Senin, 26 Agustus 2013

Kawin Kontrak - Bab 18



Daaannnn hari senin tlah tibaa….waktunya apdet Kawin kontrak. FYI, ada cerita baru, Barista Series, itu bakalan jadi proyek eke di samping KK juga. Apalagi KK beberapa bab lagi bakalan tamat dan ada penggantinya lagi. wakakakakakak…. Yak, KK bakalan tamat sekitar episode 20-an. Sudah sebentar lagiiii….
Loph yu oll mai preeennnnnn…. Muaaahhh-muaaaahhhh 


BAB 18
RIMA

Kakiku lemas.
Benar-benar lemas.
Selama ini aku selalu memuja hari sabtu dan minggu sebagai hari untuk beristirahat, tapi kali ini sepertinya itu akan menjadi 2 hari yang paling melelahkan dalam seminggu ini. Endo selalu menempel di dekatku seperti perangko dan selanjutnya selalu berakhir dengan kami saling menindih.
 “Sayang…”
Aku langsung berjengit mendengar panggilan itu dan tubuhku otomatis menjauh. Bagaimana bisa aku sekarang menjadi seorang wanita yang berpikiran kotor? Setiap kali melihat Endo, aku selalu membayangkan apa yang selalu dia lakukan kepadaku di atas ranjang. Ini pasti gara-gara efek film bokep Diva dulu. Betapa film bokep bisa merusak pikiran seseorang dalam waktu yang lama. Dan saat ini tubuhku berada di batas kelelahannya untuk melakukan yang aku lihat di film bokep itu (sungguh, aku masih belum sanggup mengatakan kata $*k# itu).
“Ya?” tanyaku sedikit ketakutan dan itu membuat Endo memasang wajah cemberutnya.
“Kamu masih marah gara-gara masalah Tiara?”
Apa?
Jelas aku belum melupakan masalah Tiara sama sekali. Setelah mendapatkan kenyataan bahwa suamiku ternyata memiliki banyak (bukan, sangat banyak. Bisa dibayangkan? Sangat banyak) mantan kekasih, aku menjadi sedikit ketakutan akan kehilangan Endo. Tapi saat ini masalahnya tidak menyangkut semua wanita itu. Masalahnya saat ini, tenagaku benar-benar terforsir dengan semua kegiatan pernikahan kami (baiklah, kegiatan ranjang kami. Aku masih malu mengatakan setiap detil kegiatan itu). Bahkan kakiku masih terasa lemas dan sesekali bergetar karena terlalu capek.
“Ini bukan soal Tiara.”
“Terus?”
“Ini soal… Endo… aku…dengar.”
Kenapa aku malah tergagap seperti ini, dan kenapa Endo semakin mendekat? Senyuman apa itu?
“Mau melanjutkan lagi yang tadi pagi, Sayang? Kamu nggak perlu malu untuk bilang kalau kamu mau…”
“APA? Nggak!”
Endo menaikkan sebelah alisnya keheranan, “Kamu nggak mau?”
“Bukan! Maksudku aku mau…” belum sempat aku menyelesaikan omonganku, lengan Endo sudah memeluk tubuhku erat dan bibirnya mulai menjelajah di sekitar leherku. Hampir saja aku kehilangan akal sehatku seandainya saja kakiku tidak gemetaran karena terlalu capek. “Ini sudah terlalu sering, Endo. Bahkan kita baru selesai melakukannya beberapa jam yang lalu. Aku…aku capek!”
“Capek?”
“Kakiku sudah gemetaran…”
Endo melihat kakiku dan melihatnya bergetar perlahan karena sudah tidak mampu menahan lelah. Dia tersenyum kemudian memberikan kecupan kilat di bibirku.
“Maaf,” ujarnya lirih kemudian meninggalkanku sendiri di dapur.
Sebagian diriku merasa sedikit kehilangan.
Sungguh kehilangan semua sentuhan itu.
Tapi sebagian lagi dari diriku merasa senang dan bahagai. Akhirnya, walaupun mungkin hanya sebentar, aku bisa mengistirahatkan seluruh tulang dan ototku, menyelesaikan semua pekerjaan rumahku dan…
Apa-apaan ini!
Sebuah bekas lipstik tercetak jelas di kemeja Endo. Lipstik berwarna merah darah, hampir saja lolos dari pengamatanku seandainya aku tidak memeriksa kemejanya terlebih dulu. Milik siapa cap bibir ini? Bagaimana bisa dia tercetak di situ?
“Sepertinya milik Sofi,” jawab Endo yang kembali membaca koran miliknya setelah aku menanyakan tentang keberadaan bekas lipstik itu di kemeja kerjanya.
“Sofi?” tanyaku makin geram dan sepertinya dia menyadari itu.
“Itu kemeja kerjaku 2 hari yang lalu. Kamu masih ingat kan ceritaku soal Sofi saat itu? Tentang dia tiba-tiba menangis kemudian memelukku setelah aku menanyakan tentang kekasihnya,” jawab Endo kembali menatapku yang masih berdiri kesal sembari membawa kemejanya.
“Dia memelukmu erat sepertinya ya?” lanjutku masih menahan amarah.
Endo menatapku bingung kemudian tersenyum. Aku benci senyumannya yang seperti tu. Senyumannya itu selalu berhasil mengalahkanku dalam berbagai hal. Endo melipat koran yang dia baca dan meletakkannya di atas meja d depan sofa kemudian berjalan perlahan menemuiku.
“Kamu cemburu, Sayang?” ujarnya perlahan di telingaku.
Apa kubilang.
“Nggak!” jawabku sembari berbalik, berusaha pergi meninggalkan dia. Sebuah sentakan di lenganku menghalangiku untuk pergi lebih jauh.
“Kamu mau kemana?”
“Bebersih.”
“Kamu bilang masih capek, kenapa malah bebersih?”
Aku menelan ludah kebingungan. Aku memang sangat kelelahan saat ini, tapi itu kelelahan untuk melakukan…olah raga ranjang (akhirnya aku bisa menemukan kata pengganti yang tepat. Setelah sekian lama kesulitan mengucapkan satu kata itu). Untuk bebersih itu lain soal. Justru kalau aku tidak melakukannya sehari saja, aku merasa seluruh tulangku terasa gatal.
“Aku masih punya sedikit tenaga,” jawabku asal, berusaha menghindar secepatnya dari Endo.
“Kalau memang masih punya sedikit tenaga, ayo kita…”
“Aku ngantuk! Gawat, sepertinya aku harus segera tidur. Tolong bangunkan aku menjelang sore ya!”
Persetan dengan semua cucian juga bebersih. Daripada aku pingsan kelelahan saat berolah raga ranjang dengan Endo, lebih baik sekarang aku segera berlari menuju kamar
****

“Kamu ninggalin dia?” bisik Diva sembari berusaha menahan tawanya.
Sore ini Diva kembali datang hanya untuk menghabiskan waktunya. Setelah bertengkar sejenak dengan Endo seperti biasa, kami akhirnya berakhir berbincang didapur, sementara itu Endo bekerja di ruangannya.
“Pasti sekarang dia kesel banget tuh. Apalagi aku sekarang dateng dan itu bikin dia gak bisa ngedeketin kamu. Merana tuuhhh…meranaaa...tanpa pelampiasan.” lanjut Diva kemudian tertawa terbahak penuh kemenangan.
Kedatangan Diva memang menyelamatkanku dalam banyak hal. Setelah berusaha pura-pura tidur dan menghabiskan waktu dengan melamun di kamar, akhirnya aku menelpon Diva untuk menemaniku sore ini dan makan malam bersama-sama. 
“Apa bener kalau aku mengelak begini dia bisa merana?” tanyaku cemas.
Diva menengok cepat ke arahku. Sebuah seringai jahat muncul di wajahnya.
“Banget laah…. Pasti merana banget tuh. Tanpa pelampiasan…menahan gejolak…”
Aku menelan ludah sekali lagi.
“Menurutmu, apa aku lebih baik bersamanya sekarang?” tanyaku gugup.
“Terus aku jadi kambing congek di sini? Jadi obat nyamuk sementara kalian melakukan ah-uh? Enak aja! Kasih makan dulu, baru aku mau pulang!” jawab Diva sebal.
Aku mencibir Diva dan merasa sebal dengan kata ‘ah-uh’-nya. Apa tidakada kata pengganti lain yang sopan seperti misalnya olahraga ranjang. Diva mulai mengacak-acak isi kulkas dan merengek meminta makan malam kepadaku. Aku kembali tersenyum dan segera menyiapkan beberapa bahan untuk makan malam. Sedikit sibuk sampai hampir tak tahu kalau Endo sudah ada di dekatku sampai dia memelukku erat dari belakang. Membuatku sedikit terkejut dan membuat seluruh kulitku seakan merasa senang kembali bersentuhan dengan kulitnya.
“Mulai deh, bisa gak sih nanti aja habis makan malam?” tanya Diva sebal.
Aku melirik ke arah Endo dan dia terlihat sangat sebal.
“Pulang sana!” sentak Endo pada Diva.
“Kasih makan dulu baru aku pulang.”
“Memangnya kamu kucing liar? Minta makanan dulu baru mau pergi?”
“Meong!”
“Sepertinya aku harus meminta satpam untuk melarangmu masuk besok!”
“Dan aku bakal ajak Rima keluar untuk ketemu. Yang artinya, aku akan ngenalin dia sama beberapa cowok yang lebih ganteng dari kamu. Siapa tahu dia bisa nemenin blind date-ku.”
Endo melihatku cemas dan aku menggelengkan kepala sebagai tanda tidak akan pernah melakukan hal itu. Endo kembali melihat sebal ke arah Diva dan duduk di kursi sebelahnya. Dengan segera aku menuangkan segelas jus jeruk untuk Endo dan juga Diva.
“Jadi gimana masalah bagian konveksi? Kudengar ada kebocoran model musim depan dari orang dalam? Bukannya itu berarti kerugian besar karena gagal meluncurkan produk baru?” ujar Diva tiba-tiba sembari meminum jus jeruknya.
“Ada masalah?” tanyaku cemas mendengar pembicaraan Diva barusan.
Endo menggeleng pelan.
“Papamu yang bilang itu Di? Berita cepat menyebar ya?” tanya Endo.
“Papa masih berharap aku mau menjadi bagian dari perusahaan. Asal kamu tahu saja, hal ini bisa membahayakan posisimu dari para pemilik saham.”
“Kamu mau menjadi salah satu kandidat penggantiku Di?”
Diva meminum jusnya perlahan dan terlihat menikmatinya sejenak. Sementara aku merasa cemas akan jawaban Diva. Bagaimanapun Diva adalah sahabatku, dan Endo adalah suamiku. Seandainya mereka bersaing satu sama lain, aku akan menjadi pihak yang paling sulit menentukan sikap.
“Aku masih merasa sayang melepas dan menyia-nyiakan gelarku sebagai dokter. Jauh lebih enak duduk di kursi dokter tapi tetap menerima bagian dari saham keluargaku dan membiarkanmu yang kebingungan mengatur semuanya. Tapi seandainya kamu kumat bikin sebal, dengan senang hati aku bakal siap menerima permintaan Papa buat jadi sainganmu,” ancam Diva.
Aku menghela nafas lega mendengarnya dan kembali ke depan kompor untuk mulai memasak. Endo tersenyum sinis dan meminum jus-nya.
“Kupikir, pasienmu jauh lebih ‘normal’ darimu. Kamu perlu jasa psikiater, Di!” ejek Endo.
“Kampret!” sentak Diva dan mereka mulai saling bertengkar. Itu membuatku merasa sebal karena kehilangan kosentrasi untuk mulai memasak.
“Bisa kalian diam atau bertengkar di luar rumah supaya aku bisa mulai memasak?” sentakku kesal
****

“Tumben diem aja?” tanya Endo saat melihatku termangu.
Saat ini menemani Endo yang membawa pekerjaannya ke rumah. Aku menghela nafas pelan. Kemudian kembali melamun sesaat sebelum akhirnya mulai bicara.
“Aku kepikiran kata-kata Diva kemarin,” jawabku lemas.
“Soal apa?”
Aku menoleh cepat ke arah Endo yang duduk di sebelahku sembari memeriksa berkas-berkas di tangannya.
“Soal perusahaanmu itu! Pencurian ide dan kegagalan peluncuran produk, kamu kok nggak cerita ke aku?” tanyaku sebal.
Endo meletakkan berkas-berkas di tangannya kemudian memelukku dari belakang. Membuatku sempat terkejut dan sedikit terjingkat, tapi kemudian menerimanya dengan pasrah. Dia mulai mencium tengkukku dan berbisik di telingaku.
“Kamu nggak perlu khawatir, aku bisa mengatasi itu semua.” Bisiknya lembut di telingaku dan itu membuat wajahku merona merah.
“Tapi aku kan mau tahu setiap masalahmu, Ndo. Kita kan suami-istri. Seharusnya aku bisa…uh…Endo…ahh…Endo berhenti! Aku bicara serius!” aku mendorong kepala Endo menjauh dari leherku dan itu membuatnya cemberut.
“Itu cuma satu dari beberapa perusahaan, Rim!” jawab Endo berusaha meringsek ke leherku lagi, tapi langsung ku tahan.
“Tapi Diva bilang, itu berbahaya untuk kedudukanmu sebagai CEO!”
“Kedudukan CEO ditentukan rapat para pemegang saham, Rima! Dan aku punya 40% sahamnya. Itu jumlah saham yang cukup besar. Bahkan Papa Diva hanya punya 25% dari jumlah saham yang ada.”
Aku menghela nafas pelan, kemudian menatap sayu ke arah Endo (yang sudah semakin mendekat ke arahku). Tak lama bibirnya mencium bibirku lembut dan terus mendorongnya hingga kami saling menindih di atas sofa. Tangan Endo mulai menjelajah sekujur tubuhku dan mulai membuka kancingku satu persatu. Sementara aku mulai mengangkat kaos yang dia kenakan secara perlahan.
Meeoooongg…eeeooooonggg…
“Suara apa itu?” bisik Endo di telingaku.
Astaga, suara kucing kawin itu…
“Sepertinya ponselku…uh…” sebuah gigitan kecil mampir di leherku. Membuatku melenguh perlahan.
“Biarkan!” perintah Endo sambil terus menjelajah di leherku dengan bibirnya.
Teeeetttt…..Teeeettt…
“Kali ini apa lagi?!” sentak Endo marah sembari bangun dan mulai duduk di sofa.
“Sepertinya ada tamu, Ndo,” jawabku.
“Malam-malam begini? Aku hajar siapapun yang datang kalau itu bukan keadaan mendesak.”
Endo berjalan tergesa dengan marah menuju pintu masuk, sementara aku mulai membenahi bajuku yang sudah sangat acak-acakan.
“RIMAA…USIR DIA!”
Hampir saja jantungku keluar dari mulutku karena terkejut mendengar teriakan Endo. Dengan bergegas aku berlari menuju pintu masuk dan melihat Endo menghalangi seseorang yang berusaha memasuki pintu.
“Diva?”
Diva melihatku dan dengan satu tendangan di tulang kering Endo, dia berhasil membuat Endo menyingkir dari hadapannya dan berlari memelukku. Dari matanya yang bengkak dan sisa air mata di pipinya, aku bisa tahu kalau Diva baru saja menangis. Sementara itu Endo terus memaki sembari memegang tulang keringnya yang baru saja ditendang Diva.
“Rima!” teriak Diva sembari memelukku, “Aku dijodohkan Papa!”
Keheningan sempat terjadi beberapa saat. Aku tidak bia mengatakan apapun sementara Endo berhenti memaki setelah mendengar kata-kata Diva barusan. Sebuah gelak tawa yang keras memutuskan waktu keheningan itu. Endo tertawa keras dan sepertinya melupakan rasa sakit di tulang keringnya.
“Rasakan itu cewek beringas! Selamat jadi istri! Wahahahaduuuuhhh!” tawa Endo terhenti diiringi bunyi ‘pletak’ keras.
Sepatu hak tinggi Diva sudah berhasil membuat jempol kaki Endo merasakan kesakitan, menyusul tulang keringnya tadi. Endo kembali memaki dan menatapku, memohon belas kasihku. Tapi saat ini Diva sedang memelukku erat.
“Ini gara-gara kamu! Kenapa kamu biarin perusahaan konveksi itu kecurian, Ndo!”
“Kenapa jadi salahku?” tanya Endo bingung sembari mengusap jempolnya.
“Papa memintaku menikahi anak dari Burhan Hakim – kakak Tiara – Bima!”
Endo tercengang mendengar hal itu.
“Itu bukan urusanku, Di!” suara Endo berubah menjadi dingin sesaat itu juga.
“Tentu saja jadi urusanmu! Kamu tahu berapa saham mereka punya? Lima persen! Dan Burhan Hakim punya pengaruh besar di antara pemegang saham yang lain!”
“Apa hubungannya denganku? Itu hak Papa-mu untuk melakukan semuanya itu!”
“Tentu saja ada hubungannya sama kamu, Dodol! Mereka mengincar posisimu sekarang! Burhan berpikir untuk menyatukan saham milik keluarga kami dan juga sahammiliknya, serta mempengaruhi pemilik saham yang lain,” sentak Diva kesal, “Malam ini aku menginap di sini!”
“Apa? Pulang sana!” usir Endo.
“Kalau aku pulang, bisa kupastikan aku akan menerima permintaan Papa untuk menjadi sainganmu dalam rapat pemegang saham!” ancam Diva.
Sebelum Endo mulai membalas perkataan Diva, aku sudah menatapnya, berharap dia diam, dan sepertinya Endo mengerti hal itu. Aku menuntun Diva menuju kamar, meninggalkan Endo sendiri. Ada banyak hal yang harus kutanyakan pada Diva saat ini.   
****

“Masih belum tidur?” tanyaku saat melihat Endo sibuk membaca di depan laptopnya, di ruang kerja.
Dia tersenyum melihatku kemudian menepuk pahanya seakan memintaku untuk duduk di sana (kupastikan hati kecilku berteriak memintaku segera meloncat ke sana. Untung saja otakku masih waras. Ada Diva di kamar, dan Endo akan menyerangku setiap ada kesempatan. Aku sama sekali tidak mau Diva kemudian mendengar suara-suara yang bisa membuatku malu berhadapan dengannya seumur hidup). Aku mendekat perlahan dan berdiri di sebelahnya, melihat layar laptopnya yang berisi grafik-grafik dan juga tulisan-tulisan yang tidak kumengerti. Endo menarik pinggangku, tapi berhasil kutahan. Tak lama dia menyentakku keras dan berhasil membuatku duduk di pangkuannya, sebelum akhirnya memelukku mesra. 
“Maaf,” ujarku lirih.
“Untuk apa?” tanya Endo dan kembali membenamkan wajahnya di sela lengan juga dadaku.
“Kamu harus tidur di sofa malam ini.” jawabku dan itu membuat Endo mempererat pelukannya. “Diva baru saja tidur, dan dia cerita banyak padaku sebelumnya.”
“Dia bilang apa?” tanya Endo, tapi nadanya seakan tidak peduli.
“Dia bilang kalau posisimu bisa terancam setelah ini. Apa itu benar?”
“Kalau benar kamu mau ninggalin aku, Rim?” aku menggeleng mantap mendengar pertanyaan Endo. Dia tersenyum menatapku. “Kalau begitu nggak ada masalah sama sekali soal itu.”
“Mungkin kalau…,” aku menelan ludah getir dan Endo menatap heran ke arahku, membuatku harus melanjutkan kembali apa yang baru kumulai, “Menikah dengan Tiara, ini nggak akan terjadi. Pasti kamu jauh lebih aman sekarang.”
Endo menghela nafasnya dan kembali membenamkan kepalanya.
“Kamu masih cemburu tentang Tiara dan perempuan-perempuan di masa laluku?”
“bukan begitu, tapi…”
“Aku akan berusaha mempertahankan posisi ini dengan kemampuanku sendiri. Banyak yang harus dilindungi dari perusahaan yang kakek bangun dari awal dan Ayah perjuangkan selama ini. Hanya saja, masalah ini mungkin akan membuatku menjadi sangat sibuk. Apa kamu keberatan, Sayang?”
Sekali lagi aku menggeleng.
“Bagus, sekarang cium aku.”
Aku berjingkat, berusaha bangkit dan menjauh, tapi lengan Endo menahan itu semua. Dia mencium bibirku lekat dan itu membuat seluruh tulangku terasa meleleh. Satu sentakan, aku mendorong dadanya perlahan, kemudian berusaha berdiri.
“Aku buatkan kamu kopi,” ujarku sembari berusaha menjauh.
Tangan Endo tetap menahan lenganku. Aku melihatnya menutup laptop di atas meja kerjanya, kemudian menyingkirkannya di bawah meja.
“Dibanding kopi, aku ingin sesuatu yang lain.”
Perasaanku mulai terasa membingungkan. Antara ketakutan, bahagia dan juga terkejut. Endo mengangkat tubuhku ke atas meja kerjanya dan aku terjebak, terlentang di atas meja kerjanya, tak bisa kabur kemanapun. Dia mulai membuka kancing piyamaku satu persatu dan memegang tanganku yang berusaha menghalau di atas kepalaku.
“Endo, ada Diva!” protesku pelan, takut Diva terbngun.
“Dia nggak akan bangun, dan dari kemarin malam, dia selalu menggangguku untuk menyentuhmu,” jawab Endo kemudian menenggelamkan kepalanya di dadaku. Membuatku terengah dan kehilangan akal sehatku.
Sebut menyentuh kalau hanya memegang, tapi mencium, menindih, bahkan melakukan…se...olahraga ranjang (hampir saja aku lupa dengan sebutan yang kuberikan sendiri) itu bukan cuma menyentuh. Pria ini benar-benar membuatku nyaris gila dengan semua perlakuannya kepadaku. Membuatku tak mampu mengontrol apa yang keluar dari mulutku. Dan tidak menghiraukan semua engahan dan lenguhanku, dia terus menyentuhku seenaknya.
“Kamu sudah siap?” tanyanya perlahan sembari menarik celanaku turun.
“Apa?”
“Aku mau kamu, Sayang.”
Aku mengangguk perlahan dan Endo menopang tubuhnya dengan kedua tangannya di sebelah kepalaku. Aku merasakan miliknya mulai menyentuh kulit selangkanganku dan itu membuat jantungku seakan memompa darahku dengan sangat baik. Membuatku berdesir dan begitu merindukannya. Sedikit lagi, sebentar lagi…
“Rima, kamu dimana?”
Aku dan Endo tersentak mendengar suara Diva dari dalam kamar.
“Aku lempar dia nanti dari kaca!” rutuk Endo sebal di telingaku.
****

10 komentar:

  1. wkwkw kasian endo diganggu sama diva . mkasih ya mba rik, yaahh 2 episod lagi tamat :( , duh jadi deg degan ama posisi endo, kok aku berfirasat cieehh firasat klo ini kerjaan sofi yaa haha #sotoy

    BalasHapus
  2. endo sama rima makin romantis aja...tp masalah perusahaan bkin tegang juga....ditunggu lanjtnx mba..

    BalasHapus
  3. hahahaha............ngak jadi deh........

    BalasHapus
  4. jiahhahaha ksian bgt endo..nanggung mulu dari tadi..mba rike klo rima ga bisa aku ngantri mba #plaaakk apa sii

    BalasHapus
  5. Haha,, kasian deh Endo,, Diva punya hobby jadi pengganggu yaa,, thank's mba Rike,, tetap S̤̥̈̊є̲̣̥є̲̣̣̣̥♍ªªªηGªª†̥†̥̥ n di tunggu lanjutanya

    BalasHapus
  6. hahahaha Diva emang minta kena lempar yeeeee..ganggu aja haha.

    semoga besok langsung Senin *ngayal banget* jadi episode selanjutnya sudah siap sedia hihi.

    Ketjup Mba Ike :**

    BalasHapus
  7. lempar aja ndooooo lemparrrrr...... wkwkwkkwkww......

    BalasHapus
  8. Lemppaarrr nddoooo =))
    Eh, mbak, ak mnta lgi dong ;;)
    Ktagihan nih bcany..:P

    BalasHapus