sepesial pake telor yang paling ditunggu semua insan pecinta Rima-Endo. hahaaaiiiiiyyyy...wakakakakaakakakakak
aiyopyu ollll!!!!!!!
BAB 15
RIMA
Sudah
kuputuskan untuk mengikuti Hati Kecilku mulai saat ini. Keputusanku sudah bulat
saat mengetahui bahwa Endo memiliki perasaan yang sama dengan yang kurasakan.
Setelah semua pengakuan, ciuman dan juga sentuhan itu aku sudah tidak punya kekuatan
apapaun untuk menolak (bahkan sekarang aku akan menari salsa bersama Hati
Kecilku kalau dia mau melakukannya). Seperti saat ini ketika Endo menatapku
tajam di atasku menunggu jawaban yang akan kuberikan. Ini akhirnya dan aku
tidak akan lari lagi seperti yang biasa kulakukan.
Tidak
akan lari...
Sungguh
tidak akan…
Tapi
kenapa aku ketakutan?
Aku
takut dan gemetaran walaupun sudah memutuskan mengikuti kata hatiku. Baik, mari
kita bagaimana cara mengatasi ketakutan dengan cepat. Ambil nafas dan lepaskan
perlahan, ya itulah caranya, ambil nafas dan lepaskan perlahan. Aku merasakan
ketakutanku semakin mereda. Ambil nafas dan lepaskan perlahan, sangat perlahan
dan gambaran kesadisan di toilet tadi siang kembali muncul di mataku. Bahkan
aku merasakan hidungku kembali mencium bau yang sama dan membuatku mau muntah.
Aku membalik wajahku dan menutup mulutku karena hampir saja makan malamku
keluar lagi akibat semua bayangan bejat itu. Beberapa kali suara akan muntah
keluar dari mulutku.
“Rima,
Sayang, kamu kenapa?” tanya Endo panik. Endo segera turun dari atas tubuhku dan
membantuku untuk duduk kemudian mengusap pelan punggungku. “Ambil nafas
perlahan, Sayang!”
Tidak!
Itu
perintah yang salah, karena kembali membuatku mengingat kejadian tadi siang.
Membuatku kembali merasa mual.
“Sayang,
kamu sakit?” tanya Endo cemas sembari menyingkirkan rambut di wajahku dengan
lembut.
Aku
menggeleng pelan.
“Aku…aku
bau?” tanya Endo lagi sembari mencoba mencium tubuhnya.
“Bukan!”
jawabku cepat, “Maaf, aku…aku cuma takut.”
Endo
terdiam, kemudian mengela nafasnya keras. Tak lama dia mengacak-acak rambutnya
dan mengerang pelan sebelum menatapku kecewa.
“Kupikir
ini saatnya aku pergi,” ujar Endo pelan.
Apa?
“Apa?
Enggak! Kenapa? Anu…”
Mungkin
itu jawaban paling bodoh dan efek samping dari perbuatan mengikuti si Hati
Kecil sepenuhnya. Membuatku mengatakan hal-hal memalukan tanpa adanya saringan.
Membuatku harus kembali menutup mulutku dan merasakan panas di wajahku. Kenapa aku
harus bilang ‘enggak’ sekeras itu? Endo menatapku bingung dan bisa kulihat
senyuman kecil di bibirnya. Apa aku sudah bilang kalau dia terlihat begitu
menawan malam ini? Kancing piyamanya sudah terbuka 3 dan memperlihatkan dadanya
yang bidang dan juga seperti terpahat sempurna. Terasa keras dan juga hangat
saat tadi bersentuhan dengan tubuhku.
“Kenapa?
Kamu ketakutan sampai seperti ini. Aku nggak bisa maksa kamu lebih jauh,
Sayang!”
Apa
aku sudah bilang kalau setiap kata ‘sayang’ keluar dari mulutnya yang seksi itu
bisa membuat dadaku berdesir?
“Aku mual
bukan karena ketakutan!” ujarku cepat.
“Kamu
sakit?”
“Bukan!”
“Bauku?”
tanya Endo ragu.
“Bukan
juga!”
“Gak
mungkin…”
“Apanya
yang nggak mungkin?” tanyaku bingung.
“Tidur
bersama nggak bikin hamil…” ujar Endo perlahan.
“Apa?
Enggak! Aku nggak hamil!” sanggahku keras.
“Kamu
nggak sakit, bukan karena bau, kamu juga…”
“Aku
nggak hamil, Ndo!”
“Ya,aku
percaya. Terus kenapa kamu mual dan hampir beberapa kali muntah?”
Aku
menghela nafas sedih. Biarpun memalukan aku harus menceritakan semuanya sebelum
ini menjadi malam yang lebih buruk bagi kami berdua, terutama bagi hati
kecilku. Hati Kecil yang sudah sibuk memprotes semua kelakuanku. Aku melihat
sudut bibir Endo berkedut saat aku selesai menceritakan semua tragedi di toilet
tadi siang.
“Kamu
ketawa,” ujarku sebal.
Endo
menelan ludah dan berdehem pelan.
“Enggak,”
jawabnya sambil terus berdehem.
“Bohong,”
ujarku lagi setelah beberapa kali melihat dia berusaha mengalihkan wajah saat
berusaha menahan senyumnya.
“Enggak,
Sayang,” ujarnya lagi sambil berdehem beberapa kali.
“Bohong!”
ujarku sambil mencubit perut Endo.
Dia
terbahak sembari merintih kesakitan saat aku terus mencubit perutnya (dan
kenapa aku terus berusaha menyentuh perutnya? Aku tahu perutnya begitu seksi
dengan semua sixpack-nya yang begitu
menggoda). Sebuah sentakan di lenganku menarikku ke atas tubuh Endo yang
telentang di atas ranjang. Dia menarik tanganku lembut dan meletakkannya di
atas dadanya yang terbuka. Dadanya terasa begitu hangat dan aku bisa merasakan
debaran jantung Endo yang sama cepatnya denganku. Kemudian dengan kedua
tangannya yang bebas, dia meletakkan rambutku yang terjuntai di balik
telingaku.
“Hai,
Cantik,” ujarnya lembut.
Aku
tersenyum, tersipu malu medengarnya memanggilku seperti itu. Tangan Endo yang
besar terus membelai wajahku lembut dan itu membuatku merasakan aliran darahku
mengalir cepat ke wajahku.
“Maaf
aku tadi nggak nelpon kamu dulu,” ujarku lirih.
Endo
tersenyum.
“Maaf
aku ketemu sama Tio lagi, tapi aku sungguh nggak ngerencanain itu semua. Lea
telpon minta ketemu dan nggak lama Tio datang. Maaf…” ujarku lagi penuh
penyesalan.
Endo
meraih salah satu tanganku dan mendekatkannya ke bibirnya untuk kemudian dia
berikan sebuah kecupan lembut di jemariku. Aku menelusuri bibirnya yang tipis
dengan telunjukku dan merasakan setiap sentuhannya di kulitku.
“Maaf
aku pergi dengan Sofi,” ujar Endo perlahan.
Aku
mengangguk pelan dan lengan Endo menarik wajahku turun hingga bibir kami saling
bersentuhan. Dengan perlahan Endo mengecup bibirku, kemudian melumatnya di
dalam bibirnya. Cukup lama hingga dia melepaskannya, tapi tidak membiarkanku
menjauh.
“Terakhir
kali aku akan melakukan hal ini, tangan seorang gadis menghalangi mulutku,”
ujarnya pelan tanpa melepaskan bibirku di bibirnya.
Aku
tersenyum malu.
“Maaf,”
ujarku lirih.
“Termaafkan
hari ini,” jawabnya sembari kembali menciumku mesra.
Tangan
Endo yang sebelumnya membelai pelan kepalaku, turun dan mengusap punggungku
lembut dan kemudian kembali lagi ke atas kepalaku. Dengan satu sentakan, posisi
kami sudah terbalik. Kali ini Endo berada di atasku dan terus menciumku yang
ada di bawahnya. Dia kemudian mencium pipiku kemudian menyusuinya turun hingga
sampai ke daguku, kemudian turun dan bibirnya menjelajah di leherku. Tangan
Endo yang sebelumnya berada di kepalaku kemudian turun dan membuka kancing
bajuku satu persatu. Membuatku melakukan hal yang sama dan ketika aku menarik
turun piyamanya, Endo juga melepaskan piyamaku. Membuatku bisa melihat dadanya
yang telanjang dan otot-ototnya yang bergerak mengikuti gerakannya.
“Lihat
apa?” tanyaku lirih saat Endo terdiam dan melihat tubuhku yang hanya tersisa
sebuah bra untuk menutup kedua
dadaku.
Tanpa
menjawab, Endo kembali turun mencium leherku dan terus menyusurinya hingga
menuju tengah dadaku. Membuatku mengerang saat dia melakukan semua itu.
Suara-suara yang tidak bisa kutahan dan selalu muncul saat bibir Endo menyentuh
semua bagian yang menurutku sensitif. Bukan hanya bibirnya yang terus
menjelajah, tapi juga tangannya yang sudah melanglang buana ke seluruh bagian
tubuhku dan juga berusaha melepas semua kain yang menempel di tubuhku. Hingga
di antara kami tidak ada selembar benangpun yang menghalangi.
“Kamu
takut, Sayang?” tanyanya lirih.
Aku
mengambil nafas dalam.
“Sedikit,”
jawabku.
“Aku
akan pelan-pelan,” ujarnya.
“Apa
sakit?” tanyaku mulai ketakutan.
Endo
tidak menjawab dan hanya tersenyum. Memberiku sebuah kecupan lagi di bibirku
dan aku merasakan sesuatu berusaha menerobos selangkanganku, mulai membuatku
sedikit kesakitan dan tanpa sadar berteriak tertahan.
“Kamu
mau aku berhenti?” tanya Endo cemas ketika melihatku menahan sakit.
“Enggak,
lanjutkan!” pintaku.
Endo
menatapku cemas kemudian memeluku erat sebelum mencoba kembali menerobos
selangkanganku. Aku meremas punggungnya keras dan berusaha menahan teriakan
yang mungkin muncul. Merasakan setiap sakit dan juga rasa nikmat yang muncul
bergantian. Membuatku tak mampu memintanya berhenti dari setiap rasa nikmat
yang muncul dan terus bertambah setiap Endo bergerak. Membuat erangan tak
terkendali yang terus menerus meluncur dari bibirku. Membuat gerakan Endo
semakin bertambah cepat setiap saat dan aku berada di satu titik dimana aku
berada di rasa nikmat yang tak mampu aku tahan. Membuatku berteriak dan juga
bergetar hebat. Saat semua serbuan itu muncul, aku baru menyadari Endo terdiam
dan menatapku takjub.
Apa
yang terjadi?
Apa
aku melakukan kesalahan?
Apa
Rima melakukan hal yang memalukan lagi?
Itu
tadi benar-benar sensasi yang menakjubkan bagiku dan semua teriakan dan juga
gertaran itu sama sekali tidak direncanakan.
“Wow,”
ujar Endo sembari tersenyum saat aku semakin panik.
“Maaf,
aku…itu nggak sengaja…aku…,” aku mulai menjadi sangat panik dan berusaha kabur
mengikuti instingku. Tapi tubuh Endo menahanku.
“Nggak
Sayang, nggak. Itu tadi sangat hebat, sangat seksi. Boleh aku membuatmu seperti
itu lagi?”
Tanpa
menunggu persetujuanku, Endo kembali menggerakkan tubuhnya dan tak butuh waktu
lama untuk membuatku melakukan hal yang sama. Terkadang sebuah getaran kecil
menyusul getaran hebat sebelumnya untuk reaksi dari setiap rasa nikmat yang aku
rasakan. Tak lama kemudian aku kembali bergetar hebat. Entah itu sudah terjadi
berapa kali sampai ketika Endo mulai terengah dan kemudian seperti tersengat
listrik, tubuh Endo mengejang beberapa kali saat aku juga mengejang hebat,
hingga kemudian dia merebahkan tubuhnya di atasku. Nafasnya tersengal seakan
baru berlari begitu jauh. Membuatku kembali teringat bayangan ketika Endo
berlari mencariku tadi siang.
“Terimakasih
sudah mencariku tadi siang,” aku memeluknya erat dan merasakan punggungnya yang
bergerak mengikuti nafasnya.
“Bahkan
ke ujung dunia juga akan kucari seandainya kamu pergi,” jawabnya di leherku.
Membuatku merasa geli setiap hembusan nafasnya terasa di leherku.
Endo
tiba-tiba kembali menopang tubuhnya dengan tangannya. Sebuah senyum muncul di
wajahnya yang tampan dan itu senyum yang selalu membuat perasaanku tidak enak.
“Yak,
ayo kita mulai lagi!”
Apa
kubilang!
****
Pertama,
aku telanjang.
Kedua,
Endo juga telanjang
Ketiga,
kami berpelukan dan hanya ditutup oleh selembar selimut
Ini
gawat. Aku harus segera bangun dan menyingkir dari semua kekacauan ini. Wajah
bangun tidurku bukanlah wajah yang paling bisa kubanggakan (masih ingat dengan
pipi dengan alur air liur dan juga wajah pucat seperti vampir?) Jangan sampai
malam pertama kami menjadi malam terakhir juga gara-gara Endo shock melihat
wajah bangun tidurku ini. Tapi bagaimana caraku lepas dari semua pelukan ini?
Setelah
semua pengakuan dan semua ‘pertempuran’ semalam, kurasakan semua badanku lemas.
Tapi kalau aku sampai tidak bangun lebih dulu daripada Endo, bisa-bisa dia
mengira baru saja tidur dengan vampir cina! Dengan sisa tenaga, aku berusaha
melepaskan diriku dari pelukan Endo. Perlahan ku ganti sosokku dengan guling
dan membiarkan Endo memeluknya erat. Sesaat aku merasa iri dengan guling yang
baru saja ku jadikan pengganti diriku (dan kemudian aku segera menyadarkan diri
sebelum semua khayalan liarku semakin menjadi).
Seharusnya
aku berjalan perlahan menuju kamar mandi dan segera mandi untuk kemudian
menyiapkan sarapan, tapi yang terjadi sebaliknya. Saat ini aku sudah
terjungkal, terjatuh di lantai dengan suara berdebum keras dari atas kasur.
Membuat keributan yang lebih parah dari sekedar suara langkah kaki.
“Rima,
Sayang dimana?” suara Endo dari atas ranjang terdengar sangat panik.’
Sial.
“Enggak
apa-apa!” jawabku berusaha bangun dari posisiku sekarang. Sialnya pinggangku
terasa lemas dan tidak mampu bergerak seperti biasa.
Endo
segera menemukanku yang jatuh dengan posisi bersujud di lantai. Aku menyumpahi
posisiku saat ini. Apa tidak ada posisi yang jauh lebih keren untuk posisi
jatuhku? Setiap posisiku saat terjatuh ataupun terjungkal, selalu berakhir
dengan kata memalukan. Seperti saat ini, aku sama sekali tidak mampu melihat ke
arah Endo. Jjatuh dengan posisi bokong terpampang sempurna dan dahi menyentuh
lantai lebih dulu. Nanti akan ada benjol sebesar bola bekel bersarang di
dahiku. Itu pasti!
“Sayang,
kamu nggak apa-apa?” Endo membantuku berdiri, tapi aku terlalu takut untuk
bangun.
Hingga
aku merasa tubuhku melayang dan itu gara-gara Endo menggendongku kembali ke
atas ranjang. Sesaat aku merasakan kulit Endo yang hangat dan juga bau tubuhnya
yang wangi, sebelum dia meletakkanku dia atas ranjang.
“Astaga,
dahimu benjol, Sayang,” ujar Endo cemas.
Sudah
kuduga.
“Nggak
apa, nanti kempes sendiri,” jawabku berusaha menenangkan.
“Aku
ambilkan salep sebentar. Kamu tetap di sini!” perintah Endo sembari mengambil
celananya yang terjatuh di lantai, kemudian memakainya sebelum meninggalkanku.
Seharusnya
ini menjadi pagi yang indah. Akhirnya aku menjadi wanita dan istri seutuhnya
bagi suamiku, bagi Endo. Tapi yang terjadi, pagi ini dimulai dengan kejadian terjatuh
dari ranjang karena terlalu lemas dan sebuah benjol besar menghiasi dahiku.
Apalagi yang lebih buruk dari ini?
“Diam
sebentar,” tiba-tiba Endo sudah di depanku dan mengoleskan salep di dahiku.
Aku meringis
tertahan saat dia menyentuh dahiku yan mulai terasa berdenyut.
“Maaf
sudah buat kamu kaget,” ujarku lirih sementara Endo terus meratakan salep di
benjolku dan meniupnya perlahan.
“Kita
sebaiknya ke dokter,” Endo mulai terlihat panik.
“Apa? Nggak
usah! Aku nggak apa-apa! Sudah biasa seperti ini. nanti siang juga kempes
sendiri,” sanggahku.
“Sudah
biasa?” tanya Endo heran.
Ah,
sial! Aku kembali teringat saat-saat ketika kecerobohan menguasaiku. Apalagi saat
dimana aku melakukan kecerobohan itu di depan Endo. Akhirnya aku cuma bisa
menjawab pertanyaannya dengan senyum miris.
Endo membelai
rambutku pelan dan menyibakkannya kebalik telingaku. Kemudian kami terdiam dengan
saling memandang. Ketika menatap Endo di depanku, aku erasakan mendapatkan
sebuah anugerah. Mengaguminya semenjak SMA dan saat ini dia menjadi suamiku. Bersumpah
mencintaiku dan tak ingin melepasku. Sementara apa yang selama ini dia lihat dari
diriku?
Apa
yang dia lihat?
Astaga!
Bagaimana
bisa aku lupa kalau aku masih telanjang saat ini! Dengan cepat aku menarik
selimut untuk menutup tubuhku, tapi Endo sudah bergerak lebih cepat dengan
memelukku dan mulai menciumiku. Aku mendorong dagu Endo sebelum dia semakin
beringas seperti semalam.
“Endo,
kamu kan harus kerja!” teriakku sembari menahan serangan Endo yang berusaha
mengalihkan tanganku.
“Sepertinya
hari ini Lukas harus memegang semua kerjaanku,” ujar Endo sembari menyingkirkan
tanganku dan menciumku kembali.
Aku
berusaha melepas tanganku dari genggaman Endo dan mendorong wajahnya menjauh
dari dadaku.
“Pagi
ini Diva mau datang!” ujarku sembari terengah.
“Apa?”
Endo menghentikan serangannya dan menatapku tidak percaya, “Mau apa dia datang
pagi-pagi?”
“Endo,”
aku masih berusaha mengatur nafasku, “Dia sahabatku, sepupumu juga!”
“Mengganggu!”
ujar Endo bersungut-sungut.
Aku terkekeh
melihatnya seperti itu. Sebersit rasa bahagia muncul dari dadaku, mengingat
Endo begitu menginginkanku. Dia mendengus keras kemudian melihatku dengan
pandangan sebal.
“Mandi
sana!” ujarku menggoda.
Endo menyeringai
dan sekali lagi itu tanda sesuatu yang diluar perkiraanku akan terjadi. Saatnya
untuk segera kabur dan sayangnya aku terlambat. Endo sudah mengangkatku dan
menggendongku menuju kamar mandi.
“Endo,
kamu mau apa?”
Dia mengeluarkan
seringainya lagi.
“Mandi!”
*****
“Padahal
aku berharap pagi ini bisa sarapan masakan yang dimasak dengan berbagai bumbu!”
gerutu Diva saat aku hanya membuatkan sarapan telur ceplok untuk kami bertiga.
Aku hanya
tersenyum menjawabnya dan menatap Endo yang terlihat sibuk membaca koran.
“Jadi
kalian sudah baikan?” tanya Diva tiba-tiba.
“Mau
tahu aja!” jawab Endo sinis dari balik korannya sembari meminum kopinya.
“Cuma
mau ngingetin,” Diva memakan telurnya, “Besok kalo keramas jangan barengan biar
gak ketahuan habis kimpoi-nya!”
Aku
terkejut dan Endo terbatuk keras dari balik korannya. Sepertinya dia tersedak
kopi yang barusan dia minum.
“Diva
Maharani, aku adukan ke mama-mu nanti kata-katamu barusan!” ancam Endo sembari
terus terbatuk. Aku berusaha menepuk punggung Endo untuk membuatnya merasa
lebih baik.
“Aduin
aja! Paling enggak, Mama tahu kalau aku masih normal” jawab Diva cuek.
“Kamu…!”
Endo menggeram marah.
“Endo!”
aku mengingatkan Endo dan Endo menatapku seakan memprotes tindakanku.
“Berangkat
sana gih! Ganggu acara cewek aja!” usir Diva tanpa menata Endo sama sekali.
Endo menutup
korannya kasar kemudian segera meminum sisa kopinya. Sebuah kecupan sekilas
mampir di sudut bibirku sebelum dia berangkat. Dan ketika Endo berjalan
melewati Diva, lengannya yang panjang terjulur ke arah gelas berisi jus jeruk
milik Diva, menyenggolnya dan membuat semua isinya tumpah ke kemeja Diva.
“Endo!”
teriak Diva marah, tapi Endo sudah berlari cepat menuju pintu meninggalkan
kami.
Aku segera
mengambil kain lap dan membantu Diva membersihkan tumpahan jus di bajunya. Sementara
Diva itu terus saja menggerutu menyumpahi semua kelakuan Endo.
“Kalian
ini kenapa sih nggak pernah akur!” protesku.
“Kamu
nggak lihat barusan dia ngapain? Liat aja nanti, aku kirim tagihan baju baru ke
kantornya!”
“Mau
baju baru? Tuh di kamar ada setumpuk baju baru. Masih lengkap sama kantongnya,”
aku menawarkan pada Diva dan tak butuh waktu lama sampai Diva menghilang menuju
kamarku.
Aku kembali
teringat, ketika Lukas datang tadi pagi membawakan berkantong-kantong belanjaan
dari butik terkenal. Endo bilang, itu yang dia lakukan bersama Sofi kemarin. Dia
bermaksud membelikanku pakaian dan juga sepatu baru dan meminta tolong Sofi membantunya
karena ukuran tubuh kami yang mirip. Tapi itu membuat rasa cemburuku kembali
muncul. Jauh di dalam hati aku bersumpah untuk tidak memakainya!
“Gila,
bagus nih, Rim!” ujar Diva sambil memamerkan beberapa baju yang dia bawa.
Aku melihat
baju-baju itu dan mulai menyesali sumpahku. Baju-baju itu memang bagus dan
terlihat sangat mahal. Bahkan di dalam mimpi aku tidak pernah berpikir untuk
membelinya karena harganya yang bisa membuat seseorang ayan seketika.
“Mereka
beli itu kemarin!” ujarku sebal menyesali sumpahku yang keabsahannya sudah
kudaulat mengalahkan sumpah palapa Gajahmada.
“Mereka?”
“Endo
sama Sofi!”
“Si-a-lan!
Kalau kamu mau nerima semua ini, itu berarti kamu kalah sama si Masa Lalu itu!”
Siapa?
“Si
Masa Lalu apa?” tanyaku kaget.
Diva
terkejut kemudian terlihat menelan ludahnya.
“Aku
memang ngomong apa tadi?”
“Kamu
bilang Sofi itu si Masa Lalu, Di!”
“Emang
aku bilang gitu?” tanya Diva pura-pura bodoh.
“Diva!”
paksaku.
“Baik!
Dia emang mantan Endo, tapi…sekali lagi tapi, mereka putus sudah sangat lama!”
“Mereka
mantan?” aku terkejut mendengar ucapan Diva.
“Putus
dari Endo kuliah tahun ketiga, jadi kamu tenang aja! Sekali lagi, dia cuma masa
lalu!”
“Tapi mereka pernah pacaran, Di!” protesku.
“Kamu
juga sudah pacaran sama Tio kan?”
“Tapi
aku sama dia gak ketemuan dan jalan bareng di Mall sama Tio!” sanggahku kesal.
“Kemarin?”
“Kemarin
itu tragedi, dan aku terjebak di toilet tak beradab sementara Endo jalan berdua
sama mantannya!”
“Nyari
hadiah buat kamu,” ujar Diva membela Endo.
Kenapa
Diva sekarang membela Endo? Sedari tadi mereka bertengkar seperti anjing dan
kucing!
“Kamu
tahu ini nggak bener kan Di?”
Diva
terdiam kembali kemudian mendekatiku.
“Rim,
mereka cuma mantan. Sekarang cewek Endo, ralat, istri Endo cuma kamu! Memang Endo
salah sudah jalan sama mantannya yang ganjen juga sih kata aku, tapi mereka
cuma mantan dan Endo cuma cinta sama kamu, titik!”
Aku tercenung
mendengar perkataan Diva. Merasakan cemburu yang meluap-luap di dalam hatiku
saat berpikir antara Endo dan Diva memiliki hubungan di masa lalu. Apa ini juga
yang Endo rasakan saat dia tahu aku bertemu dengan Tio?
