Minggu, 27 Januari 2013

3. Biji Kopi 3: Kopi dan Senyuman Itu



Rintik hujan menghalangi pandanganku. Tetapi sosoknya dibalik kaca masih tampak. Masih sama seperti saat terakhir aku melihatnya. Bahkan mungkin  masih sama seperti saat aku pertama kali melihatnya. Sosok yang begitu membekas pada setiap kepingan ingatanku.
Tetesan air yang jatuh diwajahku menghantarkan kembali akan ingatanku saat itu. Saat itupun hujan. Hanya saja kali itu aku kering tidak seperti saat ini. Menatap setiap wajah yang asing dihadapanku dihari pertama pelatihan itu dimulai. Melatih juniorku di universitas sebagai bentuk kepedulianku yang mantan mahasiswa dari universitas. Atau hanya alasan dari bos-ku saja supaya aku bisa menemukan seseorang yang membuatku lebih tertarik akan hubungan manusia.
Semuanya begitu menjemukan hingga dia datang. Datang terlambat, dengan baju yang sedikit basah karena hujan di luar. Menimbulkan keributan karena sikapnya yang terburu-buru. Saat itu aku bisa memilih untuk bersikap marah, ataupun mengejeknya haya untuk menunjukkan ketegasanku, tetapi senyuman diwajahnya seakan menahan semua itu.
Sungguh, dia sama sekali bukan tipeku. Wajahnya selalu dipenuhi make up dan aku benci wanita ber-make up. Badannya cenderung berisi, sedangkan wanita yang membuatku selalu menoleh adalah wanita yang berbadan semampai. Tapi entah kenapa aku begitu penasaran akan senyumnya, akan semua cerita-ceritanya, dan akan semua kemandiriannya. Semuanya membuatku lupa akan tipikal wanita idamanku. Dan ketika hujan membasahi wajahnya suatu ketika, menghapus semua topeng berwarna-warni di wajahnya, aku tersadar telah jatuh kedalam jurang bernama cinta. Bahkan jauh sebelum saat itu.
 Segelas kopi telah terhidang dihadapannya. Wajahnya tampak puas telah menyelesaikan segelas kopi itu. Tak lama datang wanita lain mengambilnya dan mengantarkannya pada seorang pria di meja bundar. Pria itu pasti akan sangat menyukai kopi yang ada di depannya. Aku tahu, benar-benar tahu. Aku sudah pernah mencobanya.
Dia selalu datang ke kantor membawakanku kopi buatannya. Senyumnya yang menawan sambil melambai-lambaikan tangannya dari luar jendela kantorku selalu membuatku menjadi sasaran empuk bos-ku. Sungguh aku sangat malu tiap kali pria gendut itu mengejekku, seakan-akan aku telah menjadi pria normal dengan mulai memiliki hubungan. Aku memang pria normal sedari dulu, hanya saja aku belum menemukan seseorang yang membuatku ingin membangun sebuah hubungan. Sampai aku bertemu dia.
Tapi rasa malu yang kurasa sepertinya tidak sebanding akan rasa senang ketika aku melihatnya datang. Tidak sebanding dengan waktu yang dia korbankan hanya untuk membuat dan mengantarkan kopi ketika aku harus berjuang dengan semua desain yang harus kupikirkan. Tidak sebanding dengan senyum yang dia berikan ketika udara malam yang dingin menggigit harus menusuk kulitnya.
Begitu besar hasratku untuk memeluknya, tapi semua baru terjadi beberapa tahun kemudian. Ketika dia duduk bersebelahan denganku. Ketika sebuah kain berwarna putih melingkari kami. Ketika mulutku sudah berjanji menjaganya sampai akhir di hadapan Tuhan. Ketika senyumnya bercampur dengan tangis. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa dia begitu sempurna tercipta untukku.
Aku masih berdiri di tengah hujan, menatap kedai kopi itu. Menatap dia yang begitu kurindukan di dalam sana. Beberapa orang mulai melihat aneh ke arahku. Tapi semua itu tak mengalihkan pandanganku pada dia yang sedang sibuk membuat beberapa gelas kopi lagi di kedai itu. Badannya jauh menyusut semenjak saat itu. Rambutnya yang biasanya tergerai sekarang terikat rapi. Sudah lama aku tidak melihat rambut hitam panjang itu terikat.
  Buatku rambutnya yang indah itu akan semakin indah apabila tergerai. Semenjak aku berkata seperti itu rambutnya selalu tergerai. Entahlah, setidaknya di hadapanku. Aku selalu menyukai sensasi ketika rambutnya menyentuh wajahku ketika dia menciumku di tengah tidurku. Aku menyukai sensasi ketika membelai rambutnya ketika dia bersandar di bahuku. Aku menyukai gerakan rambutnya yang melayang ketika angin berhembus begitu kencang. Aku sangat menyukainya.
Dia selalu berkata itu semua karena kami berjodoh. Dia selalu percaya akan ikatan jodoh. Sejauh apapun, sesulit apapun, selama apapun, ketika berjodoh maka kami akan dipertemukan. Aku selalu tersenyum ketika mendengar pendapatnya. Tapi akhirnya aku mengutuk saat aku hanya tersenyum mendengarnya. Seharusnya aku menyanggahnya, melarangnya berpikir seperti itu. Mengatakan padanya betapa jodoh adalah sesuatu yang tak boleh dipisahkan. Betapa jodoh bukan alasan untuknya pergi
Entahlah, sampai sebelum aku melihatnya di tempat ini, saat ini, aku begitu menyanggah semua pendapatnya. Aku begitu mengutuk sikapku yang membiarkan dia pergi. Pergi ketika seharusnya aku melindunginya. Pergi sambil berserah dan mengatakan pendapatnya akan jodoh lagi.
Mengatakan betapa dia mencintaiku. Mengatakan bahwa dia akan mempercayai bahwa kami berjodoh. Mengatakan bahwa dia yakin kalau aku akan menemukannya disaat yang tepat karena kami berjodoh. Sejauh apapun jarak antara kami. Meninggalkanku dengan selembar surat yang dipaksakan orang tuaku untuk dia menyetujuinya. Meninggalkanku dengan segelas kopi terakhir yang dia buatkan untukku.
Setelah itu hari-hariku dipenuhi dengan kekosongan. Dipenuhi dengan penderitaan akan pencarianku terhadapnya. Seakan-akan semua dunia menutup kehadirannya dihadapanku. Seakan-akan ini adalah hukuman karena aku terlalu lamban untuk mencegahnya pergi. Hukuman karena aku terlambat bersikap ksatria untuknya. Hukuman yang membuatku hampir gila. Hukuman yang membuat orang tuaku tersadar akan betapa egoisnya mereka terhadapku.
Sampai saat ini, ketika aku sudah berada di depan kedai ini. Menatapnya di dalam sana. Langkahku terhenti, sama sekali tak bisa melangkah maju unutk menemuinya. Terlalu takut apabila dia menolak dan hatiku kembali hancur. Terlalu takut untuk kehilangan senyumnya yang sebenarnya telah lama hilang karena sikapku. Dan yang bisa kulakukan hanya menangis. Menangis di tengah hujan karena egoku terlalu besar untuk menangis di hadapannya. Menangisi betapa pengecutnya aku. Semua bayangan itu, akan dirinya, senyumannya, sosoknya, kopi buatannya muncul bergantian. Tapi ku masih terpaku di tengah hujan tak bisa maju.
Mata yang menatapku semakin banyak. Beberapa dari mereka juga menggunjingkan tingkahku. Menganggapku sebagai orang gila, mungkin malah maniak yang sedang menunggu mangsanya. Beberapa pelayan di kedai itu juga tampaknya ada yang sadar akan kehadiranku. Mereka berbisik satu sama lain. Tapi aku sudah tidak peduli. Perasaanku yang kalut seakan sudah menemukan kebahagiaan ketika akhirnya bisa melihatnya kembali. Menemukannya setelah sekian lama menghilang dari sisiku. Hatiku yang dingin seakan sudah kembali menghangat.
Dia begitu rupawan sejak awal aku bertemu sampai saat ini. Dialah wanita yang selalu kutunggu untuk hadir. Wanita yang sebenarnya mampu untuk memiliki pria yang lebih baik dari aku. Dan saat ini dia berdiri di dalam sana menahan sakit akan semua yang telah terjadi. Berdiri dengan tatapan kosong sambil melap gelas dihadapannya. Sampai seorang pelayan wanita berbisik padanya.
Mata kami bertatapan. Aku terkejut dan kalut. Pikiranku meneriakkan pada kakiku untuk segera pergi, tapi hatiku seakan menahannya. Akhirnya aku tetap berdiri, menatapnya yang berlari kearahku. Kami berdiri ditengah hujan. Wajahnya yang cantik basah karena hujan, mengingatkanku akan pertemuan pertama kami.
“Apa ini sudah menjadi bukti kalau kita memang jodoh?” tanyaku lantang menantang suara derasnya hujan. Beberapa orang mulai melihat kami. Para karyawan di dalam kedai kopi pun bergerombol menatap kami.
Aku masih menunggu jawabannya. Aku menunggu akan jawaban seperti apa yang dia berikan. Sesaat aku melihat senyuman yang begitu kurindukan itu. Senyuman yang begitu meluluhkan hatiku sejak awal. Sebuah pelukan menghampiriku, memberikan kehangatan bagi ragaku yang dingin terkena terpaan hujan. Hangat, seperti kopi yang dia berikan malam itu.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar