Minggu, 27 Januari 2013

2. Biji Kopi 2 : Kopi dan Kenangan Masa Lalu



cerita ini sebetulnya berdasarkan kenanganku. Penulisan cerita ini berdasarkan kenangan akan pria yang sama dengan tokoh utama. Berasa kangen banget jadinya. huhuiii....

“Kopi? Kami gak merasa memesan itu!”
Pelayan kafe itu mulai kebingungan. Sementara Andini terlihat kesal karena sampai saat ini pesanan kami masih belum diantar, sedangkan pelayan itu membawakan pesanan yang salah. Sementara, saat ini kafe begitu lengang tanpa seorangpun pengunjung kecuali kami berdua. Segelas besar kopi yang berwarna hitam pekat mengepulkan asap kabut keputihan. Tak beberapa lama sepertinya pelayan itupun mempunyai alasan yang cukup menarik untukku.
“Ini…ini bonus dari kami.”
Benar-benar jawaban yang salah. Sebenarnya itu bisa jadi jawaban yang sangat menarik bagi orang lain. Tapi tidak bagi Andini, temanku yang satu ini. Dia paling benci disuap. Dalam berbagai bentuk. Dan itu terlihat jelas di raut wajahnya yang semakin terlihat masam saat ini.
“Baiklah, saya terima. Terimakasih!” jawabku sebelum Andini mulai mengamuk. Ketika mengamuk dia akan meracau pada pelayan itu tentang bagaimana hukum yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan suap. Pelayan itu terlihat tertolong sekali dengan ucapanku, dan segera meninggalkan kami. Sepertinya dia juga sudah merasakan bahaya yang akan mengancam hidupnya apabila dia masih berada di tempat itu. Sementara Andini, kemarahannya sekarang berbalik kepadaku. Dan aku selalu membalasnya dengan senyuman termanis yang sampai saat ini kuharap bisa meluluhkannya.
“Kau tahu kan! Itu tadi bentuk suap! Kita disuap untuk kelalaian dia dalam menghadirkan pesanan kita yang terlambat!” Aku tersenyum lebih lebar mendengarnya. Entahlah, aku selalu menganggap Andini sedikit berlebihan akan segala hal. Parahnya, dia akan selalu mengaitkannya dengan hukum. Padahal dia bukan pengacara! Setidaknya belum.
“Aku anggap itu bentuk pelayanan. Kenapa kita tidak bisa menerimanya dan menikmatinya saja?” jawabku kalem. Andini semakin memanas melihatku dan terbayangkan semua perkataan yang akan dia ucapkan untuk mengubah pandanganku.
“Kau mau disuap dengan segelas kopi Mel! Yang aku tahu kau sama sekali tidak bisa meminumnya. Bahkan dia hanya membawa segelas!”
Awww… touche, kena deh! Bahkan aku sama sekali tidak bisa meminum racikan kopi yang ada di depanku. Selalu saja dadaku berdebar berlebihan karena efek kafein yang tidak bisa ditoleransi tubuhku.
“Banyak, cara menikmatinya selain harus meminumnya kan?” jawabku tak mau kalah.
“Misalnya?”
“Menghirup aromanya!”
“Makan sampai kenyang tuh aroma kopimu!”
 Aku tertawa tergelak. Andini tidak salah dalam mengolokku, tapi akupun tidak sepenuhnya mengelak dengan jawabanku. Aku benar-benar ingin menikmati aroma kopi ini. Sesaat ketika kopi ini datang aku merasakan kerinduan terhadap seseorang yang sepertinya pernah muncul dalam hidupku. Seseorang yang sangat aku cintai sehinggu membuatku selalu merindukannya.
Yang jelas itu bukan aroma ayahku. Setidaknya, aku tidak akan melupakannya. Hampir setiap jam pesan singkat dari ayah akan memenuhi kotak pesan di ponselku. Ibuku selalu tergelak setiap aku mengeluh tentang kebiasaan ayah padaku. “Seorang anak gadis akan selalu menjadi gadis kecil kesayangan ayahnya.” Jawab ibu singkat. “Baiklah, kalau begitu biarkan gadis kecil berumur 24 tahun ini mendapatkan sedikit ruang di kotak pesannya sendiri.” Balasku selalu.
 Sebenarnya aku sendiri cukup senang dengan semua perlakuan ayahku. Hanya saja, kadang ego kedewasaanku selalu ingin terlihat mendominasi ketika ayah memperlakukanku seperti anak kecil. Bahkan, tak lama setelah aku berpikir tentang ayah, pesan singkat darinya sudah kembali masuk ke ponselku.
“Ayahmu sms lagi? Busyeeettt..., yang anak papa ni ye..!” sindir Andini. Aku hanya tersenyum membalas gurauannya. Paling tidak apabila memperolokku sudah membuatnya melupakan kejadian tadi, aku bisa ambil resikonya.
“Din, menurutmu ada gak cowok yang sempat deket sama aku trus gak pernah ku omongin lagi dalam beberapa waktu ini.” Tanyaku pada Andini. Dia mengernyitkan dahinya, berusaha mengingat. Untung saja usahanya untuk berusaha mengingat membuat perhatiannya teralihkan dari pelayan yang membawakan pesanan kami. Setidaknya pelayan itu sudah selamat untuk kedua kalinya dari amukan Andini akan lamanya pelayanan di kafe ini.
“Ah, ada satu! Bara! Dia kan cowok yang gak pernah kamu omongin semenjak waktu itu!” jawab Andini. Jawaban yang membuat wajahku berkerut seketika.
Bara, cowok metroseksual yang jauh lebih bisa memilihkan lipstik untukku daripada ibuku sendiri. Hidupnya dihabiskan untuk merawat kulit dan wajahnya daripada mengisi otaknya. Dan bodohnya dulu aku begitu tergila-gila padanya. Daripada bau kopi, seluruh tubuhnya lebih berbau parfum. Pembicaraan kami juga tidak pernah tentang politik ataupun hubungan antar manusia. Dia lebih suka membicarakan penampilan seorang wanita yang seharusnya. Seakan-akan dia memuja kecantikan seorang wanita. Tapi yang terjadi aku malah menemukannya berpelukan dengan seorang pria di kamar kos-nya.
“Atau Akil Dekil! Bonbon! Arif!” lanjut Andini mengingatkan satu persatu nama-nama pria yang sudah mulai kulupakan. Betapa persahabatan yang mengerikan. Ketika kita bersahabat dengan seseorang sejak lama, maka dia akan ingat setiap detil kejadian yang memalukan.
“Stop!” sanggahku sebelum Andini menyebutkan lebih banyak lagi nama pria yang ingin aku lupakan selamanya. Aku mulai mengutuk diriku yang begitu mudahnya terjebak dengan pria-pria brengsek macam mereka. Mengutuk tentang betapa bodohnya aku mendapati diriku terjebak dengan cinta yang buta bahkan tuli. Andini merengut dan mulai memakan pesanannya. Sesaat aku mendengarnya menggerutu berbicara tentang ‘kau kan yang menanyakannya’, tapi aku pura-pura tak mendengarnya.
Bau kopi dari gelas itu sedikit demi sedikit mulai terasa samar. Mungkin karena memang kopi itu mulai mendingin atau karena terkalahkan dengan aroma masakan yang ada di depanku. Tapi aku masih belum bisa mengingatnya. Sosok pria yang membuatku begitu rindu ketika mencium aroma kopi ini. Itu membuatku sedikit kalut. Dan Andini semakin memperburuk ingatanku dengan mengucapkan nama-nama pria brengsek yang sempat ada dalam hidupku.
Tiba-tiba muncul seorang pria tua yang melewati kami menuju meja pelayanan. Dari tubuh pria itu tercium wangi kopi yang sama dengan wangi kopi yang ada di meja ini. Aku sudah bisa menduga kalau kopi di meja ini sebenarnya milik pria itu. Apalagi pelayan yang  mengantarkan kopi ke meja kami tadi berkali-kali melirik ke meja ini.
Tiba-tiba sosok pria itu membuka kenanganku yang terkunci lama dan hampir ku lupakan. Sosok pria yang dulu begitu kubanggakan setelah ayahku. Sosok pria yang selalu memberi senyumnya yang terindah untukku kala itu. Aku masih ingat banyak anak kecil yang menangis setelah melihat wajahnya. Bahkan kadang orang dewasapun merasa gentar dekat dengannya. Tapi wajah itu justru bisa meneduhkan hatiku dan menenangkan perasaanku.
Aku juga masih ingat genggamannya yang begitu erat seakan takut aku akan menghilang. Aku juga teringat akan pandangan matanya yang berubah menjadi sedih saat aku pergi. Dan yang masih terbayang adalah air matanya yang menetes kala aku harus tergeletak lemas di rumah sakit karena tipus.
Kakekku. Pria bermata tajam, memiliki rahang yang kuat dan kulit yang hitam karena terpapar matahari. Pria yang begitu kuat di luar, tapi begitu lembut di dalam hatinya. Pria yang begitu menyayangiku jauh melebihi sayangnya pada anaknya sendiri, ayahku. Pria yang begitu membanggakan aku saat dia bertemu setiap orang. Juga pria yang berbohong, yang mengatakan akan melihatku menikah tapi ternyata harus menutup mata saat aku masih SMA.
Andini menatapku kebingungan. Begitu pula dengan pria tua di meja pelayan yang menunggu kopinya dibuatkan kembali. Lama aku baru tersadar kalau aku ternyata menangis ketika tanganku terbasahi oleh bulir air mataku. Aku sedikit geli ketika Andini kebingungan memberiku tisu yang ada di dalam tasnya.
“Maaf, apa gara-gara aku ingetin kamu sama cowok-cowok itu?” tanya Andini menyesal. Aku tersenyum kecut.
“Gila aja. Gak ada nangis lagi buat mereka. Ini spesial buat cowok yang lain lagi!” jawabku sekenanya.
Air mataku sudah kering dan wajah kakek mulai teringat jelas sekarang. Betapa aroma kopi selalu mengingatkanku akan aroma tubuh kakek yang tak pernah lelah menggendongku. Betapa kadang nafasnya yang berbau kopi selalu tercium ketika kami bercanda. Betapa aku begitu merindukan aroma kopi seperti ini.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar