Rabu, 30 Januari 2013

Relias ; 1B Sebuah Awal



Argea berlari menjauh dari rumahnya yang mungil di pinggir hutan. Dia menjauhi suara-suara bising dari dalam rumahnya yang disebabkan suara talu ibunya yang menumbuk obat di dalam rumahnya. Gadis itu bernyanyi sambil mengambil bunga-bunga di depan rumahnya. Sesekali salah satu kakinya diangkat tinggi sambil berputar menirukan tarian ras Eria.
Rambutnya yang pirang sebahu mirip dengan ibunya. Matanya yang bulat besar tampak berbinar sembari memandang bunga-bunga digenggamannya. Badannya yang mungil berputar-putar mengikuti senandung lagu ras Eria dari bibirnya yang merah tipis.
Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi di telinganya yang lancip. Suara itu bukan berasal dari keluarganya karena dia adalah satu-satunya anak kecil di keluarga itu. Rumah Argeapun hanyalah satu-satunya rumah di daerah itu dan jauh dari perkampungannya.
Suara tangisan itu semakin terdengar jelas di telinganya dan membuat Argea ketakutan. Dia bergegas berlari menuju rumahnya dan memanggil ayah ibunya.
Seorang pria dengan perawakannya yang besar dan tegap keluar menuju Argea yang berteriak-teriak ketakutan memanggil namanya. Kumisnya yang tebal dan menutupi semua permukaan di antara bibir dan hidungnya bergerak-gerak cepat terkena angin yang keluar menderu dari hidungnya. Langkahnya sedikit berat karena harus menopang perut gendutnya yag ikut bergerak-gerak mengikuti langkahnya.
“Bayi! Bayi!” teriak Argea pada ayahnya yang tampak kebingungan. Sementara ibunya berdiri di depan pintu rumah mereka sambil membawa alu yang dipakainya menumbuk tadi.
“Dimana?” tanya ayah Argea sambil memegang lengan Argea.
“Entah, tadi terdengar suaranya, suara bayi!” jawab Argea.
Sang ayah lalu menekan mulutnya dengan jari telunjuknya, mengisyaratkan Argea untuk diam. Dibiarkan telinganya yang lancip seperti Argea menangkap semua bunyi di hutan itu. Samar-samar terdengar suara langkah kuda dari balik pepohonan di pinggir hutan. disembunyikannya Argea dibalik tubuhnya sementara Argea berpegangan erat pada pinggang ayahnya.
Sesosok kuda hitam keluar dari balik pepohonan. Sosoknya yang hitam membuatnya hampir tak tampak di dalam kegelapan hutan. Beberapa bulir keringat menetes dari tubuh kuda itu. Dia berjalan mendekati ayah Argea dengan tenang. Argea menatap kuda itu dengan takjub. Kuda itu terlihat sangat kuat dan kokoh. Warnanya yang hitam legam membuatnya terlihat misterius, sementara surainya yang juga hitam memantulkan cahaya bulan malam itu. Matanya yang juga hitam menatap setiap orang dihadapannya dengan tajam Di lehernya terikat sebuah bungkusan kulit yang bergerak-gerak.
“Tak mungkin, Siybar! Mana tuan putri? Kau bersamanya?” tanya ayah Argea pada kuda itu. Kuda itu menjawabnya dengan gelengan pelan. Argea maju mendekati kuda itu dan menyentuh bungkusan kulit yang terbelit di leher kuda itu. Tetapi Siybar mendengus menghindar dari Argea dan membuat Argea terkejut.
“Tenang Siybar, dia Argea, anakku!” seru ayah Argea sambil menarik Argea ke arahnya. “Kau membawa pesan untukku dari tuan putri?”
Kuda itu menundukkan kepalanya dan menunjukkan bungkusan yang dia bawa. Ayah Argea mengambil bungkusan itu dan membukanya. Sesosok bayi kecil menggeliat-geliat di dalamnya. Sesosok bayi laki-laki yang tampan. Rambutnya yang kemerahan lurus tumbuh di kepalanya yang bulat. Matanya yang bulat memperlihatkan bola mata yang berwarna hijau. Kulitnya putih tertutup warna semu kemerahan. Telinga bayi itu sedikit lancip tapi tidak selancip Argea dan orang tuanya. Bayi itu menggeliat-geliat di dalam bungkusan kulit yang ditopang ayah Argea.
“Anak ini...anak tuan putrikah? Dimana tuan putri? Bagaimana bisa anak ini bersamamu Siybar?” tanya ayah Argea pada kuda hitam itu. Ibu Argea yang melihat dari kejauhan bergegas mendekati mereka. Dilemparkannya alu yang dia bawa tadi ke tanah.
Tiba-tiba mata hitam Siybar berubah menjadi keemasan dan dari bibirnya terdengar suara wanita. Suara yang begitu lembut tetapi penuh kecemasan.
“Bi’an putra Garseragh, penjaga dari ras Eria dan kau Jan’segian putri Brestagh, kutitipkan pada kalian putraku, anak dari Aranthis, putri dari ras Eria. Saat ini mungkin aku sudah kembali terpenjara pada kegelapan. Dengan semua sisa kekuatanku kularikan anak ini keluar dari kegelapan yang mencengkeramku dan dirinya.
Dipundaknyalah kehidupan manusia dan kehidupan ras Eria dititipkan. Dialah pilihan selanjutnya dari Hergesa yang bijak. Dialah penguasa tahta yang sah dari bumi Andadesia ini. Jagalah dia sampai saat dimana dia harus memimpin daratan ini. Didiklah dia dengan semua hal untuk menjadikannya bijak dalam memimpin. Tunjukkanlah padanya semua kebenaran, sesuai dengan namanya Relias, kebenaran sejati!” suara yang keluar dari mulut Siybar terhenti. Dengan bergetar suara itu berkata lirih, “Mungkin apabila kami berjodoh kembali, aku bisa melihat wajahnya lagi.”
Sesaat kemudian Ayah dan ibu Argea langsung tertunduk di hadapan kuda hitam itu. Mereka berdua menangis sambil memeluk bayi kecil yang tertidur itu. Sementara Argea kebingungan melihat semuanya. Baginya nama-nama yang dia dengar tadi begitu asing ditelinganya. Bahkan nama ibu dan ayahnya sendiri Argea kecil tidak tahu. Baginya kuda hitam yang bisa bicara sudah sangat aneh, apalagi dengan kehadiran seorang bayi yang berada dipelukan ayahnya. Mata Siybar kembali menjadi hitam dan dia kembali meringkik bukannya berbicara lagi.
Argea menatap bayi itu dan tersenyum melihatnya. Sesosok bayi tampan yang akan tinggal bersamanya. Untuk pertama kalinya Argea memiliki perasaan ingin melindungi bayi itu dengan seluruh kekuatannya. Dan sesaat itu pula dia merasakan bahwa bayi itu yang akan membawa perubahan, baik bagi keluarganya maupun yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar