Beberapa
waktu yang lalu eke ngobrolin soal film sama temen-temen eke di wassap.
Akhirnya pembicaraan ngebahas soal film drama haru biru yang pernah eke
tonton. Ini genre yang paling jarang eke tonton selama ini karena :1) eke paling benci pilem yang bisa bikin mewek karena itu bisa ngerusak mood eke seharian dan bikin rasa 'kebelet' itu dateng lagi ; 2) eke lebih suka film eksyen yang tembak langsung mati,atau hajar langsung tumbang, sama film komedi (kartun masuk di dalem sini). Balik lagi sama film drama haru biru yang eke tonton, filmnya itu judunya Moment to Remember, film Korea yng terkenal bikin cowok aja bisa nangis (tapi suami eke selamet dari kutukan itu). Resensi filmnya bisa dicari di mbah gugel yaw..Eke sendiri, setelah 3 kali nonton, masih aja mewek bombay habis nonton pilem ini. Bener-bener pilem bagus yang so kampret!
Tapi semalem eke nonton film bagus yang judulnya The Guardian.
om kepin masih ganteng aje dari maen pilem the bodyguard. duh mana dagu si ashton kayak di belah kampak gitu! mantaaaappp... |
Kalau aja jari kaki eke bisa nekuk sambil nyisain jempolnya aja, eke bakal kasih tuh pilem, ancungan jempol tangan dan kaki
buat filem ini. satu hal yang bisa eke ambil dari film ini itu jangan
pernah nyerah dan total dalam passion-mu. itu bikin eke mikir lagi kalo
selama ini eke masih setengah-setengah dalam ngelakuin segala hal.
sementara di film itu, tokoh utamanya total dalam pekerjaan yang dia
sukai dan rela mengorbankan jiwa raganya di sana.
karena itu eke aplot bab 4, soalnya habis nonton tuh pilem, semangat nulis eke langsung meluap-luap. berterimakasihlah sama om Kevin Costner yang sudah nemenin dini hari eke (juga si ganteng Ashton Kutcher se...wekekekekeekekekekekeek). sayang merek gak punya G+. kalo punya, dah eke colek di blog ek... wakakakakakakakakakakakk ...
NGIMPI!!!!
BAB 4
RIMA
Mataku
bengkak, sangat bengkak hingga sedikit sulit membuatnya terbuka. Semenjak aku
menemukan Tio berselingkuh dengan sahabatku sendiri (mantan…mantan sahabat),
Lea, aku selalu menangis dan terus
menangis selama dua hari ini. Ayah mengamuk dan berjanji akan membunuh Tio
kalau dia berani muncul di hadapanku lagi (aku menangis lebih kencang
membayangkan hal itu. Bisakah Ayah menghiburku dengan cara selain itu?).
Aku
turun dari atas ranjangku dan menggapai tasku di atas meja. Mengeluarkan ponsel
yang kumatikan semenjak 2 hari yang lalu setelah aku pulang dari apartemen Lea.
Tombol power ponselku menyala ketika
aku menekannya, tak lama ponselku berkedip kemudian mulai hidup dan menerima
beberapa pesan.
Aku
melihat pesan-pesan yang menunjukkan panggilan masuk saat ponselku mati.
Beberapa panggilan dari Diva membuatku bergidik ngeri. Sepertinya dia sudah
tahu akan keadaanku. Aku bisa membayangkan kemarahan di wajah cantiknya yang
judes. Kemudian membayangkan dia menyumpahi Tio dan Lea (untuk hal ini, Diva
adalah juaranya). Kemudian beberapa panggilan dari Tio dan juga Lea membuatku
mendengus keras. Mau apa lagi dua pengkhianat ini? Aku berusaha menguasai
diriku agar tak menangis kembali. Hingga kulihat satu panggilan dari nomer yang
tak kukenal sama sekali. Sebuah nomer yang tak tercatat di phonebook ponselku. Membuatku teringat sesuatu dan segera
membongkar tasku kembali.
Ketemu!
Kartu
nama milik Endo hampir kulupakan semenjak aku menerimanya. Kartu nama itu
terlihat sederhana dengan warna biru dan merah yang saling mendominasi satu
sama lain. Nama Endo tercetak jelas di tengah kartu nama itu lengkap dengan
jabatannya.
Endo Akbar Widjaya
Komisaris Utama/Chairman Widjaya Group
Astaga!
Aku
mencoba menghitung usia Endo, seharusnya dia hanya lebih tua 2 atau 3 tahun di
atasku. Kalau usiaku saat ini 25 tahun, seharusnya Endo baru berusia 27 atau 28
tahun. Astaga! Astaga...astaga…astaga! Dia menjadi komisaris utama di usia yang
masih sangat muda! Aku melihat kembali jejeran nomer yang tertera di kartu
namanya dan mencocokkan nomer itu dengan yang tertera di ponselku.
Nomer
yang berbeda!
Sedikit
kecewa aku menghela nafas. Kulihat jas Endo yang tersampir di kursi kamarku.
Jas itu tanpa sadar terbawa olehku ketika aku turun dari mobil Endo. Kuambil
jas itu dan merengkuhnya dalam pelukanku. Bau rokok tercium samar-samar bersama
bau parfum dari jas itu. Apa sekarang Endo merokok? Aku kembali teringat masa
SMA-ku. Awal aku bertemu dengan Endo membuat jantungku berdebar keras. Apalagi
ketika dia duduk satu bangku bersamaku dan Diva ketika rapat acara sekolah. Itu
kali pertama aku melihatnya dalam jarak begitu dekat. Wajahnya jauh terlihat
tampan di jarak sedekat itu. hidungnya yang mancung, matanya yang kelabu dan
juga bibirnya yang seksi (jangan memperolokku! Setiap wanita normal pasti
mengharapkan bibir se-seksi itu untuk mencium mereka! Itu reaksi normal, sangat
normal!) Sayang, sifat pemaluku terlalu mendominasi dan itu membuatku memilih
untuk pergi dan duduk menjauh darinya.
Aku
tersenyum mengingat itu dan merasakan debaran kala SMA kembali muncul di
dadaku. Debaran itu jauh lebih keras saat Endo menyapaku untuk pertama kalinya.
Sapaan yang membuatku seakan melayang (semua cewek, kecuali Diva, akan melayang
kalau seseorang setampan Endo menyapanya ketika SMA). Kemudian debaran itu bertahan
ketika Endo mengajakku mengobrol dan mulai menghilang ketika penggemar Endo
datang melabrakku (aku baru tahu betapa ganasnya rasa suka penggemar pada
idolanya saat itu). Debaran itu benar-benar menghilang ketika Endo pergi dan
tak pernah menghubungiku sama sekali dan kembali muncul dua hari yang lalu saat
aku melihat Endo kembali.
Otakku
berusaha membandingkan sosok SMA Endo dengan sosoknya saat dua hari yang lalu.
Dia tak banyak berubah. Masih tetap tampan, lebih tegap dan mungkin lebih
seksi. Aku menelan ludah ketika memikirkan hal yang satu itu. Kugeletakkan jas
milik Endo di ranjang dan kusambar handukku di gantungan. Berharap setelah
mandi aku bisa menjernihkan pikiranku dari semua pikiranku yang aneh.
****
“Kenapa?”
Eni
tampak resah menungguku keluar dari kamar mandi. Dia terlihat kebingungan untuk
menyampaikan sesuatu.
“Non,
cepet keluar deh. Bahaya! Denjeres!” ujarnya panik
“Denjeres
apaan?”
“Bahaya,
Non…Bahaya! Duuuhhh… Si Bapak didatengin tukang tagih utang!”
“Hah!”
teriakku keras.
Aku
terperanjat dan segera berlari menemui Ayah. Setelah berlari mengelilingi rumah
kemudian aku kembali menemui Eni.
“Ayah dimana,
En?”
“Buset
dah, kirain muter-muter tadi sudah tau si Bapak dimana!”
“Ya elah,
panik, En…panik! Cepetan bilang!”
“Di
kantor toko, Non!”
Aku
berlari segera ke toko tanpa memperdulikan teriakan Eni. Bagaimana bisa aku
lupa akan hari ini? Hari dimana toko kami harus membayar semua hutang pada
perusahaan konveksi. Semua masalah seakan datang bertubi-tubi menghampiriku.
Mulai dari hutang, juga pengkhianatan dua orang yang dekat denganku. Saat ini
aku membayangkan Ayah sedang berhadapan dengan pria tinggi besar bertampang
sangar dan membawa surat tagih (kebanyakan debt
collector di sinetron yang kutonton di televisi selalu bertampang seperti
itu). Aku terus berlari tanpa memperdulikan panggilan semua orang yang bertemu
denganku.
“Jangan
sakiti Ayah!” teriakku sambil membuka pintu kantor.
Aku
melihat Ayah duduk di kursinya tanpa ada luka sedikitpun dan itu membuatku
sedikit lega. Nafasku masih tak beraturan karena efek berlari secepat kilat
tadi. Kemudian aku melihat sekeliling untuk mencari debt collector yang datang menagih Ayah. Alih-alih pria besar nan
sangar, aku melihat pria-pria berpakaian necis, dan satu dari 3 orang pria itu
sepertinya kukenal. Pria itu terkekeh melihatku datang dan aku mulai
mengenalinya.
“Endo?”
tanyaku heran.
Ayah
berdiri menatapku panik kemudian separuh berlari mendekat kearahku. Dia
mendorongku keluar dari ruangan.
“Apa
yang Ayah lakukan. Aku harus bersama Ayah, karena ini tanggung jawabku juga!”
bisikku marah ketika Ayah mendorongku keluar.
“Ayah
tahu!” jawab Ayah juga berbisik, ”Tapi ganti dulu pakaianmu dan lepaskan
handukmu itu!”
Aku
berusaha menangkap perkataan Ayah baik-baik. Ayah melirik ke atas kepalaku dan
juga pakaianku. Aku kemudian tersadar apa maksud omongan Ayah barusan. Karena
panik, aku lupa masih memakai handuk di kepala dan juga kimono mandiku,
kemudian berlari pontang- panting ke sini. Pantas saja Endo bertingkah seperti
itu tadi di hadapanku. Tak butuh waktu lama untuk membuat seluruh toko mendenga
teriakanku yang berlari dari kantor Ayah menuju kamar, menahan malu yang
terlambat datang.
****
Kalau
saja ini bukan urusan yang sangat pelik, aku lebih memilih mengurung diriku di
kamar dan menghilang dari pandangan semua orang untuk beberapa peradaban
(paling tidak sampai sejarah Rima Chandrawati berlari dengan kimono mandi dan
handuk yang membungkus kepala menghilang dari cerita tidur anak cucuku). Bisa
kurasakan wajahku memerah dan udara di dalam kantor menjadi sangat berat ketika
aku masuk. Bukan hanya karena tekanan hutang yang terjadi, tapi juga karena
rasa malu yang baru saja kuterima.
Aku
duduk di sebelah Ayah kemudian melirik menatap satu persatu wajah-wajah pria di
hadapanku, terutama Endo. Dia masih terlihat berusaha menahan tawa setiap kali
melihatku (sungguh, itu sangat memalukan. Kalau aku boleh memilih kejadian
paling memalukan dalam hidupku, maka ini adalah urutan pertama…err…setelah aku
ketahuan menabrak tiang karena menatap Endo ketika masih SMA. Lihat, dia selalu
menjadi obyek yang membuatku mempermalukan diriku sendiri!). Aku berusaha tidak
mengindahkan raut wajah geli Endo (dan itu sulit, mengingat aku pernah
mengidolakannya) dan berusaha fokus dalam pembicaraan ini.
“Pak
Bimo, terlepas dari apapun alasan anda, semua surat ini memiliki tanda tangan
anda di atasnya, dan itu sah menurut hukum. Anda wajib membayar semua kerugian
akibat kontrak yang gagal itu!” ujar salah seorang dari para pria itu. Dia
membetulkan kacamatanya yang menempel di hidungnya yang berminyak. Rambutnya
hampir botak,entahlah, mungkin karena terlalu banyak memikirkan segala masalah.
“Saya
tahu dan saya akan membayarnya. Yang saya minta hanya perpanjangan waktu,”
jawab Ayah.
Pria
berkacamata itu bergidik ngeri ketika Ayah mengatakan hal itu. Sepertinya dia
juga ketakutan menghadapi Ayah yang terlihat jauh lebih sangar kali ini (itu
semua karena rasa panik yang membuat kedua alis tebal Ayah bertaut di tengah
keningnya). Dia beberapa kali menghapus keringat yang menetes di dahinya. Entah
kenapa aku melihat pria ini seakan mendapat tekanan yang berat dari beberapa
pihak di ruangan ini. Dan apa yang dilakukan Endo di sini? Aku baru tersadar
akan pertanyaan itu. Mau apa dia di sini bersama dengan para pria ini?
“Kemana
saja anda selama ini? Kenapa anda bisa begitu cerobohnya melakukan pelanggaran
kontrak pada perusahaan kami! Kenapa juga kami harus mau bersusah payah
menunggu Anda sementara kami bisa menyita toko bobrok ini?”
BRUAK…
Sebuah
pukulan keras dari atas meja menghentikan ocehan kurang ajar si kacamata. Ayah
terlihat sangat marah sampai-sampai dia
tak mampu menahan emosinya. Aku sama sekali tak keberatan kalau saja
Ayah lepas kendali dan menghajar pria iu (dan aku akan menjadi pemandu sorak
yang menyemangati Ayah). Seenaknya saja dia mengatakan bahwa toko kami bobrok.
Bahkan aku tidak yakin dia mampu membangun toko seperti ini seperti Ayah dan
Bunda dulu. Pria itu kembali mengusap keringat dinginnya yang mengalir.
Ketakutan kembali muncul di raut wajahnya.
“Silahkan
minum teh-nya!” ujar Ayah geram berusaha mencairkan suasana yang cukup tegang.
Pria
berkacamata itu mengangkat cangkir tehnya dengan gemetaran, sementara Endo dan seorang
pria yang lainnya tampak tenang meminum teh yang disediakan. Aku baru tersadar,
satu-satunya orang yang tidak mendapatkan cangkir teh di ruangan ini hanyalah
aku. Ayah sendiri sudah menenggak habis teh yang tersedia untuknya. Tiba-tiba
rasa haus muncul di tenggorokanku ketika melihat semua orang minum dari cangkir
yang disediakan.
“Ini
teh yang sangat enak,” ujar Endo tiba-tiba dan itu membuatku terkejut dia
tersenyum sembari meletakkan cangkirnya ke atas meja.
“Terimakasih,”
jawab Ayah singkat.
“Kami
minta pembayaran itu sekarang!” tiba-tiba si kacamata berteriak seakan semua
keberaniannya sudah terkumpul setelah meminum teh miliknya. Membuat kami semua
sungguh terkejut.
“Tapi
kami tak memiliki uang sebanyak itu sekarang!” jawabku berusaha melawan.
“Kalau
begitu, silahkan kalian bersiap kehilangan toko ini! Perusahaan kami akan…”
“Stop!”
sebuah teguran singkat membuat si kacamata menghentikan pidatonya yang
berapi-api.
Endo
tampak menunjukkan raut tidak senang dan itu membuat si kacamata berkeringat
semakin banyak. Sekarang aku tahu darimana asal ketakutan si kacamata. Bukan
dari Ayah yang terlihat lebih kejam daripada biasanya, (apalagi aku yang baru
saja melakukan tindakan yang memalukan) tapi dari Endo.
“Lukas,
tolong antar Pak Hendra keluar dan tolng tinggalkan semua berkas-berkas itu.
Mulai saat ini, masalah ini langsung kutangani sendiri,” ujar Endo yang membuat
pria di sebelahnya segera bergerak mengantarkan si kacamata kelar dari ruangan
ini. Tak lama orang yang bernama Lukas itu kembali dan duduk di sebelah Endo.
Endo
mengambil semua berkas yang tergeletak di atas meja, kemudian menelitinya satu
persatu. Dia tampak membaca semua berkas itu dengan seksama sebelum
meletakkannya kembali ke meja. Aku dan Ayah seakan terhipnotis dengan semua tingkahnya
dan tak sanggup melepaskan mata kami dari pesona Endo. Endo tersenyum menatapku
dan Ayah kemudian menjulurkan tangannya ke arah Ayah. Membuat kami sedikit
kebingungan
“Maafkan
ketidak sopanan saya, saya Endo Akbar Widjaya, pemilik grup Widjaya yang salah
satunya adalah perusahaan konveksi ini.”
APA?
Aku
menelan ludah getir, menatap sosok Endo. Sementara Ayah dengan sedikit ragu
(juga gugup) menerima jabatan tangan dari Endo. Jadi Endo secara tidak langsung
adalah pemilik dari perusahaan koneksi yang menyusahkan ini. Aku menatap Endo
seakan tak percaya. Pria yang dulu kukenal ketika masih SMA adalah seorang
pengusaha sukses saat ini. Tiba-tiba aku teringat akan perkataan Diva soal
seseorang yang akan menolongku menghadapi masalah hutang ini.
“Rima,
bagaimana kabarmu?” tanya Endo lagi, membuyarkan semua pikiranku tentang
perkataan Diva.
Ayah
menoleh heran kepadaku seakan menanyakan bagaimana bisa aku mengenal sosok Endo
(baiklaaahhh…, aku tahu kode itu, Ayah!). Aku tersenyum mengangguk menjawab
pertanyaan Endo.
“Dia
dulu kakak kelasku waktu SMA, Yah. Sepupu Diva,” ujarku mengenalkan Endo.
sebuah senyum puas tersungging di wajah tampan Endo.
“Jadi…
seperti yang sudah Om Bimo ketahui tentang masalah kontrak ini…” Endo kembali
melanjutkan pembicaraan masalah soal kontrak (dan kenapa panggilan Ayah sudah
berubah menjadi Om Bimo?), “…ini masalah yang cukup pelik saya rasa.”
“Saya
tahu itu, dan saya tidak akan lari dari tanggung jawab. Saya cuma butuh waktu
untuk membayar hutang toko ini,” jawab Ayah melunak (sepertinya karena
panggilan ‘Om’ tadi).
Endo
terlihat berpikir sejenak, kemudian melirik ke arahku. Aku merasakan ada
sesuatu dari lirikan yang baru saja dia berikan kepadaku. Itu membuat
perasaanku menjadi tidak enak. Sebuah senyuman menawan tiba-tiba muncul di
wajahnya dan itu kembali membuatku dan Ayah terpesona.
“Saya
bisa membantu dalam hal itu. Bahkan dalam banyak hal, mengingat saya dan Rima
punya kedekatan ketika kami masih SMA,” jawab Endo.
“Kedekatan?”
Ayah melirik ke arahku kebingungan (ah…, kode itu lagi!)
“Dia
sepupu Diva, Yah! Kami sering mengobrol,” jawabku cepat.
“Baiklah,
saya sangat berterimakasih untuk bantuan Nak Endo kalau begitu,” jawab Ayah
lega.
“Tapi
saya juga pengusaha,Om. Sama seperti Om Bimo yang juga pengusaha, kita harus
memikirkan semua keuntungan dan kerugian dari setiap tindakan yang berhubungan
dengan perusahaan kita,” lanjut Endo lagi.
Ayah
tampak berpikir sebentar, kemudian tersenyum seakan mengerti.
“Baik,
apa syarat yang Nak Endo berikan untuk ‘bantuan’ itu?” tanya Ayah. Endo
terlihat puas mendengar Ayah mengatakan hal itu. Dia menggeser posisi duduknya,
membuatnya menjadi lebih nyaman.
“Saya
bisa mengundur jangka waktunya, atau bahkan menghilangkan semua hutang ini
dengan satu syarat,” ujar Endo. Aku dan Ayah menunggu dengan harap-harap cemas
syarat yang akan diucapkan Endo. “Rima menikah dengan saya.”
Akhirnya
syarat itu muncul juga.
APA?
“Appuaaaahhh?!”
teriakku dan Ayah secara bersamaan. Seakan tak percaya dengan hal yang baru
saja kami dengar.
“Saya
harap Om Bimo tidak salah paham dengan maksud perkataan saya,” ujar Endo
tenang. Sementara Ayah terlihat sudah sangat marah.
“Bagian
mana yang bisa membuatku tidak salah paham, hah?! Kau baru saja memintaku untuk
menjual anak gadisku!” teriak Ayah begitu marah. Aku berusaha menahan Ayah di
sisiku supaya Ayah tidak lepas kendali kemudian menghajar Endo.
“Saya
siap menerima hinaan itu. Saat ini, saya tidak bisa menunda untuk memiliki
Rima, dan satu-satunya hal yang mampu mempercepat semua proses itu adalah
perjanjian ini.” jawab Endo.
“Kau…
Dasar pria brengsek! Aku tidak akan menjual anakku untuk kau jadikan pemuas
nafsumu!” pekik Ayah.
“Saya
meminta Rima untuk menjadi istri saya, menjadi nyonya Endo Akbar Widjaya. Orang
yang akan menjadi pendamping saya, dan menjadi ibu dari anak-anak saya. Saya
tidak akan meletakkan Rima dengan derajat serendah yang Om Bimo katakan.”
Ayah
tercenung mendengar hal itu, seakan tak percaya. Sementara aku, seakan seluruh
tubuhku membeku mendengar semua perkataan Endo. Ini pasti mimpi. Sebuah mimpi
yang aneh, yang membuatku tak bisa menentukan apakah ini mimpi yang indah atau
sebuah mimpi buruk. Suara Ayah memecah kebisuan di antara kami.
“Aku
tetap tidak akan membiarkan Rima bersamamu! Pergi kau dari tempatku!” ujar
Ayah.
Endo
tersenyum kemudian segera beranjak dari kursinya. Pria yang mendampinginya
mengambil berkas yang terdapat di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam tas
yang dia bawa. Endo menunduk berpamitan dengan Ayah dan melangkah pergi menuju
pintu keluar.
“Anda
dan Rima punya waktu seminggu sebelum memutuskan hal itu. Saya hanya akan
melepaskan Rima kalau kontrak ini sudah bisa dilunasi,” ujar Endo sebelum benar-benar
keluar dari kantor ini.
Ayah
melotot mendengar ucapan itu. Nafas Ayah tampak memburu seakan tak siap dengan
semua perkataan Endo. Aura kemarahan masih muncul dari diri Ayah. Sementara itu,
aku masih membeku tak percaya akan apa yang terjadi
****
“Endo
bilang apa?”
Diva
berteriak seakan tak percaya akan apa yang terjadi padaku dan Ayah tadi siang. Sebetulnya
aku berharap dia datang besok atau nanti malam karena aku ingin beristirahat,
tapi bukan Diva namanya kalau tidak segera menuntaskan rasa penasarannya. Ayah
melirik kesal ke arah Diva, seakan ikut menyalahkan Diva dari semua perbuatan
sepupunya, Endo.
“Saya
bersih, Om!” protes Diva menghadapi tatapan kesal Ayah. Tak lama Ayah terkekeh
seakan menyetujui.
“Jangan
tertawa! Gimana cara kita membayar semua itu, Yah?” aku menoleh ke Ayah yang
langsung terdiam. “Kamu ada ide, Di?”
Diva
tersenyum miris, menunjukkan wajah tak bisa berbuat apapun. Aku merengut sebal,
memikirkan apa yang telah terjadi. Masalah dengan Tio saja belum selesai,
bagaimana bisa Endo datang membawa masalah baru.
“Tio?”
tanya Diva tiba-tiba.
Aku
makin merengut, mendengar pertanyaan itu. Sudah kuceritakan semua yang terjadi
antara Tio dan Lea pada Diva. Untuk apa dia mengungkit hal itu lagi?
“Sudah
ke laut!” jawabku kesal.
“Trus,
mau apa dia ke sini?” Diva merengut kesal sambil menunjuk ke arah luar toko.
Aku
menoleh dan terkejut menemukan sosok Tio berdiri di depan toko. Wajahnya tampak
pucat dan juga cemas menatapku. Seandainya saja kejadian dua hari yang lalu tak
pernah ada, saat ini aku akan segera berlari menemuinya dan menanyakan keadaannya.
Tapi saat ini semua berbeda.
“Ayah,
keparat itu muncul!” teriakku pada Ayah.
Ayah
yang sedang sibuk mengurus pembukuan langsung menoleh ke arah Tio. Tak butuh
waktu lama untuk mendengar erangan Ayah dan melihatnya berlari ke arah Tio.
Beberapa menit kemudian Tio sudah terjengkang di atas tumpukan sampah.
“Jangan
pernah temui anakku lagi!” teriak Ayah marah.
“Om,
saya mau bicara sebentar dengan Rima!” mohon Tio.
“Ogah!
Najis,” teriakku dari dalam toko.
“Terrrbaaiiikkk….”
Kami
semua menoleh mencari asal kata yang terakhir. Eni terlihat cengar-cengir
melihat kami semua sambil mengacungkan ibu jarinya. Dengan sedikit pelototan
dariku dan Diva, pengganggu satu itu segera menyingkir pergi sembari
bersungut-sungut.
“Rima,
dengerin aku dulu!” pinta Tio lagi.
“Aaahh…,
banyak cing cong!” Diva berteriak kemudian melemparkan sepatu hak tingginya dan
tepat mengenai hidung Tio. “Rasakan keagungan Christian Loubotin!”
Sepatu merah menyala dengan sol tebal itu
berhasil dengan sukses membuat Tio meringis kesakitan. Sekali lagi hidung
mancung Tio merasakan kemarahan wanita. Tapi entah bagaimana bisa dia masih
saja tetap bertahan menungguku di depan toko sambil memohon memanggil namaku.
“Aku
mohon, Rima. Lea dan aku tak punya hubungan apapun! Itu semua tak sengaja, itu
bukan apa-apa. Cuma kamu...”
Sebuah
tamparan telak dari Ayah membuat Tio menghentikan semua omongannya.
“Beraninya
kau, menganggap kejadian yang membuat anakku menangis ‘bukan apa-apa’!” Ayah
menggeram marah. “Kubunuh kau!”
Ayah
mengamuk dan hampir saja menghajar Tio yang meringkuk ketakutan kalau saja aku dan
Diva tidak segera menahannya. Dengan susah payah kami menyeret Ayah masuk ke
dalam toko. Tio hendak maju meringsek ke arahku, tapi tendangan dari Diva
membuatnya terjengkal kembali.
“Pergi
sekarang, Tio! Atau bahkan aku tak bisa mencegah Ayah juga Diva untuk
menghajarmu sampai mati!” ancamku sembari terus menahan lengan Ayah dan
menariknya masuk ke dalam toko.
Tio
menatap nanar ke arahku, memberikan pandangan memelas yang biasanya selalu bisa
membuatku luluh. Aku hampir saja luluh dan berlari memeluknya bahkan
memaafkannya, tapi pandangan kejam Diva menusuk ke arah mataku. Membuatku
ketakutan dan melupakan keinginanku untuk memeluk Tio. Tak lama Tio berlalu
pergi dengan wajah yang begitu sedih dan itu hampir membuatku menangis. Aku
melepas lengan Ayah kemudian berlari menuju kamarku sendiri. Bersiap untuk
menangis kembali.
Aku
meloncat dan berbaring menangis di ranjangku. Kembali teringat akan semua
kenangan manis bersama Tio dan juga pengkhianatan yang dia lakukan. Sebuah
sentuhan alus di punggungku segera menyadarkanku dari tangis. Diva melihat
sedih ke arahku, kemudian memelukku lembut. Aku mengusap air mataku dan duduk
di atas ranjangku bersebelahan dengan Diva.
“Bagaimana
caranya?” tanyaku sembari terisak, “Bagaimana caranya kamu tahu kalau mereka berdua
itu brengsek?”
Diva menghela
nafasnya pelan, melihat ke arah kakinya yang kini sudah lengkap dihiasi kedua sepatu
berwarna merahnya kembali. Dia sepertinya sedikit kebingungan mencari kata-kata
yang tepat untuk menceritakannya kepadaku.
“Aku
pernah bertemu Lea jauh sebelum kamu mengenalkan dia padaku,” jawab Diva. aku
merengut mendengar itu, “Dia dulu selingkuhan dari Pamanku.”
“Kenapa
kamu gak pernah bilang?” tanyaku sebal.
“Aku
sudah coba, Rima! Tapi kamu selalu bela dia dan menurutmu kalau aku bilang dia
cewek gak bener, apa kamu bakalan percaya sama aku?”
Aku
terpekur mendengar semua perkataan Diva. Selama ini aku selalu menganggap semua
hinaan Diva hanya karena dia iri dengan orang-orang yang berada di sekitarku.
“Trus
Tio?”
“Cowok
itu matanya selalu jelalatan! Apa kamu juga gak sadar? Bahkan dia pernah
terang-terangan minta aku jadi selingkuhannya!”
“Apa?”
teriakku tak percaya.
“Aku
hajar dia setelah ngomong gitu. Itu sebabnya dia gak pernah mau ketemuan bareng
sama aku lagi!”
“Aku
benar-benar bodoh!”
“Baru
sadar?” ejek Diva. Aku melotot mendengar ejekannya dan dia terkekeh. “Sudahlah,
gak perlu nangisin orang macem mereka! Gak penting!”
“Kalau
Endo?”
Diva
terdiam menaapku seakan tak percaya.
“Kamu
suka dia, Rim?” tanya Diva.
Aku
kebingungan (siapapun bakalan kebingungan kalau langsung ditodong seperti itu)
menjawab pertanyaan Diva.
“Kamu
tahu kalau aku dulu sempat suka dia kan? Jaman SMA!” jawabku.
Diva merebahkan
dirinya di ranjang dan menerawang menatap langit-langit kamarku.
“Dia
orang yang paling sulit ditebak, Rim!” ujar Diva mulai bercerita. “Apalagi
semenjak kematian Ayahnya.”
“Apa?
Kapan?” tanyaku terkejut.
“Tepat
setelah kelulusannya. Itu membuat dia harus segera siap menjadi ahli waris dan
pemimpin dari seluruh perusahaan Papa-nya. Ibunya hanya seorang wanita rumah
tangga biasa yang sama sekali tidak mengerti bisnis, sementara dia adalah anak
tunggal dari keluarga itu.
Dia
harus menerima semua beban itu di usia yang sangat muda. Seluruh masa remaja
dan dewasa mudanya dihabiskan untuk mempersiapkan dirinya menjadi seorang
pemimpin perusahaan. Aku pernah dengar kalau ada dewan direksi yang
membantunya, tapi sepertinya dia tidak pernah bersenang-senang sepeninggal
Ayahnya. Aku tak bisa membayangkan kehidupan seperti itu.”
Aku
termenung mendengar cerita Diva. Bayangan tentang Endo yang ceria dan ramah
ketika SMA mulai kabur tergantikan dengan bayangan Endo yang serius dan begitu
tegar. Kemudian ingatan tentang permintaan Endo kepada Ayah membuat wajahku
bersemu merah.
“Menurutmu
dia serius mengatakan ingin menikahiku, Di?”
Diva
melirik tajam padaku, menaikkan kedua bahunya.
“Aku
tak tahu,” jawabnya geram. “Yang jelas dia akan segera berurusan denganku
setelah ini!”
****
Kawin Kontrak Bab 5
Kawin Kontrak Bab 4
Index Kawin Kontrak
muach3x bwt endo... Thanx mba ike
BalasHapusma sama tak iya... wekekekekekekekek
HapusJd kpn mereka nikahnya mba ike?
BalasHapusSssss g sabar ngu mlnya *eh
Kabuuurr
Eittss thks mba
sssttt.... sabar-sabar..
Hapuseaaaakakakkakakakakakakkakakakak
kya kejutan.
BalasHapusmakash mb ike.
kecup kecup
kecup thok? minta duit... ekeekekekekekeek
Hapusendo cucox bok...
BalasHapusgak banyak cing cong langsung minta nikah...
next chapter mbak ;-)
wekekekeekekek biar langsung capcus juga.. akakakakkakakaak
Hapusmbarike baik sekali ihiyyyy..*cipikacipiki*
BalasHapus*tarikendobawapulang* haha
SEMANGAT BAB SELANJUTNYA MBA. ilopyoupull..
lop Endo juga, sama Elbi juga *eh*
gimana ya? emang dari dulu eke baik banget se
Hapus*sombong dengan hidung kembang kempis... ekekekekekekek
lanjuuuuuuuut kak.. kentang goyeng kentang goyeng..
BalasHapusoia kak,yg pnya blog gadis pengasong fiksi sp ya? aq diundang dunk kak??
lho biasanya ke sini orangnya... waaa... minta di bom ne kok hari gini belum dateng. mana ne maria chrisna a.k.a author di blog gadis pengasong fiksi. bisa di cari juga di wattpad pake user name Mariachrisna,
HapusEndoooooooooo,,nglamarny yg benerrrlaaahhhh ms ky gt??g d romantis2nyaaa.. Hukz.... *slh fkus*
BalasHapuslhoooo romantis kae... langsung ke buapaknya. wekekeekekekekekekekek
Hapuslah ni endo ngomong kl belum lunas gak bakal balikin rima, lah pas dibalikin masih tersegel gak ndo??? kl rusak musti dibeli lhoo.... nah yo... tanggung jawab.. ihihihi
BalasHapushaiiiyyyaaaa...bisa diatur itu haaaa.... yang penting kartu garangsi masi ada haaaa..
Hapus*ngarep gak dilempar sendal koko.... wakakakakkakakakakak
ah Diva ini... udah tahu kalau Endo suka ama Rima, kok malah dihalang2in sih.. ckckckck.......... grrr..... gr.....
BalasHapusbtw makasi ya Jeng. ihihiihi... br sempet main kesini :kecup basah:
Makasih kembali mba shin,,,nah lho aku yg jawab di toyorrr ma mba rike,,,,
HapusIdem ma mba shin,,,maaf mba baru maen kesini mba rike,,,kabur drpd kena spank mba rike,,pelukkk plus ciummmm mmmuahhhh
wekekekekekekeek... DIva terobsesi sama Rima... akakakakakakakak
Hapusmbaaakkk tuteeeexxx...
*spank bokong semox
Thx mba rike,,,what's hepen with u endo,,,,
BalasHapusahh no what..what kok mbak... ekekekeekekekkekekek
HapusIsh... Aye masih bingung pake blog ternyata bab 4 udah update. Muahahahahaha...
BalasHapusOkeoke... Mari mengencani Endo dan menendang jauh-jauh Rima. *ini pembaca anarkis* Buahahahahaha...
Ish, aye suka bule... Suka! Suka! Suka!
nhaaa... ini orangnyaaa... jeeeenggg... banyakyang nanya mau masuk blok gapeng neeee... (seenaknya nyingkat nama blog orang)
Hapusteman-temiiinn.. ini dia yang punya blog gadis pengasong piksi....
silahkan ditarget invitasinya yuaaaa.... akakaakakakakakakakakaakakakakakak
*ketawa setan
hahahhaaa
Hapustragis tenan nasibnya edo..dah kena gampar msih jga kena cium spatunya diva.
hmm...cba aku jdi shabatnya rima bakal ta lempar ke laut tu si edo biar skalian dmakan hiu. #sadisbeuuttt
Hikz...diva 1/2 jahat deh sma endo..
wong endonya dah cinta BGT sma rima tp, kog dihalangi??(˘̩̩̩.˘̩̩̩ƪ)
Sejauh ne critanya NO COMMENT deh..thumb up buat authornya.
smangat y sis ngelanjut critanya...
♪┏(・o・)┛♪┗ ( ・o・) ┓♪┏ (・o・) ┛♪┗ (・o・ ) ┓♪┏(・o・)┛♪
mba mariaaaa..undang undang ke blog nya duongssss hihi..
HapusSilakan kirim emailnya ke saya. Muahahahaha...
Hapus*masih belajar pake blog ini...
Jeng rik...
BalasHapusTolong sampaikan ke endo... Ai lop endo pull deh..:)
Maria... Tolonglah invite daku ke blog mu...:)
Silakan kirim alamat emailnya ke saya.
Hapus*aye lagi belajar ng-blog. Hihihihi
wow.. anteRik hehehe...
BalasHapussiapa yah kemarin yang bilang kalo mau update hari senin?
tapi bagus deh klo akhirnya di post lebih cepat hohoho lup yu dah ante ;)
itu knp si Diva ga ngmong aja c kalo Endo udh suka dia dari SMA??
endo aku juga mau dikawin kontrak *ehhhh.... thanks mbk rieke diah pitaloka :)
BalasHapusngok.... sama sapa hayooooo...ekekekekekekekekekekekekek
Hapuskawin kontrak bab 5 kapan nggak sabar ah
BalasHapuswkwkwkwk... lucu banget.... apalagi pas si tio dihajar sama papa rima n diva... si endo keren deh... langsung ngo sama papanya mira buat nikah ma mira...
BalasHapus