Asap kopi keluar perlahan dari cangkirku. Hujan sore ini
membuatku harus berhenti di café ini. Café yang cukup nyaman untuk menemani
suasana saat ini. Setelah ini, aku berencana akan pergi mengunjungi beberapa
tempat lagi sebelum akhirnya pulang kembali ke rumah dengan perasaan baru. Yah,
perasaan baru, lembaran baru, langkah baru dan terserah apa sebutan yag lain
untuk itu. Yang jelas, kuputuskan hari ini untuk mengakhirinya. Mengakhiri
perasaanku untukmu.
Perasaanku yang terjalin selama beberapa bulan di tahun ini.
Mungkin beberapa bulan terlalu sedikit untuk menyatakan jumlah waktu yang
kuhabiskan untuk memikirkanmu dalam tahun ini. Belum lagi untuk tiap
malam-malamku yang kuhabiskan untuk memikirkanmu. Padahal seluruh pagi dan
siangku telah hamper seluruhnya kau ambil untukmu, untuk memikirkanmu, atau
untuk sekedar menghubungimu. Apa kau pikir pekerjaanku tidak membutuhkan waktu
juga? Tapi dengan egoisnya sosokmu selalu muncul.
Bodohnya aku, padahal seluruh waktumu sebetulnya sudah di
rampas olehnya. Wanita di foto itu, yang kutemukan di meja kerjamu. Wanita yang
kau cintai tapi dia tak bisa membalasnya. Wanita yang dengan jelas sudah
menolakmu karena sahabatmu sendiri. Tapi sedetikpun waktumu tidak pernah kau
lepas untuk berhenti memikirkannya. Dan dengan sombongnya aku bertekad untuk
membuatmu bisa melupakannya.
Tapi kenapa kau balas dengan senyuman. Seakan-akan kau juga
berharap bisa melupakannya. Seakan-akan mengharapkan akulah orang yang bisa
membuatmu melupakannya. Omong kosong. Benarkah omong kosong?
Kau menatapku dengan pandangan itu. Pandangan yang seakan
membuatku yang kosong merasa penuh terisi. Bahkan sampai meluap. Pandangan yang
begitu lembut hingga membuat ku merasa meleleh. Merasa kebingungan akan berhenti
membalas tatapanmu atau malah meneruskan menatap wajahmu yang tampan. Tatapanmu
membuatku begitu malu, tetapi sudut hatiku begitu ingin membuatmu terus
menatapku. Tatapanmu serasa candu bagiku. Membuatku ketagihan, tak bisa
bernafas dan hampir gila tanpanya
Kau memelukku di tengah hujan. Memelukku yang tengah
menangis karena merasa harga diriku terinjak-injak oleh ulah seseorang.
Memelukku dengan lembut. Membisikkan kata-kata yang indah untuk menenangkan
hatiku. Suaramu, berbisik pelan di telingaku. Bahkan, tanpa kata-kata indahmu
akupun telah terhipnotis oleh suaramu yang begitu lembut. Berdesir di
telingaku. Tahukah kau, kau adalah satu-satunya pria yang membuat menjadi
lemah. Suaramu membuat seluruh ragaku serasa lemah dan lunglai.
Kau menggenggam tanganku, Menggenggam tanganku setiap kita
berjalan bersama. Menggenggam tanganku setiap mengenalkan namaku pada semua
temanmu. Setiap pandangan pria menatapku, genggamanmu akan semakin erat. Itu
membuatku gila!
Terlalu gilakah aku untuk mengharapkanmu? Semakin berpikir
maka semua jawaban tanpa logika berdengung di kepalaku seperti ribuan lebah
yang berpulang ke sarangnya. Semakin berpikir, maka dadaku terasa semakin
sakit. Seperti ribuan paku yang di hujamkan oleh pembunuh yang sadis. Pembunuh
tanpa rasa kasih. Pembunuh tanpa perasaan.
Pembunuh yang tanpa perasaan telah membunuh hatiku. Pembunuh
yang telah menghentikan pikiranku. Pembunuh yang telah membuatku kembali
menjadi waras. Kembali pada semua logika yang telah terlupakan.
Asap kopi dari cangkir di depanku semakin lama semakin
menipis. Kurasa ini saatnya menikmati rasa dari kopi yang kupesan. Rasanya
begitu manis. Pilihan yang menurutku bijak untuk tidak memesan kopi pahit.
Kurasa ini semua menjadi sebuah bukti apabila logika dan kewarasan itu telah kembali.
Jawaban yang logis untuk setiap pertanyaan yang terlontar
beberapa waktu yang lalu. Pertanyaan yang terlontar ditengah tangisku di malam
itu. Jawaban atas semua perlakuan itu. Jawaban atas jawabanmu sore sebelumnya.
Hanya sebagai adik? Semudah itu jawaban itu terlontar.
Setelahnya, malam-malamku dipenuhi pertanyaan tentang mengapa ataupun bagaimana
bisa. Butuh berbulan-bulan mendapatkan jawabannya. Butuh waktu yang lama untuk
melepaskan semua ketergantunganku akan candu yang telah tertanam didiriku.
Semua genggaman, semua perkenalan itu. Semua harapan yang
ternyata kosong itu. Menggenggam tanganku, memperkenalkanku, tapi tak pernah
sedikitpun terlontar di mulutmu tentang status kita. Jelas itu semua hasil dari
kesombonganku. Hasil dari semua perbuatanmu yang membuatku berharap.
Hujan sudah mulai reda, kopiku pun sudah tak tersisa. Mungkin
setelah ini Mall akan jadi pilihan yang baik untuk berbelanja. Kemudian merubah
model rambut yang telah kumiliki sejak lama ini di salon langgananku. Dan
sepertinya makan malam di resto bukan pilihan yang buruk sebelum pulang.
Ponselku mulai terasa panas di genggamanku. Satu pesan darimu
yang telah dikirim lama masih tersisa di kotak pesanku. Sudah waktunya
mengakhiri semuanya. Setelah ini, aku siap menerima semuanya dari awal lagi.
Mungkin nanti aku bisa berkenalan dengan seseorang di tengah perjalanan
pulangku atau kapan suatu saat nanti. Yang jelas, saat ini denganmu sudah
berakhir.
Yah...kok cm gt doang mbk....
BalasHapus