“Ini sudah sedikit keterlaluan,” ujar Mila kepadaku yang
sedang terbaring di atas tempat tidur UKS. Kepalaku yang tadinya terasa pening
sekarang berangsur membaik. Bau desinfektan yang cukup tajam membuat
kesadaranku jauh lebih baik daripada beberapa saat yang lalu.
“Mil, kepalaku masih pusing. Jangan teriak sekeras itu…,”
ujarku lirih sambil masih terhuyung membetulkan posisi tidurku.
“Apa kau tahu kalau Pak Dedi sudah cukup merasa tersiksa
dan menyatakan bahwa hari Kamis adalah hari yang sangat melelahkan baginya?”
“Bukankah kami sudah sepakat?”
“Ya dan kenapa kau masih mengalami hal ini? Bahkan Pak
Dedi sama sekali tidak meminum ‘itu’ seharian ini demi kau, muridnya!”
“Ini bukan soal aku dan Pak Dedi,” elakku sambil sedikit
demi sedikit memulihan kesadaranku. Kesadaranku yang selalu terenggut setiap
mencium aroma itu. Aroma kopi.
Pak Dedi, guru Fisika kami yang baik hati selalu membawa
secangkir kopi panas ke dalam kelas setiap dia mengajar saat siang hari. Alasannya
tentu saja untuk membuatnya tetap terjaga sepenuhnya ketika hari mulai
menggerogoti stamina. Dan hari pertama dia membawa gelas kopi itu, adalah hari
pertama dia membuat salah seorang muridnya pucat hingga hampir pingsan, Aku.
Sejak saat itu dia mengalah untuk tidak membawa cangkir kopinya ke dalam kelas
dan memilih untuk meminumnya di luar. Dan ketika kami
berdekatan hingga aku bisa mencium aroma kopi
yang keluar dari mulutnya, itulah hari
pertama dia melihat pipi muridnya menggembung menahan muntah. Akhirnya kami
memiliki kesepakatan tak terucap tentang Kopi.
“Terus,
Kalau bukan Pak Dedi, siapa?” tanya Mila lagi.
Aku
merasakan kesadaranku sepenuhnya telah kembali. Perlahan aku mulai bangkit dari
posisi tidurku walau dengan sedikit payah. Mila dengan sigap membantuku dan
mendudukkanku dipinggir kasur. Tak lama diapun sudah duduk di sampingku sembari
menyangga punggungku.
“Apa
kau tahu alasan kenapa aku tidak bisa menerima kehadiran bau kopi di
sekitarku?” tanyaku yang di jawab gelengan Mila. Selama 3 tahun kami berteman,
dia hanya tahu bahwa tubuhku seakan begitu apatis terhadap kopi. Mila, remaja
yang sama sekali tak peduli alasan-alasan suatu masalah dan cenderung berpikir
tentang penyelesaiannya. Kadangkala aku cukup terbantu dengan sikapnya yang
masa bodoh itu. Membuatku tak perlu mendengarkan gosip-gosip dari mulutnya.
“Dulu,
ketika aku masih SMP, aku punya seorang teman kecil. Cowok…dan lumayan
ganteng…ah tidak… sangat ganteng malahan. Kami kenal dari semenjak belum
sekolah sampai satu sekolah ketika SMP. Dia anak teman Papaku dan dia tetanggaku
juga. Kami cukup dekat dan hampir sangat dekat,” aku menghela nafas. Mengingat
lagi semua kejadian yang sedikit membuatku merasa galau.
“Apa
dia jahat?” tanya Mila. Aku menggeleng.
“Dia
baik. Satu-satunya masalah adalah ketampanannya. Juga keramahannya kurasa,”
jawabku yang membuat Mila tertawa terbahak-bahak
“Gimana
bisa cowok ganteng sama ramah jadi masalah besar buat kamu Si?”
“Tentu
aja bisa, kalau kamu punya temen sekelas yang sirik sama hobi nge-bully!”
Mila
menghentikan tawanya dan mulai menatap tajam ke arahku. Terlihat bahwa dia
sangat bingung mendengarnya.
“Maksudmu?
Apa yang mau kamu bilang Sisi?”
“Intinya
setiap cowok teman kecilku itu mendekati aku, maka setelah itu aku harus
bersiap menerima tekanan dari para cewek yang mengidolakan dia.”
“Hubungannya
dengan kopi?” selidik Mila. Wajahnya masih belum menunjukkan kepuasan. Aku
menghela nafas pelan. Mengingat saat-saat itu kadang begitu berat bagiku.
“Dia
punya aroma kopi, Mila. Entah parfumnya, atau aroma mobil, yang jelas dia
beraroma seperti kopi,” jelasku pada Mila. Mila mengangguk perlahan. Tapi
matanya masih menunjukkan rasa penasaran.
“Setiap
kali dia datang menemuiku entah untuk meminjam atau menanyakan kabar atau hanya
sekedar bercanda maka setelah itu hariku akan buruk. Bisa dibilang setiap aroma
kopi itu muncul maka aku akan mendapat siksaan.”
“Seperti
apa?”
“Sekedar
di labrak, kadang di kunci di kamar mandi, tas yang ada di tong sampah…,”
“Itu
gila! Kenapa kau tak melawan? Kau punya kemampuan beladiri yang cukup untuk
sekedar melawan beberapa orang.”
“Ketika
aku harus pindah, cewek itu ku beri pelajaran habis-habisan di luar sekolah.
Selama ini aku menahan supaya tidak menimbulkan cela. Tapi begitu lepas dari
sekolah itu, aku punya kesempatan. Hasilnya dia menangis setiap melihat wajahku,
bahkan tak mampu untuk mengaku pada siapapun tentang perbuatanku padanya.”
“Kau
cewek pendendam,” ujar Mila sambil tesenyum licik, “ lalu kenapa kau masih
trauma?
“Entahlah
Mil, yang jelas bau kopi sangat menyiksaku,” ujarku lirih.
“Lalu
apa yang membuat kau seperti ini saat ini?”
Aku
menghela nafas lagi. Masih ragu untuk mengatakan pada Mila. Tapi itu jelas
tidak mungkin mengingat sifat pantang menyerah Mila.
“Kau
tahu anak baru yang tadi dikenalkan Pak Dedi?”
“Jangan
bilang kalau…,”
“Ya,
dia si cowok kopi. Akar traumaku….,” jawabku singkat. Dan Mila tercenung
mendengarnya.
****
Menghabiskan
satu jam mata pelajaran di UKS tidak membuatku bisa menghindar dari si pria
kopi, Mahendra Yudistira. Begitu aku dan Mila memasuki kelas, cowok itu sudah
berada dibarisan tengah dan cuma berbeda satu bangku dariku. Tapi setidaknya
aroma kopi yang keluar dari tubuhnya tak tercium hidungku. Tapi kesialan datang
ketika jam istirahat ketika dia mendatangi bangkuku dan Mila.
“Sisi
kan? Ini aku Hendra, masih ingat kan?” ujarnya begitu datang ke sebelahku.
Kulihat beberapa cewek mulai memandangku dengan pandangan iri. Aku mengangguk
pelan.
Wajahnya
semakin tampan begitu pula badannya yang semakin tinggi, apa yang selama ini
dia lakukan untuk membuat badan itu semakin tegap? Fitness? Basket? Dia pasti
bisa melakukan semua itu.
“Gimana
kabarmu…?” belum selesai aku mengucapkan kalimatku, aroma kopi yang mulai
tercium dari tubuhnya membuat jantungku berdebar keras. Perutku serasa di kocok
dengan hebatnya yang langsung membuatku merasa mual. Tanpa menunggu kata
permisi darinya aku berlari meninggalkannya bersama Mila.
“Kenapa
Sisi?”
“Mungkin
gejala morning sick,”jawab Mila sekenanya sambil berlari menemuiku di toilet.
Aku
memuntahkan semua sarapanku di toilet. Mila yang datang langsung menepuk-nepuk
pundakku. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keadaanku. Tingkah yang
sangat menyebalkan bagiku.
“Aku
mendengarnya tadi!”
“Soal
apa?” tanya Mila seakan tidak tahu.
“Soal
morning sick!” sentakku. Dia menyunggingkan senyum malu-malunya.
“Hanya
itu yang terlintas di kepalaku. Aku gak mungkin bilang ke dia kalo kehadirannya
membuatmu mau muntah kan?” Mila membuat alasan yang tak terbantahkan olehku.
Aku
duduk di atas kloset yang baru kusiram sementara Mila berdiri menatapku yang begitu
menyedihkan.
“Kau
tahu ini tak bisa terus berlanjut kan?”ujar Mila.
“Aku
tahu…,” ujarku lirih
****
Hari-hariku
selanjutnya dipenuhi dengan kegiatan menghindari si cowok kopi. Mulai dari
masuk kelas tepat ketika bel berbunyi dan pulang segera setelah bel berbunyi.
Jam istirahatpun menjadi jam sangat kubenci. Aku harus segera berlari dan
bersembunyi di toilet atau menunggu sampai kantin steril dari kehadirannya.
Suatu hal yang sebenarnya tak bisa terus kulakukan. Dan itu terjadi ketika
pelajaran Biologi mengharuskan aku sekelompok dengannya. Itu berarti
mengharuskan kami melakukan kerja kelompok bersama. Mengharuskan dia berada
jauh lebih dekat dariku dari posisinya saat ini.
“Baiklah,
kita kerjakan besok lusa di café dekat sekolah saja bagaimana?” tawar Eno pada
kami. Café, membuat dia akan berada cukup jauh dariku. Paling tidak aku bisa
memilih posisi yang paling jauh darinya.
“Setuju!”
teriakku sembari berlari pulang sebelum rasa mualku semakin menjadi.
Perjalanan
pulang membuatku bisa mengutuk semua rasa traumaku. Sebetulnya aku sangat
merindukan semua kedekatan kami seperti dulu lagi. Aku begitu senang melihatnya
muncul kembali. Aku begitu senang ketika dia menyapaku. Tapi aku tak mungkin muntah dihadapannya
begitu aroma itu tercium. Sebuah sentakan di tanganku menyadarkanku dari
lamunan. Sosoknya yang baru saja kubayangkan sudah berdiri di sebelahku.
Peluhnya terlihat menetes di pinggir keningnya.
“Aku
mencarimu dari tadi! Sudah lama kita tak berbincang. Aku selalu kehilangan
dirimu ketika jam istirahat,” ujarnya begitu manis. Hatiku melambung ketika dia
mengatakan selalu berusaha mencariku. Tapi aroma kopi yang samar-samar mulai
muncul membuyarkan semua kesenanganku yang sesaat tadi.
“Maaf
tapi aku ada janji dengan seseorang. Kita ketemu besok di sekolah ya!” ujarku
terburu-buru sebelum rasa mual itu muncul. Dia tampak tersenyum masam.
Tangannya yang menggenggam lenganku dilepaskan perlahan. Menyisakan rasa panas
di lenganku.
“Baiklah, aku cuma mau bilang kalau kerja
kelompok kita diubah nanti sore jam 5. Iko tidak bisa datang kalau kerja
kelompok itu dilakukan lusa,” ujarnya kecewa. Rasa mual mulai menjala di
tenggorokanku seiring dengan aroma kopi yang semakin mencuat keluar dari
tubuhnya.
“Oke..oke…,
aku bisa nanti sore,” ujarku terburu-buru.
“Kau
mau ku jemput? Kebetulan aku membawa motor jadi..,”
“Tidak
perlu! Bye!” teriakku sambil berlari menjauh darinya sebelum dia menyelesaikan
perkataannya.
Aku
berlari meninggalkannya sendiri. Berlari hingga dia tak terlihat kemudian
berbelok ke rerumputan. Memuntahkan semua isi perutku di sana. Sial! Sekali
lagi aku melewatkan kesempatan bagus.
****
Bencana
itu semakin terlihat nyata di hadapanku sore ini. Ketika di café hanya ada kami
berdua. Ketika dia mengatakan bahwa dia berbohong padaku tentang perubahan
jadwal kerja kelompok kami menjadi sore ini. Ini seperti berita kiamat bagiku.
“Aku
harus bicara padamu Si, kau selalu menghindariku. Apa aku punya salah padamu?”
Jarak
kursi kami yang dipisahkan meja café cukup membuatku tidak terlalu mencium
aroma kopi yang keluar dari tubuhnya.
“Tidak…tidak
ada! Memangnya kapan aku menghindarimu?” tanyaku pura-pura bodoh. Dan aku
benar-benar terlihat bodoh. Bahkan nenek-nenek koprol pun tahu bahwa aku
menghindarinya. Seandainya hakim Bao melihat kesaksianku maka dia akan segera
berteriak, “KAU BERSALAH ANAK TOLOL!!!! SEGERA RASAKAN HUKUMAN PUKUL PANTAT 100
KALI!!!” dan aku menangis meraung-raung memohon pengampunannya.
“Apa
ini gara-gara kelakuan Tita dulu?” tanyanya membuyarkan lamunanku tentang
pantatku yang dipukuli hakim Bao. Tita, Tita siapa? Aku kemudian ingat cewek
yang menangis meraung-raung setiap melihatku atas balasan dari semua
kejahilannya.
“Tidak!
Ada apa dengan Tita?” aku berusaha berbohong lagi. Tiba-tiba dia menggeser
kursinya ke sebelahku dan itu sangat gawat! Aroma kopi yang sedari tadi
kuhindari mulai muncul menusuk hidungku. Aku berusaha mengalihkan konsentrasiku
dengan membayangkan taman bunga warna-warni dengan wangi taman. Tapi yang
muncul malah bayangan hakim Bao yang bersiap memukul pantatku sambil membawa
segelas kopi.
“Aku
minta maaf Si, aku benar – benar tidak tahu tentang kelakuan Tita saat itu. Aku
tak pernah mengerti bahwa semua kesialan yang terjadi padamu akibat ulah Tita
yang cemburu, aku…SISI!”
Teriakannya
tak kuindahkan ketika aku berlari meninggalkannya menuju toilet. Rasa mualku
begitu mendera dan bila kubiarkan saja maka akan ada dua kemungkinan yang terjadi.
Aku pingsan di hadapannya, aau aku muntah di hadapannya. Yang paling parah bila
terjadi kemungkinan aku memuntahinya kemudian pingsan. Maka tanpa mengambil
resiko aku segera berlari ke toilet.
“Sisi,
kau baik-baik saja?” terdengar suaranya di luar toilet. Kujawab dengan suara
muntahanku. Dia terdiam sesaat kemudian memanggil namaku kembali ketika suara
muntahanku terhenti.
“Maaf,
bisakah kau meninggalkanku?” pintaku dari dalam toilet.
“Aku
akan mengantarmu pulang!” ujarnya. Itu tawaran yang sangat menyenangkan.
Menaiki motornya berdua. Memegang pinggulnya sambil sesekali bercanda,
mengenang masa lalu. Mengagumi punggungnya yang begitu lebar dan kokoh,
kemudian memuntahinya. Oh…, itu tak boleh terjadi.
“Tidak,
aku akan pulang sendiri. Tolong segera pergi!” tolakku separuh berteriak agar
dia dengar.
Sempat
senyap sesaat sebelum tiba, tiba dia berucap lirih,”maafkan aku Si…”
Kenapa
nada suaranya begitu pilu? Apa yang terjadi. Ku segera berlari keluar dan menemui
meja kami sudah kosong. Mataku terasa panas karena ingin menangis, tapi beberapa
orang melihat kearahku yang terlihat panik. Mungkin mereka berpikir aku lupa
membawa dompet dan tak bisa membayar. Tapi aku tak peduli. Aku menyesali
perkataanku padanya tadi. Ingin rasanya berteriak, “HAKIM BAOOO… INI BOKONG
SAYAAAA….!!!!”
****
Setelah
kejadian kemarin Hendra mulai menjauhiku. Bahkan ketika Mila menyapanya ketika
kami berpapasan dia seakan tak melihat sosokku. Aku merasakan hatiku terasa
sakit setiap dia tak mengindahkan kehadiranku. Apa ini juga yang dia rasakan
beberapa hari yang lalu? Aku merasa sangat menyesal.
“Tenang
saja, besok dia kan bakal kumpul bersama kta mengerjakan tugas biologi,”ujar
Mila,”kau lupa?”
Aku
teringat akan kesempatanku besok. Benar, aku tinggal membut alasan yang masuk
akal seperti sakit atau baru saja terjatuh dan mendapat gegar otak ringan
karena mengantuk setelah semalaman menonton film cina Hakim Bao di tivi lokal.
Tinggal melewati satu hari saja dan aku bisa menyatakan semua alasan konyolku
tadi kepadanya.
Tapi
akhirnya semua alasan itu terkuci di dalam pikiranku saja. Sore ini dia tidak
datang. Eno menyerahkan bagiannya ketika kami berkumpul.
“Tadi
siang Hendra pergi ke rumahku untuk mengerjakan bagiannya. Dia gak bisa ikut
kerja kelompok sore ini,” ujar Eno santai. Tapi hatiku bergejolak dan menemukan
kenyataan bahwa dia membenciku. Si cowok kopi membenciku.
***
“Apa
menurutmu kau tidak pantas mendapatkannya?”
Aku
melotot ke arah Mila ketika dia mengatakan hal itu. Sahabatnya bersedih karena
seorang pria baru saja membencinya dan dia mengatakan hal seperti itu. Aku
sedikit merasa menyesal menyediakan waktuku untuk curhat kepadanya dan
saudarinya di kamar Mila sore ini daripada menonton film kesukaanku, Hakim Bao.
“Kau suka dia! Itu jelas!” ujar kakak Mila
tiba-tiba. Wajahnya sangat mirip dengan Mila hanya saja lebih tua. Seorang
mahasiswi psikolog yang menghadapi semester-semester akhir kehidupan kampusnya.
“Aku
pikir juga gitu mbak!” sahut Mila.
“Aku
enggak!” sanggahku sengit melawan semua pendapat mereka.
“Trus
kenapa nangis? Harusnya kamu senang bisa lepas dari orang yang bisa membuatmu
jadi mesin muntah sepanjang waktu,” aku ingin menyanggah perkataan kakak Mila
tapi itu akan membuat Hakim Bao muncul di bayanganku untuk memukul pantatku
lagi sebanyak 100kali. Semua yang dikatakan Kakak Mila terasa benar.
“Kenapa
aku selalu mual di dekat dia? Dia yang membuat aku trauma dengan bau kopi
selama 3 tahun terakhir.”
“Kukira
itu efek dari penolakanmu atas perasaanmu yang sesungguhnya,” ujar kakak Mila.
“Sebaiknya
malam ini kau pikirkan perasaanmu Si. Besok kau temui dia,” usul Mila padaku.
Aku memeluknya erat sedikit terisak.
“Mil,”
kupanggil namanya pelan dalam pelukanku. Dia menjawab dengan erangan singkat
menunggu lanjutan perkataanku.”Nonton Hakim Bao yuk!”
Dan
aku sudah berada di bawah kasur dengan sebuah bantal di mukaku.
****
Undangan
Mila pada cowok kopi itu untuk menemuiku di taman belakang sekolah dipenuhi
olehnya. Dia berdiri tepat dihadapanku. Secara lebih terperinci berdiri tepat 4
meter di hadapanku. Jarak yang cukup aman untukku supaya tak mencium aroma
kopinya.
Wajahnya
terlihat masam melihatku yang berdiri cukup jauh darinya. Tapi ini harus
kulakukan. Aku harus mengatakan semuanya tanpa ada interverensi muntahan mendadak
yang terjadi. Ketika dia berusaha maju selangkah untuk mendekatiku maka aku
akan mundur selangkah.
“Apa
yang ingin kau bicarakan?” tanyanya sinis. Aku menghela nafas pelan. Berusaha
mengatur semua emosiku.
“Ini
tentang kejadian beberapa hari yang lalu. Ah tidak, ini soal kejadian yang
sebenarnya sudah lama,” ujarku. Dia menatapku tajam.
“Bukankah
sudah jelas kau membenciku. Maka aku akan menjauh darimu seperti yang kau
harapkan!” ujarnya sambil melengos pergi. Aku yang panik melihat kepergiannya
tanpa sadar berlari ke arahnya dan meraih lengannya yang kokoh.
“Bukan
begitu! Ini gak seperti yang kau
pikirkan!” ujarku berteriak dan tanpa sadar aku menceritakan semua hal tentang
rasa traumaku pada aroma kopi. Dia tercengang mendengarnya. Tak lama aku baru
tersadar bahwa aroma kopi dari tubuhnya mulai memasuki hidungku lagi. Membuatku
sangat mual dan pergi menuju rerumputan terdekat untuk menumpahkan semuanya.
Rasa
malu menerjangku, sekarang dia tahu bagaimana kondisiku sebenarnya. Sambil
tetap terduduk di atas tanah aku mulai terisak. Dia mendekatiku pelan tapi
akhirnya dengan kesadaran, menjaga jarak dariku.
“Maaf,
aku tak tahu kalau kejadiannya seperti itu. Kurasa memang sebaiknya aku tak
mendekatimu lagi Si,” aku mulai menangis mendengar dia mengatakan hal itu.
“Sebenarnya
aku sangat senang bertemu denganmu lagi setelah kita berpisah selama 3 tahun.
Kau benar-benar sahabat terbaikku ketika itu Sisi. Aku sangat menyesal atas apa
yang Tita lakukan hingga membuatmu jadi seperti ini. Maafkan aku Si,” ujarnya
lagi
“Sebetulnya
bukan Tita yang menyebabkan aku menjadi seperti ini. Dia sudah menerima
pelajaran dariku dan aku juga sudah melupakan semua perlakuannya. Kukira ini
semua karena kesalahanku sendiri,” ujarku sambil tetap terduduk
membelakanginya. Aku takut melihat ekspresinya jika aku mengatakan semuanya.
“Maksudmu
bagaimana?”
“Aku
sepertinya menolak semua kehadiranmu, bukan karena Tita, tapi karena
mengingkari perasaanku sendiri. Karena sepertinya aku sudah menyukaimu dari
dulu tapi begitu takut mengatakannya padamu. Dan Tita hanya subyek yang
mengingatkanku akan kebodohanku sendiri.”
Suasana
menjadi sangat hening. Aku sama sekali tak berani menoleh ke arahnya. Hatiku
berkecamuk memikirkan apa yang saat ini Hendra pikiran. Apa dia akan langsung
menganggapku cewek aneh dan meninggalkanku? Apapun yang terjadi aku merasa
pasrah karena aku sudah tidak punya pilhan saat ini.
“Tunggu
sebentar!” tiba-tiba dia berteriak. Aku menoleh spontan ke arahnya dan terlihat
dia sudah berlari menjauh. Bagus, tepat seperti yang kupikirkan. Setelah ini
aku akan mendapatkan predikat cewek aneh yang sudah patah hati. Aku akan ikut
grup pemulih trauma dan berkata di setiap pertemuan pemulihannya, ‘Saya pernah ada
di posisi anda dan saya sudah melewatinya. Berterimakasihlah pada Hakim Bao
yang menemani setiap kesendirian saya dengan adegan hukuman pukul bokongnya.
Mari kita dukung supaya serial Hakim Bao selalu ada.’
Aku
melangkah lunglai meninggalkan taman sambil menata perasaanku yang sedih.
Wajahku mulai memerah dan bersiap untuk menangis. Ketika tiba-tiba aku
merasakan ada sosok yang berdiri di hadapanku. Dengan nafas terengah-engah
Hendra berdiri di hadapanku. Peluhnya bercucuran di sekitar keningnya. Bahkan
bajunya tampak basah oleh keringat. Wajahnya memerah akibat berlarian. Apa yang
dia lakukan? Apa pengakuan seorang gadis aneh yang alergi aroma kopi membuatnya
stres? Saking stresnya hingga dia harus berlarian agar otaknya kembali normal.
Tapi
yang jauh membingungkan adalah ketika dia memelukku. Aku meronta karena
terkejut tapi dia tidak melepaskan pelukannya. Aku bersiap untuk muntah di
dadanya sampai kusadari aroma kopi dari tubuhnya tidak muncul. Malah yang muncul
adalah aroma pafum yang begitu menyengat. Dari jauh kulihat Mila tampak kesal
sambil mebawa botol parfum miliknya yang hampir kosong.
“Aku
juga menyukaimu selalu Sisi! Maafkan aku yang terlambat mengatakannya padamu,”
ujar Hendra. Aku melihat wajahnya yang kali ini memerah karena malu. Senyumku
merekah sempurna dan lenganku membalas pelukannya. Kurasa kali ini aku akan
mulai menyukai aroma kopi.
“Tunggu
dulu, apa maksudmu sudah memberi pelajaran pada Tita? Apa kau yang selalu
disebutnya setan pemukul bokong?” tanya Hendra.
Aku
terperajat. Setan pemukul bokong? Sebutan yang sangat jelek. Ingatanku melayang
ketika aku memberikan pelajaran pada Tita dengan memukul bokongnya dengan
menggunakan penggaris kayu sambil berteriak, “RASAKAN HUKUMAN HAKIM BAO!!!”
bwuahahaha..hakim bao pemukul bokong..masa sma dng aroma kopi dann teteup unsur2 komedi sllu ada..menghibur
BalasHapuswekekekekekekekekekekek
Hapusmain terus kesini ya...
monggo di baca juga Kawin kontraknya
Ckckkkkkkk.....
BalasHapusAq suka gaya mbk rike yg kyk gini.....
Gokil abis.......
suka bangetttss... terus berkarya sist..
BalasHapusHaduhh pg2 baca ini bikin ngikik sendiri hihihihi gawatttt bakal d kira kurang saons >~<
BalasHapusSo cuittt ceritanya ,