BAB 20
ENDO
“Masalah
kepercayaan para pemilik saham nampaknya semakin memburuk, Pak?”
Endo
menatap Lukas yang berdiri di sampingnya sekilas. Sekertarisnya itu, walaupun
hampir tidak pernah berekspresi, tapi Endo bisa melihat rona ketakutan di
wajahnya. Sudah berhari-hari dia berusaha menyelesaikan masalah pabrik konveksi
ini sendiri dan mengembalikan kepercayaan para pemilik saham, tapi desas-desus
yang tersebar lebih gencar dari semua usahanya.
Sebuah
helaan nafas keluar dari mulut Endo, menandakan dia sudah terlalu lelah dengan
semua masalah ini. Setiap hari dia selalu pulang larut malam, bahkan hampir
tidak sempat memakan apapun kalau saja Rima tidak membawakannya bekal.
Seandainya saja dia tidak memikirkan semua usaha Ayah dan Kakeknya untuk
membangun perusahaan ini, maka dia akan memilih untuk mengikuti semua keputusan
pemilik saham dan hidup tenang bersama Rima. Mungkin dia akan membuat sebuah
usaha kecil lain dan menikmati semua keuntungan dari saham yang dia miliki.
Bahkan
masalah ini seharusnya tidak perlu terjadi. Kakeknya menyimpan 55 persen saham
untuk kedua anaknya, Ayah Endo dan juga Ibu Diva. Sayangnya, tantenya menikahi
seorang pria yang cukup ambisius, walaupun dia menyumbang 15 persen saham ke
dalam keluarga besar Endo. Dulu Endo merasa tenang karena Diva tidak memikirkan
untuk menduduki jabatan CEO di perusahaan ini dan merasa senang bisa terbebas
dari semua usaha keluarga. Tapi setelah rencana pernikahannya dengan anak dari
Burhan Hakim, itu menjadi ancaman tersendiri bagi Endo.
Walaupun
40 persen saham itu adalah jumlah yang cukup banyak, tapi masih tersisa 60
persen saham lain yang berarti masih ada 60 persen suara yang bisa saja
bertentangan dengannya. Sekarang Pamannya sudah memiliki 25 persen suara yang
mendukungnya dan dari informasi yang terdengar, Burhan Hakim mulai menghasut 35
persen suara lainnya untuk menjatuhkan Endo dan memilih CEO lain, dalam hal ini
Endo yakin kalau dia akan mengajukan anaknya, Bima Hakim.
“Menurutmu
bagaimana kemampuan Bima Hakim, Lukas?” tanya Endo tiba-tiba kepada Lukas.
Lukas
memincingkan kedua matanya.
“Anak
dari Burhan Hakim? Mantan calon kakak ipar anda?” tanya Lukas dan di jawab
anggukan dari Endo. “Menurut saya, dia punya kemampuan dalam menjalankan
perusahaan. Semua orang mungkin menyalahkan dia akan kegagalan pernikahannya
yang terdahulu, tapi dia mampu membuktikan kalau dia bisa merawat anaknya dengan
baik, begitupula perusahaan konstruksi yang dia bangun sendiri.”
“Jadi
tidak ada cela yang bisa membuatnya kalah dariku yah? Apa ini artinya aku benar-benar
terjepit?”
“Dia
orang yang sangat berbakat, sangat sepadan untuk bersaing dengan anda. Saya
kira itu gen dari keluarga ibunya, mengingat ayahnya tidak mampu menjalankan
perusahaan seperti dia. Begitupula adiknya.”
“Tunggu
dulu, Tiara menjalankan perusahaan?” tanya Endo bingung.
“Dia
salah seorang dari jajaran direksi di anak perusahaan anda, Pak!”
Endo
tercekat dan menelan ludahnya getir. Dengan segera dia mengambil kertas memo
dan mencatat beberapa hal diatas kertas itu. Kemudian, segera setelah dia
menulis semuanya di memo itu, dia mengacungkannya kepada Lukas.
“Lukas,
tolong bawakan aku semua berkas yang kuminta ini. Usahakan nanti siang semua
berkas itu sudah ada di mejaku!” ujarnya sambil bersiap untuk pergi.
“Anda
mau kemana, Pak?” tanya Lukas bingung sembari memegang kertas yang baru saja
Endo berikan.
“Diva
memintaku untuk bertemu! Anak itu, walaupun sangat menyebalkan, tapi dia
satu-satunya aliansiku sekarang ini.”
****
“Aku
nggak percaya kamu bakal minta aku ngelakuin ini, Di!”
Endo
menghisap rokoknya tergesa karena merasa terlalu kesal. Sepupunya beberapa hari
ini merengek untuk memintanya bertemu dan ketika Endo menyanggupinya, dia malah
harus menjadi bodyguard sepupunya
ini.
“Dia
maksa minta ketemu sama aku, Ndo! Lagipula ini kesempatanmu buat ngelihat
secara nyata, wujud dari salah satu pesaingmu!” ujar Diva ngotot.
Saat
ini, mereka akan bertemu dengan Bima Hakim, calon tunangan Diva, anak dari
Burhan Hakim. Memang benar, ini bisa menjadi momen Endo untuk bertemu dan
bicara secara langsung dengan salah satu pesaingnya, tapi ini bukan saat yang
tepat. Di tengah semua kesibukannya yang padat, Diva meminta Endo untuk
mewakili dirinya menolak lamaran dari keluarga Burhan Hakim.
“Apa
kata Ayahmu nanti?” tanya Endo semakin sebal.
“Maka
kita buat dia mundur dari proses melamarku dengan kesadarannya sendiri. Dengan
begitu, Papa tidak akan memaksaku lagi.”
“Kenapa
kamu nggak minta Mama-mu untuk ngebujuk Papa-mu?”
“Mama
masih liburan ke Eropa dan aku maupun Papa sudah diancam untuk tidak
menghubunginya selama dia menikmati masa bersenang-senangnya bersama geng
nenek-neneknya!”
Endo
menghisap rokoknya lagi kemudian mengetukkan ujungnya ke pinggir asbak.
Butir-butir abu berjatuhan dari ujung rokoknya ke tengah asbak di meja Cafe
yang mereka tempati. Sampai Endo mendengar suara nafas tetahan Diva dan melihat
raut cemas di wajahnya.
“Itu
dia!” bisik Diva yang mulai menampilkan wajah judenya.
Seorang
pria tinggi berkacamata terlihat mendekati mereka. Tidak seperti Diva maupun
Endo yang memiliki wajah dengan campuran Eropa, wajah pria itu cenderung sangat
Asia dengan hidung yang mancung dan juga kulit yang sedikit kecoklatan.
Sepintas wajahnya lebih mirip dengan wajah aktor tampan Korea, hanya saja
menggunakan kacamata. Sebagai direktur, dia tidak terlihat menggunakan jas
ataupun dasi dan hanya menggunakan kemeja yang kancingnya sudah terbuka satu di
bagian leher dan lengan yang digulung. Sebuah tas ransel tampak tergantung di
salah satu lengannya dan terlihat sangat serasi dengan celana jeans hitam
maupun sepatu boot coklat yang dia gunakan.
“Kamu
harusnya bersyukur dijodohkan dengan pria seperti itu, Di!” bisik Endo
menggoda.
“Ingatkan
aku untuk menghajarmu lagi nanti!” balas Diva sambil tetap berbisik.
“Maaf
terlambat, tadi aku harus mampir ke proyek dulu sebelum datang ke sini!” suara
Bariton yang renyah keluar dari bibirnya yang juga tersenyum.
Endo
berdiri menyambut pria itu sementara Diva masih duduk dan bertingkah seakan
tidak peduli. Bima menyodorkan tangan kanannya ke arah Endo dan menyebutkan
namanya, di sambut dengan hal yang sama oleh Endo.
“Jadi
kamu yang pernah menolak adikku?” tanya Bima sembari meletakkan tas ranselnya
di atas meja. Tak lama pelayan datang dan Bima memesan segelas kopi.
“Maaf
untuk itu,” jawab Endo tanpa ada penyesalan.
“Naah,
nggak perlu sungkan, aku sendiri juga nggak setuju waktu itu. Tiara terlalu
terburu-buru dalam mengambil keputusan dan pendapat seorang kakak tiri selalu
dipandang sebelah mata!” ujar Bima santai sembari membuka kacamatanya.
“Kakak
tiri?” tanya Diva penasaran.
Bima
memandang ke arah Diva dan sebuah senyuman muncul di bibirnya.
“Akhirnya
kamu mau bicara sama aku. Walaupun cuma beberapa kata, itu sudah membuat aku
cukup senang,” ujar Bima dan Endo berusaha mati-matian menahan senyuman di
wajahnya atau dia akan mendapat tendangan dari sepupunya. Diva melotot menatap
Bima dan berharap Endo mengatakan sesuatu sampai akhirnya Bima melanjutkan
perkataannya, “Tiara anak dari ibu tiriku.”
Endo
mengangguk dan sepertinya mulai mengerti apa yang terjadi di keluarga Bima.
Semuanya terlihat jelas sekarang, kenapa pria di hadapannya memilih untuk
membangun perusahaannya sendiri. Semua pikiran itu terputus saat terdengar
suara Diva yang mulai mengintimidasi Bima.
“Dengar,
aku memintamu kemari untuk menegaskan sekali lagi bahwa aku tidak tertarik
untuk menikah denganmu saat ini! Dan perlu kamu tahu kalau sepupuku ini akan
tetap menjadi CEO dari perusahaan keluarga kami. Jadi jangan pernah berpikir
untuk menikahiku dan mengharapkan jabatan yang mungkin Papa tawarkan kepadamu.”
“Jadi
kalau aku tujuanku menikahimu bukan karena perusahaan, kamu mau menerimaku,
Di?” tanya Bima dan sebuah senyuman kembali muncul di wajahnya.
Kali
ini Endo tidak bisa menahan tawanya. Dia terbahak keras dan itu membuatnya
harus lebih waspada akan serangan yang mungkin akan Diva lancarkan kepadanya.
Baginya, pria di hadapannya saat ini adalah sosok pria yang menjadi kelemahan
Diva. Sosok pria yang mampu membalikkan semua perkataan Diva tanpa sedikitpun
ada emosi.
“Baiklah,
maafkan yang barusan…” Endo beberapa kali berdehem untuk menyimpan tawanya
kembali, “Memang benar kata sepupuku, kalau aku tidak akan menyerah
mempertahankan perusahaan keluargaku itu. Dan aku sangat menghargai setiap
keputusan kalian, apapun itu. Menurutku, siapapun yang pantas maka dia berhak
menjadi CEO di Widjaya Group. Aku kan membuktikan bahwa aku orang yang paling
pantas menerima kedudukan itu.”
Bima
menatap Endo dan melepas kacamata yang dia kenakan sebelumnya. Sepasang mata
berwana coklat tua terlihat dari sosok Bima.
“Penuh
percaya diri seperti yang kudengar, dan aku juga punya pemikiran yang sama
sepertimu. Kuharap kamu bisa menyelesaikan semua masalah yang saat ini sedang
terjadi,” ujar Bima tenang.
Endo
tersenyum kemudian menatap jam di tangannya, “Maaf silahkan lanjutkan, aku
harus segera kembali ke kantor. Istriku beberapa saat lagi akan datang
membawakan makan siangku.”
“Betapa
menyenangkan! Kamu mau kubuatkan bekal, Di? Aku cukup jago untuk urusan dapur.”
“Apa?
Jangan mimpi!” teriak Diva dan Endo hanya tersenyum kemudian meninggalkan
mereka berdua.
****
“Untuk
apa uang sebanyak itu?”
Sofi
mendesah mendengar pertanyaan itu dari asisten yang membantunya selama ini.
“Untuk
apa kamu bertanya?” tanya Sofi angkuh menatap asistennya.
“Bukannya
gitu. Selama ini kamu tinggal memakai kartu kredit ataupun kartu debet milikmu..
Selain itu, bukannya semua urusan persahaan kita sudah selesai saat ini? Kenapa
kita nggak segera kembali ke Bali?” sanggah asisten Sofi berusaha mengembalikan
mood atasannya.
Sofi
menghela nafasnya perlahan. Memiliki asisten seperti Lidia merupakan keuntungan
bagi Sofi dengan semua kecepatan kerjanya, tapi Lidia juga terlalu kritis di
dalam setiap persoalan.
“Kamu
sudah menghubungi, Joe Tan?” tanya Sofi sembari menyebutkan nama salah satu
perancang mode terkenal.
Lidia
terlihat sangat bersemangat, “Sudah dan dia menerima tawaranmu tanpa ada protes
sama sekali! Kali ini perusahaan konveksi mana yang akan kita ajak bekerja
sama?”
Sofi
hanya tersenyum kemudian mengambil ponsel dari tas-nya.
****
Endo
menyetir cukup kencang malam ini. Telepon dari Rima tadi sore membuatnya
bergegas pulang. Rima hanya mengatakan ada yang mau dia bicarakan, tapi entah
kenapa nada suara Rima terdengar sedikit cemas. Endo kembali berpikir bahwa itu
semua karena semua kegiatannya yang membuatnya selalu pulang dalam keadaan
larut.
Entah
bagaimana perasaan pria lain, tapi Endo merasa sangat beruntung memiliki Rima
sebagai istrinya. Selarut apapun, Rima akan selalu berada di depan pintu,
menunggunya pulang. Menyiapkan semua makan malam yang kadang hampir tidak
tersentuh sedikitpun oleh Endo karena dia sudah terlalu capek dan kadang
tertidur di sofa. Bangun lebih pagi daripada Endo dan menyiapkan semua sarapan
ataupun bekal untuknya nanti di kantor. Seandainya saja dia tidak memiliki Rima
di sisinya, saat ini dia sudah tergolek lemah di Rumah Sakit.
Malam
ini, dia memutuskan untuk pulang lebih cepat dan menemani Rima setelah hampir
setengah bulan terjebak dengan semua kesibukannya. Endo begitu merindukan memeluk
Rima hingga pagi tiba dan menikmati wangi maupun kehangatan tubuh istrinya yang
selalu mampu membuatnya merasa tenang. Selalu membuat Endo merasa telah
menemukan oasis dari semua hal yang mendera-nya.
Endo
memarkir mobilnya cepat dan bergegas menuju apartemennya. Sekitar 3 bulan lagi
mereka akan meninggalkan apartemen ini dan tinggal di rumah yang sudah Endo
persiapkan untuknya dan Rima. Mungkin tidak berapa lama akan muncul anak-anak
mereka yang saling mengejar dan juga menunggunya bersama Rima saat dia pulang.
Endo tersenyum dengan semua bayangannya itu dan saat dia melihat Rima yang
menyambutnya di balik pintu, senyumnya semakin terkembang.
“Sudah
pulang?” tanya Rima bingung melihat Endo.
“Kangen
kamu!” jawab Endo dan itu membuat semburat merah muncul di pipi Rima.
Endo
memeluk Rima dan mencium kening istrinya lembut sebelum akhirnya mencium bibir
Rima lekat. Hanya saja tidak berapa lama Rima mendorong Endo lembut.
“Kenapa?”
“Maaf,
bau rokok,” jawab Rima sembari tangannya menutup hidung dan mulutnya.
“Sorry, tadi aku merokok sedikit di
kantor. Aku mandi dulu, nanti kita makan malam sama-sama,” ujar Endo dan itu
membuat sebuah senyuman muncul di bibir Rima.
Tidak
butuh waktu lama untuk Endo untuk menyelesaikan mandinya dan segera menemui
Rima di meja makan. Sekali lagi sebuah ciuman kilat mampir di rambut Rima yang
sedang menyiapkan makan malam untuk Endo. Sebuah steak lengkap dengan hotplate-nya muncul di hadapan Endo.
“Ada
yang istimewa?” tanya Endo ketika melihat makan malam yang disiapkan Rima.
Rima
hanya tersenyum dan duduk berhadapan dengan Endo untuk menyantap miliknya
sendiri. Malam itu, Rima tidak banyak bicara dan sering terlihat menatap Endo
saat Endo tidak memperhatikan atau sengaja tidak memperhatikan.
“Ada
yang aneh di wajahku?” tanya Endo bingung saat sekali lagi menyadari kalau Rima
melamun sembari menatapnya.
Rima
tersentak dan segera menatap steaknya yang sedari tadi hanya berkurang sedikit.
Wajahnya kembali tampak memerah dan itu membuat Endo semakin ingin mengodanya.
“Kamu
baru sadar ya, Sayang?” tanya Endo sembari meletakkan garpu di atas piringnya
yang kosong.
“Sadar
apa?” tanya Rima.
“Sadar
kalau suamimu itu ternyata sangat tampan,” goda Endo dan biasanya itu berhasil
membuat Rima merona semakin merah.
Tapi
kali ini sepertinya berbeda. Rima hanya tersenyum dan menatapnya lebih dalam
dengan matanya yang selalu membuat jantung Endo berdebar keras.
“Aku
sudah selesai. Lebih baik aku ke kamar mandi dulu sebelum kita tidur,” ujar
Rima tiba-tiba, menyadarkan Endo dari rasa terpesonanya kepadanya.
Endo
mengangguk dan membereskan meja makan saat Rima meninggalkannya. Sampai dia
kembali melihat piring Rima yang masih terisi penuh. Apa Rima sudah makan malam
sebelum dia datang? Sepertinya memang begitu, mengingat dia selalu datang larut
malam. Saat Endo memutusan untuk masuk ke dalam kamar tidurnya, matanya melihat
sesuatu yang hampir tidak pernah dia bayangkan. Sesuatu yang bisa membuat
seluruh darahnya mengalir dengan deras ke setiap pembuluhnya. Sesuatu yang bisa
membuatnya seharian menatap pemandangan itu dan terus menyentuhnya tanpa henti.
Rima
berdiri di hadapannya dengan memakai lingerie yang pertama dan terakhir Endo
belikan untuknya. Selama ini Endo berpikir kalau Rima tidak akan pernah memakai
lingerie itu bahkan dia tidak akan pernah menduga malam ini akan tiba. Jantung
Endo berdegup kencang melihat lekuk tubuh Rima yang terlihat samar di balik
lingerie yang dia pakai. Warna merah darah yang lembut membuat kulit Rima
semakin cerah dan membuatnya semakin terlihat sensual malam ini. Rima berjalan
perlahan kemudian memeluk Endo erat dan itu membuat hampir semua akal sehat
Endo menguap.
Endo
pernah melihat Rima tanpa memakai selembar benang sama sekali, tapi kali ini
berbeda. Sensasi yang terjadi membuat gairah Endo semakin memuncak. Ketika dia
membalas pelukan Rima dan merasakan kehangatan juga kelembutan kulit Rima yang
hanya terhalang sedikit dengan kain dari lingerie yang Rima kenakan, itu
membuat naluri lelakinya langsung mengambil alih semua kesadarannya.
Endo
menarik Rima semakin erat ke dalam pelukannya dan kemudian mengangkat Rima
untuk dibawanya menuju ranjang mereka. Mencium setiap sudut tubuh Rima yang
sudah tertidur di bawahnya dan membuat istrinya sesekali bergetar akibat semua
sentuhannya. Ketika tangan Endo masuk ke dalam lingerie Rima dan merasakan
kulit Rima yang hangat dan ketika bibir Endo melumat bibir Rima lembut, di saat
itu dia melihat Rima menitikkan air mata.
“Kenapa
menangis? Ada yang sakit? Aku kasar?” tanya Endo bingung, dan saat Endo hendak
bangun dari atas tubuh Rima, tangan istrinya itu menahannya.
“Nggak
apa-apa. Aku cuma…bahagia…,” ujar Rima di tengah isakannya.
Endo
tersenyum lembut kemudian mencium setiap senti wajah Rima perlahan. Menghapus
setiap bulir air mata yang jatuh dari sudut mata istrinya yang semakin lama
semakin deras.
“Aku
mencintaimu, my angel,” bisik Endo
perlahan di telinga Rima dan itu membuat tangisan Rima semakin keras.
“Aku
juga…mencintaimu…sangat!” ujar Rima sembari memeluk Endo erat.
Endo
membelai rambut Rima dan mengusap pipi Rima yang basah karena air matanya.
Sesekali menciumnya dan kembali menatap wajah wanita yang selama ini sangat dia
cintai. Rima hanya terdiam dan menikmati semua sentuhan Endo dan ketika kening
Endo menyentuh keningnya Rima tersenyum kecil.
“Maaf
untuk tidak memperhatikanmu beberapa minggu ini,” ujar Endo kemudian
menempelkan bibirnya di bibir Rima.
Rima
mengambil nafas dalam, kemudian menggeleng cepat.
“Kamu
harus menyelesaikan semua masalah perusahaan. Ada beratus-ratus karyawan yang menggantungkan
nasibnya di pundakmu,” jawab Rima perlahan.
Endo
kembali tersenyum dan meletakkan kepalanya di dada Rima.
“Sebenarnya
aku melakukan ini hanya untuk menyelamatkan posisiku sebagai CEO saat ini,”
Endo kemudian memeluk Rima erat sebelum melanjutkan perkataannya, “Seandainya
saja Papa tidak memintaku untuk menjaga kedudukan keluarga kami sebelum dia
meninggal, aku akan dengan senang hati menjalani hidupku seperti yang Diva
lakukan.”
Rima
menarik kepala Endo dari dadanya dan menatap pria itu dalam-dalam.
“Lakukan
yang seharusnya kamu lakukan, Ndo. Apapun itu, aku akan terus mendukungmu.”
Endo
menatap lekat wajah Rima yang masih memerah setelah menangis. Membayangkan Rima
terus-menerus mengorbankan perasaannya hanya untuk semua yang dia lakukan. Tapi
tidak sedikitpun Endo akan melepaskan Rima. Tidak akan pernah lagi dia
melakukan semua itu, apapun yang terjadi. Meskipun rasa cinta Rima padanya
sudah menguap habis, dia akan kembali membuat Rima jatuh cinta padanya lagi. Bahkan
dia akan memaksa Rima tetap bersamanya di sisinya apapun yang terjadi.
“Boleh
aku lakukan yang harusnya aku lakukan dari malam-malam sebelum ini?” tanya Endo
nakal dan itu membuat Rima terpekik saat jemari Endo mulai melepas tali yang
menghubungkan celana dalamnya. Dan tak lama mereka tenggelam dengan semua
luapan asmara yang sudah lama Endo maupun Rima tahan.
