cerita ini sebetulnya berdasarkan kenanganku.
Penulisan cerita ini berdasarkan kenangan akan pria yang sama dengan tokoh
utama. Berasa kangen banget jadinya. huhuiii....
“Kopi? Kami gak merasa memesan itu!”
Pelayan kafe itu mulai kebingungan. Sementara Andini terlihat
kesal karena sampai saat ini pesanan kami masih belum diantar, sedangkan
pelayan itu membawakan pesanan yang salah. Sementara, saat ini kafe begitu
lengang tanpa seorangpun pengunjung kecuali kami berdua. Segelas besar kopi
yang berwarna hitam pekat mengepulkan asap kabut keputihan. Tak beberapa lama
sepertinya pelayan itupun mempunyai alasan yang cukup menarik untukku.
“Ini…ini bonus dari kami.”
Benar-benar jawaban yang salah. Sebenarnya itu bisa jadi
jawaban yang sangat menarik bagi orang lain. Tapi tidak bagi Andini, temanku
yang satu ini. Dia paling benci disuap. Dalam berbagai bentuk. Dan itu terlihat
jelas di raut wajahnya yang semakin terlihat masam saat ini.
“Baiklah, saya terima. Terimakasih!” jawabku sebelum Andini
mulai mengamuk. Ketika mengamuk dia akan meracau pada pelayan itu tentang bagaimana
hukum yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan suap. Pelayan itu
terlihat tertolong sekali dengan ucapanku, dan segera meninggalkan kami.
Sepertinya dia juga sudah merasakan bahaya yang akan mengancam hidupnya apabila
dia masih berada di tempat itu. Sementara Andini, kemarahannya sekarang
berbalik kepadaku. Dan aku selalu membalasnya dengan senyuman termanis yang
sampai saat ini kuharap bisa meluluhkannya.
“Kau tahu kan! Itu tadi bentuk suap! Kita disuap untuk
kelalaian dia dalam menghadirkan pesanan kita yang terlambat!” Aku tersenyum
lebih lebar mendengarnya. Entahlah, aku selalu menganggap Andini sedikit
berlebihan akan segala hal. Parahnya, dia akan selalu mengaitkannya dengan
hukum. Padahal dia bukan pengacara! Setidaknya belum.
“Aku anggap itu bentuk pelayanan. Kenapa kita tidak bisa
menerimanya dan menikmatinya saja?” jawabku kalem. Andini semakin memanas
melihatku dan terbayangkan semua perkataan yang akan dia ucapkan untuk mengubah
pandanganku.
“Kau mau disuap dengan segelas kopi Mel! Yang aku tahu kau
sama sekali tidak bisa meminumnya. Bahkan dia hanya membawa segelas!”
Awww… touche, kena deh! Bahkan aku sama
sekali tidak bisa meminum racikan kopi yang ada di depanku. Selalu saja dadaku
berdebar berlebihan karena efek kafein yang tidak bisa ditoleransi tubuhku.
“Banyak, cara menikmatinya selain harus meminumnya kan?”
jawabku tak mau kalah.
“Misalnya?”
“Menghirup aromanya!”
“Makan sampai kenyang tuh aroma kopimu!”
Aku tertawa tergelak. Andini tidak salah dalam
mengolokku, tapi akupun tidak sepenuhnya mengelak dengan jawabanku. Aku
benar-benar ingin menikmati aroma kopi ini. Sesaat ketika kopi ini datang aku
merasakan kerinduan terhadap seseorang yang sepertinya pernah muncul dalam
hidupku. Seseorang yang sangat aku cintai sehinggu membuatku selalu
merindukannya.
Yang jelas itu bukan aroma ayahku. Setidaknya, aku tidak akan
melupakannya. Hampir setiap jam pesan singkat dari ayah akan memenuhi kotak
pesan di ponselku. Ibuku selalu tergelak setiap aku mengeluh tentang kebiasaan
ayah padaku. “Seorang anak gadis akan selalu menjadi gadis kecil kesayangan
ayahnya.” Jawab ibu singkat. “Baiklah, kalau begitu biarkan gadis kecil berumur
24 tahun ini mendapatkan sedikit ruang di kotak pesannya sendiri.” Balasku
selalu.
Sebenarnya aku sendiri cukup senang dengan semua
perlakuan ayahku. Hanya saja, kadang ego kedewasaanku selalu ingin terlihat
mendominasi ketika ayah memperlakukanku seperti anak kecil. Bahkan, tak lama
setelah aku berpikir tentang ayah, pesan singkat darinya sudah kembali masuk ke
ponselku.
“Ayahmu sms lagi? Busyeeettt..., yang anak papa ni ye..!”
sindir Andini. Aku hanya tersenyum membalas gurauannya. Paling tidak apabila
memperolokku sudah membuatnya melupakan kejadian tadi, aku bisa ambil
resikonya.
“Din, menurutmu ada gak cowok yang sempat deket sama aku trus
gak pernah ku omongin lagi dalam beberapa waktu ini.” Tanyaku pada Andini. Dia
mengernyitkan dahinya, berusaha mengingat. Untung saja usahanya untuk berusaha
mengingat membuat perhatiannya teralihkan dari pelayan yang membawakan pesanan
kami. Setidaknya pelayan itu sudah selamat untuk kedua kalinya dari amukan
Andini akan lamanya pelayanan di kafe ini.
“Ah, ada satu! Bara! Dia kan cowok yang gak pernah kamu
omongin semenjak waktu itu!” jawab Andini. Jawaban yang membuat wajahku
berkerut seketika.
Bara, cowok metroseksual yang jauh lebih bisa memilihkan
lipstik untukku daripada ibuku sendiri. Hidupnya dihabiskan untuk merawat kulit
dan wajahnya daripada mengisi otaknya. Dan bodohnya dulu aku begitu
tergila-gila padanya. Daripada bau kopi, seluruh tubuhnya lebih berbau parfum.
Pembicaraan kami juga tidak pernah tentang politik ataupun hubungan antar
manusia. Dia lebih suka membicarakan penampilan seorang wanita yang seharusnya.
Seakan-akan dia memuja kecantikan seorang wanita. Tapi yang terjadi aku malah
menemukannya berpelukan dengan seorang pria di kamar kos-nya.
“Atau Akil Dekil! Bonbon! Arif!” lanjut Andini mengingatkan
satu persatu nama-nama pria yang sudah mulai kulupakan. Betapa persahabatan
yang mengerikan. Ketika kita bersahabat dengan seseorang sejak lama, maka dia
akan ingat setiap detil kejadian yang memalukan.
“Stop!” sanggahku sebelum Andini menyebutkan lebih banyak
lagi nama pria yang ingin aku lupakan selamanya. Aku mulai mengutuk diriku yang
begitu mudahnya terjebak dengan pria-pria brengsek macam mereka. Mengutuk
tentang betapa bodohnya aku mendapati diriku terjebak dengan cinta yang buta
bahkan tuli. Andini merengut dan mulai memakan pesanannya. Sesaat aku
mendengarnya menggerutu berbicara tentang ‘kau kan yang menanyakannya’, tapi
aku pura-pura tak mendengarnya.
Bau kopi dari gelas itu sedikit demi sedikit mulai terasa
samar. Mungkin karena memang kopi itu mulai mendingin atau karena terkalahkan
dengan aroma masakan yang ada di depanku. Tapi aku masih belum bisa mengingatnya.
Sosok pria yang membuatku begitu rindu ketika mencium aroma kopi ini. Itu
membuatku sedikit kalut. Dan Andini semakin memperburuk ingatanku dengan
mengucapkan nama-nama pria brengsek yang sempat ada dalam hidupku.
Tiba-tiba muncul seorang pria tua yang melewati kami menuju
meja pelayanan. Dari tubuh pria itu tercium wangi kopi yang sama dengan wangi
kopi yang ada di meja ini. Aku sudah bisa menduga kalau kopi di meja ini
sebenarnya milik pria itu. Apalagi pelayan yang mengantarkan kopi ke meja
kami tadi berkali-kali melirik ke meja ini.
Tiba-tiba sosok pria itu membuka kenanganku yang terkunci
lama dan hampir ku lupakan. Sosok pria yang dulu begitu kubanggakan setelah
ayahku. Sosok pria yang selalu memberi senyumnya yang terindah untukku kala itu.
Aku masih ingat banyak anak kecil yang menangis setelah melihat wajahnya.
Bahkan kadang orang dewasapun merasa gentar dekat dengannya. Tapi wajah itu
justru bisa meneduhkan hatiku dan menenangkan perasaanku.
Aku juga masih ingat genggamannya yang begitu erat seakan
takut aku akan menghilang. Aku juga teringat akan pandangan matanya yang
berubah menjadi sedih saat aku pergi. Dan yang masih terbayang adalah air
matanya yang menetes kala aku harus tergeletak lemas di rumah sakit karena
tipus.
Kakekku. Pria bermata tajam, memiliki rahang yang kuat dan
kulit yang hitam karena terpapar matahari. Pria yang begitu kuat di luar, tapi
begitu lembut di dalam hatinya. Pria yang begitu menyayangiku jauh melebihi
sayangnya pada anaknya sendiri, ayahku. Pria yang begitu membanggakan aku saat
dia bertemu setiap orang. Juga pria yang berbohong, yang mengatakan akan
melihatku menikah tapi ternyata harus menutup mata saat aku masih SMA.
Andini menatapku kebingungan. Begitu pula dengan pria tua di
meja pelayan yang menunggu kopinya dibuatkan kembali. Lama aku baru tersadar
kalau aku ternyata menangis ketika tanganku terbasahi oleh bulir air mataku.
Aku sedikit geli ketika Andini kebingungan memberiku tisu yang ada di dalam
tasnya.
“Maaf, apa gara-gara aku ingetin kamu sama cowok-cowok itu?”
tanya Andini menyesal. Aku tersenyum kecut.
“Gila aja. Gak ada nangis lagi buat mereka. Ini spesial buat
cowok yang lain lagi!” jawabku sekenanya.
Air mataku sudah kering dan wajah kakek mulai teringat jelas
sekarang. Betapa aroma kopi selalu mengingatkanku akan aroma tubuh kakek yang
tak pernah lelah menggendongku. Betapa kadang nafasnya yang berbau kopi selalu
tercium ketika kami bercanda. Betapa aku begitu merindukan aroma kopi seperti
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar