Jumat, 10 Mei 2013

Kawin Kontrak - Bab 7



 
Akhirnya muncuulllll.... hoyeee.....
wekekekekekekekeek... mikir... hari ini mau curhat geje apalagi. 
ah... pada taukah kalo tadi pagi gerhana, dan eke melewatkan nonton gerhana buat ngirim e-mail. wekekekkekeekekk... beberapa abad yang lalu (sampe sekarang sih benernya) gerhana jadi sesuatu yang wah, tapi gak buat eke sekarang. entah kenapa, momen liat pertumbuhan anak sama ketawa bareng suami jadi hal yang lebih menarik sekarang. jadi...selamat gerhana, tapi maap eke gak liat. wakakakakakakakakakak


BAB 7
RIMA

Aku termangu menatap sosokku di dalam cermin. Memakai kebaya berwarna merah yang bertaburan payet berwarna emas, duduk di ruang rias dengan seorang perias juga asistennya. Seorang perias pengantin jawa yang kenamaan dan seorang asistennya yang setia (membuatku teringat akan film keluarga jaman dulu, dimana bedanya ada di bagian yang setia dipanggil Lessie). Mereka sibuk memoles berbagai macam riasan (yang bahkan aku baru tahu itu ada) di wajahku yang mungil (dan aku mengutuk cermin di depanku yang membuatku sekali lagi mengetahui kenyataan itu). Sesekali aku harus bersabar menatap badan besar perias itu yang menutup cermin di depanku. Membuatku sedikit kehilangan orientasi karena tiba-tiba diliputi kegelapan.
“Cantik ya kulitnya. Nggak pernah pakai make up yo?” tanya perias yang sedari tadi sibuk mewarnai wajahku.
Aku berusaha mengangguk, tapi ketakutan sanggulku terjatuh. Berusaha tersenyum, tapi sedikit sulit dengan tangan perias itu di pipiku. Akhirnya aku hanya bisa menjawab dengan menggeram. Perias itu terkekeh memperhatikan hasil riasannya, seakan dia puas (dan aku sangat terkejut melihat hasilnya yang luar biasa di wajahku).
“Kang mas-nya pasti bakalan pangling iki,” ujar perias itu. Aku bisa melihat asisten perias itu juga ikut tersenyum puas melihat wajahku (tiba-tiba aku merasa bisa mendengar, asisten perias itu mengatakan, “Kau berhasil melakukannya, master! Aku bangga kepadamu.” Kemudian terdengar musik-musik melankols di antara mereka ketika mereka saling memandang haru.)
Perias itu kemudian membimbingku berdiri dan menuntunku berjalan keluar pintu kamar. Di depan pintu, aku melihat sosok Endo berbincang dengan Odea, adikku. Endo memakai setelan jas dan terlihat sangat sempurna dengan pakaiannya. Tubuhnya terlihat tegap, terlihat kuat dan membuatku ingin berlari ke arahnya kemudian berpura-pura pingsan hanya untuk bisa memeluknya (itu cuma khayalan. Mana mungkin aku berani!).
Endo tersenyum melihatku dan meraih tanganku dari lengan perias gendut itu. Dia kemudian menuntunku menuju ruang resepsi dimana semua keluarga sudah menunggu. Udara  di sekitarku tiba-tiba terasa berat dan menyesakkan. Aku melihat wajah-wajah sumringah yang menatap kami, juga wajah-wajah yang terlihat lesu. Salah satunya adalah Ayah dan juga Diva. membuatku menelan ludah mengingat kejadian seminggu yang lalu setelah pertemuanku dengan Endo di cafe.
****

 Sendok itu terjatuh di piring dan menimbulkan suara dentingan yang keras. Aku sudah siap menerima berbagai reaksi, termasuk salah satunya reaksi ini. Ayah menatapku tak percaya sementara Diva menunjukkan wajah melongonya (yang pasti dia tidak akan menunjukkan wajah itu di hadapan orang lain selain keluarga ini). Semua reaksi yang sedikit bisa kuprediksi setelah aku menceritakan hasil pertemuanku dengan Endo kemarin (jangan harap aku menceritakan proses diskusinya, karena itu membuatku sangat malu!). Aku meringis sembari berharap mereka segera menghentikan ekspresi kaget itu. Itu sedikit terlihat mengganggu.
“Bisa kita lanjutkan makannya?” tawarku sebelum suara-suara tak setuju itu keluar.
“Bagaimana bisa kau memutuskan hal seperti itu sendiri, Rima!”
Ini salah satunya.
“Ayah…”
“Kau gila, Rima!”
Ini satunya lagi.
“Diva…”
 “Kau tak perlu lakukan itu!”
“Aku akan telpon Endo dan minta dia menghentikan ini semua!”
“Oh…hentikan kalian semua!” sergahku sebelum mereka semakin menjadi. “Ini keputusanku dan tidak akan kurubah. Aku akan menikahi Endo.”
Ayah terdiam, kemudian menyendok sisa nasinya yang terakhir kemudian pergi sambil membawa gelas berisi air. Wajahnya terlihat sangat sedih dan murung, Ayah pergi berlalu tanpa menatapku sama sekali. Itu sungguh membuatku merasa bersalah. Aku hendak menyusul Ayah tapi lenganku ditahan oleh Diva.
“Apa yang terjadi diantara kalian?” tanyanya penuh selidik.
Glek.
“Tidak ada.”
“Jangan bohong, itu tertulis di wajahmu! Pem-bo-hong!”
Deg.
“Bukan apa-apa!”
“Apa kalian sudah…”
Diva melihat ke arah perutku kemudian menatapku lagi.
“Tidak! Aku cuma bertemu dengannya!” jawabku panik.
“Lalu?”
Deg..deg..
“Dia memintaku menjadi istrinya,” jawabku lirih tak berani menatap Diva.
“Lalu?”
DEG…DEG..
“Dia menciumku.”
“APA?”
“Sssstttt….!” desisku segera sebelum teriakan Diva terdengar oleh Ayah.
Diva menarik lenganku dan berlari menuju kamarku. Di sana dia menutup pintu kamar dan menatapku dengan tatapan mengintimidasi.
“Kau, apa yang kalian lakukan? Kau tidak…”
“Tidak! Dia cuma menciumku, walaupun itu ciuman yang cukup panas.” jawabku malu-malu.
“Apa?!”
“Itu…kami hanya ciuman…itu saja!”
“Rima, kau menyukainya? Kau benar-benar menyukai Endo?” tanya Diva tak percaya.
Aku terdiam, malu-malu berpikir (tapi yang terlintas di pikiranku hanya kejadian kemarin saja).
“Aku nyaman bersama dia, dia kali ini berjanji melindungiku dan masalah suka itu, aku belum tahu, Di. Lagipula ini solusi terbaik saat ini bagi keluarga kami,” jawabku menyanggah.
Diva terdiam, menatapku tak percaya. Aku tahu, dia takut aku akan kembali tersakiti seperti dulu. Tapi kali ini berbeda, aku harus bersama Endo demi kebahagiaan semua orang di keluargaku. Semua ini demi keluargaku dan juga kebaikanku sendiri. Diva membuka pintu kamarku bersiap untuk keluar ketika suara panggilan dari ponselku menghentikan langkahnya. Aku terkejut dan segera mengambil ponsel dari saku celanaku dan melihat deretan nomer yang tak kukenal di sana.
“Halo?”
“Rima, sedang apa?”
Suara ini, Endo. Dadaku berdegup kencang mendengar suaranya. Membuatku kembali teringat akan bibirnya. Diva menoleh ke arahku dan seakan mengerti siapa yang ada di seberang ponselku ini. Dengan sigap dia mengambil ponselku dan mulai bersiap mengamuk.
“Kau! Apa yang kau lakukan, huh?! Bisa-bisanya kau melakukan hal seperti ini!” teriak Diva sebal. “Apa beraninya kau…dengar, dia sahabatku…apa maksudmu? Dasar brengsek!”
Diva mengumpat keras kemudian mengembalikan ponselku. Tak lama dia bersungut-sungut keluar dari kamarku. Aku mencoba mendengar suara Endo, apakah masih ada di seberang sana.
“Rima?”
Masih ada.
“Ya, aku sedang di rumah,” jawabku lirih (sedikit malu-malu. Aku malu karena selalu mengingat kejadian kemarin, dan hentikan seringai menyebalkan itu, Hati Kecil!).
“Apa kamu ada rencana keluar nanti sore?” tanya Endo.
“Aku mungkin baru pulang dari asrama Odea. Hari ini aku rencana ke sana,” aku harus ke asrama Odea untuk memberitahukan hal ini. Apalagi kemarin kami batal bertemu.
“Kamu mau menunggu sampai sore? Aku bisa mengantarmu ke sana,” tawar Endo padaku. Aku termenung sedikit melambung mendengar itu semua.
“Aku harus pulang sebelum malam. Maaf. Lagipula Diva yang rencana mengantarkanku ke asrama Odea,” tolakku halus berharap dia tidak tersinggung.
“Baiklah, kalau begitu aku akan menjemputmu dari asrama adikmu. Segera kirimkan alamatnya dan waktu kembalimu ke nomerku ini, nanti aku akan menjemputmu.”
“Apa?”
“Aku harus segera ke ruang rapat. Sampai bertemu nanti sore.”
Ponselku di tutup sepihak. Aku kebingungan mendengar perintahnya tadi, tapi tetap saja kukirimkan alamat asrama Odea ke ponsel Endo. Jadi, kami akan bertemu lagi nanti sore. Sekali lagi bayangan tentang kejadian kemarin membuatku kembali tersipu. Aku segera bergegas melupakannya dan mengambil tas beserta belanjaanku kemarin yang sudah kusiapkan untuk Odea. Setengah berlari aku keluar dari kamarku dan menuju ke arah pinu keluar. Langkahku terhenti ketika aku melewati kamar Ayah dan melihat Ayah terduduk di kursinya dan menatap foto Bunda. Wajahnya terlihat sayu dan memancarkan kesedihan. Itu sedikit membuatku sesak.
“Ayah?” panggilku berusaha menyadarkan kehadiranku.
Ayah menoleh ke arahku dan terlihat sangat sedih.
“Maafkan Ayah, Rima. Ini semua karena kesalahan Ayah,” ujar Ayah lirih.
“Tidak, bukan seperti itu, Yah,” aku berusah menyanggah perkataan Ayah. Kursi yang tersisa kuseret mendekat ke arah Ayah untuk kugunakan duduk.
“Ini mungkin karma bagi Ayah, karena dulu keluarga Ayah juga memaksa Bundamu untuk menikahi Ayah.”
“Ayah, Bunda bahagia hidup bersama Ayah,” ujarku berusaha menghibur.
“Mereka berhutang pada keluarga Ayah dan Bundamu yang harus membayarnya dengan menjadi istri Ayah. Sekarang anak Ayah yang harus menerima akibat dari perbuatan keluarga Ayah dulu,” Ayah mulai terlihat akan menangis. Itu sungguh membuatku sedih.
“Ayah, ini bukan seperti bayangan Ayah.”
“Ayah akan menjual semua aset kita. Kita mulai lagi dari bawah asalkan kau selamat, asalkan kau bisa bahagia.”
“Ayah, aku bahagia!” ujarku. Ayah tertegun menatapku, “Aku bahagia hidup seperti ini, sama seperti Bunda yang bahagia menjadi istri Ayah. Lagipula, aku tidak menarik sebagai seorang wanita dan Ayah harus bersyukur ada pria yang masih menginginkanku. Tolong mengerti itu, Yah. Aku bahagia.”
Ayah memelukku erat, kemudian membelai lembut rambutku. Sesekali menepuk-nepuk punggungku.
****