“Rim,
kayaknya ada tamu deh! Aku buka dulu pintunya ya!” ujar Diva sembari meninggalkanku.
Ada
tamu dan aku tak bisa mendengar bunyi bel pintu karena terlalu serius
memikirkan semua ini. aku berjalan pelan menuju pintu dan mendengar suara Diva
sedang bertengkar dengan seseorang.
“Siapa,
Di?” tanyaku bingung.
“Mana
cewek yang ngaku istrinya Endo?” teriak seorang wanita yang terlihat gusar
memasuki apartemen.
Cewek yang
super cantik muncul di hadapanku. Dia seperti mencari-cari sebelum akhirnya
melihat ke arahku. Rambut lurus yang panjang, tubuh yang tinggi semampai bak
model dan wajah yang menurutku sangat cantik, tapi mengingatkanku pada
seseorang. Entah siapa, seseorang dari masa lalu yang sepertinya ingin kulupakan.
“Kamu
kira kamu siapa? Cepet keluar, Tiara!” bentak Diva sembari tergesa menyusul
cewek itu dan akan menariknya keluar.
Aku ingat!
Dia nenek
sihir itu.
****
wekekekekekekekekekekekekekkk..
BalasHapusmakasih mbak rike.. mohon maap lahir batin juga..
selamat menjalankan ibadah puasa ya.. :D
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushoree...akhirnya rima-endo bener2 jadi suami-istri.smoga kedepannya mreka ndk pisah gara2 pengacau sofia n tiara..hehee
BalasHapusjiahh..nenek sihir dateng lengkap dengan tongkat sihirnya.
ayo diva n' rima, hajar nenek sihirnya.hahaa
slamat menjalankan ibadah puasa y mbak..
^_^
mhon maaf lhr btin mba.... trims crta ya
BalasHapusWaaahh telat2
BalasHapusAkhirnya GOOOOOLLLL...
D skip bbrp bagian,Tar baca ulang lg...hahaaa
(⌣́_⌣̀) Haâdéèêhh (⌣́_⌣̀) nambah lg nenek sihir,kirain dh ilang dy, jgn blg tar rima kabur lg *iket rima am endo biar g d pisahin
Met puasa smuanya
º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°ºea mba
Jaaahhhhh,,,,
BalasHapusNenek sihir tmbhn....
Endoooooooo plg,,ada nenek sihiiirrrrrrrrrr
Met puasa smwnyaaa..
Mksh Mba Ikeee
(Ntr mlm bc lagiiii) xixixi
ampun jeng... aku gak bisa nahan ketawa waktu baca tulisan "menerobos selangkangan" wkwkkw.. hak..hak..hak... ampunnn....
BalasHapussorry kalo salah jeng, kyknya ada typo di akhir2 babnya yg bilang "Endo dan Diva memiliki hubungan di masa lalu" harusnya Endo dan Sofi bukan? cmiiw
wah, konflik kedua udah masuk nih.. ehhehehe....
mbaaaakkk... aq reader baru mu... aq baru tau ada yg baru abs dhuhuran. anjiirr... kaget aq pas bagian *pippip* nya. barusaha baca tanpa bayangin. noooo!! mg2 puasaq hari ini tetep berkah :p huhuhu. itu nenek sihir knp harus muncul wkt lagi hepi2nya?! #lempartomatkeneneksihir
BalasHapusasiiiikkkkk aaw makasi banyak mbaaaaa! ditunggu secepatnya yaaa episode episode selanjutnyah! luv :*
BalasHapus-fina
horeee mkah mb rik :D
BalasHapuswowwww ini adeganya kocak banget rima rima ampe jatuh gitu sih haha
waduh tidakkk nenek sihir datang seru nii pasti klo tiara berantem sama diva haha
Aaarrrggghhh!!! Tiara pengganggu!!!
BalasHapusS*it! Ckck
Waduh... Penggangu muncul lgi, kya Πγª Sofi mnta bantuan Tiara nich.
BalasHapusMbak,kpn postingan berikutnya??
BalasHapus:(
mbk hri senin uplodtannya mana..da nungguin lama niy :(
BalasHapusMbaaakk...bab 16 nya man?kok g muncul2??huhuhu :-(:-(:-(
BalasHapusMbaaakk...bab 16 nya man?kok g muncul2??huhuhu :-(:-(:-(
BalasHapus