Kamis, 17 Oktober 2013

Kawin Kontrak -Epilog

haihai begini yah rasanya ngebajak blog orang hehehe....
mumpung yang empunya lagi sibuk ngurusin Dora dan saya dipercaya untuk ngebajak blog ini ya ini lah hasilnya hehehe perkenalkan saya admin baru disini nama saya Biru..
ok deh berhubung ni blog dah lama g pos malam ini khusus saya pos 2 bab dan bab ini adalah bab epilog dari pasangan gokil kita say goodbye buat ENDO n RIMA..


Kawin Kontrak -EPILOG





Aku berdiri di bawah siraman air dari shower. Mencoba mengatur nafasku yang memburu karena semua yang baru saja terjadi. Aku tahu kalau tingkat libido wanita saat hamil bisa menjadi lebih tinggi dari biasanya dan inilah yang memang terjadi. Ini sudah ke-dua kalinya aku mandi dari waktu sore tadi. Itu belum dihitung dari paginya. Apalagi hari ini hari libur.
Aku menghela nafas panjang kemudian mematikan shower dan mengeringkan tubuhku dengan handuk. Semua persiapan kami sudah siap. Di tengah kehamilan yang sudah 9 bulan ini, kami berdua harus siap dengan semua kemungkinan yang terjadi. Dokter sudah mewanti-wanti agar kami selalu siaga dengan semua tanda-tanda kelahiran yang mungkin muncul sewaktu-waktu. Bahkan sebuah tas berisi baju ganti, dan juga peralatan bayi sudah siap semenjak 3 bulan yang lalu dan isinya semakin hari semakin lengkap saja.
“Sayang, kamu baru mandi?”
Aku tersenyum mendengar suara itu. Suara yang selalu membuatku merasa bahagia. Suara yang selalu menemaniku setiap saat sekarang.
“Iya, kamu belum tidur?”
Dia menggeleng, kemudian terlihat menghela nafas pelan. Itu membuatku sedikit khawatir. Apa dia kelelahan? Selama seminggu ini dia selalu sibuk dan itu membuatku sedikit bersalah. Aku mendekat ke arahnya kemudian mencium keningnya perlahan. Menikmati setiap sentuhan kulitnya di bibirku. Menyesap perlahan wangi tubuhnya yang selalu memabukkanku.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku lagi.
Dia tersenyum melihatku kemudian menyandarkan kepalanya ke pipiku.
“Sayang, aku mau lagi,” ujarnya perlahan. Aku terkesiap mendengarnya. Bahkan tubuhku masih belum kering benar setelah mandi barusan, dan saat ini dia sudah mulai merayuku lagi. “Sayang…”
“Rima, kamu nanti bisa sakit!”
****

