Sabtu, 04 Mei 2013

Kawin Kontrak - Bab 6


Jumpeee lagiii....harusnya eke aplot hari senin ne... tapi berhubung koneksi lagi bagus,jadinya eke aplot sekarang. jadi... kalo ada yang tanya, kapan eke aplot lagi, insha Allah senin lagi. wakakakakakakak.... sekarang eke lagi coba berusaha meres otak gimana caranya untuk diet, sementara godaan begitu berat. pertama, tiba-tiba aja sindrom seneng masak muncul. semua bahan-bahan, tiba-tiba ajagampang buat ditemuin. apa-apaan itu. sementara perut eke semakin melembung, jadwal makan eke bertambah lagi dengan yang namanya cemilan siang dan cemilan sore.
*tepok jidat bang keanu reeve.
sekian aja deh kayaknya curhat eke. wakakakakakakakaakakakak....
oiya, kemaren eke nemu soundtrack yang cocok marukocok banget sama Kawin Kontrak, habisnya eke dengerin Fatin di X factor. lagu lama, tapi eke pikir cocok banget liriknya buat si Endo sama Rima, pasangan koplak. wakakakakakakakakk



BAB 6
RIMA

Aku berjalan dengan tenang melewati trotoar, menuju ke halte bis terdekat. Sudah beberapa hari ini aku tidak bisa keluar rumah karena Tio sudah berubah menjadi satpam dadakan dengan selalu menungguku di depan rumah. Akhirnya setelah merana selama 3 hari ini, si kampret itu pergi dari depan rumah. Dan setelah Tio menghilang dari depan rumah, kali ini aku bisa kembali menikmati udara bebas.
Masalah hutang sudah membuatku pusing selama beberapa hari ini dan aku masih belum bisa menemukan jalan keluarnya. Ayah beberapa kali menyarankan untuk berhutang kepada rentenir dan itu cukup membuatku ketakutan membayangkan akibatnya. Tapi menerima lamaran Endo, entah kenapa aku merasa ada yang mengganjal di dalam hatiku.
Sekali lagi aku masih bingung menerima lamaran itu. Hatiku saat ini sebetulnya masih terluka (diselingkuhi pacar itu menyakitkan), walaupun sudah tak terlalu terluka (aku sendiri juga bingung, bagaimana bisa aku merasa begitu cepat pulih. Apa mungkin karena pada dasarnya hati kecilku sediri tidak begitu menyukai Tio sedari awal.), tapi tetap saja cukup sulit menerima penawaran Endo. Begitu banyak pertanyaan yang muncul dari perbuatan Endo kemarin. Apa dia serius? Apa dia hanya ingin membeliku? Apa aku pantas menikahinya? Apa aku masih menyukainya?
Aku tertegun memikirkan pertanyaan terakhir. Dulu, kuakui bahwa aku sangat menyukainya, ralat, amat sangat menyukainya semenjak awal aku melihatnya. Aku masih ingat bagaimana semua anak perempuan di SMA-ku baik yang masih angkatan baru sepertiku dan angkatan senior, berdecak kagum melihat Endo. Dia terlihat seperti sebuah mahakarya bagi kami para wanita. Kulit putih, wajah tampan campuran Asia – Eropa (sampai sekarang aku tak tahu pasti campuran spesies apa Endo itu), badan tinggi – tegap tanpa ada lemak yang tak perlu, senyum ramah bagi siapa saja yang menyapanya (kecuali aku, karena aku tak pernah menyapanya sebelum kami berkenalan) dan sifatnya yang begitu ceria.
Aku tergila-gila padanya dan sangat bahagia ketika dia mulai dekat denganku. Tapi sekali lagi itu dulu, saat aku masih bertitel cewek SMA. Saat ini, aku masih tidak tahu dengan perasaanku sendiri (terutama setelah si keparat Tio berani-beraninya berselingkuh). Bahkan seandainya Endo tidak mengancam untuk tidak membantu toko Ayah, aku tak akan pernah berani menyukainya, walaupun hanya untuk bermimpi.
Setengah berlari, aku mencoba menghentikan angkutan yang akan melintas. Hari ini aku punya rencana untuk berbelanja dan mengantarkannya ke asrama Odea, adikku. Dia sering mengirimiku pesan untuk menemuinya di asrama kampusnya. Kehidupan kuliahnya yang baru saja dimulai membuatnya sulit untuk kembali pulang ke rumah dan dia mengatakan kalau sangat merindukanku dan Ayah. Karenanya hari ini kuputuskan untuk menemuinya dan menanyakan kabarnya. Kadangkala berbicara dengan adikku menjadi salah satu cara untuk mencari jalan keluar dari masalahku. Biarpun umurnya jauh lebih muda dariku, tapi pemikirannya jauh lebih dewasa. Dan pembicaraan yang baik selalu diawali dengan bingkisan yang baik. Itulah sebabnya aku berhenti di depan mall yang menyediakan supermarket lengkap di dalamnya.
Tak butuh waktu lama sampai aku menemukan semua kebutuhan yang sekiranya diperlukan Odea. Beberapa sabun, odol, sandal japit (kami hidup bersama sedari kecil dan bahkan itu membuatku mengetahui merk celana dalam kesukaannya. Tapi kali ini aku tak akan membelikannya itu. Terlalu menggelikan kalau sampai temannya tahu) sudah masuk kedalam keranjang belanjaanku dan tinggal menunggu antrian kasir untuk membawanya. Pegawai kasir memberiku senyuman ‘dagang’nya dan mulai menghitung semua belanjaanku. Tak butuh waktu lama untuk membayarnya dan pergi meninggalkan supermarket. Kukira aku akan bisa berada di asrama Odea sejam lagi. Sampai sebuah sentakan menahan lenganku.
Kampret!
Tio!
“Mau apa kau?” tanyaku terkejut.
“Aku mengikutimu, ada yang ingin kubicarakan!” ujarnya dingin.
“Lepaskan! Sudah tidak ada yang perlu dibicarakan. Kita sudah selesai!” jawabku sembari mengibaskan lenganku, berharap Tio melepaskanku.
“Tidak, kita belum selesai!”
Tio menarikku kasar melewati orang-orang (dan aku bisa melihat pandangan heran mereka) menuju ke daerah food court di depan Mall. Dia mendudukkanku di salah satu kursi dan duduk di kursi lain yang bersebelahan denganku. Lenganku masih tetap dipegangnya erat dan itu membuatku sangat kesal ketika rasa sakit mulai menjalar di lenganku.
“Lepaskan atau jangan harap kita akan bisa bicara!” ancamku sengit. Tio melepaskan tangannya sembari terus mengawasiku.
“Aku mau kita kembali seperti dulu, Rim!” ujarnya memohon.
“Setelah kamu berselingkuh dengan Lea? Bahkan kalau di dunia ini hanya ada dirimu dan kambing, aku akan memilih untuk…” aku tercekat pelan kebingungan (itu pilihan yang sulit! Aku tak mau memilih si Kampret Tio, tapi memilih kambing…memang ada yang mau dengan pilihan itu?), “…aku..aku akan memilih yang lain. Jadi lupakan semua yang pernah terjadi!”
“Rima, kamu salah paham!”
“Oh ya? Lalu apa yang kamu lakukan dengan Lea di apartemennya? Kerokan?”
Tio terdiam seakan kehabisan kata-kata (jangan bilang aku mengucapkan alasan yang dia buat untuk mengelabuhiku! Apa dia gila?), menatapku kebingungan kemudian menunduk mengacak-acak rambutnya. Dulu aku sangat suka melihatnya mengacak-acak rambutnya. Itu terlihat sangat keren di hadapanku.
Semua tentang Tio dulu memang terlihat keren di hadapanku. Tio sangat manis dan juga aktif. Kehidupannya sebagai mahasiswa (angkatan tua karena dia masih belum lulus) dan juga gitaris band membuatnya selalu menjadi sosok perhatian. Gayanya yang selalu modis membuatku selalu merasa bersyukur dia sudah memilihku, yang pemalu ini, menjadi pasangannya. Tapi sekarang dia tidak lebih dari seorang keparat kampret di hadapanku.
“Aku mau mengatakan suatu kejujuran padamu!”
Baiklah, jadi selama ini dia tidak jujur?
“Cepat katakan dan segera tinggalkan aku!”
