Jumpeee lagiii....harusnya eke aplot hari senin ne... tapi berhubung koneksi lagi bagus,jadinya eke aplot sekarang. jadi... kalo ada yang tanya, kapan eke aplot lagi, insha Allah senin lagi. wakakakakakakak.... sekarang eke lagi coba berusaha meres otak gimana caranya untuk diet, sementara godaan begitu berat. pertama, tiba-tiba aja sindrom seneng masak muncul. semua bahan-bahan, tiba-tiba ajagampang buat ditemuin. apa-apaan itu. sementara perut eke semakin melembung, jadwal makan eke bertambah lagi dengan yang namanya cemilan siang dan cemilan sore.
*tepok jidat bang keanu reeve.
sekian aja deh kayaknya curhat eke. wakakakakakakakaakakakak....
BAB 6
RIMA
Aku
berjalan dengan tenang melewati trotoar, menuju ke halte bis terdekat. Sudah
beberapa hari ini aku tidak bisa keluar rumah karena Tio sudah berubah menjadi
satpam dadakan dengan selalu menungguku di depan rumah. Akhirnya setelah merana
selama 3 hari ini, si kampret itu pergi dari depan rumah. Dan setelah Tio
menghilang dari depan rumah, kali ini aku bisa kembali menikmati udara bebas.
Masalah
hutang sudah membuatku pusing selama beberapa hari ini dan aku masih belum bisa
menemukan jalan keluarnya. Ayah beberapa kali menyarankan untuk berhutang
kepada rentenir dan itu cukup membuatku ketakutan membayangkan akibatnya. Tapi
menerima lamaran Endo, entah kenapa aku merasa ada yang mengganjal di dalam
hatiku.
Sekali
lagi aku masih bingung menerima lamaran itu. Hatiku saat ini sebetulnya masih
terluka (diselingkuhi pacar itu menyakitkan), walaupun sudah tak terlalu
terluka (aku sendiri juga bingung, bagaimana bisa aku merasa begitu cepat pulih.
Apa mungkin karena pada dasarnya hati kecilku sediri tidak begitu menyukai Tio
sedari awal.), tapi tetap saja cukup sulit menerima penawaran Endo. Begitu
banyak pertanyaan yang muncul dari perbuatan Endo kemarin. Apa dia serius? Apa
dia hanya ingin membeliku? Apa aku pantas menikahinya? Apa aku masih
menyukainya?
Aku
tertegun memikirkan pertanyaan terakhir. Dulu, kuakui bahwa aku sangat
menyukainya, ralat, amat sangat menyukainya semenjak awal aku melihatnya. Aku
masih ingat bagaimana semua anak perempuan di SMA-ku baik yang masih angkatan
baru sepertiku dan angkatan senior, berdecak kagum melihat Endo. Dia terlihat
seperti sebuah mahakarya bagi kami para wanita. Kulit putih, wajah tampan campuran
Asia – Eropa (sampai sekarang aku tak tahu pasti campuran spesies apa Endo
itu), badan tinggi – tegap tanpa ada lemak yang tak perlu, senyum ramah bagi
siapa saja yang menyapanya (kecuali aku, karena aku tak pernah menyapanya
sebelum kami berkenalan) dan sifatnya yang begitu ceria.
Aku
tergila-gila padanya dan sangat bahagia ketika dia mulai dekat denganku. Tapi
sekali lagi itu dulu, saat aku masih bertitel cewek SMA. Saat ini, aku masih
tidak tahu dengan perasaanku sendiri (terutama setelah si keparat Tio
berani-beraninya berselingkuh). Bahkan seandainya Endo tidak mengancam untuk
tidak membantu toko Ayah, aku tak akan pernah berani menyukainya, walaupun
hanya untuk bermimpi.
Setengah
berlari, aku mencoba menghentikan angkutan yang akan melintas. Hari ini aku punya
rencana untuk berbelanja dan mengantarkannya ke asrama Odea, adikku. Dia sering
mengirimiku pesan untuk menemuinya di asrama kampusnya. Kehidupan kuliahnya
yang baru saja dimulai membuatnya sulit untuk kembali pulang ke rumah dan dia
mengatakan kalau sangat merindukanku dan Ayah. Karenanya hari ini kuputuskan
untuk menemuinya dan menanyakan kabarnya. Kadangkala berbicara dengan adikku
menjadi salah satu cara untuk mencari jalan keluar dari masalahku. Biarpun
umurnya jauh lebih muda dariku, tapi pemikirannya jauh lebih dewasa. Dan
pembicaraan yang baik selalu diawali dengan bingkisan yang baik. Itulah
sebabnya aku berhenti di depan mall yang menyediakan supermarket lengkap di
dalamnya.
Tak
butuh waktu lama sampai aku menemukan semua kebutuhan yang sekiranya diperlukan
Odea. Beberapa sabun, odol, sandal japit (kami hidup bersama sedari kecil dan
bahkan itu membuatku mengetahui merk celana dalam kesukaannya. Tapi kali ini
aku tak akan membelikannya itu. Terlalu menggelikan kalau sampai temannya tahu)
sudah masuk kedalam keranjang belanjaanku dan tinggal menunggu antrian kasir
untuk membawanya. Pegawai kasir memberiku senyuman ‘dagang’nya dan mulai
menghitung semua belanjaanku. Tak butuh waktu lama untuk membayarnya dan pergi
meninggalkan supermarket. Kukira aku akan bisa berada di asrama Odea sejam
lagi. Sampai sebuah sentakan menahan lenganku.
Kampret!
Tio!
“Mau
apa kau?” tanyaku terkejut.
“Aku
mengikutimu, ada yang ingin kubicarakan!” ujarnya dingin.
“Lepaskan!
Sudah tidak ada yang perlu dibicarakan. Kita sudah selesai!” jawabku sembari
mengibaskan lenganku, berharap Tio melepaskanku.
“Tidak,
kita belum selesai!”
Tio
menarikku kasar melewati orang-orang (dan aku bisa melihat pandangan heran
mereka) menuju ke daerah food court di
depan Mall. Dia mendudukkanku di salah satu kursi dan duduk di kursi lain yang
bersebelahan denganku. Lenganku masih tetap dipegangnya erat dan itu membuatku
sangat kesal ketika rasa sakit mulai menjalar di lenganku.
“Lepaskan
atau jangan harap kita akan bisa bicara!” ancamku sengit. Tio melepaskan
tangannya sembari terus mengawasiku.
“Aku
mau kita kembali seperti dulu, Rim!” ujarnya memohon.
“Setelah
kamu berselingkuh dengan Lea? Bahkan kalau di dunia ini hanya ada dirimu dan
kambing, aku akan memilih untuk…” aku tercekat pelan kebingungan (itu pilihan
yang sulit! Aku tak mau memilih si Kampret Tio, tapi memilih kambing…memang ada
yang mau dengan pilihan itu?), “…aku..aku akan memilih yang lain. Jadi lupakan
semua yang pernah terjadi!”
“Rima,
kamu salah paham!”
“Oh
ya? Lalu apa yang kamu lakukan dengan Lea di apartemennya? Kerokan?”
Tio
terdiam seakan kehabisan kata-kata (jangan bilang aku mengucapkan alasan yang
dia buat untuk mengelabuhiku! Apa dia gila?), menatapku kebingungan kemudian
menunduk mengacak-acak rambutnya. Dulu aku sangat suka melihatnya mengacak-acak
rambutnya. Itu terlihat sangat keren di hadapanku.
Semua
tentang Tio dulu memang terlihat keren di hadapanku. Tio sangat manis dan juga aktif.
Kehidupannya sebagai mahasiswa (angkatan tua karena dia masih belum lulus) dan
juga gitaris band membuatnya selalu menjadi sosok perhatian. Gayanya yang
selalu modis membuatku selalu merasa bersyukur dia sudah memilihku, yang pemalu
ini, menjadi pasangannya. Tapi sekarang dia tidak lebih dari seorang keparat
kampret di hadapanku.
“Aku
mau mengatakan suatu kejujuran padamu!”
Baiklah,
jadi selama ini dia tidak jujur?
“Cepat
katakan dan segera tinggalkan aku!”
“Tidak!
Maksudku baiklah, tidak, maksudku
baiklah aku akan mengatakannya, tapi tidak akan meninggalkanmu. Rima, aku
mencintaimu, itu sungguh! Aku selalu menyukai semua hal di dirimu. Semuanya!
Aku sungguh kesepian dan serasa hilang arah ketika kau tak mau menemuiku
semenjak kejadian itu.”
Aku
mencibir pengakuannya.
“Aku
tahu, aku melakukan kesalahan dengan Lea, tapi dengannya berbeda denganmu. Dia
cantik, seksi dan menggoda, dia mimpi basah semua pria.”
Ini
mulai menjijikkan.
“Kau
tahu kalau aku memiliki pesona bagi wanita dan dia juga sebaliknya. Kami hanya
saling mengisi satu sama lain, tanpa ada rasa cinta. Itu cuma sekedar hubungan
fisik, suka sama suka, pemenuhan gairah kami semata. Aku membutuhkan itu dalam
kehidupanku dan Lea bersedia membantunya. Kau bisa lihat kalau itu semua hanya
hubungan fisik. Tapi kau berbeda, aku mencintaimu, Rima. Aku sungguh
mencintaimu!”
Cukup!
“Kau
menjijikkan!” cibirku. Tio terkejut mendengar ucapanku. “Kau menjijikkan! Kau
kampret! Dan kau bajingan tengik!”
Aku
sedikit terkejut mendengar semua kata-kata itu meluncur dari bibirku, tapi itu belum
selesai.
“Setelah
semua kejujuran yang kau katakan, kau pikir aku masih mau menerimamu, huh?
Mimpi! Aku tak akan pernah menerima pria yang di dalam pikirannya hanya
berpikir tentang nafsunya sendiri! Lebih baik kau lanjutkan saja hubunganmu
dengan Lea dan puaskan ‘burungmu’ itu sampai dia tak mampu bercicit!”
Oke,
ini sedikit berlebihan karena nada suaraku semakin meninggi. Beberapa
pengunjung sudah bisa mendengar arah pembicaraan ini dan ini waktunya aku untuk
pergi. Ini sangat memalukan. Aku berdiri dan mengangkat belanjaanku, melangkah
meninggalkan Tio. Tio berteriak memanggil namaku sementara aku bergegas pergi
sebelum dia menarik perhatian orang yang lebih banyak.
“Rima,
Rima kumohon jangan pergi!” Tio kembali menarik tanganku. Aku berusaha
melepaskannya dan terus berlalu, tapi pegangan itu kembali terlalu kuat.
“Kau
gila, jangan pernah temui aku lagi! Kita selesai, sekarang kau bebas!” aku
terus meronta melepaskan tanganku. Beberapa pengunjung mall mulai memperhatikan
kami.
Bisakah
kejadian memalukan ini segera selesai.
“Aku
tak akan melepaskanmu, Rima. Aku mencintaimu!” setengah berbisik Tio
mengucapkan kata-kata itu. seakan tersadar tatapan beberapa pengunjung.
“Aku
tidak! Jangan memaksaku!” balasku.
“Kau pikir
ini semua terjadi karena siapa?”
Apa
yang Tio katakan?
“Ini
semua karena kesalahanmu, Rima! Kau, membuatku memikirkanmu dan jatuh cinta
kepadamu. Tapi lihat penampilanmu, wajahmu dan juga tubuhmu, kau tak akan bisa
membuat pria manapun terangsang dengan…dirimu!”
Apa?
Tadi
dia mengatakan menyukai semua di diriku dan sekarang menyalahkan semua di
diriku. Aku merasa menyesal tak pernah belajar bela diri dari Diva.
Membayangkan seandainya Diva ada di sini, dia pasti sudah menghajar Tio
habis-habisan sampai dia tak mampu berdiri lagi.
“Kalau
saja kau mampu membuat seluruh libidoku terbangun seperti yang Lea lakukan
padaku, ini semua tak perlu terjadi! Kau bisa menjadi satu-satunya wanita di
dalam hidupku!”
Brengsek!
Aku
menamparnya keras dan itu membuatnya terkejut (aku bisa menamparnya! Ini
benar-benar suatu kemajuan). Dengan kasar dia mendorong lenganku dan membuatku
kehilangan keseimbangan. Aku terdorong mundur dan menabrak seseorang di
belakangku. Dia menahanku di dadanya dengan bantuan tangannya. Samar-samar aku
bisa mencium wangi parfum yang tercampur dengan aroma rokok keluar dari
kemejanya yang tertutup vest. Seorang pria yang tinggi dan memiliki dada yang
cukup keras. Ketika menengadah untuk melihat wajahnya, aku bisa melihat bekas
cukuran berwarna kehitaman di dagunya dan di sudut bibirnya menyala sebuah
puntung rokok yang masih terlihat cukup baru.