Menangis adalah senjata terbesar wanita. Itu yang selalu Diva katakan kepadaku beberapa waktu yang lalu.
“Ingat, kita punya kemampuan itu dan kita bisa pakai dalam peperangan!” ujar Diva berapi-api saat menemaniku di ruang tunggu dokter kandungan.
“Memang aku lagi perang sama siapa, Di?” tanyaku heran
Diva melirik sebal ke arahku dan itu merupakan indikasi bahwa aku baru saja menanyakan sebuah pertanyaan yang sangat bodoh.
“Rima, pernikahan itu sebuah peperangan!”
“Aku nggak pernah perang sama Endo. Kita emang pernah tengkar, tapi kita nggak pernah sampai perang, Di!” jawabku.
“Aduh…susah ya ngomong sama ibu hamil! Lemotmu sudah semakin melebihi batas sabarku, Rim!” ujar Diva sembari membahas hal yang lainnya setelah itu.
Malam ini, aku tahu maksud dari kata-katanya. Dan sudah kuputuskan malam ini untuk menggunakan senjata itu secara sadar (biasanya aku menangis secara tidak sadar dan itu sedikit memalukan bagiku). Dan hasilnya, tepat seperti kata Diva, Endo mau melakukan apa yang aku mau.  
Hasilnya, sekali lagi malam ini aku berhasil memenuhi dorongan libido kehamilanku. Entah bagaimana bisa, kehamilan ini membunuh semua rasa malu yang kumiliki dan selalu meminta kesediaan Endo untuk memenuhinya. Bahkan selelah apapun Endo selalu bersedia memenuhinya, dan itu membuatku sedikit merasa bersalah.
Walaupun setelahnya aku masih memintanya kembali.
Endo melirik ke arahku yang sedang berusaha bangun untuk mengambil segelas air di sebelahku. Dengan sigap dia mengulurkan tangannya dan mengambilkanku gelas. Itu membuat dadanya yang bidang terpampang jelas di wajahku dan sekali lagi hati kecilku mengambil alih tubuhku untuk menyentuhnya.
“Sayang, kita baru aja selesai,” ujar Endo perlahan.
“Nggak suka?” tanyaku sedih.
Endo menghela nafasnya pelan dan menyerahkan gelas yang dia bawa kepadaku. Dia menungguku meminum air di gelas itu sampai habis kemudian mengambilnya kembali untuk diletakkan di meja di sebelahku. Dengan perlahan, Endo mengecup bibirku dan juga keningku.
“Aku takut kamu capek sayang. Perkiraan kelahirannya masih 2 minggu lagi,” ujar Endo.
“Aku nggak capek!” jawabku cepat.
Endo tersenyum kemudian merebahkan tubuhku di atas ranjang dan dia berada di atasku lagi. Senyuman di wajah tampan Endo membuatku merona dan itu membuat seluruh ototku terasa tegang, bahkan otot perutku. Dia mulai mencium wajah dan juga leherku. Lama, tapi menyenangkan, dan sekali lagi membuat perutku terasa tegang. Sama seperti saat kami melakukan hal ini di sesi sebelumnya. Sudah sekitar beberapa kali aku merasakan hal ini.
Beberapa kali?
Aku menyorongkan wajah Endo menjauh dariku dan mulai terlihat panik. Endo sendiri terlihat bingung melihat sikapku.
“Sayang!” ujarku panik memanggilnya,”Aku sepertinya kontraksi deh!”
Mata Endo terbelalak dan wajahnya berubah panik seketika.
“Apa? Sejak kapan?” teriaknya bingung.
“Mungkin setiap 20 menit. Ini sudah keempat kalinya,”
“Astaga, Rima! Kenapa kamu baru bilang?” ujar Endo panik kemudian segera meraih celana maupun kaosnya yang berserakan di sudut ranjang.
“Habisnya, waktu-nya kan masih 2 minggu lagi. Jadinya…astaga…!”
“Astaga kenapa? Ayo cepat kamu ganti baju!” Endo terlihat semakin panik bahkan saat memasukkan kaosnya sendiri.
Aku teringat sebuah artikel dari majalah yang kubaca kemarin. Artikel yang mengatakan bahwa sperma bisa mengakibatkan kontraksi bagi ibu hamil. Dengan segera aku mencari artikel itu di tumpukan majalah di sebelahku dan menunjukkannya kepada Endo. Endo membaca artikel itu cepat sebelum akhirnya melihat semakin panik ke arahku.
“Cepat, tunggu apalagi kalau begitu? Kita ke Rumah Sakit sekarang! Aku telpon dokter Lita, kamu segera ganti baju!” perintah Endo dan dia berlari mengambil ponselnya di ruang kerja.
Aku terdiam dan kembali merasakan kontraksi di rahimku. Hingga suara keras membuatku terkejut. Endo sudah terlihat tersungkur di lantai dan menabrak pintu kamar kami. Sepertinya dia baru saja tersandung kakinya sendiri karena sangat terburu-buru.
“Rima, cepetan! Kamu nunggu apalagi?” teriak Endo.
Aku menggeleng kemudian mulai menangis.
“Rima?” suara Endo terdengar lebih pelan, tapi tetap terasa panik.
“Aku nggak mau ke Rumah Sakit!”
“Ap..apa? Kenapa? Kamu mau kemana? Aku antarkan nanti. Kamu ada opsi tempat bersalin lain, Sayang?” tanya Endo perlahan dan segera berjalan ke arahku.
“Aku nggak mau! Aku nggak mau kemana-mana!” jawabku sembari menangis semakin keras.
“Kenapa Rim?” tanya Endo lagi.
“Aku malu, Ndo! Nanti ketahuan kalau kita habis…”
“ASTAGA RIMA!”
Sebuah teriakan itu membuat seluruh tubuhku secara otomatis mengikuti perintah Endo sebelumnya.
****

Endo berjalan gelisah menunggu dokter kandungan Rima yang tidak kunjung tiba. Wajahnya masih terlihat pucat sementara ponselnya terus dia genggam. Sementara itu Rima terlihat sesekali merintih kesakitan di ranjang sebelahnya. Suara ketukan di pintu membuatnya segera menoleh dan menemukan Diva di sana.
“Kenapa kamu? Mana dokter Lita?” tanya Endo panik.
“Emang aku manajernya, tahu dia ada dimana?” jawab Diva sembari mencibir.
Diva segera berlari ke arah Rima dan menggenggam tangannya. Sementara Rima tersenyum di tengah rasa nyeri yang dia rasakan.
“Kamu kok ke sini, Di?” tanya Rima perlahan dan kembali wajahnya terlihat menahan nyeri.
“Ambil nafas dalam, hembuskan lewat mulut…ya, begitu! Sahabatku mau melahirkan, aku wajib datang dong!” jawab Diva kemudian menyeka keringat di kening Rima dengan sapu tangan yang dia bawa. “Sudah berapa menit sekali, kontraksinya, Rim?”
Rima mengambil nafas dalam kemudian menghembuskannya lewat mulutnya.
“Lima menit sekali!”
“Setelah ini, kamu bakalan jadi ibu!” ujar Diva dan sebuah senyuman bahagia, muncul di bibir Rima. Endo melihat semua itu dan ikut tersenyum.
 “Tapi Di, ini lebih cepat 2 minggu dari yang dikatak dokter!” ujar Rima sedikit panik.
“Enggak apa-apa. Semuanya pasti baik-baik aja! Yang penting kamu tenang, semua pasti lancar!” Diva kembali membelai kening Rima kemudian memperhatikan Endo yang berdiri di sebelahnya. “Makanya, jangan kimpoi mulu!”
“DIVA!” teriak Endo dan Rima bersamaan.
“Aduh, pada rewel deh! Aku kan bilang berdasarkan bukti!”
“Bukti apa?” tanya Endo heran.
“Tuh, kaosmu kebalik!” jawab Diva santai dan wajah Endo langsung berubah merah padam.
Dengan segera dia melepas kaosnya, dan tepat saat akan mengenakan kembali, terdengar suara histeris dari arah pintu. seorang perempuan paruh baya terlihat terkejut dan segera menutup mulutnya.
“Dokter Lita?” tanya Endo.
“Maaf, saya tadi kaget!” jawab dokter Lita sembari mengusap dadanya beberapa kali, “Ibu Rima, sudah siap?”
“Siap apa, dok?” tanya Rima mulai terengah-engah menahan rasa sakitnya.
“Siap nari India.” Jawab dokter Lita sembari memeriksa Rima.
“Ah, dokter bercanda!” jawab Rima.
“Ya siap melahirkan doong! Ayo kita ke Ruang Bersalin! Sudah bukaan lima ini.”
“Nggak di sini dokter?” tanya Rima panik.
“Nanti habis melahirkan, baru ke sini lagi!” jawab dokter Lita sembari tersenyum.
Sementara itu, Rima mulai merasa semakin panik. Ruang Bersalin ada di lantai bawah, dan dia saat ini di lantai dua. Satu-satunya yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua hanyalah sebuah tangga. Itu berarti dia harus berjuang menuruni tangga itu. Padahal, saat ini untuk duduk saja dia sudah sangat kesakitan.
“Dokter, saya nggak kuat!” protes Rima, dan Endo terlihat sangat panik melihat hal itu.
“Kuat…pasti kuat!”
“Dokter kok tahu? Emang dokter peramal?” tanya Endo panik.
“Saya kan dokter, ya tahu dong!” sekali lagi dokter Lita menjawab santai.
Endo dan Rima langsung menatap serentak ke arah Diva dan Diva cuma tersenyum.
“Udah, ikutin aja! Tanggung enak dah!”
Dan akhirnya dengan pasrah, Rima berjaan menuruni tangga dituntun Endo dan juga Diva. Sesekali mereka berhenti saat Rima mulai merasakan kontraksinya lagi dan mulai berjalan saat kontraksinya sedikit mereda. Saat Rima merasakan kontraksinya terasa semakin sakit, dia akhirnya berteriak dan terdengar suara-suara dari lantai dua.
“Itu mau keluar di tangga, anaknya!” terdengar suara dari beberapa ibu-ibu yang sedang bergosip di atas.
“Endo, ayo cepat! Aku nggak mau anakku lahir di tangga!” teriak Rima panik dan membuat Diva tertawa terbahak.
Saat di depan ruang bersalin, dokter Lita menghentikan langkah mereka dan bertanya kepada Endo, “Bapak beneran mau ikut masuk?”
“Iya, dok!”
“Yakin nggak takut darah?”
“Iya, dok!”
“Yakin nggak mual bau darah?”
“Iya!”
“Yakin nggak…”
“DOKTER, SUAMI SAYA MASUK ATAU SAYA SERET DIA KE DALAM KALAU NGGAK MAU MENEMANI!” Rima berteriak keras kemudian mulai kembali histeris menahan kontraksinya.
“Silahkan kalau begitu!” jawab dokter Lita datar seakan melupakan semua kesulitan yang baru saja dia lakukan.
Rima terus merintih di atas ranjang bersalin dan beberapa perawat terlihat membantunya mempersiapkan persalinan. Sementara Endo beada di sebelahnya memegang erat tangan Rima.
“Sayang, tahan ya! Sabar!”
“Sudah pembukaan tiga, ayo siap-siap ya Bu!” ujar dokter Lita lagi.
“Siap-siap apa, dok?” tanya Rima perlahan.
“Siap-siap nari India! Ya elah bu, melahirkan dong! Ingat, pantatnya jangan diangkat, mengejannya ikuti perintah saya ya! Kalau saya bilang ‘yak’, ibu langsung mengejan! Ibu mengerti?”
Rima mengangguk.
“Yak!”
“Sekarang dok?” tanya Rima.
“Hastagaaahhh!” ujar dokter Lita
****

“Siapa yang paling ganteng? Pasti anak Papa! Bilang Paaa…pa..!”
Aku tersenyum mendengar Endo menggoda anak kami yang masih berusia 4 bulan di ranjang. Sekali lagi dia membuat mimik wajah yang lucu dan langsung bersemangat saat Jati terlihat tersenyum
“Jati masih bayi, Pa. masih belum bisa bilang Papa!” ujarku sembari mempersiapkan baju ganti untuk Jati.
“Biarin! Yang penting, Jati nanti bilang Papa dulu ya, Sayang!”
“Seenaknya!” jawabku.
Endo mengecup pipi dan juga kening Jati beberapa kali sebelum akhirnya berdiri dan memelukku.
“Makasih ya, Sayang!” ujar Endo perlahan.
Aku tersenyum kemudian membalas memeluknya, “Untuk apa?”
“Untuk anak setampan Jati. Untuk kesediaanmu mengandung dan melahirkan anakku!”
Endo kemudian mengecup bibirku sebelum melepaskan pelukannya. Aku beringsut ke arah Jati dan melihat bayi kecilku yang tampan sudah kembali tertidur.
“Astaga, selalu deh! Setiap sama Papa-nya, Jati mesti tidur. Mandinya terpaksa molor ini!” ujarku kesal sembari membelai kepala anakku.
“Itu tandanya, Jati nyaman deket Papa-nya!”
“Tapi mandinya jadi molor, Ndo! Padahal aku sudah nyiapin semuanya. Terpaksa nunggu satu jam sampai Jati bangun ini!”
Endo meraih jemariku kemudian menggenggamnya erat.
“Sayang,” ujarnya lembut, “Gimana kalau kita bikin adik buat Jati sementara dia masih tidur?”
Sebuah senyuman mengakhiri kalimat itu dan langsung membuat pipiku merona merah.
****








huaaaaaa mba ikeeeee kayanya aq bukan bantuin tapi malah ngerusak ini blog deeeehhh
 huks... maafkan aq

5 komentar:

  1. Akhirnya d post jg,,hehee
    Knp namanya jati?kaya kayu jati aj :p :D
    Moga2 cpt post crita baru amiiinn
    º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°ºea mba ike n eko, jgn bosen2 post ya ko..hehehe

    BalasHapus
  2. Akhirny..\=D/
    Btw, kok nanggung bgt yak akhirny?--"
    Hmm.. Ni psangan kok nepsong bgt yak? Ckckck
    Pntesan ding cpet mbrojol e..--"

    BalasHapus
  3. aq suka pake banget ni crita rima-endo,, syg.a da yg bqn jidatquw brkrut pas bca adegan rima mw nglahirin si de2 bayi,,
    dokternya kn blang prtmanya pmbukaan 5 tpi pas d ruang brsalin doktr.a blang pmbukaan 3,,Maaf ya k' sblumnya krna harusnya kn klau mw d urutkn mulai dri trjdinya pmbukaan pda ibu brsalin mulai dri yg pmbukaan min. sampai yg maksimalnya (sdah bsa mulai d pimpin tuk mlahirkn) 1-10,, N lagi kok bru pmbukaan 3 sdah mw d pimpin si k',, hrusnya pmbukaan 10 ru bsa d pimpin,, skali gi maaf ya k' law kritik aq bqn kk trsinggung atw gmna... (^-^)

    BalasHapus
  4. Tinggalkan jejak...

    Dari yang masih ngebet pengen Basera di lanjut ��

    BalasHapus