“Sudah siap?”
Aku terkejut menatap Endo dari lantai. Dia tersenyum menatapku yang terduduk, jatuh di lantai setelah dia memberikanku ciuman. Aku menatap kembali apartemen ini, begitu sepi dan terasa dingin (dibandingkan rumahku yang selalu ramai suara pembeli juga pegawai yang berlalu lalang).
Resepsi pernikahan kami sudah selesai dan saat ini aku sudah berada di apartemen Endo. Beberapa hari yang lalu, baju-bajuku dan juga beberapa barangku sudah dikirim kemari. Tapi itu semua dilakukan oleh jasa kurir sehingga hari ini adalah pertama kalinya aku menjejakkan kaki di apartemen Endo. Aku menelan ludah, ketakutan membayangkan hari-hariku setelahnya di sini. Endo menunduk, mendekatkan lagi wajahnya yang tampan ke wajahku. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis, rahangnya yang kokoh, aku menginginkannya.
Tunggu dulu.
Dia semakin mendekat.
Tunggu dulu!
Aku bisa merasakan hembusan nafasnya di pipiku.
“Tunggu dulu!” teriakku sembari mendorong wajahnya dengan akal sehat terakhir yang kumiliki (aku selamat, aku menang mengalahkan nafsuku kali ini).
Endo terduduk di lantai karena terjatuh akibat doronganku barusan. Wajahnya terlihat sedikit masam dan dia merengut menatapku. Itu sungguh imut dan membuatku ingin memeluknya. Membuatku teringat akan anak kucing milik Diva yang pernah dia tunjukkan kepadaku (sekarang kucing itu sudah semakin dewasa dan berubah dari seekor anak kucing yang lucu dan menggemaskan menjadi seekor kucing tua malas yang menyebalkan). Apa barusan kubilang? Tidak, aku tidak ingin memeluknya!
“Mana yang kau janjikan?” tanyaku mengingatkannya akan perjanjian kami ketika di cafe.
Endo menekuk mukanya semakin dalam. Alisnya bertautan menyiratkan kemarahannya. Dia segera berdiri dan pergi meninggalkanku sendiri, terduduk di lantai yang dingin ini sendiri. Nafasku masih berhembus tak teratur karena masih terkejut dengan semua kontak fisik ini. Tak lama Endo kembali sembari membawa sebuah map yang sudah kutunggu sedari tadi. Diberikannya map itu padaku dan ketika kubuka, aku menemukan sebuah kertas berisi perjanjian di antara kami.
Surat perjanjian itu mengantarkan ingatanku pada saat sore itu di Luxu Lounge (dan tiba-tiba aku merasa Hati Kecilku sedang melompat-lompat kegirangan). Endo saat itu menyatakan akan membuat perjanjian hitam di atas putih. Sebuah kontrak yang menyatakan bahwa aku akan bebas menentukan jalan pernikahanku sendiri ketika toko kami sudah membayar semua denda yang dibebankan (denda yang dibuat si kuntet keparat bernama Danu). Aku menghela nafas lega membaca surat kontrak itu dan menutupnya. Hingga kurasakan badanku seakan melayang dan semakin menjauh dari tanah.
Kedua lengan Endo sudah memeluk tubuh kecilku dan kemudian mengangkatnya. Itu terasa sangat mudah baginya, mengingat tubuhku yang kecil dan ringan, juga lengannya yang terlihat kuat. Aku sangat terkejut dan itu membuat surat kontrak kami terjatuh di lantai.
“Tunggu, apa yang kamu lakukan! Lepaskan aku!” teriakku terkejut dan juga ketakutan. (tapi entah kenapa Hati Kecilku meloncat-loncat makin keras. Aku bisa merasakan dia sangat bahagia bahkan terdengar seperti memprovokasi Endo dari dalam tubuhku. Sialan, aku harus mencari lakban untuk menutup mulut gadis yang satu ini)
Endo masih tetap menggendongku ke arah sebuah ruangan.
Itu bukan cuma sebuah ruangan.
Itu kamar dengan ranjang ukuran besar di atasnya. Sebuah ranjang dengan seprai berwarna biru gelap dan sebuah selimut tebal di atasnya. Dan itu semua terlihat seperti sebuah tanda bahaya bagiku. Aku berusaha meronta, mengikuti tanda bahaya yang disediakan tubuhku, tapi tak banyak yang bisa kulakukan dengan ketakutan akan terjatuh dari lengan Endo. Endo meletakkanku dengan lembut di ranjangnya dan aku segera bergeser menuju sisi terjauh (mengingatkanku akan adegan suster ngesot yang mengejar korbannya. Bedanya, ini di ranjang, bukan di lantai, aku sebagai suster ngesotnya dan akulah korbannya!).
“Tunggu, apa yang mau…” aku tercekat ketika Endo mulai membuka kembali kancing kemejanya sambil terus meringsek mendekatiku di ranjang, “..kau mau apa?!”
“Ini malam pertama kita, kamu masih tanya aku mau melakukan apa?”
“Ini bahkan masih sore! Tunggu…tunggu! Aaargh…”
Aku berteriak histeris ketika melihat Endo sudah melepas kemejanya. Bukan karena ketakutan sebenarnya, tapi karena aku bisa melihat Endo yang bertelanjang dada di hadapanku. Baik, aku mengaku kalau itu impianku sejak SMA, tapi ini terlalu mendadak. Apa dia tak bisa memberiku waktu untuk mengambil nafas sejenak?
“Pakai bajumu! Aaa….! Pakai!” teriakku panik sembari menutup mataku dengan kedua tanganku. Apa yang dia lakukan? Bagaimana bisa dia melakukan itu? Kenapa dia begitu terlihat seksi? (pertanyaan terakhir muncul setelah aku mengintip dari sela-sela jemariku)
“Rima...,” desahnya lembut semakin mendekatiku.
Kemudian tangannya menarik tanganku yang menutup rapat (baik, aku bohong. Menutup renggang) wajahku sedari tadi. Membuatku bisa melihat dadanya yang seakan terpahat sempurna. Dengan pola kotak berjejer di perutnya. Apa dia melakukan fitness rutin? Bagaimana bisa badannya terlihat sangat sempurna di mataku.  Aku bisa merasakan kalau mataku melotot ketika melihat bagian itu, bahkan sampai  bergeming. Tunggu dulu, kenapa dengan tubuhku? Kenapa aku tak bisa menggerakkan tubuhku?
Tunggu dulu…
Kenapa semuanya gelap?
****  

“Bunda, apa gak takut sama Ayah waktu pertama kali ketemu?”
Bunda melihatku bingung mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba. Sambil tersenyum, Bunda menyerahkan sepiring kecil cake ke tanganku. Wangi vanili dari bahan kue buatannya menyeruak menjejali hidung kecilku.
“Kenapa Rima tiba-tiba tanya seperti itu?”
“Bagas ngolokin Rima, Bunda! Dia bilang, Ayah sangar seperti tukang jagal. Semua temen Rima juga bilang begitu,. Mereka bilang, takut setiap ada Ayah. Memangnya dulu Bunda gak takut sama Ayah?”
“Takut, apalagi Bunda baru pertama kali ketemu Ayah waktu hari pernikahan. Bunda sama Ayah kan di jodohin!”
“Bunda takut? Terus kenapa Bunda masih mau sama Ayah? Kenapa Bunda nggak lari?”
“Nggak lah! Rima, harusnya kamu nonton kartun daripada sinetron untuk anak sekecil kamu!”
“Aku sudah SMP Bunda! Tahun depan sudah SMA!”  protesku sembari menjejalkan cake buatan Bunda ke dalam mulutku.
Bunda tersenyum lagi, itu membuat wajahnya tampak semakin cantik. Sayangnya kecantikan Bunda tidak menurun sepenuhnya kepadaku. Dia membelai lembut rambutku dan mengusap krim cake yang ada di sudut bibirku.
“Bunda takut sekali waktu itu. Apalagi Ayah ketika pernikahan kumisnya tebal sekali! Sebetulnya Bunda hampir menangis, tapi nanti Kakek dan Nenek akan merasa malu di hadapan undangan. Kemudian semua ketakutan Bunda berubah setelah Bunda melihat satu hal yang terjadi di Ayahmu!”
“Apa itu?” tanyaku penasaran.
“Ayahmu sama sekali tak berani masuk ke dalam kamar pengantin!”
“Apa?!” aku seakan tak percaya dengan semua perkataan Bunda. Bunda tergelak melihatku terkejut seperti itu. “Kok bisa gitu?”
“Ayahmu malu melihat Bunda, Rima. Kau tahu kan kalau Ayahmu sebenarnya pemalu, dan dia malu ketika harus berhadapan dengan Bunda sendiri. Pantas saja selama pernikahan dia gak pernah melihat muka Bunda!” jawab Bunda sedikit gemas.
Aku melongo tak percaya. Aku tahu kalau Ayah sangat pemalu, tapi itu sedikit keterlaluan. Bunda cantik, menarik dan paling utama, Bunda kan istrinya! Bagaimana bisa rasa malu membuat Ayah melawan nafsu kodratinya
“Bunda terpaksa harus menarik Ayah masuk ke dalam kamar, karena malu dengan Kakek dan Nenek yang mengira Bunda mengusir Ayah dari kamar. Saat itu Bunda langsung merasa jatuh cinta sama Ayah. Wajah Ayah yang merah padam waktu itu bikin dada Bunda berdegup kencang! Apalagi ternyata Ayah ganteng banget setelah kumisnya dicukur,” Bunda begitu terlihat bersemangat menceritakan itu semua. Membuatku tersenyum geli membayangkan kejadian saat itu.
“Trus kenapa sekarang Bunda gak suruh Ayah cukur kumisnya yang kayak ulat bulu itu! Itu bikin semua orang takut sama Ayah, Bunda!” protesku lagi. Tiba-tiba mata Bunda menyipit, wajahnya yang sebelumnya begitu gembira, sekarang berubah menjadi penuh kemarahan.
“Ogah! Setelah Ayah cukur kumisnya, semua orang bakal tahu kalau suami Bunda itu ganteng! Setelah pernikahan itu aja Bunda harus mati-matian jaga hati Bunda supaya gak cemburu sama cewek-cewek gatel yang masih aja usaha deketin Ayah! Jadi kalau sampai Ayah berani cukur kumisnya…,” tiba-tiba Bunda mengambil garpu di tanganku, kemudian menusukkannya tepat di tengah-tengah cake-ku yang masih tersisa. Keras dan dalam. Aku merengut membayangkan nasib Ayah yang seperti cake kalau sampai itu terjadi.
Bunda kembali menatap wajahku dengan raut bahagianya, senyumnya kembali terkembang di wajahnya yang cantik. Dengan lembut dia memanggil namaku, “Rima…”
“Rima…Rima…”
Entah kenapa tiba-tiba suara Bunda yang begitu lembut berubah menjadi berat dan seperti suara pria. Aku terbangun dan tersadar kalau itu semua hanya mimpi. Endo sudah duduk di sampingku dan sudah memakai kaos yang menutup dadanya kembali. Sepertinya aku tadi pingsan karena terlalu malu. Sekali lagi aku merasa menjadi orang paling bodoh dan tolol di dunia. Pingsan gara-gara melihat seorang pria bertelanjang dada di depanku.
Aku pernah melihat pria bertelanjang dada sebelumnya. Aku pernah melihat Ayah, Odea dan juga tetangga sebelah rumah yang doyan bertelanjang dada. Aku juga pernah melihat pria seksi bertelanjang dada pada iklan di televisi, tapi kenapa sekarang aku pingsan ketika melihat Endo bertelanjang dada. Apa karena dia berusaha menyentuhku (dalam tanda kutip tentunya). Setengah terperanjat, aku segera bangun dari tidurku dan memeriksa tubuhku. Pakaianku masih lengkap menempel di tubuhku. Tunggu dulu, celana dalamku…,
Masih ada dan terpasang dengan baik.
Aku menoleh melihat Endo yang sepertinya berusaha menahan tawanya.
“Baiklah, katakan saja! Kau mau memperolokku kan?” ujarku bersungut-sungut melihat ekspresi geli Endo.
“Tidak,” jawab Endo singkat.
“Terus, kenapa mukamu seperti itu?”
“Seperti apa?” tanyanya sembari tetap menahan tawa.
“Seperti itu! Seperti mau ketawa!”  
“Aku hanya geli melihat kamu bingung memeriksa badan seperti itu! Kamu aman Rima!” jawabnya yang kali ini akhirnya melepaskan tawanya
“Kamu tertawa! Tuh kan, kamu ngolokin aku!”
Endo menahan tawanya, berdehem pelan dan mengambil nafas panjang. Kemudian dia tersenyum menatapku.
“Apa yang kamu harapkan? Aku memperkosamu?”
Aku terkejut dan segera mengambil selimut untuk menutupi tubuhku.
Memperkosaku?
Dia mau memperkosaku, hei Hati Kecil! Kenapa kau malah bersorak kegirangan? Apa kau ini seorang masochist? Aku bisa melihat Endo kembali tertawa.
“Aku tidak akan melakukan itu. Sedikit merepotkan sepertinya untuk malam pertama kita.” Jawabnya yang membuatku benafas lega. “Tapi kalau kamu mau, aku bisa…”
“TIDAK!” jawabku tegas (berlawanan dengan Hati Kecilku yang ternyata seorang masochist. Dia berteriak-teriak dan terdengar seperti, “Paksa aku, ganteng!”).
“Baiklah, kamu mau mandi? Apa kamu mau makan malam di restoran denganku?” tanya Endo.
Aku mengangguk dan melepas selimutku perlahan. Bisa kurasakan bauku yang terkesan kecut karena belum menyentuh air sore ini. Endo berjalan ke arah sebuah lemari berukuran sangat besar dan membukanya. Aku mengintip dari atas ranjang dan menemukan beberapa barang yang sepertinya kukenal.
Pakaianku.
“Semua milikmu ada di sini. Kalau kau masih merasa ada yang kurang, kau bisa membelinya sendiri nanti. Peralatan mandimu semua tersedia di kamar mandi. Itu semua masih baru dan kuharap sekertarisku memilihkan peralatan yang tepat untukmu,” terang Endo sambil berjalan keluar dari kamar untuk memberikanku ruang sendiri.
Aku melihat sosoknya dari belakang dan kembali terpesona. Badannya yang tegap dengan punggung yang lebar. Celananya yang menempel tepat di kakinya yang jenjang dan tanpa alas kaki (itu sangat seksi menurutku), dan juga…
Sialan!
Sebuah bunyi dentuman yang keras membuatku sadar kalau aku terjatuh dari ranjang karena terbelit selimut. Endo terkejut dan segera berlari ke arahku. Dengan segera aku berdiri dan bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa
“Aku tidak apa-apa!” teriakku menenangkan (dan menahan malu. Kenapa kau selalu melakukan hal yang memalukan di depan dia, Rima!)
Dengan tergesa, aku segera berlari menuju kamar mandi di dalam kamar dan meninggalkannya sendiri yang sedikit panik melihatku.
Tolong, kubur saja aku di dalam inti bumi.
****



  





24 komentar:

  1. KYAAA!!! Akhirnya nikah juga ni anak. Malam pertamanya lucu,hehe...

    BalasHapus
  2. Aaaahh rima, omonganmu dg hatimu tak sejalan,hajaaaaaaarrr aj ndo klo rima nolak..
    Wakakakakakkakaka
    º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya mak baskom

    BalasHapus
  3. lucu juga lihat tingkah lakunya rima (malu maluin tapi dalam hati mau ) hehehehhe

    BalasHapus
  4. kentangggg.......lagi mbk iko :)

    BalasHapus
  5. lalala akhrnya nikah juga.


    ah rima munafik nh.

    thanks mb ike

    BalasHapus
  6. whuahahaahahahahahhaaaa.....

    GATOT dah MPnyaaa....

    Ane penasaran,,nie antara si Rima yg msh malu2 mau..atw si Author yg ga niatan nulis scenenyaa...hmmmm...

    Tapiiii...dankeee JengRik !
    Mmuuuaaccchhh

    BalasHapus
  7. Hahhaa mba Rima akuin aja kalo mau sama mas Endo. Si mas nya juga udah jelas mau tuh haha. *ngomporin*

    BalasHapus
  8. hahahaha...ih, rima lucu....ditunggu lanjutannya mba...

    BalasHapus
  9. Pingsan???!! O.m.g hehe,, seru mba ceritanya,, di tunggu terus kelanjutanya yaaa..

    BalasHapus
  10. aku suka bgt sm rima lugu+polos+ngegemesin.. endo hrs sabar yaaa...
    kak rike kpn bab8 ĴªŇбåñ kelamaan ya ntr jamuraaann.. hehehe

    BalasHapus
  11. aku suka bgt sm rima lugu+polos+ngegemesin.. endo hrs sabar yaaa...
    kak rike kpn bab8 ĴªŇбåñ kelamaan ya ntr jamuraaann.. hehehe

    BalasHapus
  12. aku suka bgt sm rima lugu+polos+ngegemesin.. endo hrs sabar yaaa...
    kak rike kpn bab8??? ĴªŇбåñ kelamaan ya ntr jamuraaann.. hehehe

    BalasHapus
  13. aku suka bgt sm rima lugu+polos+ngegemesin.. endo hrs sabar yaaa...
    kak rike kpn bab8??? ĴªŇбåñ kelamaan ya ntr jamuraaann.. hehehe

    BalasHapus
  14. aku suka bgt sm rima lugu+polos+ngegemesin.. endo hrs sabar yaaa...
    kak rike kpn bab8??? ĴªŇбåñ kelamaan ya ntr jamuraaann.. hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada yg ngamuk ngasi komen. wkkwkwkwkw :peace:kabur: cuss baca dl,... kyknya yg 6 aku belum baca deh

      Hapus
    2. wakakakakakakakak hooh jeng...ngamuk komennya. banyak bener... saking sukanya sama rima tuh wekekekekekekekekek

      Hapus
  15. menyeringai lebar tiap baca cerita ini. hehehhehe.. ayo rima.. kl liat dr karaktermu, aku rasa sesekali km bisa jd WOT lhooo... ciyus dehhh... ihihihihiihihiihih... jeng ikee... belah durennya harus cetar membahana lhohh.... wwkkwkwkwk... makasi ya. salam ama Mas Endooo... nama lengkapnya siapa sih? aku lupa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. weks.... belah durennya baru mau berguru sama bang danof ne jeng... ayooo mampir ke blog bang danoooffff...

      Hapus
  16. Mba Rike tmbah pensaran nungguin mlm pertama Πγª gmna ya..bru liat Endo telanjang dada aja Rima pingsan Apalgi ???.... Heheh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wekekekekekekekekekekek...
      apalagi...
      telanjang kakiiii..... wekeekekekekekekekek

      Hapus
  17. Wakakakakak,,Rimmaaaaaaa *cubit2 gemes*
    Endooooooooooooooo *mata penuh lope lope*
    Mba Ikeeee pesen nyang ky Endo duongz,,hukz
    Mksh Mba Ikeee...

    BalasHapus
    Balasan
    1. boleh...boleh... 350 juta yaaaa... wakakakakakakakakakk

      Hapus