Minggu, 27 Januari 2013

1. Biji Kopi 1: Kopi di Sore Itu

Asap kopi keluar perlahan dari cangkirku. Hujan sore ini membuatku harus berhenti di café ini. Café yang cukup nyaman untuk menemani suasana saat ini. Setelah ini, aku berencana akan pergi mengunjungi beberapa tempat lagi sebelum akhirnya pulang kembali ke rumah dengan perasaan baru. Yah, perasaan baru, lembaran baru, langkah baru dan terserah apa sebutan yag lain untuk itu. Yang jelas, kuputuskan hari ini untuk mengakhirinya. Mengakhiri perasaanku untukmu.
Perasaanku yang terjalin selama beberapa bulan di tahun ini. Mungkin beberapa bulan terlalu sedikit untuk menyatakan jumlah waktu yang kuhabiskan untuk memikirkanmu dalam tahun ini. Belum lagi untuk tiap malam-malamku yang kuhabiskan untuk memikirkanmu. Padahal seluruh pagi dan siangku telah hamper seluruhnya kau ambil untukmu, untuk memikirkanmu, atau untuk sekedar menghubungimu. Apa kau pikir pekerjaanku tidak membutuhkan waktu juga? Tapi dengan egoisnya sosokmu selalu muncul.
Bodohnya aku, padahal seluruh waktumu sebetulnya sudah di rampas olehnya. Wanita di foto itu, yang kutemukan di meja kerjamu. Wanita yang kau cintai tapi dia tak bisa membalasnya. Wanita yang dengan jelas sudah menolakmu karena sahabatmu sendiri. Tapi sedetikpun waktumu tidak pernah kau lepas untuk berhenti memikirkannya. Dan dengan sombongnya aku bertekad untuk membuatmu bisa melupakannya.
Tapi kenapa kau balas dengan senyuman. Seakan-akan kau juga berharap bisa melupakannya. Seakan-akan mengharapkan akulah orang yang bisa membuatmu melupakannya. Omong kosong. Benarkah omong kosong?
Kau menatapku dengan pandangan itu. Pandangan yang seakan membuatku yang kosong merasa penuh terisi. Bahkan sampai meluap. Pandangan yang begitu lembut hingga membuat ku merasa meleleh. Merasa kebingungan akan berhenti membalas tatapanmu atau malah meneruskan menatap wajahmu yang tampan. Tatapanmu membuatku begitu malu, tetapi sudut hatiku begitu ingin membuatmu terus menatapku. Tatapanmu serasa candu bagiku. Membuatku ketagihan, tak bisa bernafas dan hampir gila tanpanya  
 Kau memelukku di tengah hujan. Memelukku yang tengah menangis karena merasa harga diriku terinjak-injak oleh ulah seseorang. Memelukku dengan lembut. Membisikkan kata-kata yang indah untuk menenangkan hatiku. Suaramu, berbisik pelan di telingaku. Bahkan, tanpa kata-kata indahmu akupun telah terhipnotis oleh suaramu yang begitu lembut. Berdesir di telingaku.  Tahukah kau, kau adalah satu-satunya pria yang membuat menjadi lemah. Suaramu membuat seluruh ragaku serasa lemah dan lunglai.
Kau menggenggam tanganku, Menggenggam tanganku setiap kita berjalan bersama. Menggenggam tanganku setiap mengenalkan namaku pada semua temanmu. Setiap pandangan pria menatapku, genggamanmu akan semakin erat. Itu membuatku gila!
Terlalu gilakah aku untuk mengharapkanmu? Semakin berpikir maka semua jawaban tanpa logika berdengung di kepalaku seperti ribuan lebah yang berpulang ke sarangnya. Semakin berpikir, maka dadaku terasa semakin sakit. Seperti ribuan paku yang di hujamkan oleh pembunuh yang sadis. Pembunuh tanpa rasa kasih. Pembunuh tanpa perasaan.
Pembunuh yang tanpa perasaan telah membunuh hatiku. Pembunuh yang telah menghentikan pikiranku. Pembunuh yang telah membuatku kembali menjadi waras. Kembali pada semua logika yang telah terlupakan.
Asap kopi dari cangkir di depanku semakin lama semakin menipis. Kurasa ini saatnya menikmati rasa dari kopi yang kupesan. Rasanya begitu manis. Pilihan yang menurutku bijak untuk tidak memesan kopi pahit. Kurasa ini semua menjadi sebuah bukti apabila logika dan kewarasan itu telah kembali.
Jawaban yang logis untuk setiap pertanyaan yang terlontar beberapa waktu yang lalu. Pertanyaan yang terlontar ditengah tangisku di malam itu. Jawaban atas semua perlakuan itu. Jawaban atas jawabanmu sore sebelumnya.
Hanya sebagai adik? Semudah itu jawaban itu terlontar. Setelahnya, malam-malamku dipenuhi pertanyaan tentang mengapa ataupun bagaimana bisa. Butuh berbulan-bulan mendapatkan jawabannya. Butuh waktu yang lama untuk melepaskan semua ketergantunganku akan candu yang telah tertanam didiriku.
Semua genggaman, semua perkenalan itu. Semua harapan yang ternyata kosong itu. Menggenggam tanganku, memperkenalkanku, tapi tak pernah sedikitpun terlontar di mulutmu tentang status kita. Jelas itu semua hasil dari kesombonganku. Hasil dari semua perbuatanmu yang membuatku berharap.
Hujan sudah mulai reda, kopiku pun sudah tak tersisa. Mungkin setelah ini Mall akan jadi pilihan yang baik untuk berbelanja. Kemudian merubah model rambut yang telah kumiliki sejak lama ini di salon langgananku. Dan sepertinya makan malam di resto bukan pilihan yang buruk sebelum pulang.
Ponselku mulai terasa panas di genggamanku. Satu pesan darimu yang telah dikirim lama masih tersisa di kotak pesanku. Sudah waktunya mengakhiri semuanya. Setelah ini, aku siap menerima semuanya dari awal lagi. Mungkin nanti aku bisa berkenalan dengan seseorang di tengah perjalanan pulangku atau kapan suatu saat nanti. Yang jelas, saat ini denganmu sudah berakhir.

 


1 komentar: