kali ini eke gak bahas macem-macem, cuma mau kasih inpoh kalau senin depan eke mungkin nggak aplot KK dulu. karena eke lagi merencanakan berliburrrr... horeeee....!!!!!
jadi mohon maap buat sobat semua yang setia mantengin blog eke. semoga sepulang liburan, eke bisa langsung aplot bab 11 (kalo gak malah merana soalnya gaji suami habis buat liburan)
wakakakakakakakakakak....
selamat munikmati!!!!
BAB 10
RIMA
Setelah
melewati pagi dengan perasaan kacau karena harus melihat Endo dan pesona bangun
tidurnya (lagi), akhirnya aku bisa mengambil nafas lega. Baru saja Endo
melangkah pergi dari pintu apartemen setelah memberiku sebuah kecupan selamat tinggal
di kening, membuatku kembali teringat dengan saat kami tidur semalam. Endo sama
sekali tidak membahas tentang lingerie yang dia belikan untukku setelah aku
mengatakan untuk memakainya besok (aku benar-benar panik dan asal saja
mengatakan besok. Semoga dia lupa untuk menanyakannya nanti malam) dan dia
segera pergi tidur. Itu membuatku sedikit bernafas lega karena malam ini
akhirnya aku bisa bebas dari godaan menjelang tidur Endo (dan kembali lagi Hati
kecilku mendesah kecewa. Kenapa gadis yang satu ini? Apa tidak cukup setiap
malam dia sudah menggerakkan diriku untuk memeluk Endo secara tidak sadar?),
tapi membuatku kembali kalang kabut saat di pagi hari, aku sudah memeluk lengan
Endo yang berdekatan denganku.
Kejadian
tadi malam membuatku mengerti beberapa hal, pertama, aikido membuat Endo sangat
kelelahan (selain terlihat sangat menawan juga, dengan semua keringat di
dadanya yang sempurna itu. Aakkss... pikiran apa ini?). Kedua, kelelahan
membuat Endo cepat mengantuk. Dan ketiga, mengantuk berarti cepat tidur yang
berarti aku bebas dari rayuan malam hari (itu membuatku lebih bisa bernafas
lega karena tidak perlu mengalami hati yang selalu bergejolak) . Hari apa
kemarin? Aku harus mencatatnya dan merayakan betapa tenangnya malam ketika hari
itu.
Dan
akhirnya sekarang aku sendiri di apartemen ini, bersiap untuk melakukan hobiku,
membersihkan rumah. Tadi pagi aku dan Endo sempat berdebat tentang teknis membersihkan
apartemen. Endo memaksaku untuk membiarkan jasa pembersih rumah yang selalu dia
sewa seminggu sekali, sementara aku memaksa untuk membersihkan apartemen ini
sendiri. Bagaimana bisa dia meminta orang lain membersihkan apartemen ini,
sementara aku juga tinggal di tempat ini. Itu sama saja penghinaan terhadap
hobiku (hobi yang membuatku terjerat dengan jebakan Tio juga Lea. Oh sial,
kenapa aku harus mengingat kedua orang itu lagi?), juga penghamburan uang.
Uang.
Aku
melirik kartu kredit yang Endo berikan kepadaku. Dia memperbolehkanku untuk
menggunakan kartu itu untuk berbelanja, tapi tidak memberiku uang cash sama sekali. Memangnya dia pikir
pasar mau menerima kartu kredit? Bahkan uang dengan nominal besar saja, mereka
kadang kesulitan memberikan kembaliannya, apalagi sebuah kartu kredit.
“Kalau
gitu, belanja di supermarket!” ingatanku kembali saat Endo mengatakan hal itu
tadi pagi.
Bagaimana
bisa membeli sayuran harus pergi ke supermarket? Sayuran jauh lebih segar di
pasar dan juga lebih murah. Apa dia tidak tahu kalau sayuran itu setelah
dipanen, langsung diantarkan ke pasar induk? Apa dia tidak tahu kalau harga
sayuran di supermarket bisa melonjak 2 sampai 3 kali lipat harga sayuran di
pasar? Aku kembali tidak habis pikir dengan semua pemikiran Endo. Apa dia pikir
uang bisa tinggal dipetik saja? kalau dia bisa begitu mudah memetik uang,
kenapa dia tidak merelakan saja uang 350 juta hutangku dan membebaskanku dari
semua permainan pernikahan ini. Aku terus mempertanyakan semua hal itu sembari
berusaha membuat apartemen ini jauh lebih baik.
Tak
terasa aku sudah selesai membersihkan semua sudut apartemen ini. Masih ingat
semua kata Diva tentang bagaimana kemampuanku untuk bebersih dan memasak
melampaui pemikiran. Aku bisa melakukan kedua hal itu bahkan tanpa berpikir,
menurut Diva. Bahkan kedua hal itu seakan meracuniku sekaligus membuatku
ketagihan. Membuatku terjebak dalam kegiatan membersihkan apartemen dan kos Lea
juga Tio.
Kampret!
Haruskah aku teringat mereka lagi?
Aku
harus berusaha lebih keras melupakan semua tentang Lea ataupun Tio dan mengalihkan
pikiranku dengan mulai mengaduk adonan kue kering. Kemarin apa kata Endo
mengenai selera kue-nya? Ah, dia tipe bebas, itu tipe yang tidak masalah dengan
semua jenis kue, sedangkan tipe terkekang adalah tipe yang sangat pemilih
dengan semua kandungan makanan. Diva awalnya tipe terkekang, tapi lama-lama dia
tidak mampu menolak semua rayuan kue kering yang kubuat. Aku kembali teringat
akan janji Diva yang akan datang mengunjungiku hari ini. Sebaiknya aku segera
bergegas membuat semua kue kering dan menyimpan bagian untuk Endo sebelum Diva
membawa semua kue buatanku.
Suara
bel saat semua adonan siap dipanggang sedikit mengagetkanku. Masih cukup pagi
dan Diva sudah datang? Kupikir dia masih harus berkeliling memberi terapi para pasiennya
dulu sebelum datang kemari. Sedikit bergegas aku berlari ke arah pintu masuk
dan membukakan pintunya. Seorang pria tersenyum sembari membawakan sebuket
besar bunga mawar di depanku. Apa lagi ini? Siapa pria ini?
“Betul
ini rumah mbak Rima?”
“Iya
saya sendiri,” jawabku bingung.
“Saya
mau memberikan bunga ini…”
“Maaf,
tapi saya sudah punya suami!” jawabku cepat sebelum pria itu menyelesaikan
omongannya.
Pria
itu terdiam, sedikit terlihat bingung kemudian tersenyum lebar sebelum akhirnya
berusaha menahan tawanya. Sepertinya aku kembali melakukan kesalahan kali ini.
“Ini
bukan dari saya mbak, saya cuma kurir.”
Betul
kan?
“Oh…
dari siapa kalau gitu?” tanyaku sembari berusaha menyembunyikan rasa malu.
“Ini
kartu ucapannya ada di dalam bunganya, dan tolong tanda tangan di sini,” jawab
pria itu sembari menyodorkan kertas, kemudian memberikan bunga itu kepadaku,
“Terimakasih!”
Pria
itu segera pergi setelah memerikanku buket besar mawar yang dia bawa. Buket ini
sangat besar dan membuaku kesulitan membawanya masuk. Setelah kuletakkan di
meja terdekat, aku mulai mengambil amplop kecil yang terselip di antara
kerumunan mawar yang mulai menyebarkan wangi. Amplop kecil berwarna putih
dengan kartu berwarna putih juga. Di dalamnya hanya ada tulisan tangan singkat,
Semoga hari ini menyenangkan,
Endo
Aku
tersipu malu membaca kartu kecil itu. Buket besar mawar itu memperlihatkan
tatanan mawar yang begitu banyak dan juga cantik. Apa Endo memilihnya sendiri?
Dimana dia membelinya? Kenapa dia memberiku sebuket mawar ini? Semua pertanyaan
itu silih berganti muncul di kepalaku. Hatiku terasa berdebar saat aku melihat
sekumpulan mawar itu. Membayangkan wajah Endo dan juga senyumannya yang selalu
muncul setiap saat bersamaku. Membayangkan semua sentuhannya dan itu membuat
tubuhku terasa tersengat arus listrik di tempat yang pernah dia sentuh.
****
“Pinter
ngerayu juga dia!” ujar Diva sambil terus mengunyah kue kering buatanku.
Aku
tersenyum menanggapi Diva. Diva membolak-balik kartu dari Endo dan
memberikannya kembali kepadaku. Sekali lagi Diva mencomot kue kering dari
toples dan mengunyahnya pelan. Dia mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan
terus mengunyah kue kering.
“Jadi
kalian sekarang sudah nikah beneran?” tanya Diva lagi.
“Maksudnya?”
tanyaku bingung.
Diva
menangkupkan jari dari kedua tangannya kemudian menyentuhkan ujungnya satu sama
lain beberapa kali. Membuatku teringat ejekan saat seseorang berciuman.
“Apaan
sih?” tanyaku sebal sambil menahan malu.
“Kamu
sudah tidur bareng sama dia kan?” tanya Diva.
“Aku
sama Endo tidur sekamar terus tiap malem, Di!”
“Kalian
sudah...,” Diva membisikkan ke telingaku sebuah kata dan itu membuatku sangat
malu. Bagaimana dia bisa bilang omongan seperti itu! Diva meringis
memperlihatkan barisan gigi putihnya.
“Jangan
bohong, tadi aku lihat ke tempat cucianmu, dan lihat ada lingerie seksi
gelantungan di sana! Wowowow, gak nyangka deh Rima bisa pakai baju kayak gitu!”
lanjut Diva menggoda.
Sialan!
Aku
lupa menyimpan lingerie yang Endo beli kemarin. Semua itu membuat Diva meringis
mengejekku dan tidak percaya saat aku mengatakan belum pernah memakai lingerie
itu.
“Lagian
kalian dah nikah. Sah lagi Rim kalau kamu ngelakuin itu! Dengan atau tanpa
lingerie. Wowowow, tapi lingerie itu hot banget ya!” balas Diva.
Betapa
aku benci kata ‘wowowow’ itu. Rasanya aku sanggup mencekoki mulut Diva dengan
semua kue kering yang ada di toples. Kalau perlu sekalian dengan toplesnya. Aku
mengambil nafas dan berusaha menetralkan hawa membunuhku itu. Karena kalau itu
terjadi, sebelum aku memasukkan kue kering ke dua di mulut Diva, toples itu
sudah terlebih dahulu menyumpal di mulutku
“Di,
itu semua nggak mungkin!”
“Kenapa?”
tanya Diva penasaran.
Aku
menghela nafas dan melemparkan pandanganku ke buket besar mawar di meja.
“Aku
nggak mungkin bisa sama Endo. Endo nggak suka sama aku, Di!”
“Teori
sapa lagi tuh?”
“Mana
mungkin suka, Di! Kamu lihat deh semua cewek yang tiba-tiba jadi penggemar dia.
Waktu SMA, waktu latihan karate dulu, trus waktu kemarin di tempat fitnes. Dia
nggak mungkin suka aku, Di,”
“Mulai
lagi! Kalau dia nggak suka kamu, kenapa dia maksa merit sama kamu? Kalau kamu
bukan tipenya, buat apa dia tetep minta kamu jadi istrinya padahal kalian gak
ketemu selama 10 tahun? Kalau kamu nggak suka sama dia, kenapa nggak manfaatin
keadaan ini sekalian buat porotin Endo?”
“Itu
gara-gara rasa bersalah dia aja mungkin, Di. Gara-gara dulu penggemar dia pernah
ganggu aku! Lagian kenapa masalah morotin itu muncul lagi? Kamu nonton film apa
sih, Di?” tanyaku sebal.
“Teori
darimana tuh?”
Aku
melotot mendengar Diva.
“Teori
dari Hongkong! Intinya, aku nggak boleh jatuh cinta atau berharap sama Endo!”
Diva menghela
nafas keras. Dia menoyor kepalaku keras setelah itu. Membuatku terkejut dan
juga kesakitan.
“Itu
cuma alasan kamu buat lari dari rasa tidak percaya diri aja! Kamu nggak pede
deket sama Endo, kamu nggak pede buat nerima semua perhatian Endo, yang paling
penting, kamu nggak pede buat mengakui kalau kamu juga suka banget sama Endo!”
“Diva!”
sentakku memprotes.
“Semua
itu diperparah sama pengalamanmu sama Tio kemarin. Cowok gak jelas itu dah
bikin pede-mu yang jauh di bawah standar aman, semakin jatuh!”
Aku
cemberut mendengar semua omongan Diva, tapi hati kecilku berteriak
menyetujuinya. Apa benar aku sebenarnya sudah menyukai Endo? Kenapa Tio harus
muncul lagi di pembicaraan kali ini?
Kampret!
****
“Kamu
kenapa?”
Aku
terkejut mendengar pertanyaan Endo. Endo melihatku keheranan kemudian menyentuh
lembut pipiku (dan itu memuat jantungku berlari marathon lagi. Lama-lama
jantungku bisa punya perut sixpack kalau terus menerus harus berolah raga
seperti ini). Dia mengerutkan keningnya saat melihatku.
“Aku
nggak apa-apa kok!” jawabku yang terpaku tak bisa bergerak saat dia menyentuh
pipiku, “memangnya kenapa?”
Endo
tersenyum kemudian berbalik dan mengambil gelasnya yang terisi separuh air.
“Enggak,
cuma bingung aja dilihat kayak gitu sama kamu. Nggak biasanya,” jawabnya sambil
meminum airnya dengan melirik ke arahku.
Aku
berkedip, tersadar bahwa aku memang terus melihat ke arahnya semenjak dia
pulang beberapa menit yang lalu. Ini semua gara-gara Diva bicara hal-hal aneh
tadi siang, dan akhirnya sekarang tanpa sadar aku mencari-cari jawaban dari
sosok Endo. Wajahku terasa memerah dan itu membuatku kembali menjadi salah
tingkah di depan Endo.
Beberapa
hari ini sepertinya mataku mulai menjadi antek dari hati kecilku. Aku selalu
menemukan semua sisi menawan Endo dari setiap saat. Mulai saat dia bangun
tidur, sebelum tidur, selesai olah raga, selesai mandi (sosok ini yang paling
membuatku berdebar hingga rasanya dadaku mau meledak. Bayangan aku mendorong
Endo dan menindihnya di atas ranjang selalu datang saat sosok ini muncul.
Haish… hati kecilku mulai lagi berusaha mencuci otakku!), dan juga saat
merokok.
“Rokok.”
Endo
yang sedang duduk di sofa menoleh cepat ke arahku dan kemudian terlihat mencium
bajunya.
“Maaf,
aku bau rokok?” tanyanya cemas.
“Enggak,
maaf cuma bingung aja,” jawabku cepat karena tanpa sadar aku mulai mengucapkan
kata-kata yang ada di pikiranku, “Kamu bukannya merokok?”
Endo
tersenyum kemudian bersandar santai di sofa.
“Aku
merokok di kantor. Kalau di rumah, nanti takut kamu keganggu. Lagian aku juga
mau ngurangi rokok kok,” jawabnya sambil mulai memejamkan matanya.
Aku
tersipu mendengar jawaban Endo. Kata-kata Diva kembali terdengar
bersahut-sahutan di kepalaku. Membuatku merasa makin tersipu dan tanpa sadar sudah
duduk di sebelah Endo (astaga, siapa yang menggerakkan kakiku?). Bau parfum
Endo tercium, tercampur dengan bau rokok yang samar-samar muncul. Aku bisa
melihat lengannya yang kuat menyembul di balik lengan bajunya yang tergulung.
Tanganku menarik pelan lengan bajunya dan itu membuat Endo menoleh ke arahku
dengan mata yang masih separuh mengantuk.
“Anu…
makasih bunganya,” ujarku tersipu.
Dia
tersenyum, selalu tersenyum dan membuat hatiku serasa melambung.
“Kamu
suka?” tanyanya yang ku jawab dengan anggukan.
Endo
melebarkan lengannya hingga ke belakang tubuhku, kemudian merengkuhku cepat dan
memberiku ciuman di kening. Membuat jantungku hampir meledak kembali. Rasanya,
setiap berdekatan dengan Endo, suplai oksigen ke otakku terlalu lancar dengan
cara kerja jantungku yang seperti ini.
“Boleh
aku minta balasannya nanti malam?” bisik Endo.
“Apa?”
tanyaku serasa terhipnotis suara Endo.
“Kamu.”
Aku
langsung berdiri dan kabur menuju dapur. Berdiri ketakutan di sana dan
menyumpahi hati kecilku yang memprotes tindakanku (sedikit lagi hati kecilku
akan menguasai bibirku untuk mengatakan, “aku siap, ganteng.”). Aku bisa
merasakan wajahku memerah panas karena sangat malu. Sementara Endo terlihat
tertawa terbahak di sofa melihat semua tingkahku.
“Mandi
aja sana!” teriakku sebal melihatnya tertawa.
“Mau
nemani?”
IYA!
“NGGAK!”
teriakku.
Endo
kembali terbahak dan masuk ke dalam kamar. Aku mengambil nafas lega saat Endo
sudah memasuki kamar. Setidaknya semua godaan berbahaya itu menghilang
sementara dari mataku. Aku memilih untuk berdiam sementara waktu di dapur,
menunggu Endo mandi dan mengganti bajunya sebelum masuk ke dalam kamar untuk
bersiap mandi sore. Sembari menunggu aku mulai memasukkan satu persatu kue
kering yang tadi siang kupanggang untuk Endo ke dalam toples. Tiba-tiba hatiku
terasa tidak tenang. Cukup lama aku berpikir apa penyebabnya, hingga akhirnya
aku tersadar.
Sialan,
aku lupa!
Aku
segera berlari menuju kamar, berharap apa yang kubayangkan tidak terjadi.
Berharap Endo melewatkannya dan tidak menemukan apapun. Tapi semua pikiranku
salah. Di dalam kamar, aku melihat sosok Endo yang baru saja selesai mandi
mengenakan celana panjang kainnya. Rambutnya yang basah masih meneteskan air
dan otot punggungnya yang indah, ter-ekspos terang-terangan tanpa ada yang
menutupi. Dia berdiri menatap tumpukan baju yang sudah kusetrika tadi siang.
Aku yakin dia tidak menatap tumpukan baju itu. Dia menatap salah satunya!
Endo
melihat ke arahku yang masih terengah-engah di pintu kamar. Dia tersenyum nakal
kemudian mengambil benda yang sedari tadi menjadi fokus perhatiannya. Dengan
perlahan dia datang ke arahku kemudian mencocokkan baju di tangannya, di
tubuhku.
“Nggak
sabar lihat kamu pakai ini nanti malam,” ujarnya sembari meletakkan baju itu di
tanganku kemudian mencium pipiku cepat.
Dengan
masih bertelanjang dada, dia berjalan ke dapur dan sepertinya menemukan kue
kering buatanku. Aku sudah tidak mampu merespon teriakannya yang memuji kue
kering buatanku karena terpaku menatap baju di tanganku. Mati-matian aku
mensugesti diriku sendiri sembari melihat benda di tanganku.
“Ini
bukan baju…ini bukan baju…” bisikku kepada hati kecilku yang kegirangan.
INI
LINGERIE!!!
****
Endo
melihatku bingung malam ini. Kami berdua sudah berada di ranjang dan masih
menonton acara televisi kesukaanku (apalagi kalau bukan sinetron). Mata Endo
melihat bingung ke arahku dan tak sekalipun melihat ke televisi. Apa yang dia
harapkan? Aku memakai jala ikan itu di tubuhku? Sampai di alam mimpi juga aku
tak akan memakainya.
“Kenapa?”
tanya Endo heran ketika aku menolak memakai lingerie yang dia belikan.
“Itu
bukan pakaian, Ndo!”
“Itu
baju tidur,” jawab Endo.
Sebut
pakaian tidur kalau dia terbuat dari kain katun atau sutra dan biasanya terdiri
dari atasan dan bawahan. Kalau dia berbentuk rok, maka sebut itu daster. Tapi
lingerie menerawang, bukanlah pakaian tidur. Itu adalah pakaian awal untuk
melakukan @#&* (lihat, bahkan aku tak mampu mengucapkan satu kata itu
biarpun dalam hati!). Endo terlihat sangat berharap dan meihatku dengan tatapan
sayu.
“Kalau
kamu mau, pakai saja sendiri!” protesku kesal.
Endo
membelalakkan matanya yang berwarna kelabu dan terlihat kebingungan menjawabku.
Kalau memang dia mau, maka lebih baik dia sendiri yang memakainya (dan aku
tidak yakin, akan tertawa atau malah terbius melihat tubuhnya yang sempurna
terlihat di balik lingerie itu.
“Baiklah,
dengan satu syarat!”
Hah,
apa?!
Aku
menelan ludah getir mendengar dia mengatakan hal itu. Endo mau memakai lingerie
malam ini? Apapun syaratnya, itu kedengaran lucu. Terlintas ide konyol di
kepalaku untuk menyetujui syaratnya.
“Apa?”
tanyaku sembari berusaha menahan tawa yang mau keluar.
Seringai
itu lagi dan muncul perasaan menyesal di hatiku. Senyumku langsung menguap
karena panik. Pasti sesuatu yang buruk mau muncul.
“Malam
ini kita berdua ngelakuin %^&*…”
Sebelum
sempat kalimat Endo selesai, aku sudah memukul wajahnya dengan bantal. Apa
kubilang, membuat kesepakatan dengan Endo itu berarti buruk. Telingaku
berdenging ketika mendengar kata terakhir yang dia ucapkan. Kata-kata yang
selalu sukses membuatku tak mampu mengulanginya lagi. Sekali lagi, bukannya sok
suci, tapi sampai di umurku yang sudah hampir kepala tiga beberapa tahun lagi,
aku sama sekali belum pernah menonton film bokep. Endo meringis memegang
wajahnya dan itu membuatku merasa bersalah.
“Maaf,
kamu nggak apa-apa? Tolong jangan bilang kata-kata itu lagi di depanku,”
tanyaku panik.
“Kata
apa?”
“S….
itu!”
“S…
apa?”
“Ya yang
itu! Jangan dibahas lagi bisa?”
“Maksud
kamu, Se*$?”
Sekali
lagi telingaku berdenging seakan secara otomatis menyensor perkataan Endo. Endo
tertawa terbahak melihat wajahku yang memerah setelah mendengar kata-kata itu
(mau gimana lagi? Itu terasa tabu bagiku! Biarpun memalukan setua ini masih
belum mengerti tentang *^&^ itu!).
Endo mendekatkan wajahnya ke wajahku dan mulai berbisik (oh, aku benci bisikan
darinya! Itu menghancurkan lakban yang dengan susah payah kurekatkan di mulut
hati kecilku).
“Seks
bagi kita sekarang itu legal, Sayang,” ujarnya berbisik di telingaku.
Darahku
terasa mendidih ketika kata-kata itu terdengar jelas di telingaku dan tanpa ada
sensoran sama sekali karena terlalu mendadak. Kata-kata itu membuat seluruh
tubuhku terasa kaku tak mampu bergerak. Bahkan ketika Endo mulai mencium
leherku dan terus menjalar ke bibirku. Melumat bibirku perlahan dengan bibirnya
yang terasa begitu lembut. Saar-samar aku merasakan rasa mint dari odol dan
juga sedikit bau tembakau di hidungku. Pelan bisa kurasakan lidahnya menelusup
ke dalam bibirku dan aku sangat menikmati semua itu. Dia mendorongku lembut
hingga aku tertidur di bawahnya yang masih terus mencium leherku kembali (aku
bisa merasakan tali yang kuikatkan kuat di tubuh hati kecilku terlepas dan dia
kembali menari salsa). Tubuhnya secara perlahan menekan tubuhku yang terbaring
di bawahnya. Aku merasa sangat menikmatinya. Semua sentuhannya itu begitu
terasa menyenangkan bagiku dan membuat seluruh ototku terasa jauh lebih rileks.
Dan ketika aku merasakan sesuatu yang menonjol menusuk pahaku, kesadaranku
kembali dan mengambil alih seluruh syarafku. Secara reflek kakiku menekuk dan
menendang perut Endo hingga dia terpelanting ke pinggir ranjang.
Apa
yang kulakukan?!
“Maaf,
itu otomatis!” teriakku panik, terutama setelah melihatnya memegang perutnya
yang baru saja kutendang.
Aku memegang
lengan Endo dan berharap dia baik-baik saja. Semua itu terjadi cepat dan sangat
refleks. Bagaimana bisa aku menendang pria ini begitu keras? Endo tersenyum
sembari mengusap perutnya (aku bisa merasakan perutnya begitu keras. Terbuat
dari apa otot pria ini? Kawat baja?). Dia mendekatiku kembali dan mengusap
rambutku.
“Kita
bisa ulangi lagi dari awal?”
Apanya
yang dari awal? Tidak bisa, ini tidak boleh terjadi (dan diam kau hati kecil!
Aku masih punya banyak persediaan lakban untuk menutup mulutmu yang terus
protes itu!).
“Gawat,
ini sudah malam! Kamu bisa terlambat besok. Selamat tidur!” aku berteriak panik
kemudian segera tidur dan menutup tubuhku dengan selimut sampai di atas kepala.
Bisa
kurasakan Endo merebahkan dirinya di sampingku dan mulai tertidur tak lama
kemudian. Suara dengkurannya yang halus menandakan dia sudah berada di alam
mimpi. Aku menarik nafas lega, walaupun jantungku masih terus berdetak kencang.
Kemudian semua rasa nyeri muncul di dadaku ketika mengingat kejadian barusan.
Rasa
apa ini?
****
wakakakaka......yah gagal uhuk2 lagi, thanks mbk ike :)
BalasHapusdirimu iki bahagia apa kecewa ne? wakakakakakakak
HapusHuaaaaaa,,, Rimaaaa jahaatttt.. Knp Endo ditendaaanggggg??? *pukul2 rima*
BalasHapusKasihan khn Endoooo,, *peluk Endo*
Aiiihhhhh,,Mba Ikeeeee knp bataaallllll??? Hukz,,hukz...
Mksh Mba Ikeeee(wlw g ikhlas krn gatot,,xixixi)
:D
tanya tuh Rima, cogan kok di tendang. ekekekekekekekeekek
HapusNmbah mbak!!!
BalasHapusKentang bgt sih..:'(
Kn ntar mau lburan, mkany post skrg aj.. Yah?:(
Pleaseeee:(:'(
wekekekekekeekk... bisa-bisa kalo aplot sekarang cuma tulisan BAB 10 aja mbak. wekekekekekeek....
Hapus*ketika liburan jadi alesan kehabisan ide. wakakakakakakak...
mbaakkk... ayooo bikin cerpen lagi. atau sekalian cerber...kangen bacanya lagiiii
Eh, ak ga prnah bwt crita mbak..x_x
HapusAk editor.. Hehehe
Slah org ni kykny..:P
Yg bkin cerpen ntu mba meyke,mba baskom slh org,wakakakakka
HapusWakakakakakakak =))=))=))
HapusHihihihi
wakkkksss...akuuuhhh maaaaluuuuuu....
Hapuswakakakakakakakakakak...
mbak, kalo gitu sekalian dung gimana cerita ini dari pandangan seorang editor.
ecileeehhhhh gaya beneeerrrrrrrr
Bgus dong pstiny.. Mkany mnta nmbah.. Xixixi
HapusTpi kn editor krjaanny prbaikin naskah.. Hahaha.. Kyk pnyny mbak santhy gtuu.. Hahaha
Ah rima aq kuciwa sama kau (logat batak bah aq ngomong)
BalasHapusSlahin mba ike aj deh,coz dy yg yg bkin crita,jd slahin dy aj G̲̮̲̅͡åк̲̮̲̅͡ jdi2 MLnya *toyor nong
Wakakakakaka
Thks mba ike :p
bah, kenapa pula kao kuciwa sama Rima. Itu perempuan pemalu.. adodo...wekekekekekekeek
Hapus*toyor nene juga
Jiaaaahhh mba Ike kok gatot sih???
BalasHapusKentang banget...
We want more we want more
*bawaspandukmuterinHI
Astaga, Rima Rima parah bgt nih ahh sifat kurang pedenya...
Jaim tuh, padahal udh mau juga kan??
Cinta juga sama Endo...
wekekekekeekeekeek
Hapusgak papa kentang.
lumayan buat sop-sop-an
wekekekekekekekek
Wakakakak, Rima, lucuuuuuu banged sihhhh.....si Endo nya dibawa sini aja deh kalo gak mau, wkwkkwwkw
BalasHapusboleh-boleh. ongkir tanggung costumer ya... wekekekeekekek
Hapushmm..antara dua nih.. Jengrik yang takut menggamblangkan prosesi "ehem-ehemnya" atau emg di KK pure hanya sebatas cipokan dan g sampe belah duren binti jebol gawang...wkwkwkwk..
BalasHapusKabuuurrr aahh,,sblum dtagih masalah yg kmren..wkwwkwwk
weksss....
Hapuseke jadi inget lagi!
POTO..POTO...POTO....!!!
*Demo
*balas DEMO :
HapusKasiin dulu bab "uhuk-uhuknya" baru aq kirimin potonya..
Gimana??? Adil kan aq?? :smirk
rimaaaa kl nggak mau Endo kirim ke aku aja barang bagus kok ditolak hheheheheh ^ ^
BalasHapuswaaa... ini minta kirim juga...
Hapuswekekekekekekekk
kentang mbaaaa!! huhu. kasian banget Endo ditendang gitu..buat aku ajalah Endo nya kalo Rima nolak muluu haha
BalasHapusKaphannn posstttiingggaannn bbabbb 11 nyahhhh???T___T
BalasHapusJengrik @ Ane pesen Part eleven ya... Puhlisssss :)) .. Abiz liburan kudu ada ide yg LBH hot ya hahaa ... Wkwkwkk makasih jengrik :D
BalasHapusmbak....
BalasHapuskangen Endo,kpn lanjutannya? hehe...
mbak bab 11 dan seterus nya manaa???????????//
BalasHapusmau mbakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk hikssssssssssssssssssssssss(menangis semlman).................................
Endo tidur panjang G̲̮̲̅͡åк̲̮̲̅͡ bangun2....jd blm bs crita dy :p
BalasHapusHahaha...
BalasHapus