“Rima?”
ujarnya.
“Endo?”
jawabku
Ya Tuhan, bagaimana bisa aku bertemu dengan
Endo di saat seperti ini? Apa tidak ada hari lain yang jauh lebih tenang untuk
kami bertemu?
Tio
tampak tergopoh-gopoh mendekatiku dengan wajah panik. Seakan tersadar dia baru
saja mendorongku dengan keras.
“Rima,
kau tak apa?” tanya Tio panik.
Aku
masih bisa merasakan tangan Endo memegang lenganku erat seakan takut aku terjatuh
kembali.
“Jangan
mendekat! Tolong Tio, semua sudah selesai. Aku memaafkanmu dan ingin melupakan
semuanya.”
“Hidupku
kacau tanpamu, Rim. Aku butuh kamu!”
Bagus,
sekarang semua jelas. Aku adalah pengurus semua kekacauan yang dibuat bayi
besar bernama Tio. Itu arti hidupku di mata si kampret ini.
“Aku
sudah bertunangan! Kami akan segera menikah, jadi jangan ganggu aku lagi!”
jawabku tegas pada Tio.
Tio
menatap ke arahku seakan tak percaya kemudian terbahak keras. Menertawakan
semua ucapanku barusan dan seakan mengejekku.
“Aku
serius Tio. Dia tunanganku!” jawabku sambil menunjuk ke arah Endo di
belakangku.
Aku
sama sekali tidak berani melihat ke arah Endo. Jantungku berdebar keras,
ketakutan akan penolakan Endo di depan si kampret Tio. Tio menatap tak percaya
ke arah Endo dan kembali menatapku. Beberapa kali dia melakukan hal itu.
“Kau
bercanda kan? Hei Bung, lepaskan dia!” perintah Tio.
Tiba-tiba
lengan Endo sudah melingkar di leherku dan itu membuat tubuhku seperti
merasakan sengatan listrik. Rokok di sudut bibirnya dia buang dan matikan
menggunakan sepatunya di lantai. Endo mendekatkan wajahnya ke wajahku dan
membuat pipiku merasakan gesekan dari rambut yang baru tumbuh di sisi kanan
dagunya. Aku bisa mencium wangi parfum dan juga rokok Endo di jarak sedekat
ini.
“Sayang
sekali, kau sudah melewatkan wanita ini. Sekarang dia milikku,” jawab Endo
membalas Tio.
Tio
terlihat sangat geram, kemudian mendorongku menyingkir dari sisi Endo dan
menarik kerah Endo untuk menantangnya. Terdengar teriakan dari beberapa
pengunjung Mall dan mereka mulai saling bergerombol melihat kejadian ini. Aku
terkejut dan berusaha memisahkan mereka, tapi lengan Endo menghalangiku untuk
mendekati mereka. Aku melihat Endo berdiri tegap dan begitu tenang menghadapi
Tio yang sudah terihat sangat emosi.
“Tinggalkan
Rima dan jangan ganggu dia lagi!” ancam Tio sembari terus menarik kerah Endo
yang jauh lebih tinggi darinya.
Itu
sebuah seringai.
Aku
melihat sepintas, tapi itu benar-benar seringai dan itu muncul di wajah tampan
Endo. dengan satu gerakan ringan, Tio berteriak kesakitan, bahkan melepaskan
tarikannya pada kerah Endo. Aku bisa melihat salah satu tangan Endo memiting
pergelangan tangan Tio yang menarik kerahnya. Tio terlihat begitu kesakitan
hingga dia membungkuk. Endo baru melepaskannya ketika Tio semakin berteriak
histeris dan tak mampu berdiri. Endo membungkuk dan membisikkan sesuatu di
telinga Tio (dan aku bisa mendengarnya!)
“Kau
jangan pernah dekati Rima, atau aku akan menghajarmu sampai keluargamu sendiri
tak mengenalimu lagi.”
Dimana
aku pernah mengenali ancaman yang mirip seperti itu?
Ah…Diva.
Tio
menggeram marah di tengah kesakitannya, tapi Endo tak peduli. Dia membetulkan
dasinya yang molor karena tarikan Tio sebelumnya kemudian berjalan ke arahku. Dengan
lembut dia merangkul lenganku dan mengambil kantong belanjaanku (dia selalu
melakukan itu sepertinya). Menarikku perlahan dan memberikan kecupan kilat
dikepalaku (Apa itu?!).
Itu
sepertinya sebuah ritual untuk memikatku
dan membuatku lupa diri sehingga menuruti perintahnya (coba saja kalau Endo,
memiliki kepala botak dan wajah Asia, aku pasti langsung akan memanggilnya Dedi
tanpa ada bantahan lagi. Jangan bilang hanya aku yang tahu siapa yang dimaksud
dengan Dedi di sini). Terbukti, saat ini aku sudah duduk di sebelah Endo di
dalam mobilnya. Ketika seluruh pesonanya sedikit berhasil kutangani, aku baru
tersadar dan kebingungan melihat arah laju mobil ini.
“Kita
mau kemana?” tanyaku bingung (dan juga panik).
Endo
tersenyum sambil terus menatap kearah jalan dan itu membuatku semakin panik.
Aku menjadi sangat gelisah dan mulai berlaku aneh (sungguh, jangan pikirkan
kelakuan aneh yang cenderung gila, aku cuma menoleh ke arah jendela, dan
menatapnya bergantian dan berulang-ulang).
Dan sepertinya dia mengerti akan hal itu.
“Kupikir
kita perlu menenangkan pikiranmu dulu” jawabnya kemudian memarkirkan mobilnya
ke sebuah cafe yang tak pernah kubayangan akan memasukinya (kata ‘mahal’
tertempel secara kasat mata di bagian depan pintunya dan itu hanya bisa dibaca
oleh orang-orang sepertiku).
“Mau
apa kita ke sini? Menenangkan pikiranku cukup dengan berjalan di taman saja!”
tanyaku panik membayangkan aku akan menjadi satu-satunya orang yang
berpenampilan seperti rakyat jelata di dalam sana.
“Kita
akan merayakan pertunangan kita,” jawab Endo sambil terus tersenyum menatapku.
Aku
menelan ludahku, gugup.
“Tunggu,
itu tadi…”
Terlambat,
Endo sudah turun dan membukakanku pintu. Aku berusaha menjelaskan tapi dia
sudah menyambut tanganku dan menggandengku masuk tanpa memberiku kesempatan
bicara. Aku terpaksa mengikutinya dan ketakutan melihat beberapa pandangan
orang yang menatap ke arah kami. Seorang pria tampan yang terlihat kaya dan
seorang gadis yang terlihat seperti asistennya (atau pembantunya lebih
tepatnya) bergandengan tangan memasuki sebuah Cafe dengan tulisan mahal yang
kasat mata. Dan yang lebih membuat jantungku berdebar adalah genggaman hangat
tangannya yang menuntun langkahku. Aku pernah bergandengan dengan Tio
sebelumnya, tapi tak terasa sehangat ini (bahkan terkesan sedikit kasar, karena
dia terlihat selalu terburu-buru).
Seorang
pelayan mendatangi kami dan tanpa menanyakan apapun segera menuntun ke arah
sebuah tempat yang sedikit tertutup. Aku mengatakan tempat itu sedikit tertutup
karena ruangan itu dibatasi oleh sebuah dinding partisi yang memisahkannya dari
ruangan lain. Sebuah sofa hitam berukuran tanggung menghadap ke arah taman yang
di batasi oleh sebuah kaca mengisi ruangan itu, beserta sebuah meja kaca di
depannya. Pelayan itu mempersilahkan kami duduk dan meninggalkan kami sendiri.
“Ini
dimana?” tanyaku gugup ketika Endo mempersilahkanku duduk.
“Luxu Lounge,”
jawabnya singkat kemudian duduk di sebelahku.
Aku
bergeser sedikit menjauhinya, tapi Endo malah bergeser mendekatiku.
“Dengar
tadi itu…”
“Kau
tak apa?” tanyanya memotong pembicaraanku.
Aku
menelan ludah terkejut mendengar pertanyaannya. Tanpa sengaja menatap mata Endo
yang berwarna kelabu dan melihat pantulan sosokku di sana. Mata itu seakan
menghipnotisku untuk terdiam dan tak mampu menghindarinya. Sampai suara gelas
yang berdenting ketika bersentuhan dengan meja kaca menyadarkanku. Pelayan yang
tadi mengantarkan kami membawakan dua buah gelas yang berisi cairan berwarna
biru.
“Saya
akan mencatat pesanan anda yang lain sekarang atau nanti, Pak?” tanya pelayan
yang terlihat masih sangat muda itu. Endo tersenyum menggeleng dan pelayan itu meninggalkan
kami sendiri lagi. Dia kembali menatap mataku dan kali ini aku tak sanggup
menatap kembali (jantungku bisa berasap karena terlalu cepat berdetak kalau terus
menerus menatap wajahnya).
“Kau
tak apa?” Endo mengulang kembali pertanyaannya.
Aku mengangguk,
menatap ke arah lututku yang sedikit bergetar.
“Tak
apa, itu tadi hanya kejadian kecil, semuanya sudah berakhir.”
Dia
mengangkat wajahku dengan tangannya di daguku.
“Kau
tak apa?” sekali lagi dia mengulangi pertanyaan yang sama, tapi memaksaku menjawab
dengan menatap matanya.
“Setelah
mengetahui pacarku berselingkuh karena penampilanku yang bahkan tak mampu
membuatnya bergairah, ya, aku baik-baik saja! Kau puas?” sentakku melepaskan
tangannya dari daguku.
Apa
yang dia harapkan?
Aku
mulai terisak, menangisi yang baru saja terjadi. Dipermalukan di hadapan banyak
orang, dikatakan tidak memiliki daya tarik sensual, bahkan dianggap hanya
sebagai pengasuh oleh orang yang dulu kucintai. Apalagi kemalangan yang akan
menghampiriku setelah ini?
“Hei,
jangan menangis, Rima,” bisiknya lembut di telingaku dan mulai memelukku.
Membiarkanku menangis di dadanya. Aku tak bisa menguasai diriku dan terus
menangis di dalam pelukannya. Berusaha melepaskan semua sesak di dadaku dan
menikmati dada Endo yang hangat dan bidang. Dadanya benar-benar nyaman dan aku
menemukan ketenangan di sana. Aku bisa merasakan perutnya yang keras dan
lekukannya.
Tunggu.
Apa
barusan kubilang?
Ini
berbahaya, sangat berbahaya. Saat ini aku sedang bermain api dengan membiarkan
kontak fisik seperti ini. Aku mendorong tubuh Endo dan melepaskan pelukannya
yang nyaman (dan hati kecilku berteriak protes karena perbuatanku. Aahh…diam
kau hati kecil!). Endo tampak sedikit terkejut dan menatapku heran. Segera
kuusap sisa air mata di pipiku dan berusaha mengendalikan sikapku.
“Terimakasih
sudah menyelamatkanku tadi, aku sekarang sudah jauh lebih baik. Sepertinya, aku
harus segera pergi!” ujarku sembari bersiap meninggalkannya.
Endo
menatapku tajam dan aku kembali menatap seringai itu lagi. Seringai yang selalu
menimbulkan perasaan was-was di dalam hatiku.
“Kita
bahkan belum merayakan pertunangan kita,” ujarnya.
Benar
kan? Itu seringai iblis.
“Itu
tadi tidak serius!” sanggahku keras. “Dengar, kau boleh mengatakan aku
perempuan yang tidak punya percaya diri atau mungkin tidak bisa berterima
kasih, tapi aku tidak bisa menikah denganmu Endo!”
“Kenapa?”
“Kau
tanya kenapa? Lihat kita! Dengar, intinya tadi itu tidak serius, jadi tolong
dilupakan saja.”
Endo
menyesap minumannya kemudian menatapku kembali. Wajahnya berubah menjadi jauh
lebih tenang dan lebih santai. Dalam hati aku menebak-nebak apa yang ada di
pikirannya dan berharap itu bukan sesuatu yang buruk.
“Kau
harus serius, Rima. Itu semua menyangkut hutang keluargamu dan nasib tokomu.”
Jawabnya sembari meletakkan gelasnya di meja.”
Itu
buruk. Dia kembali mengancam.
“Kami
akan mencari cara untuk membayarnya!” jawabku sambil berusaha mencari solusi.
“Waktunya
tingal beberapa hari lagi. Kau mau meminjam Bank? Mereka butuh waktu untuk
memproses itu semua. Rentenir? Aku sendiri tidak menyarankan karena sangat
beresiko melihat keuanganmu sekarang. Menjual semua aset juga membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk menemukan pembelinya
Kudengar
adikmu juga baru saja masuk ke universitas ya? Itu pasti butuh biaya yang jauh
lebih besar. Kalau sampai tokomu dijual, bagaimana nasib adikmu? Apalagi itu
toko keluarga,aku yakin banyak kenangan indah di sana. Jadi, aku menawarkan
sebuah perjanjian, atau kontrak, atau apapun kau menyebutnya”
Aku
menelan ludah getir.
