Akhirnya muncuulllll.... hoyeee.....
wekekekekekekekeek... mikir... hari ini mau curhat geje apalagi.
ah... pada taukah kalo tadi pagi gerhana, dan eke melewatkan nonton gerhana buat ngirim e-mail. wekekekkekeekekk... beberapa abad yang lalu (sampe sekarang sih benernya) gerhana jadi sesuatu yang wah, tapi gak buat eke sekarang. entah kenapa, momen liat pertumbuhan anak sama ketawa bareng suami jadi hal yang lebih menarik sekarang. jadi...selamat gerhana, tapi maap eke gak liat. wakakakakakakakakakak
BAB 7
RIMA
Aku
termangu menatap sosokku di dalam cermin. Memakai kebaya berwarna merah yang
bertaburan payet berwarna emas, duduk di ruang rias dengan seorang perias juga
asistennya. Seorang perias pengantin jawa yang kenamaan dan seorang asistennya yang
setia (membuatku teringat akan film keluarga jaman dulu, dimana bedanya ada di
bagian yang setia dipanggil Lessie). Mereka sibuk memoles berbagai macam riasan
(yang bahkan aku baru tahu itu ada) di wajahku yang mungil (dan aku mengutuk
cermin di depanku yang membuatku sekali lagi mengetahui kenyataan itu).
Sesekali aku harus bersabar menatap badan besar perias itu yang menutup cermin
di depanku. Membuatku sedikit kehilangan orientasi karena tiba-tiba diliputi
kegelapan.
“Cantik
ya kulitnya. Nggak pernah pakai make up yo?” tanya perias yang sedari tadi
sibuk mewarnai wajahku.
Aku
berusaha mengangguk, tapi ketakutan sanggulku terjatuh. Berusaha tersenyum,
tapi sedikit sulit dengan tangan perias itu di pipiku. Akhirnya aku hanya bisa
menjawab dengan menggeram. Perias itu terkekeh memperhatikan hasil riasannya,
seakan dia puas (dan aku sangat terkejut melihat hasilnya yang luar biasa di
wajahku).
“Kang
mas-nya pasti bakalan pangling iki,” ujar perias itu. Aku bisa melihat asisten
perias itu juga ikut tersenyum puas melihat wajahku (tiba-tiba aku merasa bisa
mendengar, asisten perias itu mengatakan, “Kau berhasil melakukannya, master!
Aku bangga kepadamu.” Kemudian terdengar musik-musik melankols di antara mereka
ketika mereka saling memandang haru.)
Perias
itu kemudian membimbingku berdiri dan menuntunku berjalan keluar pintu kamar.
Di depan pintu, aku melihat sosok Endo berbincang dengan Odea, adikku. Endo
memakai setelan jas dan terlihat sangat sempurna dengan pakaiannya. Tubuhnya
terlihat tegap, terlihat kuat dan membuatku ingin berlari ke arahnya kemudian
berpura-pura pingsan hanya untuk bisa memeluknya (itu cuma khayalan. Mana
mungkin aku berani!).
Endo
tersenyum melihatku dan meraih tanganku dari lengan perias gendut itu. Dia
kemudian menuntunku menuju ruang resepsi dimana semua keluarga sudah menunggu.
Udara di sekitarku tiba-tiba terasa
berat dan menyesakkan. Aku melihat wajah-wajah sumringah yang menatap kami,
juga wajah-wajah yang terlihat lesu. Salah satunya adalah Ayah dan juga Diva.
membuatku menelan ludah mengingat kejadian seminggu yang lalu setelah
pertemuanku dengan Endo di cafe.
****
Sendok itu terjatuh di piring dan menimbulkan suara dentingan
yang keras. Aku sudah siap menerima berbagai reaksi, termasuk salah satunya
reaksi ini. Ayah menatapku tak percaya sementara Diva menunjukkan wajah
melongonya (yang pasti dia tidak akan menunjukkan wajah itu di hadapan orang
lain selain keluarga ini). Semua reaksi yang sedikit bisa kuprediksi setelah
aku menceritakan hasil pertemuanku dengan Endo kemarin (jangan harap aku
menceritakan proses diskusinya, karena itu membuatku sangat malu!). Aku
meringis sembari berharap mereka segera menghentikan ekspresi kaget itu. Itu
sedikit terlihat mengganggu.
“Bisa
kita lanjutkan makannya?” tawarku sebelum suara-suara tak setuju itu keluar.
“Bagaimana
bisa kau memutuskan hal seperti itu sendiri, Rima!”
Ini
salah satunya.
“Ayah…”
“Kau
gila, Rima!”
Ini
satunya lagi.
“Diva…”
“Kau tak perlu lakukan itu!”
“Aku
akan telpon Endo dan minta dia menghentikan ini semua!”
“Oh…hentikan
kalian semua!” sergahku sebelum mereka semakin menjadi. “Ini keputusanku dan
tidak akan kurubah. Aku akan menikahi Endo.”
Ayah
terdiam, kemudian menyendok sisa nasinya yang terakhir kemudian pergi sambil
membawa gelas berisi air. Wajahnya terlihat sangat sedih dan murung, Ayah pergi
berlalu tanpa menatapku sama sekali. Itu sungguh membuatku merasa bersalah. Aku
hendak menyusul Ayah tapi lenganku ditahan oleh Diva.
“Apa
yang terjadi diantara kalian?” tanyanya penuh selidik.
Glek.
“Tidak
ada.”
“Jangan
bohong, itu tertulis di wajahmu! Pem-bo-hong!”
Deg.
“Bukan
apa-apa!”
“Apa
kalian sudah…”
Diva
melihat ke arah perutku kemudian menatapku lagi.
“Tidak!
Aku cuma bertemu dengannya!” jawabku panik.
“Lalu?”
Deg..deg..
“Dia memintaku
menjadi istrinya,” jawabku lirih tak berani menatap Diva.
“Lalu?”
DEG…DEG..
“Dia
menciumku.”
“APA?”
“Sssstttt….!”
desisku segera sebelum teriakan Diva terdengar oleh Ayah.
Diva
menarik lenganku dan berlari menuju kamarku. Di sana dia menutup pintu kamar
dan menatapku dengan tatapan mengintimidasi.
“Kau,
apa yang kalian lakukan? Kau tidak…”
“Tidak!
Dia cuma menciumku, walaupun itu ciuman yang cukup panas.” jawabku malu-malu.
“Apa?!”
“Itu…kami
hanya ciuman…itu saja!”
“Rima,
kau menyukainya? Kau benar-benar menyukai Endo?” tanya Diva tak percaya.
Aku
terdiam, malu-malu berpikir (tapi yang terlintas di pikiranku hanya kejadian
kemarin saja).
“Aku
nyaman bersama dia, dia kali ini berjanji melindungiku dan masalah suka itu,
aku belum tahu, Di. Lagipula ini solusi terbaik saat ini bagi keluarga kami,”
jawabku menyanggah.
Diva
terdiam, menatapku tak percaya. Aku tahu, dia takut aku akan kembali tersakiti
seperti dulu. Tapi kali ini berbeda, aku harus bersama Endo demi kebahagiaan
semua orang di keluargaku. Semua ini demi keluargaku dan juga kebaikanku
sendiri. Diva membuka pintu kamarku bersiap untuk keluar ketika suara panggilan
dari ponselku menghentikan langkahnya. Aku terkejut dan segera mengambil ponsel
dari saku celanaku dan melihat deretan nomer yang tak kukenal di sana.
“Halo?”
“Rima,
sedang apa?”
Suara
ini, Endo. Dadaku berdegup kencang mendengar suaranya. Membuatku kembali
teringat akan bibirnya. Diva menoleh ke arahku dan seakan mengerti siapa yang
ada di seberang ponselku ini. Dengan sigap dia mengambil ponselku dan mulai
bersiap mengamuk.
“Kau!
Apa yang kau lakukan, huh?! Bisa-bisanya kau melakukan hal seperti ini!” teriak
Diva sebal. “Apa beraninya kau…dengar, dia sahabatku…apa maksudmu? Dasar
brengsek!”
Diva
mengumpat keras kemudian mengembalikan ponselku. Tak lama dia bersungut-sungut
keluar dari kamarku. Aku mencoba mendengar suara Endo, apakah masih ada di
seberang sana.
“Rima?”
Masih
ada.
“Ya, aku
sedang di rumah,” jawabku lirih (sedikit malu-malu. Aku malu karena selalu
mengingat kejadian kemarin, dan hentikan seringai menyebalkan itu, Hati Kecil!).
“Apa
kamu ada rencana keluar nanti sore?” tanya Endo.
“Aku
mungkin baru pulang dari asrama Odea. Hari ini aku rencana ke sana,” aku harus
ke asrama Odea untuk memberitahukan hal ini. Apalagi kemarin kami batal
bertemu.
“Kamu
mau menunggu sampai sore? Aku bisa mengantarmu ke sana,” tawar Endo padaku. Aku
termenung sedikit melambung mendengar itu semua.
“Aku
harus pulang sebelum malam. Maaf. Lagipula Diva yang rencana mengantarkanku ke
asrama Odea,” tolakku halus berharap dia tidak tersinggung.
“Baiklah,
kalau begitu aku akan menjemputmu dari asrama adikmu. Segera kirimkan alamatnya
dan waktu kembalimu ke nomerku ini, nanti aku akan menjemputmu.”
“Apa?”
“Aku
harus segera ke ruang rapat. Sampai bertemu nanti sore.”
Ponselku
di tutup sepihak. Aku kebingungan mendengar perintahnya tadi, tapi tetap saja
kukirimkan alamat asrama Odea ke ponsel Endo. Jadi, kami akan bertemu lagi
nanti sore. Sekali lagi bayangan tentang kejadian kemarin membuatku kembali
tersipu. Aku segera bergegas melupakannya dan mengambil tas beserta belanjaanku
kemarin yang sudah kusiapkan untuk Odea. Setengah berlari aku keluar dari
kamarku dan menuju ke arah pinu keluar. Langkahku terhenti ketika aku melewati
kamar Ayah dan melihat Ayah terduduk di kursinya dan menatap foto Bunda.
Wajahnya terlihat sayu dan memancarkan kesedihan. Itu sedikit membuatku sesak.
“Ayah?”
panggilku berusaha menyadarkan kehadiranku.
Ayah
menoleh ke arahku dan terlihat sangat sedih.
“Maafkan
Ayah, Rima. Ini semua karena kesalahan Ayah,” ujar Ayah lirih.
“Tidak,
bukan seperti itu, Yah,” aku berusah menyanggah perkataan Ayah. Kursi yang
tersisa kuseret mendekat ke arah Ayah untuk kugunakan duduk.
“Ini
mungkin karma bagi Ayah, karena dulu keluarga Ayah juga memaksa Bundamu untuk
menikahi Ayah.”
“Ayah,
Bunda bahagia hidup bersama Ayah,” ujarku berusaha menghibur.
“Mereka
berhutang pada keluarga Ayah dan Bundamu yang harus membayarnya dengan menjadi
istri Ayah. Sekarang anak Ayah yang harus menerima akibat dari perbuatan
keluarga Ayah dulu,” Ayah mulai terlihat akan menangis. Itu sungguh membuatku
sedih.
“Ayah,
ini bukan seperti bayangan Ayah.”
“Ayah
akan menjual semua aset kita. Kita mulai lagi dari bawah asalkan kau selamat,
asalkan kau bisa bahagia.”
“Ayah,
aku bahagia!” ujarku. Ayah tertegun menatapku, “Aku bahagia hidup seperti ini,
sama seperti Bunda yang bahagia menjadi istri Ayah. Lagipula, aku tidak menarik
sebagai seorang wanita dan Ayah harus bersyukur ada pria yang masih
menginginkanku. Tolong mengerti itu, Yah. Aku bahagia.”
Ayah
memelukku erat, kemudian membelai lembut rambutku. Sesekali menepuk-nepuk
punggungku.
****
“Sudah
siap?”
Aku
terkejut menatap Endo dari lantai. Dia tersenyum menatapku yang terduduk, jatuh
di lantai setelah dia memberikanku ciuman. Aku menatap kembali apartemen ini,
begitu sepi dan terasa dingin (dibandingkan rumahku yang selalu ramai suara
pembeli juga pegawai yang berlalu lalang).
Resepsi
pernikahan kami sudah selesai dan saat ini aku sudah berada di apartemen Endo.
Beberapa hari yang lalu, baju-bajuku dan juga beberapa barangku sudah dikirim
kemari. Tapi itu semua dilakukan oleh jasa kurir sehingga hari ini adalah
pertama kalinya aku menjejakkan kaki di apartemen Endo. Aku menelan ludah,
ketakutan membayangkan hari-hariku setelahnya di sini. Endo menunduk,
mendekatkan lagi wajahnya yang tampan ke wajahku. Hidungnya yang mancung,
bibirnya yang tipis, rahangnya yang kokoh, aku menginginkannya.
Tunggu
dulu.
Dia
semakin mendekat.
Tunggu
dulu!
Aku
bisa merasakan hembusan nafasnya di pipiku.
“Tunggu
dulu!” teriakku sembari mendorong wajahnya dengan akal sehat terakhir yang
kumiliki (aku selamat, aku menang mengalahkan nafsuku kali ini).
Endo
terduduk di lantai karena terjatuh akibat doronganku barusan. Wajahnya terlihat
sedikit masam dan dia merengut menatapku. Itu sungguh imut dan membuatku ingin
memeluknya. Membuatku teringat akan anak kucing milik Diva yang pernah dia
tunjukkan kepadaku (sekarang kucing itu sudah semakin dewasa dan berubah dari
seekor anak kucing yang lucu dan menggemaskan menjadi seekor kucing tua malas
yang menyebalkan). Apa barusan kubilang? Tidak, aku tidak ingin memeluknya!
“Mana
yang kau janjikan?” tanyaku mengingatkannya akan perjanjian kami ketika di
cafe.
Endo
menekuk mukanya semakin dalam. Alisnya bertautan menyiratkan kemarahannya. Dia
segera berdiri dan pergi meninggalkanku sendiri, terduduk di lantai yang dingin
ini sendiri. Nafasku masih berhembus tak teratur karena masih terkejut dengan
semua kontak fisik ini. Tak lama Endo kembali sembari membawa sebuah map yang
sudah kutunggu sedari tadi. Diberikannya map itu padaku dan ketika kubuka, aku
menemukan sebuah kertas berisi perjanjian di antara kami.
Surat
perjanjian itu mengantarkan ingatanku pada saat sore itu di Luxu Lounge (dan
tiba-tiba aku merasa Hati Kecilku sedang melompat-lompat kegirangan). Endo saat
itu menyatakan akan membuat perjanjian hitam di atas putih. Sebuah kontrak yang
menyatakan bahwa aku akan bebas menentukan jalan pernikahanku sendiri ketika
toko kami sudah membayar semua denda yang dibebankan (denda yang dibuat si
kuntet keparat bernama Danu). Aku menghela nafas lega membaca surat kontrak itu
dan menutupnya. Hingga kurasakan badanku seakan melayang dan semakin menjauh
dari tanah.
Kedua
lengan Endo sudah memeluk tubuh kecilku dan kemudian mengangkatnya. Itu terasa
sangat mudah baginya, mengingat tubuhku yang kecil dan ringan, juga lengannya
yang terlihat kuat. Aku sangat terkejut dan itu membuat surat kontrak kami
terjatuh di lantai.
“Tunggu,
apa yang kamu lakukan! Lepaskan aku!” teriakku terkejut dan juga ketakutan.
(tapi entah kenapa Hati Kecilku meloncat-loncat makin keras. Aku bisa merasakan
dia sangat bahagia bahkan terdengar seperti memprovokasi Endo dari dalam
tubuhku. Sialan, aku harus mencari lakban untuk menutup mulut gadis yang satu
ini)
Endo
masih tetap menggendongku ke arah sebuah ruangan.
Itu
bukan cuma sebuah ruangan.
Itu
kamar dengan ranjang ukuran besar di atasnya. Sebuah ranjang dengan seprai
berwarna biru gelap dan sebuah selimut tebal di atasnya. Dan itu semua terlihat
seperti sebuah tanda bahaya bagiku. Aku berusaha meronta, mengikuti tanda
bahaya yang disediakan tubuhku, tapi tak banyak yang bisa kulakukan dengan
ketakutan akan terjatuh dari lengan Endo. Endo meletakkanku dengan lembut di
ranjangnya dan aku segera bergeser menuju sisi terjauh (mengingatkanku akan
adegan suster ngesot yang mengejar korbannya. Bedanya, ini di ranjang, bukan di
lantai, aku sebagai suster ngesotnya dan akulah korbannya!).
“Tunggu,
apa yang mau…” aku tercekat ketika Endo mulai membuka kembali kancing kemejanya
sambil terus meringsek mendekatiku di ranjang, “..kau mau apa?!”
“Ini
malam pertama kita, kamu masih tanya aku mau melakukan apa?”
“Ini
bahkan masih sore! Tunggu…tunggu! Aaargh…”
Aku
berteriak histeris ketika melihat Endo sudah melepas kemejanya. Bukan karena
ketakutan sebenarnya, tapi karena aku bisa melihat Endo yang bertelanjang dada
di hadapanku. Baik, aku mengaku kalau itu impianku sejak SMA, tapi ini terlalu
mendadak. Apa dia tak bisa memberiku waktu untuk mengambil nafas sejenak?
“Pakai
bajumu! Aaa….! Pakai!” teriakku panik sembari menutup mataku dengan kedua
tanganku. Apa yang dia lakukan? Bagaimana bisa dia melakukan itu? Kenapa dia
begitu terlihat seksi? (pertanyaan terakhir muncul setelah aku mengintip dari
sela-sela jemariku)
“Rima...,”
desahnya lembut semakin mendekatiku.
Kemudian
tangannya menarik tanganku yang menutup rapat (baik, aku bohong. Menutup
renggang) wajahku sedari tadi. Membuatku bisa melihat dadanya yang seakan
terpahat sempurna. Dengan pola kotak berjejer di perutnya. Apa dia melakukan
fitness rutin? Bagaimana bisa badannya terlihat sangat sempurna di mataku. Aku bisa merasakan kalau mataku melotot
ketika melihat bagian itu, bahkan sampai
bergeming. Tunggu dulu, kenapa dengan tubuhku? Kenapa aku tak bisa menggerakkan
tubuhku?
Tunggu
dulu…
Kenapa
semuanya gelap?
****
“Bunda,
apa gak takut sama Ayah waktu pertama kali ketemu?”
Bunda
melihatku bingung mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba. Sambil tersenyum,
Bunda menyerahkan sepiring kecil cake ke tanganku. Wangi vanili dari bahan kue
buatannya menyeruak menjejali hidung kecilku.
“Kenapa
Rima tiba-tiba tanya seperti itu?”
“Bagas
ngolokin Rima, Bunda! Dia bilang, Ayah sangar seperti tukang jagal. Semua temen
Rima juga bilang begitu,. Mereka bilang, takut setiap ada Ayah. Memangnya dulu
Bunda gak takut sama Ayah?”
“Takut,
apalagi Bunda baru pertama kali ketemu Ayah waktu hari pernikahan. Bunda sama
Ayah kan di jodohin!”
“Bunda
takut? Terus kenapa Bunda masih mau sama Ayah? Kenapa Bunda nggak lari?”
“Nggak
lah! Rima, harusnya kamu nonton kartun daripada sinetron untuk anak sekecil
kamu!”
“Aku
sudah SMP Bunda! Tahun depan sudah SMA!”
protesku sembari menjejalkan cake buatan Bunda ke dalam mulutku.
Bunda
tersenyum lagi, itu membuat wajahnya tampak semakin cantik. Sayangnya
kecantikan Bunda tidak menurun sepenuhnya kepadaku. Dia membelai lembut
rambutku dan mengusap krim cake yang ada di sudut bibirku.
“Bunda
takut sekali waktu itu. Apalagi Ayah ketika pernikahan kumisnya tebal sekali!
Sebetulnya Bunda hampir menangis, tapi nanti Kakek dan Nenek akan merasa malu
di hadapan undangan. Kemudian semua ketakutan Bunda berubah setelah Bunda
melihat satu hal yang terjadi di Ayahmu!”
“Apa
itu?” tanyaku penasaran.
“Ayahmu
sama sekali tak berani masuk ke dalam kamar pengantin!”
“Apa?!”
aku seakan tak percaya dengan semua perkataan Bunda. Bunda tergelak melihatku
terkejut seperti itu. “Kok bisa gitu?”
“Ayahmu
malu melihat Bunda, Rima. Kau tahu kan kalau Ayahmu sebenarnya pemalu, dan dia
malu ketika harus berhadapan dengan Bunda sendiri. Pantas saja selama
pernikahan dia gak pernah melihat muka Bunda!” jawab Bunda sedikit gemas.
Aku
melongo tak percaya. Aku tahu kalau Ayah sangat pemalu, tapi itu sedikit
keterlaluan. Bunda cantik, menarik dan paling utama, Bunda kan istrinya!
Bagaimana bisa rasa malu membuat Ayah melawan nafsu kodratinya
“Bunda
terpaksa harus menarik Ayah masuk ke dalam kamar, karena malu dengan Kakek dan
Nenek yang mengira Bunda mengusir Ayah dari kamar. Saat itu Bunda langsung
merasa jatuh cinta sama Ayah. Wajah Ayah yang merah padam waktu itu bikin dada
Bunda berdegup kencang! Apalagi ternyata Ayah ganteng banget setelah kumisnya
dicukur,” Bunda begitu terlihat bersemangat menceritakan itu semua. Membuatku
tersenyum geli membayangkan kejadian saat itu.
“Trus
kenapa sekarang Bunda gak suruh Ayah cukur kumisnya yang kayak ulat bulu itu!
Itu bikin semua orang takut sama Ayah, Bunda!” protesku lagi. Tiba-tiba mata
Bunda menyipit, wajahnya yang sebelumnya begitu gembira, sekarang berubah
menjadi penuh kemarahan.
“Ogah!
Setelah Ayah cukur kumisnya, semua orang bakal tahu kalau suami Bunda itu
ganteng! Setelah pernikahan itu aja Bunda harus mati-matian jaga hati Bunda
supaya gak cemburu sama cewek-cewek gatel yang masih aja usaha deketin Ayah!
Jadi kalau sampai Ayah berani cukur kumisnya…,” tiba-tiba Bunda mengambil garpu
di tanganku, kemudian menusukkannya tepat di tengah-tengah cake-ku yang masih
tersisa. Keras dan dalam. Aku merengut membayangkan nasib Ayah yang seperti
cake kalau sampai itu terjadi.
Bunda
kembali menatap wajahku dengan raut bahagianya, senyumnya kembali terkembang di
wajahnya yang cantik. Dengan lembut dia memanggil namaku, “Rima…”
“Rima…Rima…”
Entah
kenapa tiba-tiba suara Bunda yang begitu lembut berubah menjadi berat dan
seperti suara pria. Aku terbangun dan tersadar kalau itu semua hanya mimpi.
Endo sudah duduk di sampingku dan sudah memakai kaos yang menutup dadanya
kembali. Sepertinya aku tadi pingsan karena terlalu malu. Sekali lagi aku
merasa menjadi orang paling bodoh dan tolol di dunia. Pingsan gara-gara melihat
seorang pria bertelanjang dada di depanku.
Aku
pernah melihat pria bertelanjang dada sebelumnya. Aku pernah melihat Ayah, Odea
dan juga tetangga sebelah rumah yang doyan bertelanjang dada. Aku juga pernah
melihat pria seksi bertelanjang dada pada iklan di televisi, tapi kenapa
sekarang aku pingsan ketika melihat Endo bertelanjang dada. Apa karena dia
berusaha menyentuhku (dalam tanda kutip tentunya). Setengah terperanjat, aku
segera bangun dari tidurku dan memeriksa tubuhku. Pakaianku masih lengkap
menempel di tubuhku. Tunggu dulu, celana dalamku…,
Masih
ada dan terpasang dengan baik.
Aku
menoleh melihat Endo yang sepertinya berusaha menahan tawanya.
“Baiklah,
katakan saja! Kau mau memperolokku kan?” ujarku bersungut-sungut melihat ekspresi
geli Endo.
“Tidak,”
jawab Endo singkat.
“Terus,
kenapa mukamu seperti itu?”
“Seperti
apa?” tanyanya sembari tetap menahan tawa.
“Seperti
itu! Seperti mau ketawa!”
“Aku
hanya geli melihat kamu bingung memeriksa badan seperti itu! Kamu aman Rima!” jawabnya
yang kali ini akhirnya melepaskan tawanya
“Kamu
tertawa! Tuh kan, kamu ngolokin aku!”
Endo
menahan tawanya, berdehem pelan dan mengambil nafas panjang. Kemudian dia tersenyum
menatapku.
“Apa
yang kamu harapkan? Aku memperkosamu?”
Aku
terkejut dan segera mengambil selimut untuk menutupi tubuhku.
Memperkosaku?
Dia
mau memperkosaku, hei Hati Kecil! Kenapa kau malah bersorak kegirangan? Apa kau
ini seorang masochist? Aku bisa
melihat Endo kembali tertawa.
“Aku
tidak akan melakukan itu. Sedikit merepotkan sepertinya untuk malam pertama
kita.” Jawabnya yang membuatku benafas lega. “Tapi kalau kamu mau, aku bisa…”
“TIDAK!”
jawabku tegas (berlawanan dengan Hati Kecilku yang ternyata seorang masochist. Dia berteriak-teriak dan
terdengar seperti, “Paksa aku, ganteng!”).
“Baiklah,
kamu mau mandi? Apa kamu mau makan malam di restoran denganku?” tanya Endo.
Aku
mengangguk dan melepas selimutku perlahan. Bisa kurasakan bauku yang terkesan
kecut karena belum menyentuh air sore ini. Endo berjalan ke arah sebuah lemari
berukuran sangat besar dan membukanya. Aku mengintip dari atas ranjang dan
menemukan beberapa barang yang sepertinya kukenal.
Pakaianku.
“Semua
milikmu ada di sini. Kalau kau masih merasa ada yang kurang, kau bisa
membelinya sendiri nanti. Peralatan mandimu semua tersedia di kamar mandi. Itu
semua masih baru dan kuharap sekertarisku memilihkan peralatan yang tepat
untukmu,” terang Endo sambil berjalan keluar dari kamar untuk memberikanku
ruang sendiri.
Aku
melihat sosoknya dari belakang dan kembali terpesona. Badannya yang tegap
dengan punggung yang lebar. Celananya yang menempel tepat di kakinya yang
jenjang dan tanpa alas kaki (itu sangat seksi menurutku), dan juga…
Sialan!
Sebuah
bunyi dentuman yang keras membuatku sadar kalau aku terjatuh dari ranjang
karena terbelit selimut. Endo terkejut dan segera berlari ke arahku. Dengan
segera aku berdiri dan bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa
“Aku
tidak apa-apa!” teriakku menenangkan (dan menahan malu. Kenapa kau selalu
melakukan hal yang memalukan di depan dia, Rima!)
Dengan
tergesa, aku segera berlari menuju kamar mandi di dalam kamar dan
meninggalkannya sendiri yang sedikit panik melihatku.
Tolong,
kubur saja aku di dalam inti bumi.
****
KYAAA!!! Akhirnya nikah juga ni anak. Malam pertamanya lucu,hehe...
BalasHapusAaaahh rima, omonganmu dg hatimu tak sejalan,hajaaaaaaarrr aj ndo klo rima nolak..
BalasHapusWakakakakakkakaka
º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya mak baskom
Apacariba macacihhhh mmmuahhh
BalasHapuslucu juga lihat tingkah lakunya rima (malu maluin tapi dalam hati mau ) hehehehhe
BalasHapuskentangggg.......lagi mbk iko :)
BalasHapuslalala akhrnya nikah juga.
BalasHapusah rima munafik nh.
thanks mb ike
whuahahaahahahahahhaaaa.....
BalasHapusGATOT dah MPnyaaa....
Ane penasaran,,nie antara si Rima yg msh malu2 mau..atw si Author yg ga niatan nulis scenenyaa...hmmmm...
Tapiiii...dankeee JengRik !
Mmuuuaaccchhh
Hahhaa mba Rima akuin aja kalo mau sama mas Endo. Si mas nya juga udah jelas mau tuh haha. *ngomporin*
BalasHapushahahaha...ih, rima lucu....ditunggu lanjutannya mba...
BalasHapusPingsan???!! O.m.g hehe,, seru mba ceritanya,, di tunggu terus kelanjutanya yaaa..
BalasHapusaku suka bgt sm rima lugu+polos+ngegemesin.. endo hrs sabar yaaa...
BalasHapuskak rike kpn bab8 ĴªŇбåñ kelamaan ya ntr jamuraaann.. hehehe
aku suka bgt sm rima lugu+polos+ngegemesin.. endo hrs sabar yaaa...
BalasHapuskak rike kpn bab8 ĴªŇбåñ kelamaan ya ntr jamuraaann.. hehehe
aku suka bgt sm rima lugu+polos+ngegemesin.. endo hrs sabar yaaa...
BalasHapuskak rike kpn bab8??? ĴªŇбåñ kelamaan ya ntr jamuraaann.. hehehe
aku suka bgt sm rima lugu+polos+ngegemesin.. endo hrs sabar yaaa...
BalasHapuskak rike kpn bab8??? ĴªŇбåñ kelamaan ya ntr jamuraaann.. hehehe
aku suka bgt sm rima lugu+polos+ngegemesin.. endo hrs sabar yaaa...
BalasHapuskak rike kpn bab8??? ĴªŇбåñ kelamaan ya ntr jamuraaann.. hehehe
ada yg ngamuk ngasi komen. wkkwkwkwkw :peace:kabur: cuss baca dl,... kyknya yg 6 aku belum baca deh
Hapuswakakakakakakakak hooh jeng...ngamuk komennya. banyak bener... saking sukanya sama rima tuh wekekekekekekekekek
Hapusmenyeringai lebar tiap baca cerita ini. hehehhehe.. ayo rima.. kl liat dr karaktermu, aku rasa sesekali km bisa jd WOT lhooo... ciyus dehhh... ihihihihiihihiihih... jeng ikee... belah durennya harus cetar membahana lhohh.... wwkkwkwkwk... makasi ya. salam ama Mas Endooo... nama lengkapnya siapa sih? aku lupa :D
BalasHapusweks.... belah durennya baru mau berguru sama bang danof ne jeng... ayooo mampir ke blog bang danoooffff...
HapusMba Rike tmbah pensaran nungguin mlm pertama Πγª gmna ya..bru liat Endo telanjang dada aja Rima pingsan Apalgi ???.... Heheh.
BalasHapuswekekekekekekekekekekek...
Hapusapalagi...
telanjang kakiiii..... wekeekekekekekekekek
Wakakakakak,,Rimmaaaaaaa *cubit2 gemes*
BalasHapusEndooooooooooooooo *mata penuh lope lope*
Mba Ikeeee pesen nyang ky Endo duongz,,hukz
Mksh Mba Ikeee...
boleh...boleh... 350 juta yaaaa... wakakakakakakakakakk
Hapusterima kasih infonya
BalasHapus