Senin, 24 Juni 2013

Kawin Kontrak - Bab 12



 akhirnyaaa bisa apdet kembaliii...
setelah kemaren cuma suprise belaka, sekarang bener-bener apdet full. wekekekekekekekek.. tunggu kejutan-kejutan lain di blog ataupun di wattpad buat sobatku pembaca KK semua. waakakakakaakakakakakak
sulamat munikmatiiii





BAB 12
RIMA

Aku tahu ini semua adalah kesalahanku sendiri!
Ingatanku kembali secara cepat pada kejadian tadi siang saat Diva datang ke rumah.
“Kamu apa?”
Diva berteriak terkejut ketika aku menceritakan semua yang terjadi pada malam tragedi lingerie. Saat aku hampir saja dengan bodohnya membiarkan Hati Kecil menguasai tubuhku. Dia menutup mulutnya dan matanya terlihat menyipit karena pipinya yang tertarik ke atas. Asem! Dia berani menertawakanku.
“Sudah selesai ketawanya? Kamu nggak praktek?” tanyaku sebal.
“Sudah selesai. Makanya aku bisa mampir ke sini, sekalian bawa beginian,” ujar Diva sambil mengeluarkan beberapa cd yang di bungkus cover kertas dan juga plastik.
Aku melihat tumpukan CD itu dan memperhatikan tulisan di covernya. Ternyata ini adalah beberapa film yang sudah pernah beredar, Barat dan juga Asia. Beberapa film drama, action dan juga…
“APA INI?” teriakku kaget.
Diva menoleh sebentar kemudian mengambil CD di tanganku untuk membaca judulnya.
“Oh, ini filem bokep!”
“Bo...apa? Diva, kenapa beli film gituan sih?” aku panik melihat CD di tangan Diva dan teringat kembali kejadian semalam.
Setelah pembicaraan tentang $^*$ semalam dengan Endo, dan menemukan diriku paginya terbangun sembari memeluk Endo erat, sudah membuat pikiranku sedikit terkontaminasi dengan khayalan-khayalan liar. Sepagian aku harus menahan debaran jantung setiap melihat Endo karena sentuhan tanganku merekam semua rasa dari otot dada Endo dan memberikan gambaran Endo ketika berada di tempat fitnes setiap aku melamun (dimana sepertinya hati kecilku yang memberi komando kepada pikiranku untuk membayangkan semua itu).
Seperti tadi pagi ketika Endo terbangun dan menampilkan sisi lain sensualitasnya lagi membuat aku sempat termangu selama beberapa saat menatapnya yang sibuk mencari botol minum. Membuatnya berhasil menggodaku kembali seperti ketika di supermarket dan membuat kakiku lemas dengan semua bayangan tentang arah pembicaraannya.
“Buang!” aku langsung berteriak pada Diva sembari menunjuk CD miliknya.
“Biasa aja kali, mbak bro! Emang kamu nggak penasaran sama isinya?”
“Diva!”
Terlambat, Diva sudah memasukkan CD itu ke dalam player dan memutar isinya. Dia menyeretku untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari home theater milik Endo. Ini terasa lebih menegangkan daripada menonton film horor. Seorang wanita muncul dan mengenalkan dirinya menggunakan bahasa Jepang yang kami sama sekali tidak tahu apa artinya.
“Yang penting eksyennya! Dialog gak ngaruh lagi, Rim!” sanggah Diva saat aku memprotes film ini tanpa teks dan memintanya mengganti film lain.
Sial! Misi kembali gagal.
Wanita itu kemudian bertemu dengan seorang pria dan adegan yang sebelumnya ada di ruang makan berganti seting di sebuah kamar dengan ranjang ukuran besar. Wanita itu memeluk leher pasangan prianya dan si pria memeluk pinggang wanita itu mesra, kemudian mereka berciuman. Mereka terlihat seperti kelaparan dan berusaha memakan bibir pasangannya satu sama lain. Aku melihat ciuman itu dan membandingkan ciuman yang pernah kudapat selama ini, terutama dari Endo. Ciuman dari Endo terkesan lembut dan tidak memaksa, berbeda dengan ciuman yang saat ini kulihat.
“Ini film vampir Jepang, Di?” tanyaku berbisik.
“Ssst…!” Diva berdesis supaya aku diam.
Bahkan kalau ruangan ini begitu sunyi, Diva tidak akan tahu arti dari setiap pembicaraan di film itu. Aku sedikit kesal dan kembali menonton film itu lagi. Kali ini, adegan si pria melepas pakaian si wanita satu persatu dan mulai menggerayangi tubuhnya. Aku menahan nafas ketika adegan itu berlangsung. Otakku kembali membayangkan saat Endo menyentuh tubuhku semalam. Aku menelan ludah getir (Hati kecilku kembali menampilkan sosok seksi Endo di kepalaku untuk menambah efek dari film ini. Sialan! Ini benar-benar percobaan pengkhianatan). Si wanita melakukan hal yang sama dan dia mendorong si pria ke atas ranjang. Setelah adegan ini, tiba-tiba aku sudah membayangkan si pria adalah Endo dan si wanita adalah diriku.
Mereka (tentu saja di dalam bayangan otakku yang sudah dikuasai pengkhianat –si hati kecil– berubah menjadi adegan ‘kami’) saling meliuk di atas tubuh satu sama lain, saling mencium, menjilat dan juga menggerayangi masing-masing tubuh. Dari atas hingga bawah tidak ada yang terlewat dari semua perlakuan itu. Suara-suara lenguhan dan desahan silih berganti muncul dari mulut si wanita dan speaker Endo terlihat bekerja sangat baik dalam membangun khayalanku bersama Endo. Wanita itu membiarkan si pria mempermainkan tubuhnya dan menerima dengan pasrah semua perlakuan si pria. Sampai ketika di tubuh keduanya tidak tertinggal selembar benang sama sekali, dan ketika si perempuan (sosok diriku terbayang jelas saat adegan ini) menjilat kemaluan si pria (aku tidak tahu bagaimana dengan milik Endo, karena yang terbayang di kepala hanya bagian atas hingga pusar), aku mulai merasa mual. Ketika mereka sudah bersiap untuk ‘bertempur’, pandanganku langsung terasa gelap.
“Mereka baru foreplay aja kamu sudah pingsan. Kebangetan banget jadi cewek!” ujar Diva setelah berusaha sekuat tenaga membangunkanku yang ternyata baru saja pingsan.
Mataku masih sedikit berkunang-kunang dan adegan ‘penyiksaan’ si wanita masih terlihat di Televisi. Aku kembali membayangkan wanita itu adalah diriku. Diriku yang sedang melakukan $#*$ bersama Endo. Perutku terasa bergejolak kembali.
“Matikan, matikan aku nggak kuat!” aku meminta Diva mematikan film itu.
Diva mengambil remote televisi dan mematikan playernya.
“Jangan pernah ajak aku nonton film beginian lagi Di!”
“Apa? Bukannya kalau nonton film Barat kadang juga ada adegan panasnya?”
“Tapi nggak seperti ini! Bahkan di film Barat-pun setiap adegan kayak gitu, aku berusaha merem!” protesku. Diva terbahak mendengarnya dan berjalan ke dapur meninggalkanku.
Dan tiba-tiba ponselku menerima sebuah pesan singkat dari nomer yang tidak kukenal
****

Semua ingatan itu kemudian terputus saat aku melihat Endo di bawahku kembali. Kukira saat ini sudah lewat tengah malam dan aku masih terdiam di posisi yang sama. Endo melihatku bingung dan juga terkejut. Sangat jelas ini kesalahanku sendiri setelah semua ingatan hari sebelumnya.
Pertama, aku sudah menerima ajakan Diva untuk menonton film bokep. Kedua, setelah berusaha begitu keras melupakan si brengsek Tio, tadi siang dia berhasil menghubungiku lagi dengan nomer lain. Ketiga, aku merasa sangat tidak senang dengan teman perempuan Endo yang tadi dia ajak ke apartemen. Mau apa Endo mengajak seorang wanita ke apartemen? (pertanyaan bodoh ini langsung di jawab Hati kecilku dengan lugas, “Makan malam, bodoh!”) Lagipula, untuk apa pertanyaan itu? Aku sama sekali tidak berhak untuk marah untuk setiap teman wanita Endo.
Tapi semua kesalahan itu membuatku bermimpi sangat buruk dan juga aneh! Aku bermimpi tentang film bokep tadi siang, tapi pemerannya aku dan Endo! Semua di mimpiku terjadi sama persis dengan film sialan itu (dan bagaimana bisa aku hafal semua adegannya!), kemudian Tio tiba-tiba muncul dan hendak menghajar Endo. Di saat itulah aku terbangun dan mengucapkan kata-kata ‘ajaib’ yang membuat Endo menatapku cemas dari bawahku.
Astaga!
Aku baru sadar, kalau aku berada di atas Endo, menatapnya dan mengatakan kalimat ‘ajaib’ itu. apa yang harus kulakukan? Apa lebih baik aku pura-pura pingsan atau langsung berbalik untuk berpura-pura tidur kembali? Tapi lengan Endo menahan semua skenario konyolku itu tadi.
Lengan Endo sudah melingkar di leherku dan menarik wajahku turun perlahan mendekati wajahnya (dan Si Hati kecil sudah berjingkrak kegirangan seiring semakin dekatnya kami. Selamatkan aku, bodoh! Beri sebuah ide dan berhenti lompat-lompat!). Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Sedikit lagi bibirnya yang indah itu akan menyentuh bibirku. Ini bahaya, (terutama dengan bau jigong yang bisa keluar secara sporadis melalui sela-sela bibirku. Bisa-bisa kejadian berikutnya adalah melihat Endo muntah-muntah seperti wanita yang sedang hamil muda) sangat berbahaya! Aku harus berpikir cepat! Dan tindakanku selanjutnya adalah meletakan tangan kananku, menutup bibirnya, untuk menghalangi kami berciuman.
Penyelamatan yang sempurna!
Endo sangat terkejut sepertinya dengan tindakanku, dan kesempatan itu kugunakan untuk segera bangun, menjauh darinya.
“Maaf, tadi aku ngelindur!”
Endo terduduk dan menatapku heran.
“Anu, aku tadi mimpi lihat orang jualan es krim. Jadi aku tadi mau bilang, aku mau kamu…” aku menarik nafas dalam, “…beliin es krim.”
Sebuah senyuman mengakhiri alasan bodohku. Es krim apa? Apa tidak ada alasan lain yang lebih meyakinkan (sepertinya alasan aku mimpi melihat nenek-nenek koprol dalam berbagai posisi, dan mau Endo melakukan itu juga, jauh lebih masuk akal). Endo tertunduk, dan aku bisa lihat wajahnya tampak begitu kecewa. Dia menghela nafas dalam.
“Endo maaf,” aku mengamit lengan piyama Endo, tapi Endo tiba-tiba menyentak lengannya keras.
“Maaf,” ujarnya menyesal, “Aku…lebih baik aku tidur di luar.”
Dia menarik bantal miliknya dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkanku sendiri. Aku bisa mendengar suara kulit sofa yang terkena badan Endo, kemudian suasana kembali sepi. Ini adalah saat yang paling aku dambakan selama ini. Bisa tidur sendiri tanpa ada Endo yang selalu membuatku was-was. Harusnya aku menikmati saat ini.
Seharusnya…
****

Endo terbangun saat aku sedang menyiapkan sarapan untuk kami. Dia berjalan lunglai sembari memegang bahunya menuju lemari es, mengambil segelas air kemudian duduk di meja makan untuk meminumnya. Sepertinya sofa bukan tempat yang nyaman untuk tidur. Apalagi dengan badan Endo yang cukup besar. Bahunya yang lebar dan berotot pasti tidak mampu beristirahat dengan nyaman.
Tunggu.
Mau apa aku membayangkan semua bagian tubuh Endo? Semalam aku baru saja bisa mendapatkan ketenangan yang kuinginkan dan pagi ini kenapa aku harus memikirkan itu semua?
“Mau kopi?” tawarku ketika dia melewatiku.
Tanpa banyak bicara, dia hanya menggeleng pelan kemudian segera meninggalkanku menuju kamar. Itu sedikit membuatku merasa kesepian. Biasanya dia akan menemaniku sebentar dan sesekali mencuri ciuman di kening atau pipiku. Tapi kali ini dia hanya melewatiku dan meninggalkanku sendiri dengan perasaan bersalah.
Bahkan saat sarapan, dia sama sekali tidak banyak bicara kemudian pergi meninggalkanku dengan memberikan kecupan sekilas di pipi saat berangkat ke kantor. Apakah ini artinya aku bisa mendapatkan ketenanganku kembali? Aku sedikit berjingkrak dan bernyanyi bahagia (dan hati kecilku sepertinya mengutuk semua tindakanku, sekali lagi kami menjadi pasangan yang tidak kompak).
Semua kebahagiaan itu membuatku memiliki tenaga ekstra untuk membersihkan rumah sampai ke seluruh sudutnya, memanggang beberapa kue kering dan juga sibuk menyetrika beberapa baju. Semua pekerjaan yang membuatku semakin bahagia dan tidak sadar kalau hari sudah menjelang sore, sampai suara ponsel mengagetkanku.
“Halo,” suaraku bahkan masih terdengar riang saat menerima telepon di ponselku.
Tidak ada jawaban.
“Halo?” tanyaku lagi.
Masih tidak ada jawaban.
“Bye-bye!”
“Tunggu!”
Aku kenal suara ini.
Setelah sekian lama bersama dan juga sebuah pengkhiatan, mau apa lagi Kampret tengik ini menghubungiku lagi.
“Rima, aku kangen,” ujarnya.
“Mati sana!” teriakku sembari langsung menutup panggilannya.
Aku menjatuhkan diriku keras ke arah sofa dan memegang kepalaku yang sedikit berdenyut. Mau apa lagi Tio menghubungiku? Untuk apa dia selalu menggangguku? Apa tidak bisa dia meninggalkanku untuk melanjutkan hidup dengan tenang? Setelah semua pengkhianatan dan kejujurannya yang membuatku ingin menyiram wajahnya dengan minyak panas, mau apa dia menghubungiku kembali? Ponselku kembali berdering dan menunjukkan nomer yang sama seperti sebelumnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mematikan panggilannya. Tak lama, ponselku kembali berdering dan itu membuat kesabaranku habis. Aku mencabut baterai ponselku dan menggeletakkannya di meja.
Kenapa dia harus kembali menghubungiku? Aku baru saja bisa bernafas lega dari masalahku yang lain, tapi Tio kembali merongrong hidupku dan mengingatkanku akan semua pengkhianatan yang sudah dia lakukan. Kami dulu bahagia, sangat bahagia, tapi dia kemudian menelikung di belakang dengan Lea. Aku kembali teringat masa-masa ketika aku dan Tio masih bersama, saat kami pergi kencan bertiga, saat aku meminta Lea menemaniku pergi ke tempat Tio. Apa mereka sudah mengkhianatiku sejak saat itu? Apa itu arti dari cara memandang Lea kepada Tio dan begitu juga sebaliknya selama ini? Kenapa aku begitu buta melihat semua tandanya?
Aku mulai menangis karena teringat semua itu. Sebetulnya, aku sudah bisa menerima harus pergi dari sisi Tio, tapi pengkhianatan itu membuat diriku merasa mejadi seorang wanita yang tidak dihargai sama sekali. Seperti kata Diva, aku merasakan rasa percaya diriku jatuh ke lembah terdalam yang hampir tak berujung.
Entah karena terlalu lelah atau karena menangis itu menghabiskan begitu banyak tenaga, aku mulai tertidur di Sofa. Mimpiku kembali memutar adegan ketika Tio mengatakan semua hal yang menyebalkan itu, di Mall. Bagaimana bisa dia menyalahkanku dan memperolok fisikku, tapi masih terus berusaha memintaku menjadi kekasihnya? Apa yang dia pikirkan? Bahkan di dalam mimpi aku masih terus menangis, meratapi nasib cintaku dan juga Tio. Lalu Endo tiba-tiba muncul dan menyelamatkanku seperti biasa.
Seperti biasa?
Dia selalu muncul di saat-saat aku membutuhkan seseorang. Muncul dan memaksakan semua keinginannya. Muncul dan mampu menjebakku untuk mengikuti semua kemauannya. Muncul dan memulai semua perdebatan di dalam hatiku. Muncul dan membuatku bingung akan perasaanku sendiri. Bagaimana bisa mata berwarna keabuan itu menatapku seperti itu? Seakan mampu melihat hingga ke dalam jantungku. Bagaimana bisa bibir yang begitu indah itu menciumku lembut dan membuatku seakan tak mampu bergerak? Bagaimana bisa tubuh yang begitu mempesona itu memelukku erat tanpa meremukkanku? Membuatku selalu terjebak dengan semua yang Endo miliki, tapi juga membuatku ragu akan perasaanku kepadanya.