“Apa?”
pertanyaan bodoh itu keluar dari mulutku.
“Kau
menikah denganku dan kau terbebas dari semua hutang itu. Semua akan kutanggung
dan keluargamu bisa melanjutkan usahanya dengan tenang. Kalau suatu saat kau
bisa mengembalikan semua hutang itu, maka pernikaan ini nasibnya kembali di
tanganmu. Tapi selama itu belum terjadi…” dia kembali menyeringai, “…kau tak
akan kulepaskan.”
“Kau begitu ingin membeliku? Kenapa kau
melakukan semua itu?” tanyaku bingung.
“Anggap
saja ini balas dendam atas 10 tahun pelarianmu.”
“Menurutmu
itu semua kenapa?” tanyaku mengejek.
Endo
menatapku sengit dan itu membuatku sedikit ketakutan.
“Kau
tak pernah memberikanku kesempatan untuk melidungimu. Kau kabur sebelum aku
sempat memberikanmu rasa aman. Kau menghilang dan meminta Diva menutup rapat
mulut bawelnya dari semua keberadaanmu. Kau meninggalkanku tanpa penjelasan
apapun, Rima!”
Aku
terpekur seperti burung Dara yang sedang melamun. Memikirkan semua perkataan
Endo dan semua tawarannya. Kenapa dia marah karena aku meninggalannya setelah
kejadian itu? Itu semua permintaan penggemarnya. Bulu kudukku kembali berdiri
mengingat kejadian saat semua penggemar Endo mengamuk, terutama si penyihir
jahat, pemimpin semua wanita beringas itu. terjahat dai semua yang jahat. Yang
semua kata-katanya aku yakin lulusan dari sinetron dengan peran antagonis
terjahat (dan aku belum menemukan sinetron seperti itu).
“Itu
semua masa lalu. Sekarang sudah 10 tahun berlalu dan aku harap kamu melupakan
semua itu, Ndo.”
“Apa?
Sial! Melupakannya?” Endo terlihat sangat geram dengan semua kata-kataku, dan
itu semua terjadi.
Tangannya
begitu kuat memegang pergelangan tanganku dan dadanya sudah mendorongku hingga
aku terjatuh di sofa hitam yang empuk ini. Bibirnya yang tipis dan begitu
menggoda, tiba-tiba saja melumat bibirku lembut. Aku tak bisa bergerak, bahkan
meronta karena berat tubuhnya yang menindihku dan tangannya yang memegang erat
pergelangan tanganku. Bisa kudengar hati kecilku terkejut dan berteriak
kegirangan mendapatkan aku diperlakukan seperti ini (sial, bagaimana bisa hati
kecilku sendiri tidak kompak! Kita satu tim, bodoh!)
Endo
menciumku.
Bukan
cuma ciuman ringan dan sekilas yang pernah kudapat dari Tio. Ini ciuman yang
berbeda, ini ciuman yang begitu panas dan bergairah (apa? Aku bilang bergairah?
Apa aku bilang?). Dia melepaskan bibirnya dan menatapku sendu, tatapan yang
membuaku luluh dan tak bisa bergerak (bahkan tanpa tatapan itu aku sudah tak
bisa bergerak! Halooo…. Ada gadis terjepit di sini! Ada yang mendengar? Hei,
berhenti bersorak, hati kecil!). membuatku kebingungan akan menampar wajahnya,
marah, atau menikmati semua sentuhan ini.
“Kau
bisa melupakan itu?” tanyanya lirih. Tubuhnya masih tetap menghimpitku erat.
Aku
menggeleng jujur. (itu perbuatan hati keciku, dia sudah mengambil alih seluruh
kendali tubuhku!)
“Kalau
begitu apa jawabanmu?”
Aku
kembali menelan ludah.
****
Aq nelan ludah juga, huaaaa jwb rima mau mau mau..hahahaa
BalasHapusSudah mulai nakal nih mba ike,aseeekk..xixixi
Lanjutkn
º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya mba jgn lama2 dunk postingnya
eke gak nakaaaallll huweeee.....
Hapus*minta permeeennnn
Aku suka tlsn dlm kurungx mba....he he...mkn keren aja...bab brktx jgn lama2 mba):
BalasHapusHalo mba Rike, salam kenal yaaaaaaa......
BalasHapusHehehe, Rima ama hati kecilnya lagi gak kompak neeehhh......, ayo Rim,kawin kontrak aje sama akang Endo, jangan lupa pake meterainya yeeeee # tepok jidat gaje, wkwkwkkkwkw
salam kenal juga
Hapusmakasih dah mampir ya..
serng mampir ya... wekekekekekeekeke
Endo!! aku juga mau donk~~~ ;)
BalasHapushahaha.. eh kak, emang cicit 'burung' nya Tio gimana bunyinya kak?? *eh :p
waa.... ketemu Tio aja piye? wakakakakakaak
Hapuskomen dulu ah.....
BalasHapusyihuuuuuiii...thanks emake dara,ini pasti efek dr cemilan td siang ya?
wekekekekekekeeekkekek...
Hapusefek cemilan tadi siang bikin kenyang mak desss....
glek..aku menelan ludah jg *terbawa cerita..terimakasih mba' Rieke ^^ tiap hari aku rajin buka blog ini menunggu lanjutannya. selalu setia menunggu kelanjutannya.
BalasHapusbertanya mba' Rieke, siapa ya yg punya blog gadis pengasong fiksi ya? *lupa namanya, aku mau dunk di invite.
wakakakakakak... pan sudah ada pemberitahuannya di G+
Hapuscoba buka kolom-kolom komen di KK sebelumnya. kalo gak salah dia kasih tau caranya buat di invite
kyaaa endooo..
BalasHapusthanks mb ike
ma samaaaa... ekaaa
Hapusthanks ya mbak ike, selalu ditunggu update nya
BalasHapusmakasiihhhh sapa ya nie?
HapusKocak mba tpi ttp ada romantis Πγª .... Heheh. Q tiap hri lho mba mbuka blog Πγª soal Πγª pensaran sma lanjutn kawin kontrak.. Mba Rike mau diet ya.. Coba Herbalife dech, lbh manjur mba, soal Πγª q dh nyoba أَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ berat badan turun dn perut jga bsa mngecil ( btw q bkn sales Herbalife lho mba, cma bbagi pengalamn aja. Heheh)
BalasHapuswakakakakakakak... ikut G+ gak? disitu eke selalu bikin pengumuman terbitnya.
Hapuswekekekekekekek.. boro-boro herbalife, ini mauminum klorofil aja gak jadi-jadi gara-gara ngeri sendiri
Aku mau ndo..
BalasHapusSangat mau sekali..
Buruan nikahi aku.. #plak
Hehe
wakakakakakakakakak...
Hapusacikkk..Rima keceplosannya enak tuh, jadi bakal dikawinin Endo.
BalasHapusetapinyaaaa kl Rima ogah sm Endo, eke aja deyyy haha.
cusss lanjut mba, tetap semangka!
trimikisiiiihhhh...
Hapusweeekekekekek... mampir terus ya
asyikkk udah mulai ciuman.....bentar lagi uhuk2 ngk mbk*ehhh wakakaka thanks mbk ike :)
BalasHapuswaaa... minta di bully nie nene... panggil ririn deh...
Hapuswakakakakakakakakakakak
*jo nesuuu
wih, Endooo... udah main cium-cium aje.. ihihihih... jeng,, ditunggu adegan belah durennya ya. huhuhuii... asoii... tarik mangggg..... :hak..hak..hak::
BalasHapuscakep sist ceritanya, penulisannya jg enjoyable.. kereennnnnnn....
wakkkksssss... belah dureeennn...
Hapus*belajar di my own
ah ngeledek nih???? grrr..... :suruh Danof gigit:
HapusSay 'yes' Rima.....ngamuk nih kalo kamu bilang enggak!!!
BalasHapusampuunnn... ampuuunnn jangan ngamuuukkkk
Hapussalam kenal y mbk,...di tunggu y cerita berikutnya,..keren
BalasHapusjengRik......
BalasHapusMasa cuma mpe cipokan doank???
Belah durennya maneeee????
*kabuur sebelum dtagih...wkwkwkwkwk
kak kpan nie postingny? ud slsa nie kak..
BalasHapusbab 7 mana bab 7???
BalasHapuskak rike posting duuuunnnkkkk.. plis plis plis..