga sedikit bantuan Diva). Nganjuk, dan hanya 4 jam perjalanan dari Malang, akhirnya aku memulai lagi kehidupanku di sini. Tinggal di salah satu rumah milik keluarga Diva dan membantu usaha Tante Irma – tante Diva – membuat kue kering untuk kukirim ke beberapa kota bersama beberapa pekerja di sini.
Tante Irma yang hanya ingin menikmati hari tuanya dengan tenang, merasa sangat terbantu dengan kehadiranku, dan aku bisa membalas jasanya untuk menampungku di sini dengan meneruskan usahanya. Dan hasilnya pada badanku semua ketenangan itu terlihat sangat nyata. Dalam 3 bulan kehamilanku, beratku sudah naik sebanyak 4 kilo. Membuat celanaku terasa sesak dan pinggulku maupun bokongku semakin besar.
“Sudah berapa bulan nih, Mbak?” tanya Ayu sembari mengelus lembut perutku.
“Tiga bulan setengah nih!” jawabku bahagia.
Aku mengelus pelan perutku yang mulai terlihat membesar. Selama 3 bulan ini, setiap aku melihat pertumbuhan janin di dalam perutku, aku selalu menangis bahagia. Setiap bulan, aku semakin bisa melihatnya. Dari segumpal kecil yang aku sendiri tidak membayangkan akan mulai bertumbuh dan semakin membesar. Semua itu terjadi di dalam rahimku. Seandainya saja Endo melihat itu semua, apa yang akan dia katakan?
Aku menghela nafas perlahan ketika mengingat Endo kembali. Apa yang saat ini dia lakukan? Seharusnya perusahaan Sofi bisa menyelamatkan kedudukannya sebagai CEO di perusahaannya. Seharusnya saat ini dia sudah bisa kembali ke kehidupannya yang dulu. Seharusnya saat ini dia mulai berpikir untuk mengencani Sofi. Seharusnya saat ini dia mengelus perutku lembut dan menyapa anak kami.
Aku terkesiap memikirkan hal itu.
Bagaimana bisa aku masih mengharapkan hal itu, sementara aku sudah memutuskan untuk pergi dari sisinya. Perusahaannya membutuhkan dia, dan aku hanya pelarian dari cintanya saat masih kuliah. Dia begitu mencintai gadis itu dan tidak mampu melawan semua rasa sakit hatinya sampai kami bertemu kembali di halte saat itu. Saat dia kembali menemukan aku yang mirip dengan mantan kekasihnya.
Aku kembali membelai perutku pelan. Sedikitpun tidak ada rasa penyesalan di dalam hatiku saat ini. Aku menyadari kalau aku mencintai Endo semenjak mengenalnya di SMA dan aku cukup beruntung bisa menjadi istrinya walaupun hanya beberapa saat. Dan saat ini, aku mengandung anak dari pria yang kucintai, suamiku. Itu semua cukup untuk saat ini. Sebuah tepukan di punggung menyadarkanku dan aku melihat sosok Tante Irma yang tersenyum di belakangku.
“Sudah makan?” tanya Tante Irma lembut dan kujawab dengan sebuah anggukan.
“Tante, pesanan untuk pengiriman ke Jakarta sudah selesai, besok kita mulai produksi untuk pengiriman ke Surabaya,” laporku tentang semua pencapaian hari ini.
“Rima, jangan terlalu capek, kamu sekarang lagi hamil muda. Harus banyak istirahat!”
Aku menelan ludah getir.
“Saya baik-baik saja kok, Tante. Kalau memang saya capek, saya pasti segera istirahat. Tante tenang saja.
Tante Irma menatapku haru. Di usianya yang sudah melewati separuh abad, dia hidup sendiri. Suaminya meninggal dan Tante Irma sama sekali belum dikaruniai anak sama sekali. Karena itu, dia sangat senang ketika Diva meminta tolong kepadanya untuk menampungku.
“Kok Endo tega ya Rim sama kamu?” tanya Tante Irma sembari mengelus perutku.
Aku termenung dan pandanganku kembali ke arah televisi yang masih menayangkan sinetron Korea itu. Endo sama sekali tidak boleh tau keberadanku. Urusanku dengannya sudah selesai. Aku akan kembali nanti ketika Endo dan Sofi sudah bersatu kembali dan…
Dadaku terasa nyeri membayangkan semua itu. Bagaimana dengan anak kami nanti? Bagaimana kalau aku bertemu dengannya nanti? Bagaimana aku mengatakan semuanya ke Ayah maupun Odea? Bagaimana aku menghadapi dunia ketika anakku lahir dan Ayahnya tidak mengetahui keberadaanya sama sekali? Tapi aku sama sekali tidak sampai hati harus melihat Endo mendapatkan masalah seandainya dia masih bersamaku. Aku tidak sampai hati melihat dia yang hanya menjadikanku pengganti Sofi.
“Bukan salah Endo, Tante. Ini semua keputusan Rima sendiri. Endo sama sekali nggak tahu apa-apa,” ujarku sembari menahan nyeri di dadaku.
Tante Irma menepuk punggungku pelan.
“Tante bakalan belain kamu, Rim! Endo memang keponakan tante yang minta dihajar. Istri seperti kamu malah dibiarkan!” ujar Tante Irma berapi-api.
Semua perkataan itu membuatku teringat akan Diva Apa semua keluarga Endo memiliki gen ingin menghajar orang-orang yang menurutnya menyebalkan? Tapi aku kembali mengutuk diriku ketika mengingat hal buruk tentang Diva. Ketika aku memutuskan untuk pergi dari Endo dan Diva merasa sama sekali tidak bisa menahanku, dialah yang memberikanku opsi untuk tinggal dengan tantenya. Bahkan dengan bayaran atas semua pekerjaanku di sini dari Tante Irma, aku merasa yakin untuk merobek cek kosong yang Sofi berikan. Sekali lagi aku selalu terbantu dengan semua orang di sekelilingku. Membuatku merasa nyaman dan aman, walaupun hati kecilku terus menjerit menginginkan kehadiran Endo.
“Kayaknya ada tamu deh!” ujar Ayu tiba-tiba yang kemudian beranjak untuk pergi melihat ke arah depan. “Bu Irma, ada tamu cowok!”
“Sapa Yu?” tanya Tante Irma bingung.
“Nggak tahu! Pakai mobil sama…ya ampuuunn…gantengnya bu…!” jerit Ayu riang.
Tante Irma dan juga aku segera berdiri dan menghampiri Ayu. Melihat siapa orang yang datang ke rumah Tante Irma. Biasanya pelanggan yang datang kemari kebanyakan adalah ibu-ibu dan juga anak perempuan. Kali ini seorang pria dan menurut Ayu punya faktor ganteng membuatku menjadi sangat penasaran. Samar-samar dari balik kelambu yang menerawang kami memperhatikan pria yang baru saja turun dari mobil dan hendak berjalan ke arah rumah Tante Irma.
Astaga!
Dari semua pria ganteng yang ada dunia ini, kenapa malah dia yang muncul?
Kenapa Endo bisa datang ke sini?!
“Rima, itu Endo!” bisik Tante Irma panik.
“Iya tante, Rima juga lihat! Ngapain dia kesini, Tan?”
“Tanyain gih, Rim!” ujar Tante Irma
Aku cuma bisa melirik heran ke arah Tante Irma, dan sepertinya Tante Irma menyadari kesalahannya karena kemudian sebuah seringai muncul dari bibirnya. Ayu melihat kebingungan ke arah kami dan meminta perintah selanjutnya karena Endo sudah semakin mendekat.
“Sembunyi sana, Rim! Tenang aja, Tante yang bakal atasi. Endo bakalan pergi tanpa ketemu sama kamu! Kamu bakalan amaaannn!” ujar Tante Irma meyakinkan, “Yu, jangan bilang ada mbak Rima di sini kalau mas itu nanya!”
“Siap Buk! Saya pasti melindungi mbak Rima sekuat tenaga!” jawab dengan sigap.
Aku tersenyum lega dan segera berlari ke balik lemari. Bersembunyi sembari mengintip yang terjadi di depan. Sementara itu Ayu mulai membukakan pintu saat Endo selesai mengetuknya.
“Cari siapa mas?” tanya Ayu mantap dengan nada suaranya yang berubah manis.
“Rima ada?” suara Endo tiba-tiba terdengar.
Hatiku berdebar keras mendengar suaranya. Betapa aku sangat merindukan suara itu memanggil namaku. Aku berusaha bernafas teratur sembari menenangkan debaran jantungku yang berdetak begitu cepat
“Anu…di sini ndak ada yang namanya mbak Rima…,” jawab Ayu tergagap.
Tiba-tiba terasa keheningan. Aku berusaha mendengarkan apa yang mungkin terucap, tapi tak terdengar apapun.   
“Mbak, saya mau minta tolong,” tiba-tiba suara Endo berlanjut, “Sepatu di depan, saya sangat tahu itu milik istri saya. Bisa saya minta tolong mbak ini untuk menyingkir?”
Astaga, aku tahu taktik itu. Itu ilmu hipnotis Endo. Ilmu hipnotis yang selalu mampu membuatku menuruti semua kemauannya. Dengan suaranya yang lembut, pandangan matanya yang tajam tapi lembut dan wajahnya yang tampan, maka aku akan langsung terbius mengikuti semua kemauannya. Semoga Ayu tidak.
“Tolong…” suara Endo terdengar kembali meminta.
Terngiang di ingatanku, suara Ayu yang akan melindungiku. Dia pasti kuat.
“Saya…”
“Tolong, bolehkan saya masuk…” pinta Endo lagi.
Lanjutkan perjuanganmu, Yu!
“Silahkan!”
PENGKHIANAAATTT…
Sialan, bagaimana bisa Ayu melupakan semua kata-katanya. Mana janjinya untuk melindungiku dengan sekuat tenaganya? Bagaimana bisa cuma dengan kata-kata ‘tolong’ saja, Ayu sudah meloloskan semua permintaan Endo? Bayangan Endo terlihat memasuki rumah dan itu membuatku beringsut. Aku segera berjingkat ke arah kamarku dan bertemu dengan Tante Irma yang bersiap menghadapi Endo.
“Tante, tolong!” bisikku kepada Tante Irma dan sebuah ancungan jempol diberikan Tante Irma kepadaku.
Tante Irma bergegas menuju ke arah depan, berusaha menghadang Endo sebelum dia menemukanku di balik lemari yang menyekat ruang tengah dan depan. Sementara aku sendiri segera memasuki kamarku yang tidak jauh dari situ. Dengan perlahan, aku menutup pintu kamarku agar tidak mengeluarkan bunyi yang mencurigakan, kemudian menunggu dengan cemas di dalamnya.
Di dalam kamar aku terduduk dan membayangkan apa yang akan dikatakan Tante Irma untuk mengusir Endo. Bagaimana cara Endo tahu keberadaanku di sini? Apa Diva yang memberi tahu? Dia sudah berjanji kepadaku tidak akan pernah memberitahu keberadaanku kepada Endo. Lalu darimana dia tahu keberadaanku? Apa dia meletakkan mata-mata di sekitrarku?
Aku terus berpikir dan menyumpahi hati kecilku yang sepertinya bahagia melihat kedatangan Endo. dan jantungku hampir saja melompat dari mulutku ketika terdengar bunyi ketukan di pintuku. Aku masih terdiam dan tidak membukanya sama sekali. Jemariku bergetar menunggu untuk kejadian selanjutnya.
“Rima, ini Tante Irma.”
Aku menghela nafas lega. Sepertinya Tante Irma sudah berhasil mengusir Endo. itu membuatku jauh lebih tenang, walaupun hati kecilku berteriak protes. Aku berjalan menuju pintu dan membukakannya. Tante Irma muncul dan tersenyum kepadaku, ketika pintu sudah terbuka separuh. Tante Irma masuk ke dalam kamar dan tiba-tiba tangan besar itu muncul menahan pintu.
PENGKHIANAAAAATTTT!!!
Bagaimana bisa rumah ini sarat akan pengkhianatan? Setelah dikhianati Ayu, Tante Irma juga ikut mengkhianatiku. Sosok yang menahan pintu kamarku adalah sosok pria yang begitu aku rindukan, tapi paling kuhindari saat ini.
Endo.
Hatiku melompat kegirangan, tapi jantungku berdebar keras tiba-tiba dan membuat keringat dingin keluar deras di tubuhku. Wajah Endo terlihat sangat dekat dan itu membuatku benar-benar terkejut. Wajah yang begitu kurindukan, wajah yang begitu terlihat lelah bahkan sedikit lebih kurus. Apa dia tidak makan dengan baik? Apa dia tidak tidur dengan cukup? Sebuah senyuman lega muncul di bibirnya yang biasanya memanggilku ‘Sayang’ dan begitu menggodaku untuk menciumnya.
Ingin menciumnya memeluknya…
Apa yang kupikirkan?
Tepat setelah Endo hendak memasuki kamarku, aku menarik Tante Irma dan menutup keras pintu kamar kemudian menguncinya. Suara ketukan dan juga suara Endo yang memanggil namaku tidak kuindahkan. Walaupun hatiku menjerit-jerit tak tahan mendengar suaranya yang sepertinya putus asa.
“Tante! Kenapa Tante biarkan dia masuk?” tanyaku marah ke Tante Irma.
Tante Irma terlihat sangat menyesal, “Tante nggak tahan sama caranya memohon, Rim. Tante nggak kuat mental buat nolak. Rim..Rima, kamu mau ngapain?”
Tante Irma terlihat panik saat aku mengambil kursi untuk mulai memanjat jendela. Aku harus kabur, bagaimana juga Endo tidak boleh bertemu denganku. Bagaimanapun juga, aku bukanlah wanita yang tepat untuk Endo. Aku harus pergi! Sayangnya Tante Irma membuat pergerakanku melamban karena dia menahan salah satu kaki-ku.
“Rima, jangan manjat-manjat! Bahaya kehamilanmu!” teriak Tante Irma dan itu membuatku semakin panik.
Aku berusaha melepaskan pegangan Tante Irma, kemudian suara bantingan yang sangat keras membuat kami berdua sangat terkejut. Pintu kamarku terbuka lebar dengan bagian kuncinya yang jebol. Semua itu karena satu tendangan. Satu tendangan dari pria bernama Endo. Bagaimana bisa aku lupa kalau dia punya kekuatan sebesar itu, hasil dari gen-nya juga latihan bela dirinya selama ini?
“Apa maksudnya hamil?” tanya Endo yang terlihat panik kepada aku dan Tante Irma yang masih berpose seperti anak monyet yang saling menarik.
Aku menelan ludah getir.
“Tante Irma hamil,” jawabku asal. Bahkan aku sama sekali tidak tahu pemikiran darimana itu!
“Enak aja. Mana bisa!” protes Tante Irma. Tiba-tiba tangan Tante Irma menunjuk ke arahku, “Nih yang bunting!”
Alamak, kenapa Tante Irma harus bilang sih? Kenapa juga harus pakai kata ‘bunting’? dan raut wajah Endo yang sebelumnya panik sekarang berubah menjadi mengerikan. Apa aku sudah bilang kalau dia tetap terlihat ganteng biar seperti itu?
“Diam di situ!” teriak Endo dan itu membuat seluruh tubuku otomatis mengikuti semua maunya.
Dengan tergesa dia mendekatiku dan menarik lembut tubuhku hingga jatuh kepelukannya. Begitu lembut dan juga menenangkan. Saat aku sudah ada di pelukannya, serasa waktu berhenti berputar, dan aku memohon supaya tetap berhenti berputar. Wajah Endo terlihat amat sangat dekat. Masih tetap tampan, masih tetap membuat dadaku berdebar kencang, tapi terlihat jauh lebih lelah dan seperti menanggung beban yang berat. Bayangan hitam di bawah matanya, cambang yang mulai tumbuh di wajahnya, yang biasanya selalu bersih dan juga pipi yang lebih tirus. Apa dia begitu tersiksa? Apa semua masalahnya benar-benar membuatnya tersiksa seperti ini?
Wajah Endo semakin mendekat dan ketika aku tersadar bahwa Endo sedang mencoba menciumku, aku langsung mendorong wajahnya, meronta dan berusaha turun dari pelukannya. Sebelum dia menyadari, sebelum semua orang menyadari, bahwa ketika aku dan Tante Irma sedang melakukan usaha tarik-menarik tadi, celanaku robek di bagian belahan pantatnya. Kenapa di saat seperti ini pun aku harus melakukan perbuatan memalukan? Dimana Tante Irma? Bagaimana bisa Tante Irma sudah kabur duluan dan meninggalkanku? Aku berusaha keluar dari kamar, tapi tangan Endo menahan lenganku dan itu sangat sulit kulepaskan.
“Duduk!” perintah Endo dingin sembari menarikku lembut ke arah ranjang.
Sekali lagi tubuhku terasa terhipnotis dan menuruti semua kemauannya. Selain itu, aku memang harus segera duduk, atau robekan ini akan terlihat jelas, terpampang nyata kalau aku sampai meronta dan berusaha kabur.
Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menyaksikan sosok Endo dari dekat dan sangat mengerti kenapa tercipta dua pengkhianat di rumah ini. Itu semua karena sangat sulit menolak pesona Endo. Endo mengambil kursi yang tak jauh dari tempatnya berdiri dan mendorongnya hingga di depanku, kemudian duduk di atasnya. Itu membuat kami duduk berhadapan dan sangat membuatku malu. Dia meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat, kemudian terdiam dan terlihat sangat bingung.
“Maaf,” itu kata pertama yang meluncur dari mulutnya, “Maaf sudah membuatmu seperti ini.”
Seperti apa?
“Maksudmu?” tanyaku bingung dan berusaha mati-matian menahan air mataku.
“Membuatmu mendapatkan banyak kesulitan. Maaf, aku mungkin memang bukan pria yang baik untukmu, Rim…”
“Maksudmu?” tanyaku semakin tidak mengerti.
 “Aku akan meninggalkanmu seperti keinginanmu,” ujar Endo tiba-tiba yang langsung membuat seluruh duniaku seakan runtuh. “Tapi sebelum itu semua terjadi, aku ingin kamu tahu kalau aku mencintaimu, Rim!”
Apa yang dia katakan? Apa dia hendak memutuskan semua ini? Apa dia mau mengakhiri semua ini? Kenapa aku harus sedih? Bukannya ini yang aku inginkan?
Jangan menangis!
 “Soal anak, aku akan tetap bertanggung jawab penuh. Kamu tenang saja, dan tak perlu bekerja apapun. Cukup istirahat dan rawatlah anak kita. Semua kebutuhanmu dan juga anak kita akan aku penuhi. Kamu tidak perlu lagi berusaha kabur dariku, “ lanjutnya.
Kumohon air mata jangan keluar!
“Kamu bisa pulang sekarang, Rim. Tidak akan ada lagi yang memaksamu menikahiku. Tidak akan ada lagi wanita-wanita yang pernah berhubungan denganku yang akan menerormu. Cek dari Sofi juga sudah aku kembalikan kepadanya, jadi kamu tidak perlu merasa berhutang budi kepadanya. Soal hutangmu, aku anggap semua itu sudah lunas,” ujar Endo lagi
Kumohon…kumohon jangan keluar… berhentilah sampai di pelupuk saja.
“Kalau kamu bertemu dengan seseorang yang mampu memberimu ketenangan, kamu boleh mencintainya. Kamu tidak perlu khawatir aku akan menelantarkan anakku seandainya kamu menemukan pendampingmu yang baru.”
Sudah cukup!
Aku menampar keras wajah Endo dan dia terlihat sangat terkejut.
“Kenapa kamu harus datang untuk mengatakan itu semua, Ndo? Kenapa kamu nggak cukup pergi dan meninggalkan aku bersama anakku sendiri di sini?” jawabku marah. Bulir-bulir air mata mulai berjejalan keluar dari pelupuk mataku.
“Aku sama sekali nggak bisa melakukan hal tidak bertanggung jawab seperti itu!” sanggah Endo.
“Kalau begitu kenapa kamu harus datang dan mengatakan kamu mencintaiku kalau kamu mau meninggalkanku, Ndo? Kenapa kamu tidak pergi saja dan seakan tidak mengenalku sama sekali? Bahkan tanpa bantuanmu, ataupun kekasihmu, Sofi, aku masih bisa hidup! Aku sudah membuktikannya sampai hari ini!” teriakku kesal.
“Sofi dan aku tidak pernah ada apa-apa, bahkan sampai saat ini! Tidak pernah ada wanita lain yang pernah kucintai dan kujanjikan untuk kuserahkan hidupku kepadanya selain kamu! Cuma kamu Rim! Aku cuma mencintai kamu, bahkan sampai detik ini!” balas Endo.
“Pembohong!”
“Aku cuma…”
“Bohong!”
“..cinta…”
“Pembohong!” aku menutup telingaku dan berusaha tidak mendengar apapun dari mulut Endo. Menutup mataku dan membiarkan air mata menetes deras di wajahku. “Aku cuma pengganti dari Sofi! Aku cuma pelarianmu! Aku cuma…”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Endo sudah menarik kedua tanganku yang sebelumnya menutup telingaku. membuatku terperanjat dan tanpa sadar menatap kedua matanya yang berwarna kelabu. Mata yang selalu membuatku luluh.
“Aku mencintaimu dan cuma kamu, Rima!” ujarnya keras dan seakan bergema di telingaku. Endo menatap mataku lembut kemudian berbisik seakan begitu merana, “Kamu, kamu, dan cuma kamu Rima. Berapa kali harus kukatakan kalau cuma kamu? Kamu yang selalu membuatku bahagia, kamu yang selalu membuatku merasakan cinta, kamu yang selalu kuinginkan ada di sampingku, kamu yang selalu kubutuhkan di hidupku. Berapapun wanita yang sudah mencoba menggantikanmu, tidak akan pernah bisa. Cuma kamu, kamu dan selalu kamu…”
“Tapi…”
“Sofi hanya salah paham, dia salah akan semuanya. Aku sudah berusaha menerangkan kepadanya, dan sekarang kukira dia sudah mengerti.” Endo menarik nafas dalam kemudian menatapku lagi. “Tapi aku tidak bisa membuatmu terluka seperti ini karena cintaku. Sedari awal dasar hubungan kita, ikatan pernikahan kita sudah salah. Karena itu, kupikir sebaiknya kita mengakhirinya. Sebelum kamu semakin terluka, sebelum aku terus memaksakan perasaanku lebih jauh kepadamu.”
“Pernikahan ini salah? Apa aku juga kesalahan bagimu, Ndo?” tanyaku miris.
Endo membelai wajahku lembut dan itu membuat dadaku kembali terasa nyeri. Membuat setetes lagi air mata jatuh dari mataku.
“Kamu adalah anugerah bagiku, Rim. Seumur hidupku, cuma kamu yang begitu aku inginkan. Dan aku rasa aku sudah begitu egois, mengambilmu dari kehidupanmu hanya untuk kumiliki. Satu-satunya kesalahan di sini hanyalah aku. Aku yang begitu egois ingin memilikimu sepenuhnya tanpa mengindahkan perasaanmu sama sekali. Maafkan aku, dan biarkan aku memperbaiki semuanya.”
Wajah Endo terlihat sangat terluka setelah dia mengatakan semua itu. Dengan perlahan dia melepaskan genggamannya dan juga tangannya yang membelai wajahku lembut. Kemudian dengan senyuman getir, dia beranjak dan pergi meninggalkanku sendiri.
Jantungku berdetak sangat cepat melihatnya yang semakin menjauh. Dadaku terasa sangat nyeri melihat punggungnya yang menghilang di balik lemari penyekat ruangan di depan kamarku. Dan saat bibirku hendak memanggil namanya, pandanganku langsung terasa gelap.
****

“Rima, Rima kamu sudah sadar?”
Suara keras Tante Irma terdengar ketika aku membuka mataku. Aku melihat sosok Tante Irma dan juga Ayu di sebelahnya, menatap cemas ke arahku. Hanya ada mereka berdua dan aku sudah tertidur di atas ranjangku.
“Aku kenapa Tante?” tanyaku bingung, masih tetap terbaring di ranjang. Kepalaku terasa sedikit pusing.
“Kamu pingsan tadi, Rim. Tapi untung sekarang sudah enggak apa-apa,” jelas Tante Irma kepadaku.
Aku berusaha bangkit dan duduk di ranjang, kemudian mengingat kembali. Tante Irma membantuku duduk dan meninggikan bantalku supaya aku bisa bersandar. Aku pingsan. Aku pingsan setelah Endo pergi. Aku pingsan ketika ingin memanggil Endo dan menahannya untuk tetap bersamaku. Aku pingsan di saat yang tidak tepat sama sekali.
“Endo dimana, Tan?” tanyaku cemas.
Tante Irma terdiam kemudian menoleh ke arah Ayu.
“Endo pergi, Rim,” jawab Tante Irma sedih
Perasaanku langsung terasa hancur. Dia sudah pergi meninggalkanku. Kami tidak akan pernah bersama lagi. Tanpa terasa air mataku kembali jatuh. Semakin lama semakin deras dan aku terus menangis keras. Membuat Tante Irma kebingungan menenangkanku.
“Rima nggak akan bisa ketemu Endo lagi, Tante…Rima nggak akan bisa!” ujarku di tengah tangisku yang begitu deras.
“Rima, sabar Nak,” hibur Tante Rima sembari terus mengelus punggungku.
“Rima salah, Tante. Rima sayang sama Endo! Rima cinta sama Endo. Rima nggak mau kehilangan dia. Rima cinta sama Endo, Tante. Rima cinta sama dia!” ujarku sembari terus sesenggukan
Dan di saat itu aku melihat sosok pria tinggi yang berdiri di depan pintu. Membuatku sangat terkejut dan tersedak ingusku sendiri sampai harus terbatuk-batuk. Wajahku terasa memerah, selain karena tersedak, juga karena merasa sangat malu dengan keadaanku saat ini. Aku melirik Tante Irma dan Ayu yang senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Sekali lagi mereka menjadi pengkhianat! Endo berdiri di depan pintu kamarku (yang sepertinya sudah tidak bisa menutup sempurna) dan menatapku seakan tidak percaya sembari membawa segelas air.
“Tante mau bilang, dia pergi ngambil air minum. Kamu seh seenaknya motong omongan Tante!” bisik Tante Irma.
Bagus, sekarang aku yang salah. Dasar para pengkhianat culas. Setelah sukses menjerumuskanku dalam keadaan yang sangat memalukan, searang mereka seenaknya menimpakan semua kesalahan ini kepadaku. Dan setelah Tante Irma dan juga Ayu puas menertawakanku, mereka tiba-tiba beringsut pergi meninggalkanku. Meninggalkanku berdua saja dengan Endo.
Apa-apaan ini?
Aku harus bagaimana?
Dan akhirnya aku cuma bisa terdiam saat Endo mendekat ke arahku dan duduk di tepi ranjang, kemudian menyerahkan segelas air yang dia bawa, untukku. 
“Minum dulu,” ujarnya lembut.
Aku menuruti perintahnya dan meminumnya perlahan. Bagaimana bisa aku merasa sangat haus saat ini? Apa ini efek samping dari rasa gugup yang luar biasa? Aku mencoba melirik ke arah Endo. Sebuah senyum tercetak di wajahnya yang tampan. Dan itu membuatku semakin gugup. Membuatku menenggak habis air di dalam gelas dan membiarkannya tetap menempel di bibirku hanya untuk mengulur waktu. Sayangnya itu tidak bertahan lama, karena Endo langsung menarik gelas kosong itu dari bibirku ketika tahu air di gelas itu habis. Dan setelah dia meletakkan gelas itu ke atas meja, Endo menatapku lembut kemudian diam.
Diam dan hanya menatapku.
Benar-benar diam.
Sampai kapan suasana diam ini akan terus ada?
Masih diam dan membuatku semakin gelisah
Baiklah aku menyerah!
“Kamu kenapa?” tanyaku sebal karena dia terus menatapku tanpa bicara apapun.
Endo berkedip sekali kemudian menutup matanya dan dengan cepat menyorongkan wajahnya ke wajahku, hingga bibir kami saling menempel. Membuatku amat sangat terkejut, tapi hanya bisa terdiam dan membiarkannya melakukan hal itu. Lama kemudian, dia baru melepaskan bibirnya kemudian membuka kedua matanya.
“Ternyata bukan mimpi,” ujarnya perlahan sembari menatapku.
“Eh?”
“Ini sungguh bukan mimpi. Semua yang kamu bilang tentang perasaanmu tadi sungguh bukan mimpi,” lanjut Endo.
“Eh?”
“Aku makan kamu di sini kalau berani bilang ‘eh’ lagi!” ancam Endo kesal.
Aku langsung menutup mulutku kemudian menelan ludah getir. Makan yang dimaksud Endo bukanlah makan biasa di meja makan dengan menggunakan piring ataupun sendok. Makan yang di maksud Endo adalah memakan aku, alias…ssss…see…..olahraga ranjang!
“Maaf” ujarku sembari tetap menutup mulutku.
Endo menarik lembut tangan yang menutup mulutku, kemudian kembali mencium bibirku.
“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” tanya Endo lirih.
“Aku bingung, Ndo. Aku nggak mau jadi pelarian cintamu,” jawabku.
Endo menempelkan keningnya ke keningku dan melingkarkan lengannya ke tubuhku.
“Kamu sama sekali bukan pelarianku, Rim. Kamulah yang aku cinta.”
Aku mengangguk mendengar pernyataan Endo. hatiku terasa berbunga-bunga mendengar kata-kata itu. Bahkan seperti ada tombol rewind yang membuat kata cinta Endo diputar berulang di kepalaku.
“Kenapa kamu nggak mengejarku?” tanya Endo lagi.
Aku terdiam.
Aku harus menjawab apa?
Ini semua gara-gara celana keparat yang seenaknya robek. Bahkan sekarang celana itu masih kupakai.
“Rima?” Endo bertanya lagi.
Aku masih terdiam.
“Rima, kenapa kamu nggak jawab, Sayang?”
“Ndo, pilem Korea yang aku lihat tadi bagus lho!” jawabku berusaha mengalihkan perhatian Endo.
“Rima!”
Endo mulai menarik lenganku dan menatapku sebal. Ini gawat! Aku nggak mungkin mengatakan hal yang memalukan itu.
“Ndo, kamu sudah coba makan kue buatanku belum?”
“Rima, jawab!” sentak Endo yang membuat darah dari seluruh tubuhku langsung naik seketika ke atas kepala.
“Celanaku robek jadi aku kesulitan mau berdiri buat nahan kamu tadi!” jawabku otomatis mendengar perintah Endo.
Bisa kurasakan wajahku memerah, tapi semua sudah terjadi. Semua omongan itu sudah keluar dari mulutku. Endo terdiam menatapku tak percaya. Siapa yang bisa percaya dengan perkataan semacam itu?
“Aku serius…” jawabku lirih, “Ini buktinya.”
Aku memiringkan tubuhku dan menunjukkan sedikit robekan yang nampak di celanaku.
“Rima…” Endo memanggil namaku dan suaranya seperti bergetar. Seperti sangat kesal.
”AKU MAKAN KAMU SEKARANG!”
****

Malam masih larut, tapi aku terbangun ketika mendengar suara Endo yang sepertinya terperanjat. Endo menatapku cemas dan ketika aku berusaha menenangkannya, dia memelukku erat.
“Aku kira kamu menghilang lagi, Rim!” ujarnya ketakutan sembari terus memelukku erat.
Aku bisa merasakan bulir-bulir keringar di kening dan kulit tubuhnya, suara debaran jantungnya yang keras dan juga wajahnya yang pucat. Endo terlihat benar-benar ketakutan. Sangat ketakutan karena mimpinya. Mimpi yang selalu datang semenjak dia tidak bisa menemukanku.
Hampir seminggu aku kembali ke apartemen kami. Selama waktu itu pula, Endo sering mengigau bahkan terbangun dengan ketakutan. Itu semua membuat perasaan bersalah hadir di hatiku. Seandainya saja aku tidak perlu pergi, dia tidak akan mengalami semua ini.
“Maaf,” ucapku lirih sembari membelai rambutnya.
Dia menggeleng dan memelukku lebih erat. Kemudian dengan tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan mendekatkan wajahnya ke perutku.
“Sayang, maaf ya, Papa sudah buat kamu kaget. Tidur lagi ya, Sayang,” ujar Endo sembari membelai perutku lembut.
Aku terkekeh mendengar itu semua. Setelah membereskan kekacauan di rumah Tante Irma dan memutuskan kembali pulang ke apartemen kami, Endo langsung mengajakku pergi ke doker kandungan. Dia akhirnya bisa melihat anaknya melalui monitor yang terhubung dengan alat USG. Dia melihat anak kami yang sedang terduduk dan sudah memiliki tangan maupun kaki. Ketika dokter mengatakan bahwa janin itu sudah memiliki detak jantung, mata Endo terlihat berkaca-kaca. Lama dia melihat bayi kami dan bahkan menyimpan foto USG-nya di dalam dompetnya.
Sering aku melihat Endo terdiam sebentar dari aktivitasnya hanya untuk melihat foto di dalam dompetnya. Sebuah senyum selalu tersungging di wajahnya setiap dia selesai menatap foto itu. Dan terhadapku, Endo berubah dari suami yang protektif, menjadi suami yang over protektif. Aku sama sekali tidak boleh mengerjakan apapun di apartemen kami. Bahkan dia menunda kepindahan kami hanya karena ketakutan aku akan mengurus semuanya sendiri. Dan malam ini – seperti setiap malam biasanya – ketika Endo terbangun, dia selalu mengusap lembut perutku sembari bicara dengan bayi kami.
“Sekarang panggilan ‘Sayang’ sudah bukan buat aku lagi ya?” tanyaku menggoda.
Endo menatapku dan kemudian tersenyum nakal.
“Kamu cemburu, Sayang?” tanya Endo.
“Kamu manggil aku atau anakku yang di dalam perut?”
“Tentu saja anakku!” jawab Endo cepat yang membuatku sangat kesal.
Aku mencubit pinggangnya keras dan dia terbahak sembari menahan rasa sakit akibat cubitanku.
“Maaf istriku tersayang,” ujar Endo ketika aku menyudahi semua cubitanku.
“Ayo tidur,” ajakku sembari mencium pipi Endo.
Aku menyibakkan selimut yang ada di bawah tubuhku dan memakainya ketika berbaring. Endo melakukan hal yang sama kemudian memelukku dari samping.
“Sayang, aku masih kangen anak kita!” ujar Endo tiba-tiba sembari beringsut ke atas tubuhku yang sudah terbaring.
“Maksudnya?”
“Aku nengok bayi kita lagi ya?”
Astaga!