Rintik hujan menghalangi pandanganku. Tetapi sosoknya dibalik
kaca masih tampak. Masih sama seperti saat terakhir aku melihatnya. Bahkan
mungkin masih sama seperti saat aku pertama kali melihatnya. Sosok yang
begitu membekas pada setiap kepingan ingatanku.
Tetesan air yang jatuh diwajahku menghantarkan kembali akan
ingatanku saat itu. Saat itupun hujan. Hanya saja kali itu aku kering tidak
seperti saat ini. Menatap setiap wajah yang asing dihadapanku dihari pertama
pelatihan itu dimulai. Melatih juniorku di universitas sebagai bentuk
kepedulianku yang mantan mahasiswa dari universitas. Atau hanya alasan dari
bos-ku saja supaya aku bisa menemukan seseorang yang membuatku lebih tertarik
akan hubungan manusia.
Semuanya begitu menjemukan hingga dia datang. Datang
terlambat, dengan baju yang sedikit basah karena hujan di luar. Menimbulkan
keributan karena sikapnya yang terburu-buru. Saat itu aku bisa memilih untuk
bersikap marah, ataupun mengejeknya haya untuk menunjukkan ketegasanku, tetapi
senyuman diwajahnya seakan menahan semua itu.
Sungguh, dia sama sekali bukan tipeku. Wajahnya selalu
dipenuhi make up dan aku benci wanita ber-make up. Badannya cenderung berisi,
sedangkan wanita yang membuatku selalu menoleh adalah wanita yang berbadan
semampai. Tapi entah kenapa aku begitu penasaran akan senyumnya, akan semua
cerita-ceritanya, dan akan semua kemandiriannya. Semuanya membuatku lupa akan
tipikal wanita idamanku. Dan ketika hujan membasahi wajahnya suatu ketika,
menghapus semua topeng berwarna-warni di wajahnya, aku tersadar telah jatuh
kedalam jurang bernama cinta. Bahkan jauh sebelum saat itu.
Segelas kopi telah terhidang dihadapannya. Wajahnya
tampak puas telah menyelesaikan segelas kopi itu. Tak lama datang wanita lain
mengambilnya dan mengantarkannya pada seorang pria di meja bundar. Pria itu
pasti akan sangat menyukai kopi yang ada di depannya. Aku tahu, benar-benar
tahu. Aku sudah pernah mencobanya.
Dia selalu datang ke kantor membawakanku kopi buatannya.
Senyumnya yang menawan sambil melambai-lambaikan tangannya dari luar jendela
kantorku selalu membuatku menjadi sasaran empuk bos-ku. Sungguh aku sangat malu
tiap kali pria gendut itu mengejekku, seakan-akan aku telah menjadi pria normal
dengan mulai memiliki hubungan. Aku memang pria normal sedari dulu, hanya saja
aku belum menemukan seseorang yang membuatku ingin membangun sebuah hubungan.
Sampai aku bertemu dia.
Tapi rasa malu yang kurasa sepertinya tidak sebanding akan
rasa senang ketika aku melihatnya datang. Tidak sebanding dengan waktu yang dia
korbankan hanya untuk membuat dan mengantarkan kopi ketika aku harus berjuang
dengan semua desain yang harus kupikirkan. Tidak sebanding dengan senyum yang
dia berikan ketika udara malam yang dingin menggigit harus menusuk kulitnya.
Begitu besar hasratku untuk memeluknya, tapi semua baru
terjadi beberapa tahun kemudian. Ketika dia duduk bersebelahan denganku. Ketika
sebuah kain berwarna putih melingkari kami. Ketika mulutku sudah berjanji
menjaganya sampai akhir di hadapan Tuhan. Ketika senyumnya bercampur dengan
tangis. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa dia begitu sempurna tercipta
untukku.
Aku masih berdiri di tengah hujan, menatap kedai kopi itu.
Menatap dia yang begitu kurindukan di dalam sana. Beberapa orang mulai melihat
aneh ke arahku. Tapi semua itu tak mengalihkan pandanganku pada dia yang sedang
sibuk membuat beberapa gelas kopi lagi di kedai itu. Badannya jauh menyusut
semenjak saat itu. Rambutnya yang biasanya tergerai sekarang terikat rapi.
Sudah lama aku tidak melihat rambut hitam panjang itu terikat.
Buatku rambutnya yang indah itu akan semakin
indah apabila tergerai. Semenjak aku berkata seperti itu rambutnya selalu
tergerai. Entahlah, setidaknya di hadapanku. Aku selalu menyukai sensasi ketika
rambutnya menyentuh wajahku ketika dia menciumku di tengah tidurku. Aku
menyukai sensasi ketika membelai rambutnya ketika dia bersandar di bahuku. Aku
menyukai gerakan rambutnya yang melayang ketika angin berhembus begitu kencang.
Aku sangat menyukainya.
Dia selalu berkata itu semua karena kami berjodoh. Dia selalu
percaya akan ikatan jodoh. Sejauh apapun, sesulit apapun, selama apapun, ketika
berjodoh maka kami akan dipertemukan. Aku selalu tersenyum ketika mendengar
pendapatnya. Tapi akhirnya aku mengutuk saat aku hanya tersenyum mendengarnya.
Seharusnya aku menyanggahnya, melarangnya berpikir seperti itu. Mengatakan
padanya betapa jodoh adalah sesuatu yang tak boleh dipisahkan. Betapa jodoh
bukan alasan untuknya pergi
Entahlah, sampai sebelum aku melihatnya di tempat ini, saat ini,
aku begitu menyanggah semua pendapatnya. Aku begitu mengutuk sikapku yang
membiarkan dia pergi. Pergi ketika seharusnya aku melindunginya. Pergi sambil
berserah dan mengatakan pendapatnya akan jodoh lagi.
Mengatakan betapa dia mencintaiku. Mengatakan bahwa dia akan
mempercayai bahwa kami berjodoh. Mengatakan bahwa dia yakin kalau aku akan
menemukannya disaat yang tepat karena kami berjodoh. Sejauh apapun jarak antara
kami. Meninggalkanku dengan selembar surat yang dipaksakan orang tuaku untuk
dia menyetujuinya. Meninggalkanku dengan segelas kopi terakhir yang dia buatkan
untukku.
Setelah itu hari-hariku dipenuhi dengan kekosongan. Dipenuhi
dengan penderitaan akan pencarianku terhadapnya. Seakan-akan semua dunia
menutup kehadirannya dihadapanku. Seakan-akan ini adalah hukuman karena aku
terlalu lamban untuk mencegahnya pergi. Hukuman karena aku terlambat bersikap
ksatria untuknya. Hukuman yang membuatku hampir gila. Hukuman yang membuat
orang tuaku tersadar akan betapa egoisnya mereka terhadapku.
Sampai saat ini, ketika aku sudah berada di depan kedai ini.
Menatapnya di dalam sana. Langkahku terhenti, sama sekali tak bisa melangkah
maju unutk menemuinya. Terlalu takut apabila dia menolak dan hatiku kembali
hancur. Terlalu takut untuk kehilangan senyumnya yang sebenarnya telah lama
hilang karena sikapku. Dan yang bisa kulakukan hanya menangis. Menangis di
tengah hujan karena egoku terlalu besar untuk menangis di hadapannya. Menangisi
betapa pengecutnya aku. Semua bayangan itu, akan dirinya, senyumannya, sosoknya,
kopi buatannya muncul bergantian. Tapi ku masih terpaku di tengah hujan tak
bisa maju.
Mata yang menatapku semakin banyak. Beberapa dari mereka juga
menggunjingkan tingkahku. Menganggapku sebagai orang gila, mungkin malah maniak
yang sedang menunggu mangsanya. Beberapa pelayan di kedai itu juga tampaknya
ada yang sadar akan kehadiranku. Mereka berbisik satu sama lain. Tapi aku sudah
tidak peduli. Perasaanku yang kalut seakan sudah menemukan kebahagiaan ketika
akhirnya bisa melihatnya kembali. Menemukannya setelah sekian lama menghilang
dari sisiku. Hatiku yang dingin seakan sudah kembali menghangat.
Dia begitu rupawan sejak awal aku bertemu sampai saat ini.
Dialah wanita yang selalu kutunggu untuk hadir. Wanita yang sebenarnya mampu
untuk memiliki pria yang lebih baik dari aku. Dan saat ini dia berdiri di dalam
sana menahan sakit akan semua yang telah terjadi. Berdiri dengan tatapan kosong
sambil melap gelas dihadapannya. Sampai seorang pelayan wanita berbisik
padanya.
Mata kami bertatapan. Aku terkejut dan kalut. Pikiranku
meneriakkan pada kakiku untuk segera pergi, tapi hatiku seakan menahannya.
Akhirnya aku tetap berdiri, menatapnya yang berlari kearahku. Kami berdiri
ditengah hujan. Wajahnya yang cantik basah karena hujan, mengingatkanku akan
pertemuan pertama kami.
“Apa ini sudah menjadi bukti kalau kita memang jodoh?”
tanyaku lantang menantang suara derasnya hujan. Beberapa orang mulai melihat
kami. Para karyawan di dalam kedai kopi pun bergerombol menatap kami.
Aku masih menunggu jawabannya. Aku menunggu akan jawaban
seperti apa yang dia berikan. Sesaat aku melihat senyuman yang begitu
kurindukan itu. Senyuman yang begitu meluluhkan hatiku sejak awal. Sebuah
pelukan menghampiriku, memberikan kehangatan bagi ragaku yang dingin terkena
terpaan hujan. Hangat, seperti kopi yang dia berikan malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar