“Hei Argea, bayi
kecil itu mengikutimu lagi!” ujar Maras pada Argea ketika mereka bermain. Dia
menunjuk sosok bocah kecil berambut merah yang berlari-lari menuju Argea. Wajah
Argea memerah melihat bocah itu datang menemuinya dengan tersenyum.
Diletakkannya bunga-bunga yang dia rangkai bersama Maras.
“Dia sudah bukan bayi
lagi!” tukas Argea pada temannya itu. Sementara Maras terkekeh melihat Argea
yang mendatangi bocah kecil itu dengan bersungut-sungut. Dari jauh dia
menikmati pemandangan itu.
“Mau apa kau?” tanya
Argea pada bocah itu. Bocah itu tersenyum menggembungkan kedua pipi merah
gendutnya. Dia mengangkat tangan kirinya dan menunjukkan setangkai bunga pada
Argea.
“Main...kakak ayo
main!” ajak bocah itu pada Argea. Argea meraih bunga di tangan anak itu dan
kemudian menggendongnya.
“Aku masih main
dengan Maras, kau mainlah sendiri!” ujar Argea pada bocah itu. Tiba-tiba bocah
itu berteriak-teriak histeris seraya memukul-mukul Argea.
“Main....! Kakak
main!” teriak bocah itu seraya menjambak rambut Argea. Argea kemudian berteriak
kesakitan dan mendorong bocah itu dari menjauh dari dirinya..
“Jangan memaksa! Aku
tak mau bermain denganmu!” bentak Argea yang membuat kedua bola mata hijau anak
itu berkaca-kaca. Tak lama kemudian suara tangis anak itu meledak membuat riuh
suasana di pinggir hutan.
Tangisan itu
terdengar sampai ke dalam rumah Argea. Ibu Argea bergegas keluar melihat asal
tangisan yang sudah dia ketahui siapa pemiliknya.
“Argea, apa yang kau
lakukan pada Relias?” tanya ibu Argea sembari menggendong bocah itu yang masih
menangis, Relias.
“Dia menggangguku bu!
Dia memaksaku untuk terus bermain bersamanya, padahal aku masih bermain dengan
Maras!” jawab Argea bersungut-sungut, sementara Relias masih terus menangis di
pelukan ibu Argea.
“Relias hanya merasa
kesepian! Semenjak Maras berkunjung kemari, kau tak pernah bermain dengan
Relias sama sekali!” tukas ibu Argea sembari membawa pergi Relias yang masih
tersedak-sedak oleh tangisannya sendiri. Argea termenung melihat Relias yang
semakin menjauh dalam pelukan ibunya. Ditatapnya bunga pemberian Relias yang
masih dia pegang.
“Dia manja!” ujar
Maras pada Argea sembari mencibir ke arah Relias. Argea menatap sebal pada
Maras dan membuat Maras merasa salah tingkah.
“Dia tidak manja! Dia
hanya kesepian!” bentak Argea pada Maras. Maras terkejut dan mengambil langkah
mundur melihat kemarahan Argea. Tak lama kemudian Maras berlari pergi dari
Argea menuju ke dalam rumah Argea. Sementara Argea termenung sendiri menatap
bunga pemberian Relias. Sebuah bunga berwarna kuning dengan 8 helai kelopak.
Bagian tengah bunga itu berwarna kuning kemerah-merahan. Bunga Kerscea. Argea
menatap jauh ke dalam hutan dan segera berlari ke dalamnya. Sementara itu Maras
memperhatikan Argea dari kejauhan.
“Mana Argea?” tanya
Delia, ibu Maras yang heran pada kesendirian Maras.
“Dia membosankan,
meninggalkanku begitu saja!” ujar Maras sinis yang membuat ibunya semakin
heran.
“Kalian bertengkar?”
tanya ibu Maras lagi
“Dia gila!” jawab
Maras singkat sembari berjalan menuju kamarnya. Ketika itu dilihatnya Relias
yang masih menangis dalam pelukan ibu Argea. Dilihatnya ibu Argea berusaha
membujuk Relias dengan mainan kesukaannya, tetapi Relias masih tetap menangis
sambil memanggil-manggil Argea. Terlintas rasa sebal pada Relias di hati Maras
dan ditinggalkannya pemandangan itu menuju kamarnya.
Delia
menghampiri Jan’segian yang masih sibuk menenangkan Relias. Dibelainya kepala
Relias dengan lembut dan dilihatnya kedua mata hijau Relias. Sesaat kemudian
Relias kembali tenang dan kemudian tertidur dalam pangkuan Jan’segian.
“Maaf merepotkanmu!”
ujar Jan’segian pada Delia yang hanya dibalas dengan sebuah senyuman. Jan’segian
mengerti arti tatapan mata Delia tadi. Itu merupakan kekuatan Delia dalam
memanipulasi seseorang yang dilihatnya.
“Itu sama sekali
tidak merepotkan. Aku hanya melakukan seperti yang biasa kulakukan pada Maras.”
jawab Delia sembari tersenyum. Jan’segian tertawa ringan menanggapi candaan
Delia. Dia kembali membelai kepala Relias.
“Tampan sekali bukan?
Dialah kebanggaanku!” ujar Jan’segian. Delia meraih tangan kecil Relias yang menggenggam
erat baju Jan’segian.
“Benar-benar mirip
dengan tuan Putri. Sungguh kasihan anak sekecil ini harus jauh dari ibunya.”
Jawab Delia. Dada Jan’segian berdegup
kencang. Terlintas kekhawatiran didalam hatinya. Jan’segian mempererat
pelukannya pada Relias.
“Kali ini akulah
ibunya! Apapun yang terjadi dia adalah anakku tanpa mengurangi akan adanya tuan
Putri dalam kehidupan Relias. Aku akan menyayanginya sama seperti aku
menyayangi Argea anak kandungku. Sementara ini biarkanlah dia menganggapku
sebagai satu-satunya ibunya!” ujar Jan’segian. Delia tercenung mendengar apa
yang dikatakan oleh Jan’segian. Hatinya bergemuruh menanyakan apakah dia akan
mengalami perasaan yang sama seperti Jan’segian bila tuan Putri menitipkan Relias
pada dirinya.
“Tapi
sampai kapan? Sampai kapan kau akan menyimpan rahasia tentang keberadaannya
yang sesungguhnya? Sampai kapan kau biarkan pangeran kita ini hidup tanpa
mengetahui semua penglihatanmu yang sebenarnya?” tanya
Delia cemas. Jan’segian terdiam mendengar pertanyaan Delia. Dilihatnya Relias
yang tertidur dipelukannya.
Teringat Jan’segian
akan waktu dimana dia bertemu pertama kali dengan Relias 3 tahun yang lalu. Dia
teringat akan teriakan Argea yang masih berumur 6 tahun malam itu. Ketika itu
hatinya bergemuruh dipenuhi pertanyaan akan semua keputusan tuan putri. Hatinya
dipenuhi ketakutan akan kehidupan keluarganya setelah dia menerima Relias.
Tetapi ketika dilihatnya wajah Relias semua pertanyaan itu seakan sirna. Dia
mampu merasakan semua kebahagiaan dalam hidupnya. Tetapi setelah itu kegelapan
terasa dalam hati Jan’segian dan Jan’segian tahu arti daripada kegelapan itu.
“Mungkin sampai pada
saat itu tiba. Saat dimana dia sudah mampu menentukan semua pilihannya sendiri.
Saat dimana dia harus mampu menjaga semua hal yang dianggapnya penting dan juga
dirinya.” Jawab Jan’segian lirih. Delia terpaku menatap Jan’segian dan kemudian
memeluknya.
“Itu akan sangat
berat dan akan penuh kesakitan. Sanggupkah kau menerima semua itu? Aku yakin
dengan kekuatanmu kau bisa merasakan apa yang akan terjadi selanjutnya pada
anak ini.” Ujar Delia. Jan’segian tersenyum dan membelai wajah Relias.
“Aku bisa merasakan
apa yang akan terjadi padaku dan keluargaku, tapi aku sama sekali tak bisa
merasakan apa yang akan terjadi pada Relias. Jalan takdirnya begitu rumit
seperti jalinan benang kusut dan hanya dia sendiri yang mampu mengurainya.
Semuanya terjadi hanya atas pilihannya sendiri. Pangeran kecilku yang malang.
Aku bisa melihat kehidupannya penuh liku akan kehilangan orang-orang yang
sangat dia kasihi.” Jelas Jan’segian. Delia mulai meneteskan air mata.
Diantara suku Eria,
suku penjaga Hergesa, Jan’segian adalah salah seorang yang mampu meramalkan
masa depan. Dan kali ini yang dikatakannya adalah tentang kematian. Bukan hanya
satu tapi beberapa orang yang akan menjemput mautnya karena pengorbanannya pada
pangerannya.
“Kegelapan semakin
menyelimuti daratan ini, bisa-bisa keberadaan suku Eria akan segera diketahui. Padahal
tuan putri sudah mengorbankan dirinya untuk kita semua. Tapi sepertinya itu
masih tak cukup. Satu-satunya harapan kita hanya pada pangeran kita ini.” ujar
Delia. Jan’segian memegang tangan Delia yang bergetar karena ketakutan.
“Bukankah suamimu
datang kemari untuk membicarakan hal itu? Raja Bandreas adalah kegelapan itu,
tapi aku merasakan kegelapan yang lebih pekat setelah itu. Kurasa peramal suci
juga merasakannya. Tapi mereka sama sekali tak bisa melihat siapa kegelapan
itu.” Jawab Jan’segian.
“Maksudmu kekuatan
raja sekarang bukanlah kegelapan sesungguhnya?” tanya Delia yang dibalas sebuah
anggukan oleh Jan’segian.
“Sebuah kekuatan
kegelapan lain mulai timbul dan kurasa semakin hari semakin kuat. Pada akhirnya
kegelapan inilah yang akan mengejar keberadaan Relias. Karena itu aku mohon
padamu, gunakan kekuatanmu untuk menolong Relias.” ujar Jan’sergian.
“Apa maksudmu? Kau
memintaku untuk menjadikan orang lain sebagai korban pengganti Relias? Aku rela
berkorban untuk Relias, tapi ketika aku mati maka keberadaan Relias yang
sesungguhnya akan segera diketahui musuh!” tukas Delia sengit. Kekuatannya
memang bisa memanipulasi keberadaan seseorang tetapi hanya apabila digantikan
dengan seseorang lain.
“Maka dari itu
gunakanlah aku! Sampai pada saat itu tiba, gunakanlah aku! Saat ini kegelapan
itu masih belum bisa mengetahui keberadaan Relias yang sesungguhnya. Aku tak
tahu mengapa. Tetapi ketika saat dimana keberadaan Relias mulai diketahui, aku
mohon jadikanlah aku penggantinya. Sampai pada saat dia bisa bertahan sendiri.
Sampai pada saat dia berumur 19 tahun aku harus bisa melindunginya!” Delia
terhenyak, melihat kebulatan tekad Jan’sergia. Tapi, dia tidak mampu
mengorbankan sahabatnya sendiri.
“Kau gila! Aku akan
melakukan hal itu pada musuh, bukan pada sukuku sendiri!”
“Tapi ketika kau
melakukannya pada musuh itu akan mudah diketahui! Satu-satunya penghambur aura
paling baik adalah orang yang paling dekat dengan Relias sendiri! Itu aku!”
jawab Jan’sergian.
“Dengar Jan! Saat ini
Relias akan aman karena keberadaan tuan putri! Beliaulah penghambur aura Relias
yang paling kuat!”
“Tapi kekuatan tuan
putri kurasakan semakin lama semakin lemah! Dia harus membagi kekuatannya untuk
melindungi Relias dan hal ‘itu’!”
“Lebih baik kita
hentikan pembicaraan ini! Saat ini para pria sedang berunding akan masa depan
kita. Kau tak perlu merisaukan hal-hal itu!” bentak Delia pada Jan’sergian.
“Kumohon berjanjilah
melakukan itu!”
“Kau gila!”
“Kumohon Delia! Hanya
kau yang bisa! Sekali ini aku memohon padamu!” paksa Jan’sergian sembari memegang
tangan Delia. Air mata Jan’sergian menetes di pipinya, sementara lengannya yang
lain tetap merengkuh Relias.
“Hanya bila saat itu
tiba!” jawab Delia pasrah. Sebuah senyuman tersungging di bibir Jan’sergia.
“Hanya bila saat itu
tiba.” tegas Jan’sergian.
Delia memeluk
Jan’sergian, sementara itu Argea terpaku dibalik pintu. Tercenung mendengar
semua perkataan ibunya. Jauh didalam hatinya dia merasakan apa yang dirasa
ibunya. Dalam darahnya mengalir juga darah ibunya. Dia merasakan semua
kekhawatiran ibunya.
“Apa yang kau
lakukan?” tiba-tiba Maras sudah berada di dekatnya. Menatap Argea tajam. “sudah
lepas dari bocah itu?”
“kau membenci Relias
Maras? Kenapa?” tanya Argea melihat wajah sahabatnya yang bersungut-sungut
melihat Relias dipangkuan Delia.
“Dia merebutmu dari
aku! Semenjak dia ada, kau seakan tak butuh aku!”
“Maafkan aku, tapi
jangan benci dia! Dialah tujuan keluarga kami nanti! Harapan kita semua! Bahkan
nyawakupun akan kuserahkan untuknya!”
“Hentikan! Aku tak
akan pernah memaafkannya apabila itu terjadi! Argea, aku sangat menyayangimu
selain keluargaku! Jangan pernah kau mengatakan akan pergi meninggalkanku!
Lebih baik aku juga tiada seandainya kau pergi” Maras memeluk Argea begitu
kuat.
“Maras, kalau kau
tidak ada lagi siapa yang akan melindungi Relias?”
“Aku sama sekali
tidak peduli dengan bocah itu!”
“Setidaknya demi
diriku Maras!”
Maras terdiam.
Hatinya begitu bimbang menatap Argea. Argea yang masih begitu muda sudah
memikirkan Relias begitu jauh. Tiba-tiba terdengar Relias terbangun,
merengek-rengek memanggil nama Argea.
Argea menatap Maras
begitu hangat sebelum akhirnya mendekati Relias. Dari balik pintu Maras melihat
Relias yang tertawa bahagia melihat Argea muncul membawakan mahkota dari bunga
yang dia buat sebelumnya. Argea tersenyum dan itu bukan karenanya. Selama ini
hanya Argea yang menjadi temannya bermain. Dengan sifat Maras yang begitu keras
membuat anak-anak sepantarannya menjauhinya. Apalagi wajahnya yang cukup cantik
membuat banyak anak-anak perempuan lain cukup iri.
Pertemuan mereka yang
pertama ketika keluarga Argea datang ke perkampungan suku ras Eria. Saat itu
Argea dan Maras baru sama-sama berumur 4 tahun. Argea membantu Maras yang
dipenuhi lumpur karena baru saja terjatuh akibat dijahili anak-anak perempuan
lain. Argea membersihkan lumpur yang berada di badan Maras dengan menggunakan
bajunya. Sambil tersenyum Argea menenangkan Maras yang ingin menangis.
Sejak saat itu Maras
begitu memuja Argea. Argea begitu polos dan menyayangi Maras apa adanya. Maras
begitu menantikan saat-saat bertemu Argea yang tinggal jauh
dari perkampungan suku Eria karena orang tuanya harus menjaga perbatasan. Dia
menyukai tarian Argea. Bagi Maras tarian Argea lebih indah dari tarian gadis
suci suku Eria.
“Aku akan menjadi
peramal suci ketika dewasa. Oleh karena itu, aku juga harus banyak melatih
tarianku”
“bukankah peramal suci
tidak perlu harus menari. Ketika kau menjadi gadis suci kau akan
mempelajarinya!”
“Bukankah kau
mengatakan padaku bahwa kau menyukai tarianku Maras? Aku berharap semua
orangpun begitu. Sehingga, apapun hasil ramalanku nanti, mereka akan cukup
terhibur.” Ujar Argea sambil tersenyum.
“Kau tidak takut
menjadi seorang peramal suci Argea? Kau tidak akan bisa memiliki seorang suami
seumur hidupmu!”
“Bukankah kau akan
tetap menyayangiku meskipun aku tidak memiliki suami!” jawab Argea sambil
terkekeh. Maras tersenyum.
“meskipun aku
memiliki suami, kau akan tetap menjadi yang nomer satu!” ujar Maras. Mereka
tersenyum berdua, terkekeh dan kemudian bercanda lagi.
Semua itu kebahagiaan
Maras, sampai ketika Relias muncul. Argea sedikit melupakan Maras, dan itu sangat
mengganggu Maras.Bagi Maras, Relias mengambil Argea dari dirinya. Relias begitu
mengganggu pikiran Maras.
“Maras, kemari! Lihat
Relias menyukaimu! Dia tersenyum melihatmu!” panggil Argea. Maras tersenyum
sinis melihat Relias, tetapi didekatinya mereka berdua. Asalkan ada Argea,
apapun yang terjadi akan Maras hadapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar