Daaannnn hari senin
tlah tibaa….waktunya apdet Kawin kontrak. FYI, ada cerita baru, Barista Series,
itu bakalan jadi proyek eke di samping KK juga. Apalagi KK beberapa bab lagi
bakalan tamat dan ada penggantinya lagi. wakakakakakak…. Yak, KK bakalan tamat sekitar
episode 20-an. Sudah sebentar lagiiii….
Loph yu oll mai
preeennnnnn…. Muaaahhh-muaaaahhhh
BAB 18
RIMA
Kakiku
lemas.
Benar-benar
lemas.
Selama
ini aku selalu memuja hari sabtu dan minggu sebagai hari untuk beristirahat,
tapi kali ini sepertinya itu akan menjadi 2 hari yang paling melelahkan dalam
seminggu ini. Endo selalu menempel di dekatku seperti perangko dan selanjutnya
selalu berakhir dengan kami saling menindih.
“Sayang…”
Aku
langsung berjengit mendengar panggilan itu dan tubuhku otomatis menjauh. Bagaimana
bisa aku sekarang menjadi seorang wanita yang berpikiran kotor? Setiap kali
melihat Endo, aku selalu membayangkan apa yang selalu dia lakukan kepadaku di
atas ranjang. Ini pasti gara-gara efek film bokep Diva dulu. Betapa film bokep
bisa merusak pikiran seseorang dalam waktu yang lama. Dan saat ini tubuhku
berada di batas kelelahannya untuk melakukan yang aku lihat di film bokep itu
(sungguh, aku masih belum sanggup mengatakan kata $*k# itu).
“Ya?”
tanyaku sedikit ketakutan dan itu membuat Endo memasang wajah cemberutnya.
“Kamu
masih marah gara-gara masalah Tiara?”
Apa?
Jelas
aku belum melupakan masalah Tiara sama sekali. Setelah mendapatkan kenyataan
bahwa suamiku ternyata memiliki banyak (bukan, sangat banyak. Bisa dibayangkan?
Sangat banyak) mantan kekasih, aku menjadi sedikit ketakutan akan kehilangan
Endo. Tapi saat ini masalahnya tidak menyangkut semua wanita itu. Masalahnya
saat ini, tenagaku benar-benar terforsir dengan semua kegiatan pernikahan kami (baiklah,
kegiatan ranjang kami. Aku masih malu mengatakan setiap detil kegiatan itu).
Bahkan kakiku masih terasa lemas dan sesekali bergetar karena terlalu capek.
“Ini
bukan soal Tiara.”
“Terus?”
“Ini
soal… Endo… aku…dengar.”
Kenapa
aku malah tergagap seperti ini, dan kenapa Endo semakin mendekat? Senyuman apa
itu?
“Mau
melanjutkan lagi yang tadi pagi, Sayang? Kamu nggak perlu malu untuk bilang
kalau kamu mau…”
“APA?
Nggak!”
Endo
menaikkan sebelah alisnya keheranan, “Kamu nggak mau?”
“Bukan!
Maksudku aku mau…” belum sempat aku menyelesaikan omonganku, lengan Endo sudah
memeluk tubuhku erat dan bibirnya mulai menjelajah di sekitar leherku. Hampir
saja aku kehilangan akal sehatku seandainya saja kakiku tidak gemetaran karena
terlalu capek. “Ini sudah terlalu sering, Endo. Bahkan kita baru selesai
melakukannya beberapa jam yang lalu. Aku…aku capek!”
“Capek?”
“Kakiku
sudah gemetaran…”
Endo
melihat kakiku dan melihatnya bergetar perlahan karena sudah tidak mampu
menahan lelah. Dia tersenyum kemudian memberikan kecupan kilat di bibirku.
“Maaf,”
ujarnya lirih kemudian meninggalkanku sendiri di dapur.
Sebagian
diriku merasa sedikit kehilangan.
Sungguh
kehilangan semua sentuhan itu.
Tapi
sebagian lagi dari diriku merasa senang dan bahagai. Akhirnya, walaupun mungkin
hanya sebentar, aku bisa mengistirahatkan seluruh tulang dan ototku,
menyelesaikan semua pekerjaan rumahku dan…
Apa-apaan
ini!
Sebuah
bekas lipstik tercetak jelas di kemeja Endo. Lipstik berwarna merah darah,
hampir saja lolos dari pengamatanku seandainya aku tidak memeriksa kemejanya
terlebih dulu. Milik siapa cap bibir ini? Bagaimana bisa dia tercetak di situ?
“Sepertinya
milik Sofi,” jawab Endo yang kembali membaca koran miliknya setelah aku
menanyakan tentang keberadaan bekas lipstik itu di kemeja kerjanya.
“Sofi?”
tanyaku makin geram dan sepertinya dia menyadari itu.
“Itu
kemeja kerjaku 2 hari yang lalu. Kamu masih ingat kan ceritaku soal Sofi saat
itu? Tentang dia tiba-tiba menangis kemudian memelukku setelah aku menanyakan
tentang kekasihnya,” jawab Endo kembali menatapku yang masih berdiri kesal
sembari membawa kemejanya.
“Dia
memelukmu erat sepertinya ya?” lanjutku masih menahan amarah.
Endo
menatapku bingung kemudian tersenyum. Aku benci senyumannya yang seperti tu. Senyumannya
itu selalu berhasil mengalahkanku dalam berbagai hal. Endo melipat koran yang
dia baca dan meletakkannya di atas meja d depan sofa kemudian berjalan perlahan
menemuiku.
“Kamu
cemburu, Sayang?” ujarnya perlahan di telingaku.
Apa
kubilang.
“Nggak!”
jawabku sembari berbalik, berusaha pergi meninggalkan dia. Sebuah sentakan di
lenganku menghalangiku untuk pergi lebih jauh.
“Kamu
mau kemana?”
“Bebersih.”
“Kamu
bilang masih capek, kenapa malah bebersih?”
Aku
menelan ludah kebingungan. Aku memang sangat kelelahan saat ini, tapi itu
kelelahan untuk melakukan…olah raga ranjang (akhirnya aku bisa menemukan kata
pengganti yang tepat. Setelah sekian lama kesulitan mengucapkan satu kata itu).
Untuk bebersih itu lain soal. Justru kalau aku tidak melakukannya sehari saja,
aku merasa seluruh tulangku terasa gatal.
“Aku
masih punya sedikit tenaga,” jawabku asal, berusaha menghindar secepatnya dari
Endo.
“Kalau
memang masih punya sedikit tenaga, ayo kita…”
“Aku
ngantuk! Gawat, sepertinya aku harus segera tidur. Tolong bangunkan aku
menjelang sore ya!”
Persetan
dengan semua cucian juga bebersih. Daripada aku pingsan kelelahan saat berolah
raga ranjang dengan Endo, lebih baik sekarang aku segera berlari menuju kamar
****
“Kamu
ninggalin dia?” bisik Diva sembari berusaha menahan tawanya.
Sore
ini Diva kembali datang hanya untuk menghabiskan waktunya. Setelah bertengkar
sejenak dengan Endo seperti biasa, kami akhirnya berakhir berbincang didapur,
sementara itu Endo bekerja di ruangannya.
“Pasti
sekarang dia kesel banget tuh. Apalagi aku sekarang dateng dan itu bikin dia
gak bisa ngedeketin kamu. Merana tuuhhh…meranaaa...tanpa pelampiasan.” lanjut
Diva kemudian tertawa terbahak penuh kemenangan.
Kedatangan
Diva memang menyelamatkanku dalam banyak hal. Setelah berusaha pura-pura tidur
dan menghabiskan waktu dengan melamun di kamar, akhirnya aku menelpon Diva
untuk menemaniku sore ini dan makan malam bersama-sama.
“Apa
bener kalau aku mengelak begini dia bisa merana?” tanyaku cemas.
Diva
menengok cepat ke arahku. Sebuah seringai jahat muncul di wajahnya.
“Banget
laah…. Pasti merana banget tuh. Tanpa pelampiasan…menahan gejolak…”
Aku
menelan ludah sekali lagi.
“Menurutmu,
apa aku lebih baik bersamanya sekarang?” tanyaku gugup.
“Terus
aku jadi kambing congek di sini? Jadi obat nyamuk sementara kalian melakukan ah-uh?
Enak aja! Kasih makan dulu, baru aku mau pulang!” jawab Diva sebal.
Aku
mencibir Diva dan merasa sebal dengan kata ‘ah-uh’-nya. Apa tidakada kata
pengganti lain yang sopan seperti misalnya olahraga ranjang. Diva mulai
mengacak-acak isi kulkas dan merengek meminta makan malam kepadaku. Aku kembali
tersenyum dan segera menyiapkan beberapa bahan untuk makan malam. Sedikit sibuk
sampai hampir tak tahu kalau Endo sudah ada di dekatku sampai dia memelukku
erat dari belakang. Membuatku sedikit terkejut dan membuat seluruh kulitku
seakan merasa senang kembali bersentuhan dengan kulitnya.
“Mulai
deh, bisa gak sih nanti aja habis makan malam?” tanya Diva sebal.
Aku
melirik ke arah Endo dan dia terlihat sangat sebal.
“Pulang
sana!” sentak Endo pada Diva.
“Kasih
makan dulu baru aku pulang.”
“Memangnya
kamu kucing liar? Minta makanan dulu baru mau pergi?”
“Meong!”
“Sepertinya
aku harus meminta satpam untuk melarangmu masuk besok!”
“Dan
aku bakal ajak Rima keluar untuk ketemu. Yang artinya, aku akan ngenalin dia
sama beberapa cowok yang lebih ganteng dari kamu. Siapa tahu dia bisa nemenin blind date-ku.”
Endo
melihatku cemas dan aku menggelengkan kepala sebagai tanda tidak akan pernah
melakukan hal itu. Endo kembali melihat sebal ke arah Diva dan duduk di kursi
sebelahnya. Dengan segera aku menuangkan segelas jus jeruk untuk Endo dan juga
Diva.
“Jadi
gimana masalah bagian konveksi? Kudengar ada kebocoran model musim depan dari
orang dalam? Bukannya itu berarti kerugian besar karena gagal meluncurkan
produk baru?” ujar Diva tiba-tiba sembari meminum jus jeruknya.
“Ada
masalah?” tanyaku cemas mendengar pembicaraan Diva barusan.
Endo
menggeleng pelan.
“Papamu
yang bilang itu Di? Berita cepat menyebar ya?” tanya Endo.
“Papa
masih berharap aku mau menjadi bagian dari perusahaan. Asal kamu tahu saja, hal
ini bisa membahayakan posisimu dari para pemilik saham.”
“Kamu
mau menjadi salah satu kandidat penggantiku Di?”
Diva
meminum jusnya perlahan dan terlihat menikmatinya sejenak. Sementara aku merasa
cemas akan jawaban Diva. Bagaimanapun Diva adalah sahabatku, dan Endo adalah
suamiku. Seandainya mereka bersaing satu sama lain, aku akan menjadi pihak yang
paling sulit menentukan sikap.
“Aku
masih merasa sayang melepas dan menyia-nyiakan gelarku sebagai dokter. Jauh
lebih enak duduk di kursi dokter tapi tetap menerima bagian dari saham
keluargaku dan membiarkanmu yang kebingungan mengatur semuanya. Tapi seandainya
kamu kumat bikin sebal, dengan senang hati aku bakal siap menerima permintaan
Papa buat jadi sainganmu,” ancam Diva.
Aku
menghela nafas lega mendengarnya dan kembali ke depan kompor untuk mulai
memasak. Endo tersenyum sinis dan meminum jus-nya.
“Kupikir,
pasienmu jauh lebih ‘normal’ darimu. Kamu perlu jasa psikiater, Di!” ejek Endo.
“Kampret!”
sentak Diva dan mereka mulai saling bertengkar. Itu membuatku merasa sebal
karena kehilangan kosentrasi untuk mulai memasak.
“Bisa
kalian diam atau bertengkar di luar rumah supaya aku bisa mulai memasak?”
sentakku kesal
****
“Tumben
diem aja?” tanya Endo saat melihatku termangu.
Saat
ini menemani Endo yang membawa pekerjaannya ke rumah. Aku menghela nafas pelan.
Kemudian kembali melamun sesaat sebelum akhirnya mulai bicara.
“Aku
kepikiran kata-kata Diva kemarin,” jawabku lemas.
“Soal
apa?”
Aku
menoleh cepat ke arah Endo yang duduk di sebelahku sembari memeriksa berkas-berkas
di tangannya.
“Soal
perusahaanmu itu! Pencurian ide dan kegagalan peluncuran produk, kamu kok nggak
cerita ke aku?” tanyaku sebal.
Endo
meletakkan berkas-berkas di tangannya kemudian memelukku dari belakang.
Membuatku sempat terkejut dan sedikit terjingkat, tapi kemudian menerimanya
dengan pasrah. Dia mulai mencium tengkukku dan berbisik di telingaku.
“Kamu
nggak perlu khawatir, aku bisa mengatasi itu semua.” Bisiknya lembut di
telingaku dan itu membuat wajahku merona merah.
“Tapi
aku kan mau tahu setiap masalahmu, Ndo. Kita kan suami-istri. Seharusnya aku
bisa…uh…Endo…ahh…Endo berhenti! Aku bicara serius!” aku mendorong kepala Endo
menjauh dari leherku dan itu membuatnya cemberut.
“Itu
cuma satu dari beberapa perusahaan, Rim!” jawab Endo berusaha meringsek ke leherku
lagi, tapi langsung ku tahan.
“Tapi
Diva bilang, itu berbahaya untuk kedudukanmu sebagai CEO!”
“Kedudukan
CEO ditentukan rapat para pemegang saham, Rima! Dan aku punya 40% sahamnya. Itu
jumlah saham yang cukup besar. Bahkan Papa Diva hanya punya 25% dari jumlah
saham yang ada.”
Aku
menghela nafas pelan, kemudian menatap sayu ke arah Endo (yang sudah semakin mendekat
ke arahku). Tak lama bibirnya mencium bibirku lembut dan terus mendorongnya
hingga kami saling menindih di atas sofa. Tangan Endo mulai menjelajah sekujur
tubuhku dan mulai membuka kancingku satu persatu. Sementara aku mulai
mengangkat kaos yang dia kenakan secara perlahan.
Meeoooongg…eeeooooonggg…
“Suara
apa itu?” bisik Endo di telingaku.
Astaga,
suara kucing kawin itu…
“Sepertinya
ponselku…uh…” sebuah gigitan kecil mampir di leherku. Membuatku melenguh
perlahan.
“Biarkan!”
perintah Endo sambil terus menjelajah di leherku dengan bibirnya.
Teeeetttt…..Teeeettt…
“Kali
ini apa lagi?!” sentak Endo marah sembari bangun dan mulai duduk di sofa.
“Sepertinya
ada tamu, Ndo,” jawabku.
“Malam-malam
begini? Aku hajar siapapun yang datang kalau itu bukan keadaan mendesak.”
Endo
berjalan tergesa dengan marah menuju pintu masuk, sementara aku mulai membenahi
bajuku yang sudah sangat acak-acakan.
“RIMAA…USIR
DIA!”
Hampir
saja jantungku keluar dari mulutku karena terkejut mendengar teriakan Endo.
Dengan bergegas aku berlari menuju pintu masuk dan melihat Endo menghalangi
seseorang yang berusaha memasuki pintu.
“Diva?”
Diva
melihatku dan dengan satu tendangan di tulang kering Endo, dia berhasil membuat
Endo menyingkir dari hadapannya dan berlari memelukku. Dari matanya yang
bengkak dan sisa air mata di pipinya, aku bisa tahu kalau Diva baru saja
menangis. Sementara itu Endo terus memaki sembari memegang tulang keringnya
yang baru saja ditendang Diva.
“Rima!”
teriak Diva sembari memelukku, “Aku dijodohkan Papa!”
Keheningan
sempat terjadi beberapa saat. Aku tidak bia mengatakan apapun sementara Endo
berhenti memaki setelah mendengar kata-kata Diva barusan. Sebuah gelak tawa
yang keras memutuskan waktu keheningan itu. Endo tertawa keras dan sepertinya
melupakan rasa sakit di tulang keringnya.
“Rasakan
itu cewek beringas! Selamat jadi istri! Wahahahaduuuuhhh!” tawa Endo terhenti
diiringi bunyi ‘pletak’ keras.
Sepatu
hak tinggi Diva sudah berhasil membuat jempol kaki Endo merasakan kesakitan,
menyusul tulang keringnya tadi. Endo kembali memaki dan menatapku, memohon
belas kasihku. Tapi saat ini Diva sedang memelukku erat.
“Ini
gara-gara kamu! Kenapa kamu biarin perusahaan konveksi itu kecurian, Ndo!”
“Kenapa
jadi salahku?” tanya Endo bingung sembari mengusap jempolnya.
“Papa
memintaku menikahi anak dari Burhan Hakim – kakak Tiara – Bima!”
Endo
tercengang mendengar hal itu.
“Itu
bukan urusanku, Di!” suara Endo berubah menjadi dingin sesaat itu juga.
“Tentu
saja jadi urusanmu! Kamu tahu berapa saham mereka punya? Lima persen! Dan
Burhan Hakim punya pengaruh besar di antara pemegang saham yang lain!”
“Apa
hubungannya denganku? Itu hak Papa-mu untuk melakukan semuanya itu!”
“Tentu
saja ada hubungannya sama kamu, Dodol! Mereka mengincar posisimu sekarang!
Burhan berpikir untuk menyatukan saham milik keluarga kami dan juga
sahammiliknya, serta mempengaruhi pemilik saham yang lain,” sentak Diva kesal,
“Malam ini aku menginap di sini!”
“Apa?
Pulang sana!” usir Endo.
“Kalau
aku pulang, bisa kupastikan aku akan menerima permintaan Papa untuk menjadi
sainganmu dalam rapat pemegang saham!” ancam Diva.
Sebelum
Endo mulai membalas perkataan Diva, aku sudah menatapnya, berharap dia diam,
dan sepertinya Endo mengerti hal itu. Aku menuntun Diva menuju kamar,
meninggalkan Endo sendiri. Ada banyak hal yang harus kutanyakan pada Diva saat
ini.
****
“Masih
belum tidur?” tanyaku saat melihat Endo sibuk membaca di depan laptopnya, di
ruang kerja.
Dia
tersenyum melihatku kemudian menepuk pahanya seakan memintaku untuk duduk di
sana (kupastikan hati kecilku berteriak memintaku segera meloncat ke sana.
Untung saja otakku masih waras. Ada Diva di kamar, dan Endo akan menyerangku
setiap ada kesempatan. Aku sama sekali tidak mau Diva kemudian mendengar
suara-suara yang bisa membuatku malu berhadapan dengannya seumur hidup). Aku
mendekat perlahan dan berdiri di sebelahnya, melihat layar laptopnya yang
berisi grafik-grafik dan juga tulisan-tulisan yang tidak kumengerti. Endo
menarik pinggangku, tapi berhasil kutahan. Tak lama dia menyentakku keras dan
berhasil membuatku duduk di pangkuannya, sebelum akhirnya memelukku mesra.
“Maaf,”
ujarku lirih.
“Untuk
apa?” tanya Endo dan kembali membenamkan wajahnya di sela lengan juga dadaku.
“Kamu
harus tidur di sofa malam ini.” jawabku dan itu membuat Endo mempererat
pelukannya. “Diva baru saja tidur, dan dia cerita banyak padaku sebelumnya.”
“Dia
bilang apa?” tanya Endo, tapi nadanya seakan tidak peduli.
“Dia
bilang kalau posisimu bisa terancam setelah ini. Apa itu benar?”
“Kalau
benar kamu mau ninggalin aku, Rim?” aku menggeleng mantap mendengar pertanyaan
Endo. Dia tersenyum menatapku. “Kalau begitu nggak ada masalah sama sekali soal
itu.”
“Mungkin
kalau…,” aku menelan ludah getir dan Endo menatap heran ke arahku, membuatku
harus melanjutkan kembali apa yang baru kumulai, “Menikah dengan Tiara, ini
nggak akan terjadi. Pasti kamu jauh lebih aman sekarang.”
Endo
menghela nafasnya dan kembali membenamkan kepalanya.
“Kamu
masih cemburu tentang Tiara dan perempuan-perempuan di masa laluku?”
“bukan
begitu, tapi…”
“Aku
akan berusaha mempertahankan posisi ini dengan kemampuanku sendiri. Banyak yang
harus dilindungi dari perusahaan yang kakek bangun dari awal dan Ayah
perjuangkan selama ini. Hanya saja, masalah ini mungkin akan membuatku menjadi
sangat sibuk. Apa kamu keberatan, Sayang?”
Sekali
lagi aku menggeleng.
“Bagus,
sekarang cium aku.”
Aku
berjingkat, berusaha bangkit dan menjauh, tapi lengan Endo menahan itu semua.
Dia mencium bibirku lekat dan itu membuat seluruh tulangku terasa meleleh. Satu
sentakan, aku mendorong dadanya perlahan, kemudian berusaha berdiri.
“Aku
buatkan kamu kopi,” ujarku sembari berusaha menjauh.
Tangan
Endo tetap menahan lenganku. Aku melihatnya menutup laptop di atas meja
kerjanya, kemudian menyingkirkannya di bawah meja.
“Dibanding
kopi, aku ingin sesuatu yang lain.”
Perasaanku
mulai terasa membingungkan. Antara ketakutan, bahagia dan juga terkejut. Endo
mengangkat tubuhku ke atas meja kerjanya dan aku terjebak, terlentang di atas
meja kerjanya, tak bisa kabur kemanapun. Dia mulai membuka kancing piyamaku
satu persatu dan memegang tanganku yang berusaha menghalau di atas kepalaku.
“Endo,
ada Diva!” protesku pelan, takut Diva terbngun.
“Dia
nggak akan bangun, dan dari kemarin malam, dia selalu menggangguku untuk menyentuhmu,”
jawab Endo kemudian menenggelamkan kepalanya di dadaku. Membuatku terengah dan
kehilangan akal sehatku.
Sebut
menyentuh kalau hanya memegang, tapi mencium, menindih, bahkan melakukan…se...olahraga
ranjang (hampir saja aku lupa dengan sebutan yang kuberikan sendiri) itu bukan
cuma menyentuh. Pria ini benar-benar membuatku nyaris gila dengan semua
perlakuannya kepadaku. Membuatku tak mampu mengontrol apa yang keluar dari
mulutku. Dan tidak menghiraukan semua engahan dan lenguhanku, dia terus
menyentuhku seenaknya.
“Kamu
sudah siap?” tanyanya perlahan sembari menarik celanaku turun.
“Apa?”
“Aku
mau kamu, Sayang.”
Aku
mengangguk perlahan dan Endo menopang tubuhnya dengan kedua tangannya di
sebelah kepalaku. Aku merasakan miliknya mulai menyentuh kulit selangkanganku
dan itu membuat jantungku seakan memompa darahku dengan sangat baik. Membuatku
berdesir dan begitu merindukannya. Sedikit lagi, sebentar lagi…
“Rima,
kamu dimana?”
Aku
dan Endo tersentak mendengar suara Diva dari dalam kamar.
“Aku
lempar dia nanti dari kaca!” rutuk Endo sebal di telingaku.
****
wkwkw kasian endo diganggu sama diva . mkasih ya mba rik, yaahh 2 episod lagi tamat :( , duh jadi deg degan ama posisi endo, kok aku berfirasat cieehh firasat klo ini kerjaan sofi yaa haha #sotoy
BalasHapusendo sama rima makin romantis aja...tp masalah perusahaan bkin tegang juga....ditunggu lanjtnx mba..
BalasHapusEndo bener-bener kuat
BalasHapushahahaha............ngak jadi deh........
BalasHapusjiahhahaha ksian bgt endo..nanggung mulu dari tadi..mba rike klo rima ga bisa aku ngantri mba #plaaakk apa sii
BalasHapusHaha,, kasian deh Endo,, Diva punya hobby jadi pengganggu yaa,, thank's mba Rike,, tetap S̤̥̈̊є̲̣̥є̲̣̣̣̥♍ªªªηGªª†̥†̥̥ n di tunggu lanjutanya
BalasHapusTambah keren Aja nie....
BalasHapushahahaha Diva emang minta kena lempar yeeeee..ganggu aja haha.
BalasHapussemoga besok langsung Senin *ngayal banget* jadi episode selanjutnya sudah siap sedia hihi.
Ketjup Mba Ike :**
lempar aja ndooooo lemparrrrr...... wkwkwkkwkww......
BalasHapusLemppaarrr nddoooo =))
BalasHapusEh, mbak, ak mnta lgi dong ;;)
Ktagihan nih bcany..:P