Senin, 09 September 2013

Kawin Kontrak - Bab 20



BAB 20
ENDO


“Masalah kepercayaan para pemilik saham nampaknya semakin memburuk, Pak?”
Endo menatap Lukas yang berdiri di sampingnya sekilas. Sekertarisnya itu, walaupun hampir tidak pernah berekspresi, tapi Endo bisa melihat rona ketakutan di wajahnya. Sudah berhari-hari dia berusaha menyelesaikan masalah pabrik konveksi ini sendiri dan mengembalikan kepercayaan para pemilik saham, tapi desas-desus yang tersebar lebih gencar dari semua usahanya.
Sebuah helaan nafas keluar dari mulut Endo, menandakan dia sudah terlalu lelah dengan semua masalah ini. Setiap hari dia selalu pulang larut malam, bahkan hampir tidak sempat memakan apapun kalau saja Rima tidak membawakannya bekal. Seandainya saja dia tidak memikirkan semua usaha Ayah dan Kakeknya untuk membangun perusahaan ini, maka dia akan memilih untuk mengikuti semua keputusan pemilik saham dan hidup tenang bersama Rima. Mungkin dia akan membuat sebuah usaha kecil lain dan menikmati semua keuntungan dari saham yang dia miliki.
Bahkan masalah ini seharusnya tidak perlu terjadi. Kakeknya menyimpan 55 persen saham untuk kedua anaknya, Ayah Endo dan juga Ibu Diva. Sayangnya, tantenya menikahi seorang pria yang cukup ambisius, walaupun dia menyumbang 15 persen saham ke dalam keluarga besar Endo. Dulu Endo merasa tenang karena Diva tidak memikirkan untuk menduduki jabatan CEO di perusahaan ini dan merasa senang bisa terbebas dari semua usaha keluarga. Tapi setelah rencana pernikahannya dengan anak dari Burhan Hakim, itu menjadi ancaman tersendiri bagi Endo.
Walaupun 40 persen saham itu adalah jumlah yang cukup banyak, tapi masih tersisa 60 persen saham lain yang berarti masih ada 60 persen suara yang bisa saja bertentangan dengannya. Sekarang Pamannya sudah memiliki 25 persen suara yang mendukungnya dan dari informasi yang terdengar, Burhan Hakim mulai menghasut 35 persen suara lainnya untuk menjatuhkan Endo dan memilih CEO lain, dalam hal ini Endo yakin kalau dia akan mengajukan anaknya, Bima Hakim.
“Menurutmu bagaimana kemampuan Bima Hakim, Lukas?” tanya Endo tiba-tiba kepada Lukas.
Lukas memincingkan kedua matanya.
“Anak dari Burhan Hakim? Mantan calon kakak ipar anda?” tanya Lukas dan di jawab anggukan dari Endo. “Menurut saya, dia punya kemampuan dalam menjalankan perusahaan. Semua orang mungkin menyalahkan dia akan kegagalan pernikahannya yang terdahulu, tapi dia mampu membuktikan kalau dia bisa merawat anaknya dengan baik, begitupula perusahaan konstruksi yang dia bangun sendiri.”
“Jadi tidak ada cela yang bisa membuatnya kalah dariku yah? Apa ini artinya aku benar-benar terjepit?”
“Dia orang yang sangat berbakat, sangat sepadan untuk bersaing dengan anda. Saya kira itu gen dari keluarga ibunya, mengingat ayahnya tidak mampu menjalankan perusahaan seperti dia. Begitupula adiknya.”
“Tunggu dulu, Tiara menjalankan perusahaan?” tanya Endo bingung.
“Dia salah seorang dari jajaran direksi di anak perusahaan anda, Pak!”
Endo tercekat dan menelan ludahnya getir. Dengan segera dia mengambil kertas memo dan mencatat beberapa hal diatas kertas itu. Kemudian, segera setelah dia menulis semuanya di memo itu, dia mengacungkannya kepada Lukas.
“Lukas, tolong bawakan aku semua berkas yang kuminta ini. Usahakan nanti siang semua berkas itu sudah ada di mejaku!” ujarnya sambil bersiap untuk pergi.
“Anda mau kemana, Pak?” tanya Lukas bingung sembari memegang kertas yang baru saja Endo berikan.
“Diva memintaku untuk bertemu! Anak itu, walaupun sangat menyebalkan, tapi dia satu-satunya aliansiku sekarang ini.”
****

“Aku nggak percaya kamu bakal minta aku ngelakuin ini, Di!”
Endo menghisap rokoknya tergesa karena merasa terlalu kesal. Sepupunya beberapa hari ini merengek untuk memintanya bertemu dan ketika Endo menyanggupinya, dia malah harus menjadi bodyguard sepupunya ini.
“Dia maksa minta ketemu sama aku, Ndo! Lagipula ini kesempatanmu buat ngelihat secara nyata, wujud dari salah satu pesaingmu!” ujar Diva ngotot.
Saat ini, mereka akan bertemu dengan Bima Hakim, calon tunangan Diva, anak dari Burhan Hakim. Memang benar, ini bisa menjadi momen Endo untuk bertemu dan bicara secara langsung dengan salah satu pesaingnya, tapi ini bukan saat yang tepat. Di tengah semua kesibukannya yang padat, Diva meminta Endo untuk mewakili dirinya menolak lamaran dari keluarga Burhan Hakim.
“Apa kata Ayahmu nanti?” tanya Endo semakin sebal.
“Maka kita buat dia mundur dari proses melamarku dengan kesadarannya sendiri. Dengan begitu, Papa tidak akan memaksaku lagi.”
“Kenapa kamu nggak minta Mama-mu untuk ngebujuk Papa-mu?”
“Mama masih liburan ke Eropa dan aku maupun Papa sudah diancam untuk tidak menghubunginya selama dia menikmati masa bersenang-senangnya bersama geng nenek-neneknya!”
Endo menghisap rokoknya lagi kemudian mengetukkan ujungnya ke pinggir asbak. Butir-butir abu berjatuhan dari ujung rokoknya ke tengah asbak di meja Cafe yang mereka tempati. Sampai Endo mendengar suara nafas tetahan Diva dan melihat raut cemas di wajahnya.
“Itu dia!” bisik Diva yang mulai menampilkan wajah judenya.
Seorang pria tinggi berkacamata terlihat mendekati mereka. Tidak seperti Diva maupun Endo yang memiliki wajah dengan campuran Eropa, wajah pria itu cenderung sangat Asia dengan hidung yang mancung dan juga kulit yang sedikit kecoklatan. Sepintas wajahnya lebih mirip dengan wajah aktor tampan Korea, hanya saja menggunakan kacamata. Sebagai direktur, dia tidak terlihat menggunakan jas ataupun dasi dan hanya menggunakan kemeja yang kancingnya sudah terbuka satu di bagian leher dan lengan yang digulung. Sebuah tas ransel tampak tergantung di salah satu lengannya dan terlihat sangat serasi dengan celana jeans hitam maupun sepatu boot coklat yang dia gunakan.
“Kamu harusnya bersyukur dijodohkan dengan pria seperti itu, Di!” bisik Endo menggoda.
“Ingatkan aku untuk menghajarmu lagi nanti!” balas Diva sambil tetap berbisik.
“Maaf terlambat, tadi aku harus mampir ke proyek dulu sebelum datang ke sini!” suara Bariton yang renyah keluar dari bibirnya yang juga tersenyum.
Endo berdiri menyambut pria itu sementara Diva masih duduk dan bertingkah seakan tidak peduli. Bima menyodorkan tangan kanannya ke arah Endo dan menyebutkan namanya, di sambut dengan hal yang sama oleh Endo.
“Jadi kamu yang pernah menolak adikku?” tanya Bima sembari meletakkan tas ranselnya di atas meja. Tak lama pelayan datang dan Bima memesan segelas kopi.
“Maaf untuk itu,” jawab Endo tanpa ada penyesalan.
“Naah, nggak perlu sungkan, aku sendiri juga nggak setuju waktu itu. Tiara terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan dan pendapat seorang kakak tiri selalu dipandang sebelah mata!” ujar Bima santai sembari membuka kacamatanya.
“Kakak tiri?” tanya Diva penasaran.
Bima memandang ke arah Diva dan sebuah senyuman muncul di bibirnya.
“Akhirnya kamu mau bicara sama aku. Walaupun cuma beberapa kata, itu sudah membuat aku cukup senang,” ujar Bima dan Endo berusaha mati-matian menahan senyuman di wajahnya atau dia akan mendapat tendangan dari sepupunya. Diva melotot menatap Bima dan berharap Endo mengatakan sesuatu sampai akhirnya Bima melanjutkan perkataannya, “Tiara anak dari ibu tiriku.”
Endo mengangguk dan sepertinya mulai mengerti apa yang terjadi di keluarga Bima. Semuanya terlihat jelas sekarang, kenapa pria di hadapannya memilih untuk membangun perusahaannya sendiri. Semua pikiran itu terputus saat terdengar suara Diva yang mulai mengintimidasi Bima.
“Dengar, aku memintamu kemari untuk menegaskan sekali lagi bahwa aku tidak tertarik untuk menikah denganmu saat ini! Dan perlu kamu tahu kalau sepupuku ini akan tetap menjadi CEO dari perusahaan keluarga kami. Jadi jangan pernah berpikir untuk menikahiku dan mengharapkan jabatan yang mungkin Papa tawarkan kepadamu.”
“Jadi kalau aku tujuanku menikahimu bukan karena perusahaan, kamu mau menerimaku, Di?” tanya Bima dan sebuah senyuman kembali muncul di wajahnya.
Kali ini Endo tidak bisa menahan tawanya. Dia terbahak keras dan itu membuatnya harus lebih waspada akan serangan yang mungkin akan Diva lancarkan kepadanya. Baginya, pria di hadapannya saat ini adalah sosok pria yang menjadi kelemahan Diva. Sosok pria yang mampu membalikkan semua perkataan Diva tanpa sedikitpun ada emosi.
“Baiklah, maafkan yang barusan…” Endo beberapa kali berdehem untuk menyimpan tawanya kembali, “Memang benar kata sepupuku, kalau aku tidak akan menyerah mempertahankan perusahaan keluargaku itu. Dan aku sangat menghargai setiap keputusan kalian, apapun itu. Menurutku, siapapun yang pantas maka dia berhak menjadi CEO di Widjaya Group. Aku kan membuktikan bahwa aku orang yang paling pantas menerima kedudukan itu.”
Bima menatap Endo dan melepas kacamata yang dia kenakan sebelumnya. Sepasang mata berwana coklat tua terlihat dari sosok Bima.
“Penuh percaya diri seperti yang kudengar, dan aku juga punya pemikiran yang sama sepertimu. Kuharap kamu bisa menyelesaikan semua masalah yang saat ini sedang terjadi,” ujar Bima tenang.
Endo tersenyum kemudian menatap jam di tangannya, “Maaf silahkan lanjutkan, aku harus segera kembali ke kantor. Istriku beberapa saat lagi akan datang membawakan makan siangku.”
“Betapa menyenangkan! Kamu mau kubuatkan bekal, Di? Aku cukup jago untuk urusan dapur.”
“Apa? Jangan mimpi!” teriak Diva dan Endo hanya tersenyum kemudian meninggalkan mereka berdua.
****

“Untuk apa uang sebanyak itu?”
Sofi mendesah mendengar pertanyaan itu dari asisten yang membantunya selama ini.
“Untuk apa kamu bertanya?” tanya Sofi angkuh menatap asistennya.
“Bukannya gitu. Selama ini kamu tinggal memakai kartu kredit ataupun kartu debet milikmu.. Selain itu, bukannya semua urusan persahaan kita sudah selesai saat ini? Kenapa kita nggak segera kembali ke Bali?” sanggah asisten Sofi berusaha mengembalikan mood atasannya.
Sofi menghela nafasnya perlahan. Memiliki asisten seperti Lidia merupakan keuntungan bagi Sofi dengan semua kecepatan kerjanya, tapi Lidia juga terlalu kritis di dalam setiap persoalan.
“Kamu sudah menghubungi, Joe Tan?” tanya Sofi sembari menyebutkan nama salah satu perancang mode terkenal.
Lidia terlihat sangat bersemangat, “Sudah dan dia menerima tawaranmu tanpa ada protes sama sekali! Kali ini perusahaan konveksi mana yang akan kita ajak bekerja sama?”
Sofi hanya tersenyum kemudian mengambil ponsel dari tas-nya.
****

Endo menyetir cukup kencang malam ini. Telepon dari Rima tadi sore membuatnya bergegas pulang. Rima hanya mengatakan ada yang mau dia bicarakan, tapi entah kenapa nada suara Rima terdengar sedikit cemas. Endo kembali berpikir bahwa itu semua karena semua kegiatannya yang membuatnya selalu pulang dalam keadaan larut.
Entah bagaimana perasaan pria lain, tapi Endo merasa sangat beruntung memiliki Rima sebagai istrinya. Selarut apapun, Rima akan selalu berada di depan pintu, menunggunya pulang. Menyiapkan semua makan malam yang kadang hampir tidak tersentuh sedikitpun oleh Endo karena dia sudah terlalu capek dan kadang tertidur di sofa. Bangun lebih pagi daripada Endo dan menyiapkan semua sarapan ataupun bekal untuknya nanti di kantor. Seandainya saja dia tidak memiliki Rima di sisinya, saat ini dia sudah tergolek lemah di Rumah Sakit.
Malam ini, dia memutuskan untuk pulang lebih cepat dan menemani Rima setelah hampir setengah bulan terjebak dengan semua kesibukannya. Endo begitu merindukan memeluk Rima hingga pagi tiba dan menikmati wangi maupun kehangatan tubuh istrinya yang selalu mampu membuatnya merasa tenang. Selalu membuat Endo merasa telah menemukan oasis dari semua hal yang mendera-nya.
Endo memarkir mobilnya cepat dan bergegas menuju apartemennya. Sekitar 3 bulan lagi mereka akan meninggalkan apartemen ini dan tinggal di rumah yang sudah Endo persiapkan untuknya dan Rima. Mungkin tidak berapa lama akan muncul anak-anak mereka yang saling mengejar dan juga menunggunya bersama Rima saat dia pulang. Endo tersenyum dengan semua bayangannya itu dan saat dia melihat Rima yang menyambutnya di balik pintu, senyumnya semakin terkembang.
“Sudah pulang?” tanya Rima bingung melihat Endo.
“Kangen kamu!” jawab Endo dan itu membuat semburat merah muncul di pipi Rima.
Endo memeluk Rima dan mencium kening istrinya lembut sebelum akhirnya mencium bibir Rima lekat. Hanya saja tidak berapa lama Rima mendorong Endo lembut.
“Kenapa?”
“Maaf, bau rokok,” jawab Rima sembari tangannya menutup hidung dan mulutnya.
Sorry, tadi aku merokok sedikit di kantor. Aku mandi dulu, nanti kita makan malam sama-sama,” ujar Endo dan itu membuat sebuah senyuman muncul di bibir Rima.
Tidak butuh waktu lama untuk Endo untuk menyelesaikan mandinya dan segera menemui Rima di meja makan. Sekali lagi sebuah ciuman kilat mampir di rambut Rima yang sedang menyiapkan makan malam untuk Endo. Sebuah steak lengkap dengan hotplate-nya muncul di hadapan Endo.
“Ada yang istimewa?” tanya Endo ketika melihat makan malam yang disiapkan Rima.
Rima hanya tersenyum dan duduk berhadapan dengan Endo untuk menyantap miliknya sendiri. Malam itu, Rima tidak banyak bicara dan sering terlihat menatap Endo saat Endo tidak memperhatikan atau sengaja tidak memperhatikan.
“Ada yang aneh di wajahku?” tanya Endo bingung saat sekali lagi menyadari kalau Rima melamun sembari menatapnya.
Rima tersentak dan segera menatap steaknya yang sedari tadi hanya berkurang sedikit. Wajahnya kembali tampak memerah dan itu membuat Endo semakin ingin mengodanya.
“Kamu baru sadar ya, Sayang?” tanya Endo sembari meletakkan garpu di atas piringnya yang kosong.
“Sadar apa?” tanya Rima.
“Sadar kalau suamimu itu ternyata sangat tampan,” goda Endo dan biasanya itu berhasil membuat Rima merona semakin merah.
Tapi kali ini sepertinya berbeda. Rima hanya tersenyum dan menatapnya lebih dalam dengan matanya yang selalu membuat jantung Endo berdebar keras.
“Aku sudah selesai. Lebih baik aku ke kamar mandi dulu sebelum kita tidur,” ujar Rima tiba-tiba, menyadarkan Endo dari rasa terpesonanya kepadanya.
Endo mengangguk dan membereskan meja makan saat Rima meninggalkannya. Sampai dia kembali melihat piring Rima yang masih terisi penuh. Apa Rima sudah makan malam sebelum dia datang? Sepertinya memang begitu, mengingat dia selalu datang larut malam. Saat Endo memutusan untuk masuk ke dalam kamar tidurnya, matanya melihat sesuatu yang hampir tidak pernah dia bayangkan. Sesuatu yang bisa membuat seluruh darahnya mengalir dengan deras ke setiap pembuluhnya. Sesuatu yang bisa membuatnya seharian menatap pemandangan itu dan terus menyentuhnya tanpa henti.
Rima berdiri di hadapannya dengan memakai lingerie yang pertama dan terakhir Endo belikan untuknya. Selama ini Endo berpikir kalau Rima tidak akan pernah memakai lingerie itu bahkan dia tidak akan pernah menduga malam ini akan tiba. Jantung Endo berdegup kencang melihat lekuk tubuh Rima yang terlihat samar di balik lingerie yang dia pakai. Warna merah darah yang lembut membuat kulit Rima semakin cerah dan membuatnya semakin terlihat sensual malam ini. Rima berjalan perlahan kemudian memeluk Endo erat dan itu membuat hampir semua akal sehat Endo menguap.
Endo pernah melihat Rima tanpa memakai selembar benang sama sekali, tapi kali ini berbeda. Sensasi yang terjadi membuat gairah Endo semakin memuncak. Ketika dia membalas pelukan Rima dan merasakan kehangatan juga kelembutan kulit Rima yang hanya terhalang sedikit dengan kain dari lingerie yang Rima kenakan, itu membuat naluri lelakinya langsung mengambil alih semua kesadarannya.
Endo menarik Rima semakin erat ke dalam pelukannya dan kemudian mengangkat Rima untuk dibawanya menuju ranjang mereka. Mencium setiap sudut tubuh Rima yang sudah tertidur di bawahnya dan membuat istrinya sesekali bergetar akibat semua sentuhannya. Ketika tangan Endo masuk ke dalam lingerie Rima dan merasakan kulit Rima yang hangat dan ketika bibir Endo melumat bibir Rima lembut, di saat itu dia melihat Rima menitikkan air mata.
“Kenapa menangis? Ada yang sakit? Aku kasar?” tanya Endo bingung, dan saat Endo hendak bangun dari atas tubuh Rima, tangan istrinya itu menahannya.
“Nggak apa-apa. Aku cuma…bahagia…,” ujar Rima di tengah isakannya.
Endo tersenyum lembut kemudian mencium setiap senti wajah Rima perlahan. Menghapus setiap bulir air mata yang jatuh dari sudut mata istrinya yang semakin lama semakin deras.
“Aku mencintaimu, my angel,” bisik Endo perlahan di telinga Rima dan itu membuat tangisan Rima semakin keras.
“Aku juga…mencintaimu…sangat!” ujar Rima sembari memeluk Endo erat.
Endo membelai rambut Rima dan mengusap pipi Rima yang basah karena air matanya. Sesekali menciumnya dan kembali menatap wajah wanita yang selama ini sangat dia cintai. Rima hanya terdiam dan menikmati semua sentuhan Endo dan ketika kening Endo menyentuh keningnya Rima tersenyum kecil.
“Maaf untuk tidak memperhatikanmu beberapa minggu ini,” ujar Endo kemudian menempelkan bibirnya di bibir Rima.
Rima mengambil nafas dalam, kemudian menggeleng cepat.
“Kamu harus menyelesaikan semua masalah perusahaan. Ada beratus-ratus karyawan yang menggantungkan nasibnya di pundakmu,” jawab Rima perlahan.
Endo kembali tersenyum dan meletakkan kepalanya di dada Rima.
“Sebenarnya aku melakukan ini hanya untuk menyelamatkan posisiku sebagai CEO saat ini,” Endo kemudian memeluk Rima erat sebelum melanjutkan perkataannya, “Seandainya saja Papa tidak memintaku untuk menjaga kedudukan keluarga kami sebelum dia meninggal, aku akan dengan senang hati menjalani hidupku seperti yang Diva lakukan.”
Rima menarik kepala Endo dari dadanya dan menatap pria itu dalam-dalam.
“Lakukan yang seharusnya kamu lakukan, Ndo. Apapun itu, aku akan terus mendukungmu.”
Endo menatap lekat wajah Rima yang masih memerah setelah menangis. Membayangkan Rima terus-menerus mengorbankan perasaannya hanya untuk semua yang dia lakukan. Tapi tidak sedikitpun Endo akan melepaskan Rima. Tidak akan pernah lagi dia melakukan semua itu, apapun yang terjadi. Meskipun rasa cinta Rima padanya sudah menguap habis, dia akan kembali membuat Rima jatuh cinta padanya lagi. Bahkan dia akan memaksa Rima tetap bersamanya di sisinya apapun yang terjadi.
“Boleh aku lakukan yang harusnya aku lakukan dari malam-malam sebelum ini?” tanya Endo nakal dan itu membuat Rima terpekik saat jemari Endo mulai melepas tali yang menghubungkan celana dalamnya. Dan tak lama mereka tenggelam dengan semua luapan asmara yang sudah lama Endo maupun Rima tahan.
****

Suara alarm membangunkan Endo di saat dia tengah bermimpi melihat Rima yang tengah merayunya. Di saat Endo membuka matanya, tangannya sudah memeluk ruang kosong di ranjangnya. Sedikit aneh, dia tidak mendengar suara Rima yang sibuk di dapur atau tengah mandi. Biasanya suara-suara itu sudah terdengar saat dia terbangun dan dia akan menemukan istrinya yang tersenyum dari asal suara itu.
Suara alarm yang terus berbunyi membuat Endo merasa sedikit pusing dan segera bangun dari tidurnya. Apartemennya terasa begitu sepi pagi ini dan itu terasa sangat aneh. Beberapa kali Endo memanggil nama Rima, tapi tetap tak ada jawaban. Hingga akhirnya Endo memutuskan mencarinya dan sebelumnya menyambar celananya yang tergeletak di lantai.
Semua ruangan terasa sepi, bahkan dapur sekalipun, tempat dimana Endo biasanya menemukan Rima. Sangat tidak biasa bagi Rima untuk pergi tanpa berpamitan pada Endo terlebih dahulu. Sampai ketika Endo melihat ke arah meja makanan dan menemukan sarapan paginya yang mulai dingin juga sebuah amplop. Sebuah amplop yang isinya membuat Endo berlari melihat ke arah lemari Rima dan menemukan lemari itu kosong. Sebuah amplop yang ketika terjatuh dari tangan Endo, berisi selembar surat, kartu debet yang dia berikan pada Rima dan selembar cek yang bernilai 350 juta rupiah.
****

9 komentar:

  1. apa....? rima kenapa pergi? rima dpt cekx dr siapa? penasaran....penasaran..

    BalasHapus
  2. Ada apaaaaaa iniiiiiiiii?????siyok
    Waaahhh lagi mba ikeeee
    Ini pasti ad hubungannya am tlp yg rima trima

    BalasHapus
  3. Pasti ini ada hubungannya dengan sofi yachh.... Soal uang itu.... Ichhhh sofi sialannn.... Ganggu aja rumah tangga orang!!!

    BalasHapus
  4. tidak.....dimana rima?????

    BalasHapus
  5. huuuuaaa mbak rike bikin galau di senin pagi hiks...ga sabar lanjutannya mbak...hiks masih harus menggalau seminggu nih...pasti ini perbuatan nenek sihir sofie menyebalkan. koq rima pasrah aja sih dsuruh ninggalin endo, mana rima lg hamil lg, endo blm tau lg...aaarrrgggh mbak rike lanjutannya skg aja deh...ku tak sanggup menanti hr senin...plisss #kedip2 sama mbak rike n pasang puppy eyes# ditimpuk sandal mbak rike...kabuuuurrr

    BalasHapus
  6. huuuuaaa mbak rike bikin galau di senin pagi hiks...ga sabar lanjutannya mbak...hiks masih harus menggalau seminggu nih...pasti ini perbuatan nenek sihir sofie menyebalkan. koq rima pasrah aja sih dsuruh ninggalin endo, mana rima lg hamil lg, endo blm tau lg...aaarrrgggh mbak rike lanjutannya skg aja deh...ku tak sanggup menanti hr senin...plisss #kedip2 sama mbak rike n pasang puppy eyes# ditimpuk sandal mbak rike...kabuuuurrr

    BalasHapus
  7. Pastiiiiiiiiii,,,iniiii pastiiiiiiiiiiiiii gara2 sofiiiiiii
    Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....
    Mba Ikeeeeeeee,,,, jangan diumpetin lm2 Rima-ny,,hukz

    Ayeeee,,idola baruuuu Vie,, BIMA.. Wakakakaakak...*gagal fokus*

    BalasHapus
  8. huaa.. Mba Ike jhat ih, knp Rima mest pergi? G' rela Endo medrta khlangan Rima lgi.. :(

    BalasHapus
  9. Huaaaa!!!!:'(:'(:'(
    Ni psti gra2 Sofi!
    Ak yakin!!!:'(
    Dia sngaja bwt Rima prgi, krn dsarny kn mreka kawin kontrak! Jdi Sofi sngaja ksi uang bwt nge-lunasin utang ayah Rima!

    BalasHapus