“Tidak! Maksudku baiklah, tidak,  maksudku baiklah aku akan mengatakannya, tapi tidak akan meninggalkanmu. Rima, aku mencintaimu, itu sungguh! Aku selalu menyukai semua hal di dirimu. Semuanya! Aku sungguh kesepian dan serasa hilang arah ketika kau tak mau menemuiku semenjak kejadian itu.”
Aku mencibir pengakuannya.
“Aku tahu, aku melakukan kesalahan dengan Lea, tapi dengannya berbeda denganmu. Dia cantik, seksi dan menggoda, dia mimpi basah semua pria.”
Ini mulai menjijikkan.
“Kau tahu kalau aku memiliki pesona bagi wanita dan dia juga sebaliknya. Kami hanya saling mengisi satu sama lain, tanpa ada rasa cinta. Itu cuma sekedar hubungan fisik, suka sama suka, pemenuhan gairah kami semata. Aku membutuhkan itu dalam kehidupanku dan Lea bersedia membantunya. Kau bisa lihat kalau itu semua hanya hubungan fisik. Tapi kau berbeda, aku mencintaimu, Rima. Aku sungguh mencintaimu!”
Cukup!
“Kau menjijikkan!” cibirku. Tio terkejut mendengar ucapanku. “Kau menjijikkan! Kau kampret! Dan kau bajingan tengik!”
Aku sedikit terkejut mendengar semua kata-kata itu meluncur dari bibirku, tapi itu belum selesai.
“Setelah semua kejujuran yang kau katakan, kau pikir aku masih mau menerimamu, huh? Mimpi! Aku tak akan pernah menerima pria yang di dalam pikirannya hanya berpikir tentang nafsunya sendiri! Lebih baik kau lanjutkan saja hubunganmu dengan Lea dan puaskan ‘burungmu’ itu sampai dia tak mampu bercicit!”
Oke, ini sedikit berlebihan karena nada suaraku semakin meninggi. Beberapa pengunjung sudah bisa mendengar arah pembicaraan ini dan ini waktunya aku untuk pergi. Ini sangat memalukan. Aku berdiri dan mengangkat belanjaanku, melangkah meninggalkan Tio. Tio berteriak memanggil namaku sementara aku bergegas pergi sebelum dia menarik perhatian orang yang lebih banyak.
“Rima, Rima kumohon jangan pergi!” Tio kembali menarik tanganku. Aku berusaha melepaskannya dan terus berlalu, tapi pegangan itu kembali terlalu kuat.
“Kau gila, jangan pernah temui aku lagi! Kita selesai, sekarang kau bebas!” aku terus meronta melepaskan tanganku. Beberapa pengunjung mall mulai memperhatikan kami.
Bisakah kejadian memalukan ini segera selesai.
“Aku tak akan melepaskanmu, Rima. Aku mencintaimu!” setengah berbisik Tio mengucapkan kata-kata itu. seakan tersadar tatapan beberapa pengunjung.
“Aku tidak! Jangan memaksaku!” balasku.
“Kau pikir ini semua terjadi karena siapa?”
Apa yang Tio katakan?
“Ini semua karena kesalahanmu, Rima! Kau, membuatku memikirkanmu dan jatuh cinta kepadamu. Tapi lihat penampilanmu, wajahmu dan juga tubuhmu, kau tak akan bisa membuat pria manapun terangsang dengan…dirimu!”
Apa?
Tadi dia mengatakan menyukai semua di diriku dan sekarang menyalahkan semua di diriku. Aku merasa menyesal tak pernah belajar bela diri dari Diva. Membayangkan seandainya Diva ada di sini, dia pasti sudah menghajar Tio habis-habisan sampai dia tak mampu berdiri lagi.
“Kalau saja kau mampu membuat seluruh libidoku terbangun seperti yang Lea lakukan padaku, ini semua tak perlu terjadi! Kau bisa menjadi satu-satunya wanita di dalam hidupku!”
Brengsek!
Aku menamparnya keras dan itu membuatnya terkejut (aku bisa menamparnya! Ini benar-benar suatu kemajuan). Dengan kasar dia mendorong lenganku dan membuatku kehilangan keseimbangan. Aku terdorong mundur dan menabrak seseorang di belakangku. Dia menahanku di dadanya dengan bantuan tangannya. Samar-samar aku bisa mencium wangi parfum yang tercampur dengan aroma rokok keluar dari kemejanya yang tertutup vest. Seorang pria yang tinggi dan memiliki dada yang cukup keras. Ketika menengadah untuk melihat wajahnya, aku bisa melihat bekas cukuran berwarna kehitaman di dagunya dan di sudut bibirnya menyala sebuah puntung rokok yang masih terlihat cukup baru.
“Rima?” ujarnya.
“Endo?” jawabku
 Ya Tuhan, bagaimana bisa aku bertemu dengan Endo di saat seperti ini? Apa tidak ada hari lain yang jauh lebih tenang untuk kami bertemu?
Tio tampak tergopoh-gopoh mendekatiku dengan wajah panik. Seakan tersadar dia baru saja mendorongku dengan keras.
“Rima, kau tak apa?” tanya Tio panik.
Aku masih bisa merasakan tangan Endo memegang lenganku erat seakan takut aku terjatuh kembali.
“Jangan mendekat! Tolong Tio, semua sudah selesai. Aku memaafkanmu dan ingin melupakan semuanya.”
“Hidupku kacau tanpamu, Rim. Aku butuh kamu!”
Bagus, sekarang semua jelas. Aku adalah pengurus semua kekacauan yang dibuat bayi besar bernama Tio. Itu arti hidupku di mata si kampret ini.
“Aku sudah bertunangan! Kami akan segera menikah, jadi jangan ganggu aku lagi!” jawabku tegas pada Tio.
Tio menatap ke arahku seakan tak percaya kemudian terbahak keras. Menertawakan semua ucapanku barusan dan seakan mengejekku.
“Aku serius Tio. Dia tunanganku!” jawabku sambil menunjuk ke arah Endo di belakangku.
Aku sama sekali tidak berani melihat ke arah Endo. Jantungku berdebar keras, ketakutan akan penolakan Endo di depan si kampret Tio. Tio menatap tak percaya ke arah Endo dan kembali menatapku. Beberapa kali dia melakukan hal itu.
“Kau bercanda kan? Hei Bung, lepaskan dia!” perintah Tio.
Tiba-tiba lengan Endo sudah melingkar di leherku dan itu membuat tubuhku seperti merasakan sengatan listrik. Rokok di sudut bibirnya dia buang dan matikan menggunakan sepatunya di lantai. Endo mendekatkan wajahnya ke wajahku dan membuat pipiku merasakan gesekan dari rambut yang baru tumbuh di sisi kanan dagunya. Aku bisa mencium wangi parfum dan juga rokok Endo di jarak sedekat ini.
“Sayang sekali, kau sudah melewatkan wanita ini. Sekarang dia milikku,” jawab Endo membalas Tio.
Tio terlihat sangat geram, kemudian mendorongku menyingkir dari sisi Endo dan menarik kerah Endo untuk menantangnya. Terdengar teriakan dari beberapa pengunjung Mall dan mereka mulai saling bergerombol melihat kejadian ini. Aku terkejut dan berusaha memisahkan mereka, tapi lengan Endo menghalangiku untuk mendekati mereka. Aku melihat Endo berdiri tegap dan begitu tenang menghadapi Tio yang sudah terihat sangat emosi.
“Tinggalkan Rima dan jangan ganggu dia lagi!” ancam Tio sembari terus menarik kerah Endo yang jauh lebih tinggi darinya.
Itu sebuah seringai.
Aku melihat sepintas, tapi itu benar-benar seringai dan itu muncul di wajah tampan Endo. dengan satu gerakan ringan, Tio berteriak kesakitan, bahkan melepaskan tarikannya pada kerah Endo. Aku bisa melihat salah satu tangan Endo memiting pergelangan tangan Tio yang menarik kerahnya. Tio terlihat begitu kesakitan hingga dia membungkuk. Endo baru melepaskannya ketika Tio semakin berteriak histeris dan tak mampu berdiri. Endo membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinga Tio (dan aku bisa mendengarnya!)
“Kau jangan pernah dekati Rima, atau aku akan menghajarmu sampai keluargamu sendiri tak mengenalimu lagi.”  
Dimana aku pernah mengenali ancaman yang mirip seperti itu?
Ah…Diva.
Tio menggeram marah di tengah kesakitannya, tapi Endo tak peduli. Dia membetulkan dasinya yang molor karena tarikan Tio sebelumnya kemudian berjalan ke arahku. Dengan lembut dia merangkul lenganku dan mengambil kantong belanjaanku (dia selalu melakukan itu sepertinya). Menarikku perlahan dan memberikan kecupan kilat dikepalaku (Apa itu?!).
Itu sepertinya sebuah ritual untuk  memikatku dan membuatku lupa diri sehingga menuruti perintahnya (coba saja kalau Endo, memiliki kepala botak dan wajah Asia, aku pasti langsung akan memanggilnya Dedi tanpa ada bantahan lagi. Jangan bilang hanya aku yang tahu siapa yang dimaksud dengan Dedi di sini). Terbukti, saat ini aku sudah duduk di sebelah Endo di dalam mobilnya. Ketika seluruh pesonanya sedikit berhasil kutangani, aku baru tersadar dan kebingungan melihat arah laju mobil ini.
“Kita mau kemana?” tanyaku bingung (dan juga panik).
Endo tersenyum sambil terus menatap kearah jalan dan itu membuatku semakin panik. Aku menjadi sangat gelisah dan mulai berlaku aneh (sungguh, jangan pikirkan kelakuan aneh yang cenderung gila, aku cuma menoleh ke arah jendela, dan menatapnya bergantian dan berulang-ulang).  Dan sepertinya dia mengerti akan hal itu.
“Kupikir kita perlu menenangkan pikiranmu dulu” jawabnya kemudian memarkirkan mobilnya ke sebuah cafe yang tak pernah kubayangan akan memasukinya (kata ‘mahal’ tertempel secara kasat mata di bagian depan pintunya dan itu hanya bisa dibaca oleh orang-orang sepertiku).
“Mau apa kita ke sini? Menenangkan pikiranku cukup dengan berjalan di taman saja!” tanyaku panik membayangkan aku akan menjadi satu-satunya orang yang berpenampilan seperti rakyat jelata di dalam sana.
“Kita akan merayakan pertunangan kita,” jawab Endo sambil terus tersenyum menatapku.
Aku menelan ludahku, gugup.
“Tunggu, itu tadi…”
Terlambat, Endo sudah turun dan membukakanku pintu. Aku berusaha menjelaskan tapi dia sudah menyambut tanganku dan menggandengku masuk tanpa memberiku kesempatan bicara. Aku terpaksa mengikutinya dan ketakutan melihat beberapa pandangan orang yang menatap ke arah kami. Seorang pria tampan yang terlihat kaya dan seorang gadis yang terlihat seperti asistennya (atau pembantunya lebih tepatnya) bergandengan tangan memasuki sebuah Cafe dengan tulisan mahal yang kasat mata. Dan yang lebih membuat jantungku berdebar adalah genggaman hangat tangannya yang menuntun langkahku. Aku pernah bergandengan dengan Tio sebelumnya, tapi tak terasa sehangat ini (bahkan terkesan sedikit kasar, karena dia terlihat selalu terburu-buru).    
Seorang pelayan mendatangi kami dan tanpa menanyakan apapun segera menuntun ke arah sebuah tempat yang sedikit tertutup. Aku mengatakan tempat itu sedikit tertutup karena ruangan itu dibatasi oleh sebuah dinding partisi yang memisahkannya dari ruangan lain. Sebuah sofa hitam berukuran tanggung menghadap ke arah taman yang di batasi oleh sebuah kaca mengisi ruangan itu, beserta sebuah meja kaca di depannya. Pelayan itu mempersilahkan kami duduk dan meninggalkan kami sendiri.
“Ini dimana?” tanyaku gugup ketika Endo mempersilahkanku duduk.
“Luxu Lounge,” jawabnya singkat kemudian duduk di sebelahku.
Aku bergeser sedikit menjauhinya, tapi Endo malah bergeser mendekatiku.
“Dengar tadi itu…”
“Kau tak apa?” tanyanya memotong pembicaraanku.
Aku menelan ludah terkejut mendengar pertanyaannya. Tanpa sengaja menatap mata Endo yang berwarna kelabu dan melihat pantulan sosokku di sana. Mata itu seakan menghipnotisku untuk terdiam dan tak mampu menghindarinya. Sampai suara gelas yang berdenting ketika bersentuhan dengan meja kaca menyadarkanku. Pelayan yang tadi mengantarkan kami membawakan dua buah gelas yang berisi cairan berwarna biru.
“Saya akan mencatat pesanan anda yang lain sekarang atau nanti, Pak?” tanya pelayan yang terlihat masih sangat muda itu. Endo tersenyum menggeleng dan pelayan itu meninggalkan kami sendiri lagi. Dia kembali menatap mataku dan kali ini aku tak sanggup menatap kembali (jantungku bisa berasap karena terlalu cepat berdetak kalau terus menerus menatap wajahnya).
“Kau tak apa?” Endo mengulang kembali pertanyaannya.
Aku mengangguk, menatap ke arah lututku yang sedikit bergetar.
“Tak apa, itu tadi hanya kejadian kecil, semuanya sudah berakhir.”
Dia mengangkat wajahku dengan tangannya di daguku.
“Kau tak apa?” sekali lagi dia mengulangi pertanyaan yang sama, tapi memaksaku menjawab dengan menatap matanya.
“Setelah mengetahui pacarku berselingkuh karena penampilanku yang bahkan tak mampu membuatnya bergairah, ya, aku baik-baik saja! Kau puas?” sentakku melepaskan tangannya dari daguku.
Apa yang dia harapkan?
Aku mulai terisak, menangisi yang baru saja terjadi. Dipermalukan di hadapan banyak orang, dikatakan tidak memiliki daya tarik sensual, bahkan dianggap hanya sebagai pengasuh oleh orang yang dulu kucintai. Apalagi kemalangan yang akan menghampiriku setelah ini?
“Hei, jangan menangis, Rima,” bisiknya lembut di telingaku dan mulai memelukku. Membiarkanku menangis di dadanya. Aku tak bisa menguasai diriku dan terus menangis di dalam pelukannya. Berusaha melepaskan semua sesak di dadaku dan menikmati dada Endo yang hangat dan bidang. Dadanya benar-benar nyaman dan aku menemukan ketenangan di sana. Aku bisa merasakan perutnya yang keras dan lekukannya.
Tunggu.
Apa barusan kubilang?
Ini berbahaya, sangat berbahaya. Saat ini aku sedang bermain api dengan membiarkan kontak fisik seperti ini. Aku mendorong tubuh Endo dan melepaskan pelukannya yang nyaman (dan hati kecilku berteriak protes karena perbuatanku. Aahh…diam kau hati kecil!). Endo tampak sedikit terkejut dan menatapku heran. Segera kuusap sisa air mata di pipiku dan berusaha mengendalikan sikapku.
“Terimakasih sudah menyelamatkanku tadi, aku sekarang sudah jauh lebih baik. Sepertinya, aku harus segera pergi!” ujarku sembari bersiap meninggalkannya.
Endo menatapku tajam dan aku kembali menatap seringai itu lagi. Seringai yang selalu menimbulkan perasaan was-was di dalam hatiku.
“Kita bahkan belum merayakan pertunangan kita,” ujarnya.
Benar kan? Itu seringai iblis.
“Itu tadi tidak serius!” sanggahku keras. “Dengar, kau boleh mengatakan aku perempuan yang tidak punya percaya diri atau mungkin tidak bisa berterima kasih, tapi aku tidak bisa menikah denganmu Endo!”
“Kenapa?”
“Kau tanya kenapa? Lihat kita! Dengar, intinya tadi itu tidak serius, jadi tolong dilupakan saja.”
Endo menyesap minumannya kemudian menatapku kembali. Wajahnya berubah menjadi jauh lebih tenang dan lebih santai. Dalam hati aku menebak-nebak apa yang ada di pikirannya dan berharap itu bukan sesuatu yang buruk.
“Kau harus serius, Rima. Itu semua menyangkut hutang keluargamu dan nasib tokomu.” Jawabnya sembari meletakkan gelasnya di meja.”
Itu buruk. Dia kembali mengancam.
“Kami akan mencari cara untuk membayarnya!” jawabku sambil berusaha mencari solusi.
“Waktunya tingal beberapa hari lagi. Kau mau meminjam Bank? Mereka butuh waktu untuk memproses itu semua. Rentenir? Aku sendiri tidak menyarankan karena sangat beresiko melihat keuanganmu sekarang. Menjual semua aset juga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menemukan pembelinya
Kudengar adikmu juga baru saja masuk ke universitas ya? Itu pasti butuh biaya yang jauh lebih besar. Kalau sampai tokomu dijual, bagaimana nasib adikmu? Apalagi itu toko keluarga,aku yakin banyak kenangan indah di sana. Jadi, aku menawarkan sebuah perjanjian, atau kontrak, atau apapun kau menyebutnya”
Aku menelan ludah getir.
“Apa?” pertanyaan bodoh itu keluar dari mulutku.
“Kau menikah denganku dan kau terbebas dari semua hutang itu. Semua akan kutanggung dan keluargamu bisa melanjutkan usahanya dengan tenang. Kalau suatu saat kau bisa mengembalikan semua hutang itu, maka pernikaan ini nasibnya kembali di tanganmu. Tapi selama itu belum terjadi…” dia kembali menyeringai, “…kau tak akan kulepaskan.”
 “Kau begitu ingin membeliku? Kenapa kau melakukan semua itu?” tanyaku bingung.
“Anggap saja ini balas dendam atas 10 tahun pelarianmu.”
“Menurutmu itu semua kenapa?” tanyaku mengejek.
Endo menatapku sengit dan itu membuatku sedikit ketakutan.
“Kau tak pernah memberikanku kesempatan untuk melidungimu. Kau kabur sebelum aku sempat memberikanmu rasa aman. Kau menghilang dan meminta Diva menutup rapat mulut bawelnya dari semua keberadaanmu. Kau meninggalkanku tanpa penjelasan apapun, Rima!”
Aku terpekur seperti burung Dara yang sedang melamun. Memikirkan semua perkataan Endo dan semua tawarannya. Kenapa dia marah karena aku meninggalannya setelah kejadian itu? Itu semua permintaan penggemarnya. Bulu kudukku kembali berdiri mengingat kejadian saat semua penggemar Endo mengamuk, terutama si penyihir jahat, pemimpin semua wanita beringas itu. terjahat dai semua yang jahat. Yang semua kata-katanya aku yakin lulusan dari sinetron dengan peran antagonis terjahat (dan aku belum menemukan sinetron seperti itu).
“Itu semua masa lalu. Sekarang sudah 10 tahun berlalu dan aku harap kamu melupakan semua itu, Ndo.”
“Apa? Sial! Melupakannya?” Endo terlihat sangat geram dengan semua kata-kataku, dan itu semua terjadi.
Tangannya begitu kuat memegang pergelangan tanganku dan dadanya sudah mendorongku hingga aku terjatuh di sofa hitam yang empuk ini. Bibirnya yang tipis dan begitu menggoda, tiba-tiba saja melumat bibirku lembut. Aku tak bisa bergerak, bahkan meronta karena berat tubuhnya yang menindihku dan tangannya yang memegang erat pergelangan tanganku. Bisa kudengar hati kecilku terkejut dan berteriak kegirangan mendapatkan aku diperlakukan seperti ini (sial, bagaimana bisa hati kecilku sendiri tidak kompak! Kita satu tim, bodoh!)
Endo menciumku.
Bukan cuma ciuman ringan dan sekilas yang pernah kudapat dari Tio. Ini ciuman yang berbeda, ini ciuman yang begitu panas dan bergairah (apa? Aku bilang bergairah? Apa aku bilang?). Dia melepaskan bibirnya dan menatapku sendu, tatapan yang membuaku luluh dan tak bisa bergerak (bahkan tanpa tatapan itu aku sudah tak bisa bergerak! Halooo…. Ada gadis terjepit di sini! Ada yang mendengar? Hei, berhenti bersorak, hati kecil!). membuatku kebingungan akan menampar wajahnya, marah, atau menikmati semua sentuhan ini.
“Kau bisa melupakan itu?” tanyanya lirih. Tubuhnya masih tetap menghimpitku erat.
Aku menggeleng jujur. (itu perbuatan hati keciku, dia sudah mengambil alih seluruh kendali tubuhku!) 
“Kalau begitu apa jawabanmu?”
Aku kembali menelan ludah.
****



   



32 komentar:

  1. Aq nelan ludah juga, huaaaa jwb rima mau mau mau..hahahaa
    Sudah mulai nakal nih mba ike,aseeekk..xixixi
    Lanjutkn
    º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya mba jgn lama2 dunk postingnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. eke gak nakaaaallll huweeee.....
      *minta permeeennnn

      Hapus
  2. Aku suka tlsn dlm kurungx mba....he he...mkn keren aja...bab brktx jgn lama2 mba):

    BalasHapus
  3. Halo mba Rike, salam kenal yaaaaaaa......
    Hehehe, Rima ama hati kecilnya lagi gak kompak neeehhh......, ayo Rim,kawin kontrak aje sama akang Endo, jangan lupa pake meterainya yeeeee # tepok jidat gaje, wkwkwkkkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal juga
      makasih dah mampir ya..
      serng mampir ya... wekekekekekeekeke

      Hapus
  4. Endo!! aku juga mau donk~~~ ;)
    hahaha.. eh kak, emang cicit 'burung' nya Tio gimana bunyinya kak?? *eh :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. waa.... ketemu Tio aja piye? wakakakakakaak

      Hapus
  5. komen dulu ah.....

    yihuuuuuiii...thanks emake dara,ini pasti efek dr cemilan td siang ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. wekekekekekekeeekkekek...
      efek cemilan tadi siang bikin kenyang mak desss....

      Hapus
  6. glek..aku menelan ludah jg *terbawa cerita..terimakasih mba' Rieke ^^ tiap hari aku rajin buka blog ini menunggu lanjutannya. selalu setia menunggu kelanjutannya.
    bertanya mba' Rieke, siapa ya yg punya blog gadis pengasong fiksi ya? *lupa namanya, aku mau dunk di invite.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wakakakakakak... pan sudah ada pemberitahuannya di G+
      coba buka kolom-kolom komen di KK sebelumnya. kalo gak salah dia kasih tau caranya buat di invite

      Hapus
  7. kyaaa endooo..


    thanks mb ike

    BalasHapus
  8. thanks ya mbak ike, selalu ditunggu update nya

    BalasHapus
  9. Kocak mba tpi ttp ada romantis Πγª .... Heheh. Q tiap hri lho mba mbuka blog Πγª soal Πγª pensaran sma lanjutn kawin kontrak.. Mba Rike mau diet ya.. Coba Herbalife dech, lbh manjur mba, soal Πγª q dh nyoba ​أَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ berat badan turun dn perut jga bsa mngecil ( btw q bkn sales Herbalife lho mba, cma bbagi pengalamn aja. Heheh)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wakakakakakakak... ikut G+ gak? disitu eke selalu bikin pengumuman terbitnya.
      wekekekekekekek.. boro-boro herbalife, ini mauminum klorofil aja gak jadi-jadi gara-gara ngeri sendiri

      Hapus
  10. Aku mau ndo..
    Sangat mau sekali..
    Buruan nikahi aku.. #plak
    Hehe

    BalasHapus
  11. acikkk..Rima keceplosannya enak tuh, jadi bakal dikawinin Endo.
    etapinyaaaa kl Rima ogah sm Endo, eke aja deyyy haha.

    cusss lanjut mba, tetap semangka!

    BalasHapus
    Balasan
    1. trimikisiiiihhhh...
      weeekekekekek... mampir terus ya

      Hapus
  12. asyikkk udah mulai ciuman.....bentar lagi uhuk2 ngk mbk*ehhh wakakaka thanks mbk ike :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaa... minta di bully nie nene... panggil ririn deh...
      wakakakakakakakakakakak
      *jo nesuuu

      Hapus
  13. wih, Endooo... udah main cium-cium aje.. ihihihih... jeng,, ditunggu adegan belah durennya ya. huhuhuii... asoii... tarik mangggg..... :hak..hak..hak::

    cakep sist ceritanya, penulisannya jg enjoyable.. kereennnnnnn....

    BalasHapus
    Balasan
    1. wakkkksssss... belah dureeennn...

      *belajar di my own

      Hapus
    2. ah ngeledek nih???? grrr..... :suruh Danof gigit:

      Hapus
  14. Say 'yes' Rima.....ngamuk nih kalo kamu bilang enggak!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. ampuunnn... ampuuunnn jangan ngamuuukkkk

      Hapus
  15. salam kenal y mbk,...di tunggu y cerita berikutnya,..keren

    BalasHapus
  16. jengRik......
    Masa cuma mpe cipokan doank???
    Belah durennya maneeee????

    *kabuur sebelum dtagih...wkwkwkwkwk

    BalasHapus
  17. kak kpan nie postingny? ud slsa nie kak..

    BalasHapus
  18. bab 7 mana bab 7???
    kak rike posting duuuunnnkkkk.. plis plis plis..

    BalasHapus