****
Suara
alarm membangunkan Endo di saat dia tengah bermimpi melihat Rima yang tengah
merayunya. Di saat Endo membuka matanya, tangannya sudah memeluk ruang kosong
di ranjangnya. Sedikit aneh, dia tidak mendengar suara Rima yang sibuk di dapur
atau tengah mandi. Biasanya suara-suara itu sudah terdengar saat dia terbangun
dan dia akan menemukan istrinya yang tersenyum dari asal suara itu.
Suara
alarm yang terus berbunyi membuat Endo merasa sedikit pusing dan segera bangun
dari tidurnya. Apartemennya terasa begitu sepi pagi ini dan itu terasa sangat
aneh. Beberapa kali Endo memanggil nama Rima, tapi tetap tak ada jawaban.
Hingga akhirnya Endo memutuskan mencarinya dan sebelumnya menyambar celananya
yang tergeletak di lantai.
Semua
ruangan terasa sepi, bahkan dapur sekalipun, tempat dimana Endo biasanya
menemukan Rima. Sangat tidak biasa bagi Rima untuk pergi tanpa berpamitan pada
Endo terlebih dahulu. Sampai ketika Endo melihat ke arah meja makanan dan
menemukan sarapan paginya yang mulai dingin juga sebuah amplop. Sebuah amplop
yang isinya membuat Endo berlari melihat ke arah lemari Rima dan menemukan
lemari itu kosong. Sebuah amplop yang ketika terjatuh dari tangan Endo, berisi
selembar surat, kartu debet yang dia berikan pada Rima dan selembar cek yang
bernilai 350 juta rupiah.
****
apa....? rima kenapa pergi? rima dpt cekx dr siapa? penasaran....penasaran..
BalasHapusAda apaaaaaa iniiiiiiiii?????siyok
BalasHapusWaaahhh lagi mba ikeeee
Ini pasti ad hubungannya am tlp yg rima trima
Pasti ini ada hubungannya dengan sofi yachh.... Soal uang itu.... Ichhhh sofi sialannn.... Ganggu aja rumah tangga orang!!!
BalasHapustidak.....dimana rima?????
BalasHapushuuuuaaa mbak rike bikin galau di senin pagi hiks...ga sabar lanjutannya mbak...hiks masih harus menggalau seminggu nih...pasti ini perbuatan nenek sihir sofie menyebalkan. koq rima pasrah aja sih dsuruh ninggalin endo, mana rima lg hamil lg, endo blm tau lg...aaarrrgggh mbak rike lanjutannya skg aja deh...ku tak sanggup menanti hr senin...plisss #kedip2 sama mbak rike n pasang puppy eyes# ditimpuk sandal mbak rike...kabuuuurrr
BalasHapushuuuuaaa mbak rike bikin galau di senin pagi hiks...ga sabar lanjutannya mbak...hiks masih harus menggalau seminggu nih...pasti ini perbuatan nenek sihir sofie menyebalkan. koq rima pasrah aja sih dsuruh ninggalin endo, mana rima lg hamil lg, endo blm tau lg...aaarrrgggh mbak rike lanjutannya skg aja deh...ku tak sanggup menanti hr senin...plisss #kedip2 sama mbak rike n pasang puppy eyes# ditimpuk sandal mbak rike...kabuuuurrr
BalasHapusPastiiiiiiiiii,,,iniiii pastiiiiiiiiiiiiii gara2 sofiiiiiii
BalasHapusHuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....
Mba Ikeeeeeeee,,,, jangan diumpetin lm2 Rima-ny,,hukz
Ayeeee,,idola baruuuu Vie,, BIMA.. Wakakakaakak...*gagal fokus*
huaa.. Mba Ike jhat ih, knp Rima mest pergi? G' rela Endo medrta khlangan Rima lgi.. :(
BalasHapusHuaaaa!!!!:'(:'(:'(
BalasHapusNi psti gra2 Sofi!
Ak yakin!!!:'(
Dia sngaja bwt Rima prgi, krn dsarny kn mreka kawin kontrak! Jdi Sofi sngaja ksi uang bwt nge-lunasin utang ayah Rima!