akhirnyaaa bisa apdet kembaliii...
setelah kemaren cuma suprise belaka, sekarang bener-bener apdet full. wekekekekekekekek.. tunggu kejutan-kejutan lain di blog ataupun di wattpad buat sobatku pembaca KK semua. waakakakakaakakakakakak
sulamat munikmatiiii
BAB 12
RIMA
Aku
tahu ini semua adalah kesalahanku sendiri!
Ingatanku
kembali secara cepat pada kejadian tadi siang saat Diva datang ke rumah.
“Kamu
apa?”
Diva
berteriak terkejut ketika aku menceritakan semua yang terjadi pada malam tragedi
lingerie. Saat aku hampir saja dengan bodohnya membiarkan Hati Kecil menguasai
tubuhku. Dia menutup mulutnya dan matanya terlihat menyipit karena pipinya yang
tertarik ke atas. Asem! Dia berani menertawakanku.
“Sudah
selesai ketawanya? Kamu nggak praktek?” tanyaku sebal.
“Sudah
selesai. Makanya aku bisa mampir ke sini, sekalian bawa beginian,” ujar Diva
sambil mengeluarkan beberapa cd yang di bungkus cover kertas dan juga plastik.
Aku
melihat tumpukan CD itu dan memperhatikan tulisan di covernya. Ternyata ini
adalah beberapa film yang sudah pernah beredar, Barat dan juga Asia. Beberapa
film drama, action dan juga…
“APA
INI?” teriakku kaget.
Diva
menoleh sebentar kemudian mengambil CD di tanganku untuk membaca judulnya.
“Oh,
ini filem bokep!”
“Bo...apa?
Diva, kenapa beli film gituan sih?” aku panik melihat CD di tangan Diva dan
teringat kembali kejadian semalam.
Setelah
pembicaraan tentang $^*$ semalam dengan Endo, dan menemukan diriku paginya
terbangun sembari memeluk Endo erat, sudah membuat pikiranku sedikit terkontaminasi
dengan khayalan-khayalan liar. Sepagian aku harus menahan debaran jantung
setiap melihat Endo karena sentuhan tanganku merekam semua rasa dari otot dada
Endo dan memberikan gambaran Endo ketika berada di tempat fitnes setiap aku
melamun (dimana sepertinya hati kecilku yang memberi komando kepada pikiranku
untuk membayangkan semua itu).
Seperti
tadi pagi ketika Endo terbangun dan menampilkan sisi lain sensualitasnya lagi
membuat aku sempat termangu selama beberapa saat menatapnya yang sibuk mencari
botol minum. Membuatnya berhasil menggodaku kembali seperti ketika di
supermarket dan membuat kakiku lemas dengan semua bayangan tentang arah
pembicaraannya.
“Buang!”
aku langsung berteriak pada Diva sembari menunjuk CD miliknya.
“Biasa
aja kali, mbak bro! Emang kamu nggak penasaran sama isinya?”
“Diva!”
Terlambat,
Diva sudah memasukkan CD itu ke dalam player dan memutar isinya. Dia menyeretku
untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari home
theater milik Endo. Ini terasa lebih menegangkan daripada menonton film
horor. Seorang wanita muncul dan mengenalkan dirinya menggunakan bahasa Jepang
yang kami sama sekali tidak tahu apa artinya.
“Yang
penting eksyennya! Dialog gak ngaruh lagi, Rim!” sanggah Diva saat aku
memprotes film ini tanpa teks dan memintanya mengganti film lain.
Sial!
Misi kembali gagal.
Wanita
itu kemudian bertemu dengan seorang pria dan adegan yang sebelumnya ada di
ruang makan berganti seting di sebuah kamar dengan ranjang ukuran besar. Wanita
itu memeluk leher pasangan prianya dan si pria memeluk pinggang wanita itu
mesra, kemudian mereka berciuman. Mereka terlihat seperti kelaparan dan
berusaha memakan bibir pasangannya satu sama lain. Aku melihat ciuman itu dan
membandingkan ciuman yang pernah kudapat selama ini, terutama dari Endo. Ciuman
dari Endo terkesan lembut dan tidak memaksa, berbeda dengan ciuman yang saat
ini kulihat.
“Ini
film vampir Jepang, Di?” tanyaku berbisik.
“Ssst…!”
Diva berdesis supaya aku diam.
Bahkan
kalau ruangan ini begitu sunyi, Diva tidak akan tahu arti dari setiap
pembicaraan di film itu. Aku sedikit kesal dan kembali menonton film itu lagi.
Kali ini, adegan si pria melepas pakaian si wanita satu persatu dan mulai
menggerayangi tubuhnya. Aku menahan nafas ketika adegan itu berlangsung. Otakku
kembali membayangkan saat Endo menyentuh tubuhku semalam. Aku menelan ludah
getir (Hati kecilku kembali menampilkan sosok seksi Endo di kepalaku untuk
menambah efek dari film ini. Sialan! Ini benar-benar percobaan pengkhianatan).
Si wanita melakukan hal yang sama dan dia mendorong si pria ke atas ranjang.
Setelah adegan ini, tiba-tiba aku sudah membayangkan si pria adalah Endo dan si
wanita adalah diriku.
Mereka
(tentu saja di dalam bayangan otakku yang sudah dikuasai pengkhianat –si hati
kecil– berubah menjadi adegan ‘kami’) saling meliuk di atas tubuh satu sama
lain, saling mencium, menjilat dan juga menggerayangi masing-masing tubuh. Dari
atas hingga bawah tidak ada yang terlewat dari semua perlakuan itu. Suara-suara
lenguhan dan desahan silih berganti muncul dari mulut si wanita dan speaker Endo terlihat bekerja sangat
baik dalam membangun khayalanku bersama Endo. Wanita itu membiarkan si pria
mempermainkan tubuhnya dan menerima dengan pasrah semua perlakuan si pria.
Sampai ketika di tubuh keduanya tidak tertinggal selembar benang sama sekali,
dan ketika si perempuan (sosok diriku terbayang jelas saat adegan ini) menjilat
kemaluan si pria (aku tidak tahu bagaimana dengan milik Endo, karena yang
terbayang di kepala hanya bagian atas hingga pusar), aku mulai merasa mual.
Ketika mereka sudah bersiap untuk ‘bertempur’, pandanganku langsung terasa
gelap.
“Mereka
baru foreplay aja kamu sudah pingsan.
Kebangetan banget jadi cewek!” ujar Diva setelah berusaha sekuat tenaga
membangunkanku yang ternyata baru saja pingsan.
Mataku
masih sedikit berkunang-kunang dan adegan ‘penyiksaan’ si wanita masih terlihat
di Televisi. Aku kembali membayangkan wanita itu adalah diriku. Diriku yang
sedang melakukan $#*$ bersama Endo. Perutku terasa bergejolak kembali.
“Matikan,
matikan aku nggak kuat!” aku meminta Diva mematikan film itu.
Diva
mengambil remote televisi dan mematikan playernya.
“Jangan
pernah ajak aku nonton film beginian lagi Di!”
“Apa?
Bukannya kalau nonton film Barat kadang juga ada adegan panasnya?”
“Tapi
nggak seperti ini! Bahkan di film Barat-pun setiap adegan kayak gitu, aku
berusaha merem!” protesku. Diva terbahak mendengarnya dan berjalan ke dapur
meninggalkanku.
Dan
tiba-tiba ponselku menerima sebuah pesan singkat dari nomer yang tidak kukenal
****
Semua
ingatan itu kemudian terputus saat aku melihat Endo di bawahku kembali. Kukira
saat ini sudah lewat tengah malam dan aku masih terdiam di posisi yang sama.
Endo melihatku bingung dan juga terkejut. Sangat jelas ini kesalahanku sendiri
setelah semua ingatan hari sebelumnya.
Pertama,
aku sudah menerima ajakan Diva untuk menonton film bokep. Kedua, setelah
berusaha begitu keras melupakan si brengsek Tio, tadi siang dia berhasil
menghubungiku lagi dengan nomer lain. Ketiga, aku merasa sangat tidak senang dengan
teman perempuan Endo yang tadi dia ajak ke apartemen. Mau apa Endo mengajak
seorang wanita ke apartemen? (pertanyaan bodoh ini langsung di jawab Hati
kecilku dengan lugas, “Makan malam, bodoh!”) Lagipula, untuk apa pertanyaan
itu? Aku sama sekali tidak berhak untuk marah untuk setiap teman wanita Endo.
Tapi
semua kesalahan itu membuatku bermimpi sangat buruk dan juga aneh! Aku bermimpi
tentang film bokep tadi siang, tapi pemerannya aku dan Endo! Semua di mimpiku
terjadi sama persis dengan film sialan itu (dan bagaimana bisa aku hafal semua
adegannya!), kemudian Tio tiba-tiba muncul dan hendak menghajar Endo. Di saat
itulah aku terbangun dan mengucapkan kata-kata ‘ajaib’ yang membuat Endo
menatapku cemas dari bawahku.
Astaga!
Aku
baru sadar, kalau aku berada di atas Endo, menatapnya dan mengatakan kalimat
‘ajaib’ itu. apa yang harus kulakukan? Apa lebih baik aku pura-pura pingsan
atau langsung berbalik untuk berpura-pura tidur kembali? Tapi lengan Endo
menahan semua skenario konyolku itu tadi.
Lengan
Endo sudah melingkar di leherku dan menarik wajahku turun perlahan mendekati
wajahnya (dan Si Hati kecil sudah berjingkrak kegirangan seiring semakin
dekatnya kami. Selamatkan aku, bodoh! Beri sebuah ide dan berhenti
lompat-lompat!). Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Sedikit lagi bibirnya
yang indah itu akan menyentuh bibirku. Ini bahaya, (terutama dengan bau jigong
yang bisa keluar secara sporadis melalui sela-sela bibirku. Bisa-bisa kejadian
berikutnya adalah melihat Endo muntah-muntah seperti wanita yang sedang hamil
muda) sangat berbahaya! Aku harus berpikir cepat! Dan tindakanku selanjutnya
adalah meletakan tangan kananku, menutup bibirnya, untuk menghalangi kami
berciuman.
Penyelamatan
yang sempurna!
Endo
sangat terkejut sepertinya dengan tindakanku, dan kesempatan itu kugunakan
untuk segera bangun, menjauh darinya.
“Maaf,
tadi aku ngelindur!”
Endo
terduduk dan menatapku heran.
“Anu,
aku tadi mimpi lihat orang jualan es krim. Jadi aku tadi mau bilang, aku mau
kamu…” aku menarik nafas dalam, “…beliin es krim.”
Sebuah
senyuman mengakhiri alasan bodohku. Es krim apa? Apa tidak ada alasan lain yang
lebih meyakinkan (sepertinya alasan aku mimpi melihat nenek-nenek koprol dalam
berbagai posisi, dan mau Endo melakukan itu juga, jauh lebih masuk akal). Endo
tertunduk, dan aku bisa lihat wajahnya tampak begitu kecewa. Dia menghela nafas
dalam.
“Endo
maaf,” aku mengamit lengan piyama Endo, tapi Endo tiba-tiba menyentak lengannya
keras.
“Maaf,”
ujarnya menyesal, “Aku…lebih baik aku tidur di luar.”
Dia menarik
bantal miliknya dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkanku sendiri. Aku
bisa mendengar suara kulit sofa yang terkena badan Endo, kemudian suasana
kembali sepi. Ini adalah saat yang paling aku dambakan selama ini. Bisa tidur
sendiri tanpa ada Endo yang selalu membuatku was-was. Harusnya aku menikmati
saat ini.
Seharusnya…
****
Endo
terbangun saat aku sedang menyiapkan sarapan untuk kami. Dia berjalan lunglai
sembari memegang bahunya menuju lemari es, mengambil segelas air kemudian duduk
di meja makan untuk meminumnya. Sepertinya sofa bukan tempat yang nyaman untuk
tidur. Apalagi dengan badan Endo yang cukup besar. Bahunya yang lebar dan
berotot pasti tidak mampu beristirahat dengan nyaman.
Tunggu.
Mau
apa aku membayangkan semua bagian tubuh Endo? Semalam aku baru saja bisa
mendapatkan ketenangan yang kuinginkan dan pagi ini kenapa aku harus memikirkan
itu semua?
“Mau
kopi?” tawarku ketika dia melewatiku.
Tanpa
banyak bicara, dia hanya menggeleng pelan kemudian segera meninggalkanku menuju
kamar. Itu sedikit membuatku merasa kesepian. Biasanya dia akan menemaniku
sebentar dan sesekali mencuri ciuman di kening atau pipiku. Tapi kali ini dia
hanya melewatiku dan meninggalkanku sendiri dengan perasaan bersalah.
Bahkan
saat sarapan, dia sama sekali tidak banyak bicara kemudian pergi meninggalkanku
dengan memberikan kecupan sekilas di pipi saat berangkat ke kantor. Apakah ini
artinya aku bisa mendapatkan ketenanganku kembali? Aku sedikit berjingkrak dan
bernyanyi bahagia (dan hati kecilku sepertinya mengutuk semua tindakanku,
sekali lagi kami menjadi pasangan yang tidak kompak).
Semua
kebahagiaan itu membuatku memiliki tenaga ekstra untuk membersihkan rumah
sampai ke seluruh sudutnya, memanggang beberapa kue kering dan juga sibuk
menyetrika beberapa baju. Semua pekerjaan yang membuatku semakin bahagia dan
tidak sadar kalau hari sudah menjelang sore, sampai suara ponsel mengagetkanku.
“Halo,”
suaraku bahkan masih terdengar riang saat menerima telepon di ponselku.
Tidak
ada jawaban.
“Halo?”
tanyaku lagi.
Masih
tidak ada jawaban.
“Bye-bye!”
“Tunggu!”
Aku
kenal suara ini.
Setelah
sekian lama bersama dan juga sebuah pengkhiatan, mau apa lagi Kampret tengik
ini menghubungiku lagi.
“Rima,
aku kangen,” ujarnya.
“Mati
sana!” teriakku sembari langsung menutup panggilannya.
Aku
menjatuhkan diriku keras ke arah sofa dan memegang kepalaku yang sedikit
berdenyut. Mau apa lagi Tio menghubungiku? Untuk apa dia selalu menggangguku?
Apa tidak bisa dia meninggalkanku untuk melanjutkan hidup dengan tenang?
Setelah semua pengkhianatan dan kejujurannya yang membuatku ingin menyiram
wajahnya dengan minyak panas, mau apa dia menghubungiku kembali? Ponselku
kembali berdering dan menunjukkan nomer yang sama seperti sebelumnya. Tanpa
pikir panjang, aku langsung mematikan panggilannya. Tak lama, ponselku kembali
berdering dan itu membuat kesabaranku habis. Aku mencabut baterai ponselku dan
menggeletakkannya di meja.
Kenapa
dia harus kembali menghubungiku? Aku baru saja bisa bernafas lega dari
masalahku yang lain, tapi Tio kembali merongrong hidupku dan mengingatkanku
akan semua pengkhianatan yang sudah dia lakukan. Kami dulu bahagia, sangat
bahagia, tapi dia kemudian menelikung di belakang dengan Lea. Aku kembali
teringat masa-masa ketika aku dan Tio masih bersama, saat kami pergi kencan
bertiga, saat aku meminta Lea menemaniku pergi ke tempat Tio. Apa mereka sudah
mengkhianatiku sejak saat itu? Apa itu arti dari cara memandang Lea kepada Tio
dan begitu juga sebaliknya selama ini? Kenapa aku begitu buta melihat semua
tandanya?
Aku mulai
menangis karena teringat semua itu. Sebetulnya, aku sudah bisa menerima harus
pergi dari sisi Tio, tapi pengkhianatan itu membuat diriku merasa mejadi
seorang wanita yang tidak dihargai sama sekali. Seperti kata Diva, aku
merasakan rasa percaya diriku jatuh ke lembah terdalam yang hampir tak
berujung.
Entah
karena terlalu lelah atau karena menangis itu menghabiskan begitu banyak
tenaga, aku mulai tertidur di Sofa. Mimpiku kembali memutar adegan ketika Tio
mengatakan semua hal yang menyebalkan itu, di Mall. Bagaimana bisa dia
menyalahkanku dan memperolok fisikku, tapi masih terus berusaha memintaku
menjadi kekasihnya? Apa yang dia pikirkan? Bahkan di dalam mimpi aku masih
terus menangis, meratapi nasib cintaku dan juga Tio. Lalu Endo tiba-tiba muncul
dan menyelamatkanku seperti biasa.
Seperti
biasa?
Dia
selalu muncul di saat-saat aku membutuhkan seseorang. Muncul dan memaksakan
semua keinginannya. Muncul dan mampu menjebakku untuk mengikuti semua
kemauannya. Muncul dan memulai semua perdebatan di dalam hatiku. Muncul dan
membuatku bingung akan perasaanku sendiri. Bagaimana bisa mata berwarna keabuan
itu menatapku seperti itu? Seakan mampu melihat hingga ke dalam jantungku.
Bagaimana bisa bibir yang begitu indah itu menciumku lembut dan membuatku seakan
tak mampu bergerak? Bagaimana bisa tubuh yang begitu mempesona itu memelukku
erat tanpa meremukkanku? Membuatku selalu terjebak dengan semua yang Endo miliki,
tapi juga membuatku ragu akan perasaanku kepadanya.
Aku
terbangun ketika hari sudah semakin sore. Ponselku masih tergeletak mengenaskan
di meja dan itu membuatku sedikit bersalah (ponsel itu pemberian Ayah ketika
aku lulus kuliah dan tidak pernah terpikir untuk menggantinya sampai saat ini).
Aku meraihnya dan memasang baterainya kembali, kemudian menghidupkan tombol power-nya. Tak lama satu persatu pesan
masuk. Beberapa pesan memberitahukan nomer yang menghubungiku dan bisa
kupastikan kalau itu nomer milik Tio. Membuatku harus mencari cara memblokir
nomer itu dari ponselku. Kemudian aku melirik pesan lain yang memberitahukan
nomer Diva berusaha menghubungiku dan juga nomer Endo.
Gawat.
Aku
segera menekan tombol di ponselku dan berusaha menghubungi Endo kembali. Nada
sambung terdengar cukup lama dan akhirnya sebuah suara bernada cemas menjawab
panggilanku.
“Kamu
dimana, Rim?” tanya Endo cemas dan itu membuatku merasa bersalah.
“Aku
di rumah,” jawabku lirih.
“Baik,
aku sudah hampir sampai di depan pintu!”
Sambungan
telepon terputus sepihak dan tak lama suara kunci terdengar dari pintu masuk.
Membuatku bergegas menghampiri pintu masuk dan melihat Endo dengan
penampilannya yang sedikit kacau daripada biasanya. Rambutnya yang hitam tampak
sedikit acak-acakan dan matanya yang kelabu menyiratkan pandangan cemas
kepadaku.
“Kenapa
ponselmu mati?” tanya Endo masih dengan nada cemas ketika dia melihatku. Bahkan
pintu apartemen kami masih belum tertutup sempurna.
“Tadi…aku…”
“Rima,
darimana kamu seharian ini?” tanyanya dengan nada sedikit tinggi.
“Aku
di sini…”
“Terus
kenapa ponselmu mati!” bentak Endo.
Aku terkejut
dan hampir menangis mendengarnya berteriak seperti itu. Sungguh, Endo ketika
marah seperti ini sangat menakutkan. Dia sepertinya tersadar dan menunduk
menyesal, tangan kirinya menarik menyisir poninya ke arah belakang kepalanya
dan membuatku bisa melihat raut pucat di wajahnya lebih jelas.
“Maaf,”
ujar kami bersamaan dan kemudian membuat kami berdua sama-sama terdiam sesaat
kemudian.
“Maaf
aku membentakmu,” ujar Endo lirih.
“Tadi,
aku lupa menghidupkan ponsel. Maaf sudah bikin kepikiran.”
Endo mendekat
ke arahku dan membuatku menahan nafas untuk menerima ciuman yang biasanya
bersarang di wajahku. Lama aku menunggu (dan hampir kehabisan nafas. Biasanya
tidak selama ini!) kemudian Endo melewatiku tanpa menyentuhku sama sekali. Itu
sedikit mengejutkan bagiku (dan hati kecilku mulai mengamuk. Kenapa dia harus
mengamuk? Hei, ini suatu kemajuan!), sangat tidak biasanya Endo melakukan hal
itu.
Bahkan
ketika waktu tidur tiba, Endo lebih memilih untuk tidur di sofa kembali.
Meninggalkanku di kamar sendirian. Aku bisa merasakan hati kecilku memberontak
dan kembali mengamuk, tapi aku bahagia! Malam ini aku kembali bisa tidur dan
bangun dengan tenang.
Tapi
kenapa mataku malah tidak bisa menutup?
****
“Kamu
kangen dia tuh!”
“Enak
aja!”
Aku
memprotes keras jawaban Diva di telpon ketika aku menceritakan kesulitan
tidurku beberapa malam ini. Aku bahagia dan juga merasa tenang bisa tidur
sendiri tanpa harus berdebar karena ada sosok seperti Endo di sebelahku
(walaupun hati kecilku terus meratapi Endo. Apa sih maumu?). Paling tidak, aku
tidak perlu terkejut saat terbangun dan menemukan diriku sudah memeluk Endo.
“Jangan-jangan
Endo sudah bosen sama kamu Rim?” ujar Diva dari seberang sana.
“Maksudnya?”
“Kamu
sih kebanyakan nolak! Alesan juga gak mutu! Bisa jadi dia ngamuk tuh!”
Aku
menelan ludah getir mendengar jawabannya itu.
“Ngarang
kamu, Di!”
“Dibilangin
kok nggak percaya! Udah ah, aku ada janji sama pasien! Met galau ya mbak bro!” jawab
Diva sembari mengakhiri pembicaraan kami.
Aku
termangu, terduduk di pinggiran pagar dan menatap gedung yang berdiri megah di
depanku. Masih memegang ponselku dan memikirkan apa yang dikatakan Diva
barusan. Seharusnya aku malah senang seandainya Endo merasa bosan dengan
kehadiranku. Bisa jadi tak lama lagi dia akan melepaskanku. Aku bisa
mendapatkan kembali kebebasanku dan kembali kekeluargaku tanpa perlu memikirkan
hutang keluarga kami. Atau paling tidak, dia tidak akan membuat hatiku terus
berdebar dengan semua sentuhan dan juga godaannya. Satu-satunya masalah mungkin
hanya hati kecilku yang terus berteriak.
Pikiranku
kembali teringat akan semua sentuhan Endo dan membuat darahku kembali berdesir
mengingatnya. Sudah 3 hari ini dia sama sekali tidak menyentuhku sama sekali.
Dia masih tetap mengobrol denganku, tapi hanya obrolan biasa. Sebuah obrolan
yang ‘dingin’ tanpa ada canda sama sekali. Bahkan dia sama sekali tidak melihat
ke arahku ketika bicara. Seakan malas membuat kontak denganku walaupun hanya
pandangan. Apa mungkin dia benar-benar marah setelah kejadian ngelindur saat
itu?
Aku
mengutuk semua perasaan tidak enak yang terjadi saat aku memikirkan semua hal
ini. Seharusnya semua hal ini membuatku bahagia, bukannya kebingungan dan
merasa bersalah seperti ini. Dan kenapa saat ini aku harus berdiri di sini?
Berdiri di depan kantor Endo.
“Mbak
mau apa di sini?”
Suara
pak satpam sangat mengejutkanku. Dia melihatku keheranan seakan melihat sosok
aneh. Astaga, apa aku melakukan hal-hal yang memalukan dengan tidak sadar? Pak
satpam melihatku semakin curiga karena aku tidak segera menjawab.
“Anu…
saya…nggak…anu…” jawabku bingung.
“Mbak,
mau minta sumbangan ya?” sentak Pak satpam itu.
Aku melotot
dan seakan tak percaya. Apa penampilanku seperti orang yang minta sumbangan? Mungkin
sikapku mendukung karakter itu, tapi aku bukan peminta sumbangan!
“Mbak
mending pergi deh. Disini nggak menerima permintaan sumbangan!”
Aku
melongo terkejut mendengar satpam itu berkata dengan nada yang sangat kasar. Membuatku
terdiam beberapa saat karena tidak pernah mendapatkan kata-kata sekasar itu.
Tak lama satpam itu mendorongku kasar menjauh dari kantor Endo tanpa
membiarkanku mengatakan apapun.
“Pak,
sakit!” sanggahku berusaha melepaskan diri, tapi satpam itu terus menarikku
menjauh.
Aku
berusaha mencari pertolongan untuk membantuku lepas dari satpam ini, hingga aku
melihat sosok Endo keluar dari kantor. Tenggorokanku tercekat ketika melihat
Endo berjalan bersama sosok seorang wanita yang pernah kulihat. Wanita itu
tertawa manis seakan membalas perkataan Endo dan Endo terlihat tersenyum.
Itu
Sofi.
Aku melepaskan
diri dari satpam itu dan berlari menuju taksi yang sedang menunggu penumpang di
sekitar kantor Endo. Dengan tergesa aku masuk ke dalam taksi itu dan langsung
memberi instruksi bak sinetron-sinetron.
“Mas,
ikutin mobil di depan!”
Sopir taksi
yang sedang sibuk memakan gorengan sempat terkejut dan hampir saja tersedak
melihatku tiba-tiba masuk dan berteriak. Dia sempat terdiam beberapa saat
melihatku.
“Ya
elah Mas, cepetan ikutin mobil depan. Narik nggak nih?” tanyaku sewot sembari
berharap mobil Endo belum menjauh.
“Narik
mbak, narik!” jawab sopir itu cepat dan segera menghidupkan mesinnya.
Sepertinya
aku memang tidak salah pilih taksi. Mobil Endo sudah menjauh, tapi dengan kecepatan
dan juga cara menyetir yang sukses membuatku terbanting-banting di kursi
penumpang, membuat aku bisa mengikuti mobil Endo hingga di dalam sebuah mall. Saat
aku sudah yakin Endo dan Sofi memasuki Mall itu, aku segera turun dari taksi
dan mengikuti mereka.
Endo
dan Sofi beberapa kali berhenti di depan sebuah toko dan mereka tampak serius
memilih barang. Aku sama sekali tidak tahu barang apa yang mereka cari, tapi
yang aku tahu, hatiku terasa sakit melihat mereka berdua. Kenapa Endo harus
bersama Sofi? Kenapa dia tidak mengatakan apapun kepadaku dan melakukan ini
semua? Setelah beberapa hari dia menganggapku seperti makhluk asing di
apartemennya, bagaimana bisa dia tersenyum dan bicara seperti itu kepada Sofi? Dan
kenapa mataku terasa panas?
Aku menengadah,
berharap tidak ada bulir air mata yang jatuh. Otakku berusaha mengembalikan
semua akal sehatku (walaupun Hati Kecilku yang sepertinya makin tidak tahu diri
ini terus berusaha mengekspansi akal sehatku), berusaha mengatakan bahwa apapun
yang Endo lakukan sama sekali bukan urusanku. Aku tidak lebih cuma sandera
untuk pembayaran hutang Ayah dan Endo, berhak jalan dengan wanita manapun yang
dia suka. Tapi kenapa dia seakan memberi harapan kepadaku?
Ponselku
berbunyi dan cukup nyaring untuk menandakan ada sebuah panggilan yang masuk. Ini
gawat, Endo mengenal suara panggilan ponselku dan jarak kami cukup dekat. Aku berlari
seperti maling berusaha menjauhi Endo dan Sofi yang sepertinya juga terkejut
mendengar suara ponselku. Sepertinya suara ringtone kucing kawin kiriman Diva
harus benar-benar ku ganti (persetan dengan semua ancaman persahabatan! Gimana
bisa Diva memaksaku memasang ringtone dari suara kucingnya waktu musim kawin
hanya untuk alasan kompak. Alasan itu hampir membongkar persembunyianku tadi)
Setelah
aku merasa benar-benar aman, aku kembali melihat nomer di ponselku dan berniat
mengangkatnya. Nama yang terpampang di layar ponselku membuatku menelan ludah. Aku
kembali melirik Endo dan Sofi yang masih berjalan dan terkadang bercanda dari
kejauhan sebelum mengangkat ponselku. Mau apa lagi anak ini menghubungiku!
Perlahan
aku memencet tombol penerima panggilan.
“Apa
maumu, Lea?”
*****
jangan² benar kata diva riiimmm.... >„<
BalasHapusaaaaa, ceritanya semakin keren :D
Makasih y mbk crtnya,hhmm,... Kasihan jg y Rima nya,jd org asing,serba salah n ga pd berat,pdhl hati mau Tp nolak
BalasHapusSukurin lo rima, endo ngambek,
BalasHapusKahkahkah
Ah endo paling2 mw bkin rima merasa brsalah, dy prgi am sofi mw beli sesuatu buat rima,bkin kejutan (meski G̲̮̲̅͡åк̲̮̲̅͡ rela mereka pgi b2)
º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°ºea mba
Huaaaaa,,nangiiiissss,,baca nih nangiiiiiiiiiisssssss
BalasHapusMba Ike tanggung jwb!!! Kudu posting lagi mlm niiihhh *maksa*
Hukz,,hukz,,sdih bgtz pas bc adegan Rima dtg kkntor n Endo mlh sm Sofie...
Mksh Mba Ikeeeeeee....
salam kenal mbak rike...
BalasHapusplease..sadarkan rima atas perasaannya...
cerita nya buat galau.. T__T
tapi buat ngakak juga (???)...Lol..
thanks mbak rike..
tidakkkk kentang mbaknya hahah . makasih ya mba rik :D
BalasHapusmakin penasaran dengan hubungannya rima dan endo . duh rima sayang ayo cepat sadar itu endo nungguin lho, duh sofi apa yang akan kamu lakukan . endo aaaa ganteng :D
Aaaa..:'(
BalasHapusKsian Rima..:'(
Mbak, postny jgn 3 hri skli dong..
Pnasran + bosen nih nungguinny..:'(
aku mulai gak suka sama rima.. egois dan cuma mikirin diri sendiri.. hmm, entahlah.. mending endo sama aku ajaaa.. hihiii.. :D
BalasHapuscepetan lanjutannya dong mbaaaaaa hehehehe makasi banyaaaakkk :* -fina
BalasHapusAntara kesel n kasihan sama rima.dasarny rima emang krisis PD dperparah sama omonganny tio jd tambah parahlah rasa PDny rima.jd hubunganny sama endo yg kena imbasny.smg rima bs mengatasi krisis PDny n endo bs sabar nunggu rima.
BalasHapusTengkyu ya mba rike...ditunggu lanjutanny