Argea berlari menjauh
dari rumahnya yang mungil di pinggir hutan. Dia menjauhi suara-suara bising
dari dalam rumahnya yang disebabkan suara talu ibunya yang menumbuk obat di
dalam rumahnya. Gadis itu bernyanyi sambil mengambil bunga-bunga di depan
rumahnya. Sesekali salah satu kakinya diangkat tinggi sambil berputar menirukan
tarian ras Eria.
Rambutnya yang pirang
sebahu mirip dengan ibunya. Matanya yang bulat besar tampak berbinar sembari memandang
bunga-bunga digenggamannya. Badannya yang mungil berputar-putar mengikuti
senandung lagu ras Eria dari bibirnya yang merah tipis.
Tiba-tiba terdengar
suara tangisan bayi di telinganya yang lancip. Suara itu bukan berasal dari
keluarganya karena dia adalah satu-satunya anak kecil di keluarga itu. Rumah
Argeapun hanyalah satu-satunya rumah di daerah itu dan jauh dari
perkampungannya.
Suara tangisan itu semakin
terdengar jelas di telinganya dan membuat Argea ketakutan. Dia bergegas berlari
menuju rumahnya dan memanggil ayah ibunya.
Seorang pria dengan
perawakannya yang besar dan tegap keluar menuju Argea yang berteriak-teriak
ketakutan memanggil namanya. Kumisnya yang tebal dan menutupi semua permukaan
di antara bibir dan hidungnya bergerak-gerak cepat terkena angin yang keluar
menderu dari hidungnya. Langkahnya sedikit berat karena harus menopang perut
gendutnya yag ikut bergerak-gerak mengikuti langkahnya.
“Bayi! Bayi!” teriak
Argea pada ayahnya yang tampak kebingungan. Sementara ibunya berdiri di depan
pintu rumah mereka sambil membawa alu yang dipakainya menumbuk tadi.
“Dimana?” tanya ayah
Argea sambil memegang lengan Argea.
“Entah, tadi
terdengar suaranya, suara bayi!” jawab Argea.
Sang ayah lalu
menekan mulutnya dengan jari telunjuknya, mengisyaratkan Argea untuk diam.
Dibiarkan telinganya yang lancip seperti Argea menangkap semua bunyi di hutan
itu. Samar-samar terdengar suara langkah kuda dari balik pepohonan di pinggir
hutan. disembunyikannya Argea dibalik tubuhnya sementara Argea berpegangan erat
pada pinggang ayahnya.
Sesosok kuda hitam
keluar dari balik pepohonan. Sosoknya yang hitam membuatnya hampir tak tampak
di dalam kegelapan hutan. Beberapa bulir keringat menetes dari tubuh kuda itu.
Dia berjalan mendekati ayah Argea dengan tenang. Argea menatap kuda itu dengan
takjub. Kuda itu terlihat sangat kuat dan kokoh. Warnanya yang hitam legam
membuatnya terlihat misterius, sementara surainya yang juga hitam memantulkan
cahaya bulan malam itu. Matanya yang juga hitam menatap setiap orang
dihadapannya dengan tajam Di lehernya terikat sebuah bungkusan kulit yang
bergerak-gerak.
“Tak mungkin, Siybar!
Mana tuan putri? Kau bersamanya?” tanya ayah Argea pada kuda itu. Kuda itu
menjawabnya dengan gelengan pelan. Argea maju mendekati kuda itu dan menyentuh
bungkusan kulit yang terbelit di leher kuda itu. Tetapi Siybar mendengus
menghindar dari Argea dan membuat Argea terkejut.
“Tenang Siybar, dia
Argea, anakku!” seru ayah Argea sambil menarik Argea ke arahnya. “Kau membawa
pesan untukku dari tuan putri?”
Kuda itu menundukkan
kepalanya dan menunjukkan bungkusan yang dia bawa. Ayah Argea mengambil
bungkusan itu dan membukanya. Sesosok bayi kecil menggeliat-geliat di dalamnya.
Sesosok bayi laki-laki yang tampan. Rambutnya yang kemerahan lurus tumbuh di
kepalanya yang bulat. Matanya yang bulat memperlihatkan bola mata yang berwarna
hijau. Kulitnya putih tertutup warna semu kemerahan. Telinga bayi itu sedikit
lancip tapi tidak selancip Argea dan orang tuanya. Bayi itu menggeliat-geliat
di dalam bungkusan kulit yang ditopang ayah Argea.
“Anak ini...anak tuan
putrikah? Dimana tuan putri? Bagaimana bisa anak ini bersamamu Siybar?” tanya
ayah Argea pada kuda hitam itu. Ibu Argea yang melihat dari kejauhan bergegas
mendekati mereka. Dilemparkannya alu yang dia bawa tadi ke tanah.
Tiba-tiba mata hitam
Siybar berubah menjadi keemasan dan dari bibirnya terdengar suara wanita. Suara
yang begitu lembut tetapi penuh kecemasan.
“Bi’an putra
Garseragh, penjaga dari ras Eria dan kau Jan’segian putri Brestagh, kutitipkan
pada kalian putraku, anak dari Aranthis, putri dari ras Eria. Saat ini mungkin
aku sudah kembali terpenjara pada kegelapan. Dengan semua sisa kekuatanku kularikan
anak ini keluar dari kegelapan yang mencengkeramku dan dirinya.
Dipundaknyalah
kehidupan manusia dan kehidupan ras Eria dititipkan. Dialah pilihan selanjutnya
dari Hergesa yang bijak. Dialah penguasa tahta yang sah dari bumi Andadesia
ini. Jagalah dia sampai saat dimana dia harus memimpin daratan ini. Didiklah
dia dengan semua hal untuk menjadikannya bijak dalam memimpin. Tunjukkanlah
padanya semua kebenaran, sesuai dengan namanya Relias, kebenaran sejati!” suara
yang keluar dari mulut Siybar terhenti. Dengan bergetar suara itu berkata
lirih, “Mungkin apabila kami berjodoh kembali, aku bisa melihat wajahnya lagi.”
Sesaat kemudian Ayah
dan ibu Argea langsung tertunduk di hadapan kuda hitam itu. Mereka berdua
menangis sambil memeluk bayi kecil yang tertidur itu. Sementara Argea
kebingungan melihat semuanya. Baginya nama-nama yang dia dengar tadi begitu
asing ditelinganya. Bahkan nama ibu dan ayahnya sendiri Argea kecil tidak tahu.
Baginya kuda hitam yang bisa bicara sudah sangat aneh, apalagi dengan kehadiran
seorang bayi yang berada dipelukan ayahnya. Mata Siybar kembali menjadi hitam
dan dia kembali meringkik bukannya berbicara lagi.
Argea menatap bayi
itu dan tersenyum melihatnya. Sesosok bayi tampan yang akan tinggal bersamanya.
Untuk pertama kalinya Argea memiliki perasaan ingin melindungi bayi itu dengan
seluruh kekuatannya. Dan sesaat itu pula dia merasakan bahwa bayi itu yang akan
membawa perubahan, baik bagi keluarganya maupun yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar