Rabu, 10 Juli 2013

Kawin Kontrak - Bab 15

Eke kasih bonus sebelum puasa. sembari menghaturka Mohon Maaf lahir bathin, atas semua salah kata atau tulisan dan juga perbuatan eke.
sepesial pake telor yang paling ditunggu semua insan pecinta Rima-Endo. hahaaaiiiiiyyyy...wakakakakaakakakakak
aiyopyu ollll!!!!!!!




BAB 15
RIMA

Sudah kuputuskan untuk mengikuti Hati Kecilku mulai saat ini. Keputusanku sudah bulat saat mengetahui bahwa Endo memiliki perasaan yang sama dengan yang kurasakan. Setelah semua pengakuan, ciuman dan juga sentuhan itu aku sudah tidak punya kekuatan apapaun untuk menolak (bahkan sekarang aku akan menari salsa bersama Hati Kecilku kalau dia mau melakukannya). Seperti saat ini ketika Endo menatapku tajam di atasku menunggu jawaban yang akan kuberikan. Ini akhirnya dan aku tidak akan lari lagi seperti yang biasa kulakukan.
Tidak akan lari...
Sungguh tidak akan…
Tapi kenapa aku ketakutan?
Aku takut dan gemetaran walaupun sudah memutuskan mengikuti kata hatiku. Baik, mari kita bagaimana cara mengatasi ketakutan dengan cepat. Ambil nafas dan lepaskan perlahan, ya itulah caranya, ambil nafas dan lepaskan perlahan. Aku merasakan ketakutanku semakin mereda. Ambil nafas dan lepaskan perlahan, sangat perlahan dan gambaran kesadisan di toilet tadi siang kembali muncul di mataku. Bahkan aku merasakan hidungku kembali mencium bau yang sama dan membuatku mau muntah. Aku membalik wajahku dan menutup mulutku karena hampir saja makan malamku keluar lagi akibat semua bayangan bejat itu. Beberapa kali suara akan muntah keluar dari mulutku.
“Rima, Sayang, kamu kenapa?” tanya Endo panik. Endo segera turun dari atas tubuhku dan membantuku untuk duduk kemudian mengusap pelan punggungku. “Ambil nafas perlahan, Sayang!”
Tidak!
Itu perintah yang salah, karena kembali membuatku mengingat kejadian tadi siang. Membuatku kembali merasa mual.
“Sayang, kamu sakit?” tanya Endo cemas sembari menyingkirkan rambut di wajahku dengan lembut.
Aku menggeleng pelan.
“Aku…aku bau?” tanya Endo lagi sembari mencoba mencium tubuhnya.
“Bukan!” jawabku cepat, “Maaf, aku…aku cuma takut.”
Endo terdiam, kemudian mengela nafasnya keras. Tak lama dia mengacak-acak rambutnya dan mengerang pelan sebelum menatapku kecewa.
“Kupikir ini saatnya aku pergi,” ujar Endo pelan.
Apa?
“Apa? Enggak! Kenapa? Anu…”
Mungkin itu jawaban paling bodoh dan efek samping dari perbuatan mengikuti si Hati Kecil sepenuhnya. Membuatku mengatakan hal-hal memalukan tanpa adanya saringan. Membuatku harus kembali menutup mulutku dan merasakan panas di wajahku. Kenapa aku harus bilang ‘enggak’ sekeras itu? Endo menatapku bingung dan bisa kulihat senyuman kecil di bibirnya. Apa aku sudah bilang kalau dia terlihat begitu menawan malam ini? Kancing piyamanya sudah terbuka 3 dan memperlihatkan dadanya yang bidang dan juga seperti terpahat sempurna. Terasa keras dan juga hangat saat tadi bersentuhan dengan tubuhku. 
“Kenapa? Kamu ketakutan sampai seperti ini. Aku nggak bisa maksa kamu lebih jauh, Sayang!”
Apa aku sudah bilang kalau setiap kata ‘sayang’ keluar dari mulutnya yang seksi itu bisa membuat dadaku berdesir?
“Aku mual bukan karena ketakutan!” ujarku cepat.
“Kamu sakit?”
“Bukan!”
“Bauku?” tanya Endo ragu.
“Bukan juga!”
“Gak mungkin…”
“Apanya yang nggak mungkin?” tanyaku bingung.
“Tidur bersama nggak bikin hamil…” ujar Endo perlahan.
“Apa? Enggak! Aku nggak hamil!” sanggahku keras.
“Kamu nggak sakit, bukan karena bau, kamu juga…”
“Aku nggak hamil, Ndo!”
“Ya,aku percaya. Terus kenapa kamu mual dan hampir beberapa kali muntah?”
Aku menghela nafas sedih. Biarpun memalukan aku harus menceritakan semuanya sebelum ini menjadi malam yang lebih buruk bagi kami berdua, terutama bagi hati kecilku. Hati Kecil yang sudah sibuk memprotes semua kelakuanku. Aku melihat sudut bibir Endo berkedut saat aku selesai menceritakan semua tragedi di toilet tadi siang.
“Kamu ketawa,” ujarku sebal.
Endo menelan ludah dan berdehem pelan.
“Enggak,” jawabnya sambil terus berdehem.
“Bohong,” ujarku lagi setelah beberapa kali melihat dia berusaha mengalihkan wajah saat berusaha menahan senyumnya.
“Enggak, Sayang,” ujarnya lagi sambil berdehem beberapa kali.
“Bohong!” ujarku sambil mencubit perut Endo.
Dia terbahak sembari merintih kesakitan saat aku terus mencubit perutnya (dan kenapa aku terus berusaha menyentuh perutnya? Aku tahu perutnya begitu seksi dengan semua sixpack-nya yang begitu menggoda). Sebuah sentakan di lenganku menarikku ke atas tubuh Endo yang telentang di atas ranjang. Dia menarik tanganku lembut dan meletakkannya di atas dadanya yang terbuka. Dadanya terasa begitu hangat dan aku bisa merasakan debaran jantung Endo yang sama cepatnya denganku. Kemudian dengan kedua tangannya yang bebas, dia meletakkan rambutku yang terjuntai di balik telingaku.
“Hai, Cantik,” ujarnya lembut.
Aku tersenyum, tersipu malu medengarnya memanggilku seperti itu. Tangan Endo yang besar terus membelai wajahku lembut dan itu membuatku merasakan aliran darahku mengalir cepat ke wajahku.
“Maaf aku tadi nggak nelpon kamu dulu,” ujarku lirih.
Endo tersenyum.
“Maaf aku ketemu sama Tio lagi, tapi aku sungguh nggak ngerencanain itu semua. Lea telpon minta ketemu dan nggak lama Tio datang. Maaf…” ujarku lagi penuh penyesalan.
Endo meraih salah satu tanganku dan mendekatkannya ke bibirnya untuk kemudian dia berikan sebuah kecupan lembut di jemariku. Aku menelusuri bibirnya yang tipis dengan telunjukku dan merasakan setiap sentuhannya di kulitku.
“Maaf aku pergi dengan Sofi,” ujar Endo perlahan.
Aku mengangguk pelan dan lengan Endo menarik wajahku turun hingga bibir kami saling bersentuhan. Dengan perlahan Endo mengecup bibirku, kemudian melumatnya di dalam bibirnya. Cukup lama hingga dia melepaskannya, tapi tidak membiarkanku menjauh.
“Terakhir kali aku akan melakukan hal ini, tangan seorang gadis menghalangi mulutku,” ujarnya pelan tanpa melepaskan bibirku di bibirnya.
Aku tersenyum malu.
“Maaf,” ujarku lirih.
“Termaafkan hari ini,” jawabnya sembari kembali menciumku mesra.
Tangan Endo yang sebelumnya membelai pelan kepalaku, turun dan mengusap punggungku lembut dan kemudian kembali lagi ke atas kepalaku. Dengan satu sentakan, posisi kami sudah terbalik. Kali ini Endo berada di atasku dan terus menciumku yang ada di bawahnya. Dia kemudian mencium pipiku kemudian menyusuinya turun hingga sampai ke daguku, kemudian turun dan bibirnya menjelajah di leherku. Tangan Endo yang sebelumnya berada di kepalaku kemudian turun dan membuka kancing bajuku satu persatu. Membuatku melakukan hal yang sama dan ketika aku menarik turun piyamanya, Endo juga melepaskan piyamaku. Membuatku bisa melihat dadanya yang telanjang dan otot-ototnya yang bergerak mengikuti gerakannya.
“Lihat apa?” tanyaku lirih saat Endo terdiam dan melihat tubuhku yang hanya tersisa sebuah bra untuk menutup kedua dadaku.
Tanpa menjawab, Endo kembali turun mencium leherku dan terus menyusurinya hingga menuju tengah dadaku. Membuatku mengerang saat dia melakukan semua itu. Suara-suara yang tidak bisa kutahan dan selalu muncul saat bibir Endo menyentuh semua bagian yang menurutku sensitif. Bukan hanya bibirnya yang terus menjelajah, tapi juga tangannya yang sudah melanglang buana ke seluruh bagian tubuhku dan juga berusaha melepas semua kain yang menempel di tubuhku. Hingga di antara kami tidak ada selembar benangpun yang menghalangi. 
“Kamu takut, Sayang?” tanyanya lirih.
Aku mengambil nafas dalam.
“Sedikit,” jawabku.
“Aku akan pelan-pelan,” ujarnya.
“Apa sakit?” tanyaku mulai ketakutan.
Endo tidak menjawab dan hanya tersenyum. Memberiku sebuah kecupan lagi di bibirku dan aku merasakan sesuatu berusaha menerobos selangkanganku, mulai membuatku sedikit kesakitan dan tanpa sadar berteriak tertahan.
“Kamu mau aku berhenti?” tanya Endo cemas ketika melihatku menahan sakit.
“Enggak, lanjutkan!” pintaku.
Endo menatapku cemas kemudian memeluku erat sebelum mencoba kembali menerobos selangkanganku. Aku meremas punggungnya keras dan berusaha menahan teriakan yang mungkin muncul. Merasakan setiap sakit dan juga rasa nikmat yang muncul bergantian. Membuatku tak mampu memintanya berhenti dari setiap rasa nikmat yang muncul dan terus bertambah setiap Endo bergerak. Membuat erangan tak terkendali yang terus menerus meluncur dari bibirku. Membuat gerakan Endo semakin bertambah cepat setiap saat dan aku berada di satu titik dimana aku berada di rasa nikmat yang tak mampu aku tahan. Membuatku berteriak dan juga bergetar hebat. Saat semua serbuan itu muncul, aku baru menyadari Endo terdiam dan menatapku takjub.
Apa yang terjadi?
Apa aku melakukan kesalahan?
Apa Rima melakukan hal yang memalukan lagi?
Itu tadi benar-benar sensasi yang menakjubkan bagiku dan semua teriakan dan juga gertaran itu sama sekali tidak direncanakan.
“Wow,” ujar Endo sembari tersenyum saat aku semakin panik.
“Maaf, aku…itu nggak sengaja…aku…,” aku mulai menjadi sangat panik dan berusaha kabur mengikuti instingku. Tapi tubuh Endo menahanku.
“Nggak Sayang, nggak. Itu tadi sangat hebat, sangat seksi. Boleh aku membuatmu seperti itu lagi?”
Tanpa menunggu persetujuanku, Endo kembali menggerakkan tubuhnya dan tak butuh waktu lama untuk membuatku melakukan hal yang sama. Terkadang sebuah getaran kecil menyusul getaran hebat sebelumnya untuk reaksi dari setiap rasa nikmat yang aku rasakan. Tak lama kemudian aku kembali bergetar hebat. Entah itu sudah terjadi berapa kali sampai ketika Endo mulai terengah dan kemudian seperti tersengat listrik, tubuh Endo mengejang beberapa kali saat aku juga mengejang hebat, hingga kemudian dia merebahkan tubuhnya di atasku. Nafasnya tersengal seakan baru berlari begitu jauh. Membuatku kembali teringat bayangan ketika Endo berlari mencariku tadi siang.
“Terimakasih sudah mencariku tadi siang,” aku memeluknya erat dan merasakan punggungnya yang bergerak mengikuti nafasnya.
“Bahkan ke ujung dunia juga akan kucari seandainya kamu pergi,” jawabnya di leherku. Membuatku merasa geli setiap hembusan nafasnya terasa di leherku.
Endo tiba-tiba kembali menopang tubuhnya dengan tangannya. Sebuah senyum muncul di wajahnya yang tampan dan itu senyum yang selalu membuat perasaanku tidak enak.
“Yak, ayo kita mulai lagi!”
Apa kubilang!    
****

Pertama, aku telanjang.
Kedua, Endo juga telanjang
Ketiga, kami berpelukan dan hanya ditutup oleh selembar selimut
Ini gawat. Aku harus segera bangun dan menyingkir dari semua kekacauan ini. Wajah bangun tidurku bukanlah wajah yang paling bisa kubanggakan (masih ingat dengan pipi dengan alur air liur dan juga wajah pucat seperti vampir?) Jangan sampai malam pertama kami menjadi malam terakhir juga gara-gara Endo shock melihat wajah bangun tidurku ini. Tapi bagaimana caraku lepas dari semua pelukan ini?
Setelah semua pengakuan dan semua ‘pertempuran’ semalam, kurasakan semua badanku lemas. Tapi kalau aku sampai tidak bangun lebih dulu daripada Endo, bisa-bisa dia mengira baru saja tidur dengan vampir cina! Dengan sisa tenaga, aku berusaha melepaskan diriku dari pelukan Endo. Perlahan ku ganti sosokku dengan guling dan membiarkan Endo memeluknya erat. Sesaat aku merasa iri dengan guling yang baru saja ku jadikan pengganti diriku (dan kemudian aku segera menyadarkan diri sebelum semua khayalan liarku semakin menjadi).
Seharusnya aku berjalan perlahan menuju kamar mandi dan segera mandi untuk kemudian menyiapkan sarapan, tapi yang terjadi sebaliknya. Saat ini aku sudah terjungkal, terjatuh di lantai dengan suara berdebum keras dari atas kasur. Membuat keributan yang lebih parah dari sekedar suara langkah kaki.
“Rima, Sayang dimana?” suara Endo dari atas ranjang terdengar sangat panik.’
Sial.
“Enggak apa-apa!” jawabku berusaha bangun dari posisiku sekarang. Sialnya pinggangku terasa lemas dan tidak mampu bergerak seperti biasa.
Endo segera menemukanku yang jatuh dengan posisi bersujud di lantai. Aku menyumpahi posisiku saat ini. Apa tidak ada posisi yang jauh lebih keren untuk posisi jatuhku? Setiap posisiku saat terjatuh ataupun terjungkal, selalu berakhir dengan kata memalukan. Seperti saat ini, aku sama sekali tidak mampu melihat ke arah Endo. Jjatuh dengan posisi bokong terpampang sempurna dan dahi menyentuh lantai lebih dulu. Nanti akan ada benjol sebesar bola bekel bersarang di dahiku. Itu pasti!
“Sayang, kamu nggak apa-apa?” Endo membantuku berdiri, tapi aku terlalu takut untuk bangun.
Hingga aku merasa tubuhku melayang dan itu gara-gara Endo menggendongku kembali ke atas ranjang. Sesaat aku merasakan kulit Endo yang hangat dan juga bau tubuhnya yang wangi, sebelum dia meletakkanku dia atas ranjang.
“Astaga, dahimu benjol, Sayang,” ujar Endo cemas.
Sudah kuduga.
“Nggak apa, nanti kempes sendiri,” jawabku berusaha menenangkan.
“Aku ambilkan salep sebentar. Kamu tetap di sini!” perintah Endo sembari mengambil celananya yang terjatuh di lantai, kemudian memakainya sebelum meninggalkanku.
Seharusnya ini menjadi pagi yang indah. Akhirnya aku menjadi wanita dan istri seutuhnya bagi suamiku, bagi Endo. Tapi yang terjadi, pagi ini dimulai dengan kejadian terjatuh dari ranjang karena terlalu lemas dan sebuah benjol besar menghiasi dahiku. Apalagi yang lebih buruk dari ini?
“Diam sebentar,” tiba-tiba Endo sudah di depanku dan mengoleskan salep di dahiku.
Aku meringis tertahan saat dia menyentuh dahiku yan mulai terasa berdenyut.
“Maaf sudah buat kamu kaget,” ujarku lirih sementara Endo terus meratakan salep di benjolku dan meniupnya perlahan.
“Kita sebaiknya ke dokter,” Endo mulai terlihat panik.
“Apa? Nggak usah! Aku nggak apa-apa! Sudah biasa seperti ini. nanti siang juga kempes sendiri,” sanggahku.
“Sudah biasa?” tanya Endo heran.
Ah, sial! Aku kembali teringat saat-saat ketika kecerobohan menguasaiku. Apalagi saat dimana aku melakukan kecerobohan itu di depan Endo. Akhirnya aku cuma bisa menjawab pertanyaannya dengan senyum miris.
Endo membelai rambutku pelan dan menyibakkannya kebalik telingaku. Kemudian kami terdiam dengan saling memandang. Ketika menatap Endo di depanku, aku erasakan mendapatkan sebuah anugerah. Mengaguminya semenjak SMA dan saat ini dia menjadi suamiku. Bersumpah mencintaiku dan tak ingin melepasku. Sementara apa yang selama ini dia lihat dari diriku?
Apa yang dia lihat?
Astaga!
Bagaimana bisa aku lupa kalau aku masih telanjang saat ini! Dengan cepat aku menarik selimut untuk menutup tubuhku, tapi Endo sudah bergerak lebih cepat dengan memelukku dan mulai menciumiku. Aku mendorong dagu Endo sebelum dia semakin beringas seperti semalam.
“Endo, kamu kan harus kerja!” teriakku sembari menahan serangan Endo yang berusaha mengalihkan tanganku.
“Sepertinya hari ini Lukas harus memegang semua kerjaanku,” ujar Endo sembari menyingkirkan tanganku dan menciumku kembali.
Aku berusaha melepas tanganku dari genggaman Endo dan mendorong wajahnya menjauh dari dadaku.
“Pagi ini Diva mau datang!” ujarku sembari terengah.
“Apa?” Endo menghentikan serangannya dan menatapku tidak percaya, “Mau apa dia datang pagi-pagi?”
“Endo,” aku masih berusaha mengatur nafasku, “Dia sahabatku, sepupumu juga!”
“Mengganggu!” ujar Endo bersungut-sungut.
Aku terkekeh melihatnya seperti itu. Sebersit rasa bahagia muncul dari dadaku, mengingat Endo begitu menginginkanku. Dia mendengus keras kemudian melihatku dengan pandangan sebal.
“Mandi sana!” ujarku menggoda.  
Endo menyeringai dan sekali lagi itu tanda sesuatu yang diluar perkiraanku akan terjadi. Saatnya untuk segera kabur dan sayangnya aku terlambat. Endo sudah mengangkatku dan menggendongku menuju kamar mandi.
“Endo, kamu mau apa?”
Dia mengeluarkan seringainya lagi.
“Mandi!”
*****

“Padahal aku berharap pagi ini bisa sarapan masakan yang dimasak dengan berbagai bumbu!” gerutu Diva saat aku hanya membuatkan sarapan telur ceplok untuk kami bertiga.
Aku hanya tersenyum menjawabnya dan menatap Endo yang terlihat sibuk membaca koran.
“Jadi kalian sudah baikan?” tanya Diva tiba-tiba.
“Mau tahu aja!” jawab Endo sinis dari balik korannya sembari meminum kopinya.
“Cuma mau ngingetin,” Diva memakan telurnya, “Besok kalo keramas jangan barengan biar gak ketahuan habis kimpoi-nya!”
Aku terkejut dan Endo terbatuk keras dari balik korannya. Sepertinya dia tersedak kopi yang barusan dia minum.
“Diva Maharani, aku adukan ke mama-mu nanti kata-katamu barusan!” ancam Endo sembari terus terbatuk. Aku berusaha menepuk punggung Endo untuk membuatnya merasa lebih baik.
“Aduin aja! Paling enggak, Mama tahu kalau aku masih normal” jawab Diva cuek.
“Kamu…!” Endo menggeram marah.
“Endo!” aku mengingatkan Endo dan Endo menatapku seakan memprotes tindakanku.
“Berangkat sana gih! Ganggu acara cewek aja!” usir Diva tanpa menata Endo sama sekali.
Endo menutup korannya kasar kemudian segera meminum sisa kopinya. Sebuah kecupan sekilas mampir di sudut bibirku sebelum dia berangkat. Dan ketika Endo berjalan melewati Diva, lengannya yang panjang terjulur ke arah gelas berisi jus jeruk milik Diva, menyenggolnya dan membuat semua isinya tumpah ke kemeja Diva.
“Endo!” teriak Diva marah, tapi Endo sudah berlari cepat menuju pintu meninggalkan kami.
Aku segera mengambil kain lap dan membantu Diva membersihkan tumpahan jus di bajunya. Sementara Diva itu terus saja menggerutu menyumpahi semua kelakuan Endo.
“Kalian ini kenapa sih nggak pernah akur!” protesku.
“Kamu nggak lihat barusan dia ngapain? Liat aja nanti, aku kirim tagihan baju baru ke kantornya!”
“Mau baju baru? Tuh di kamar ada setumpuk baju baru. Masih lengkap sama kantongnya,” aku menawarkan pada Diva dan tak butuh waktu lama sampai Diva menghilang menuju kamarku.
Aku kembali teringat, ketika Lukas datang tadi pagi membawakan berkantong-kantong belanjaan dari butik terkenal. Endo bilang, itu yang dia lakukan bersama Sofi kemarin. Dia bermaksud membelikanku pakaian dan juga sepatu baru dan meminta tolong Sofi membantunya karena ukuran tubuh kami yang mirip. Tapi itu membuat rasa cemburuku kembali muncul. Jauh di dalam hati aku bersumpah untuk tidak memakainya!
“Gila, bagus nih, Rim!” ujar Diva sambil memamerkan beberapa baju yang dia bawa.
Aku melihat baju-baju itu dan mulai menyesali sumpahku. Baju-baju itu memang bagus dan terlihat sangat mahal. Bahkan di dalam mimpi aku tidak pernah berpikir untuk membelinya karena harganya yang bisa membuat seseorang ayan seketika.
“Mereka beli itu kemarin!” ujarku sebal menyesali sumpahku yang keabsahannya sudah kudaulat mengalahkan sumpah palapa Gajahmada.
“Mereka?”
“Endo sama Sofi!”
“Si-a-lan! Kalau kamu mau nerima semua ini, itu berarti kamu kalah sama si Masa Lalu itu!”
Siapa?
“Si Masa Lalu apa?” tanyaku kaget.
Diva terkejut kemudian terlihat menelan ludahnya.
“Aku memang ngomong apa tadi?”
“Kamu bilang Sofi itu si Masa Lalu, Di!”
“Emang aku bilang gitu?” tanya Diva pura-pura bodoh.
“Diva!” paksaku.
“Baik! Dia emang mantan Endo, tapi…sekali lagi tapi, mereka putus sudah sangat lama!”
“Mereka mantan?” aku terkejut mendengar ucapan Diva.
“Putus dari Endo kuliah tahun ketiga, jadi kamu tenang aja! Sekali lagi, dia cuma masa lalu!”
 “Tapi mereka pernah pacaran, Di!” protesku.
“Kamu juga sudah pacaran sama Tio kan?”
“Tapi aku sama dia gak ketemuan dan jalan bareng di Mall sama Tio!” sanggahku kesal.
“Kemarin?”
“Kemarin itu tragedi, dan aku terjebak di toilet tak beradab sementara Endo jalan berdua sama mantannya!”
“Nyari hadiah buat kamu,” ujar Diva membela Endo.
Kenapa Diva sekarang membela Endo? Sedari tadi mereka bertengkar seperti anjing dan kucing!
“Kamu tahu ini nggak bener kan Di?”
Diva terdiam kembali kemudian mendekatiku.
“Rim, mereka cuma mantan. Sekarang cewek Endo, ralat, istri Endo cuma kamu! Memang Endo salah sudah jalan sama mantannya yang ganjen juga sih kata aku, tapi mereka cuma mantan dan Endo cuma cinta sama kamu, titik!”
Aku tercenung mendengar perkataan Diva. Merasakan cemburu yang meluap-luap di dalam hatiku saat berpikir antara Endo dan Diva memiliki hubungan di masa lalu. Apa ini juga yang Endo rasakan saat dia tahu aku bertemu dengan Tio?
“Rim, kayaknya ada tamu deh! Aku buka dulu pintunya ya!” ujar Diva sembari meninggalkanku.
Ada tamu dan aku tak bisa mendengar bunyi bel pintu karena terlalu serius memikirkan semua ini. aku berjalan pelan menuju pintu dan mendengar suara Diva sedang bertengkar dengan seseorang.
“Siapa, Di?” tanyaku bingung.
“Mana cewek yang ngaku istrinya Endo?” teriak seorang wanita yang terlihat gusar memasuki apartemen.
Cewek yang super cantik muncul di hadapanku. Dia seperti mencari-cari sebelum akhirnya melihat ke arahku. Rambut lurus yang panjang, tubuh yang tinggi semampai bak model dan wajah yang menurutku sangat cantik, tapi mengingatkanku pada seseorang. Entah siapa, seseorang dari masa lalu yang sepertinya ingin kulupakan.
“Kamu kira kamu siapa? Cepet keluar, Tiara!” bentak Diva sembari tergesa menyusul cewek itu dan akan menariknya keluar.
Aku ingat!
Dia nenek sihir itu.
****

16 komentar:

  1. wekekekekekekekekekekekekekkk..
    makasih mbak rike.. mohon maap lahir batin juga..
    selamat menjalankan ibadah puasa ya.. :D

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. horee...akhirnya rima-endo bener2 jadi suami-istri.smoga kedepannya mreka ndk pisah gara2 pengacau sofia n tiara..hehee

    jiahh..nenek sihir dateng lengkap dengan tongkat sihirnya.
    ayo diva n' rima, hajar nenek sihirnya.hahaa


    slamat menjalankan ibadah puasa y mbak..
    ^_^

    BalasHapus
  4. mhon maaf lhr btin mba.... trims crta ya

    BalasHapus
  5. Waaahh telat2
    Akhirnya GOOOOOLLLL...
    D skip bbrp bagian,Tar baca ulang lg...hahaaa
    ​​(⌣́_⌣̀) ​Haâdéèêhh (⌣́_⌣̀) nambah lg nenek sihir,kirain dh ilang dy, jgn blg tar rima kabur lg *iket rima am endo biar g d pisahin
    Met puasa smuanya
    º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°ºea mba

    BalasHapus
  6. Jaaahhhhh,,,,
    Nenek sihir tmbhn....
    Endoooooooo plg,,ada nenek sihiiirrrrrrrrrr
    Met puasa smwnyaaa..
    Mksh Mba Ikeee
    (Ntr mlm bc lagiiii) xixixi

    BalasHapus
  7. ampun jeng... aku gak bisa nahan ketawa waktu baca tulisan "menerobos selangkangan" wkwkkw.. hak..hak..hak... ampunnn....

    sorry kalo salah jeng, kyknya ada typo di akhir2 babnya yg bilang "Endo dan Diva memiliki hubungan di masa lalu" harusnya Endo dan Sofi bukan? cmiiw

    wah, konflik kedua udah masuk nih.. ehhehehe....

    BalasHapus
  8. mbaaaakkk... aq reader baru mu... aq baru tau ada yg baru abs dhuhuran. anjiirr... kaget aq pas bagian *pippip* nya. barusaha baca tanpa bayangin. noooo!! mg2 puasaq hari ini tetep berkah :p huhuhu. itu nenek sihir knp harus muncul wkt lagi hepi2nya?! #lempartomatkeneneksihir

    BalasHapus
  9. asiiiikkkkk aaw makasi banyak mbaaaaa! ditunggu secepatnya yaaa episode episode selanjutnyah! luv :*
    -fina

    BalasHapus
  10. horeee mkah mb rik :D

    wowwww ini adeganya kocak banget rima rima ampe jatuh gitu sih haha
    waduh tidakkk nenek sihir datang seru nii pasti klo tiara berantem sama diva haha

    BalasHapus
  11. Aaarrrggghhh!!! Tiara pengganggu!!!
    S*it! Ckck

    BalasHapus
  12. Waduh... Penggangu muncul lgi, kya Πγª Sofi mnta bantuan Tiara nich.

    BalasHapus
  13. Mbak,kpn postingan berikutnya??
    :(

    BalasHapus
  14. mbk hri senin uplodtannya mana..da nungguin lama niy :(

    BalasHapus
  15. Mbaaakk...bab 16 nya man?kok g muncul2??huhuhu :-(:-(:-(

    BalasHapus
  16. Mbaaakk...bab 16 nya man?kok g muncul2??huhuhu :-(:-(:-(

    BalasHapus