Aku terbangun ketika hari sudah semakin sore. Ponselku masih tergeletak mengenaskan di meja dan itu membuatku sedikit bersalah (ponsel itu pemberian Ayah ketika aku lulus kuliah dan tidak pernah terpikir untuk menggantinya sampai saat ini). Aku meraihnya dan memasang baterainya kembali, kemudian menghidupkan tombol power-nya. Tak lama satu persatu pesan masuk. Beberapa pesan memberitahukan nomer yang menghubungiku dan bisa kupastikan kalau itu nomer milik Tio. Membuatku harus mencari cara memblokir nomer itu dari ponselku. Kemudian aku melirik pesan lain yang memberitahukan nomer Diva berusaha menghubungiku dan juga nomer Endo.
Gawat.
Aku segera menekan tombol di ponselku dan berusaha menghubungi Endo kembali. Nada sambung terdengar cukup lama dan akhirnya sebuah suara bernada cemas menjawab panggilanku.
“Kamu dimana, Rim?” tanya Endo cemas dan itu membuatku merasa bersalah.
“Aku di rumah,” jawabku lirih.
“Baik, aku sudah hampir sampai di depan pintu!”
Sambungan telepon terputus sepihak dan tak lama suara kunci terdengar dari pintu masuk. Membuatku bergegas menghampiri pintu masuk dan melihat Endo dengan penampilannya yang sedikit kacau daripada biasanya. Rambutnya yang hitam tampak sedikit acak-acakan dan matanya yang kelabu menyiratkan pandangan cemas kepadaku.
“Kenapa ponselmu mati?” tanya Endo masih dengan nada cemas ketika dia melihatku. Bahkan pintu apartemen kami masih belum tertutup sempurna.
“Tadi…aku…”
“Rima, darimana kamu seharian ini?” tanyanya dengan nada sedikit tinggi.
“Aku di sini…”
“Terus kenapa ponselmu mati!” bentak Endo.
Aku terkejut dan hampir menangis mendengarnya berteriak seperti itu. Sungguh, Endo ketika marah seperti ini sangat menakutkan. Dia sepertinya tersadar dan menunduk menyesal, tangan kirinya menarik menyisir poninya ke arah belakang kepalanya dan membuatku bisa melihat raut pucat di wajahnya lebih jelas.
“Maaf,” ujar kami bersamaan dan kemudian membuat kami berdua sama-sama terdiam sesaat kemudian.
“Maaf aku membentakmu,” ujar Endo lirih.
“Tadi, aku lupa menghidupkan ponsel. Maaf sudah bikin kepikiran.”
Endo mendekat ke arahku dan membuatku menahan nafas untuk menerima ciuman yang biasanya bersarang di wajahku. Lama aku menunggu (dan hampir kehabisan nafas. Biasanya tidak selama ini!) kemudian Endo melewatiku tanpa menyentuhku sama sekali. Itu sedikit mengejutkan bagiku (dan hati kecilku mulai mengamuk. Kenapa dia harus mengamuk? Hei, ini suatu kemajuan!), sangat tidak biasanya Endo melakukan hal itu.
Bahkan ketika waktu tidur tiba, Endo lebih memilih untuk tidur di sofa kembali. Meninggalkanku di kamar sendirian. Aku bisa merasakan hati kecilku memberontak dan kembali mengamuk, tapi aku bahagia! Malam ini aku kembali bisa tidur dan bangun dengan tenang.
Tapi kenapa mataku malah tidak bisa menutup?
****

“Kamu kangen dia tuh!”
“Enak aja!”
Aku memprotes keras jawaban Diva di telpon ketika aku menceritakan kesulitan tidurku beberapa malam ini. Aku bahagia dan juga merasa tenang bisa tidur sendiri tanpa harus berdebar karena ada sosok seperti Endo di sebelahku (walaupun hati kecilku terus meratapi Endo. Apa sih maumu?). Paling tidak, aku tidak perlu terkejut saat terbangun dan menemukan diriku sudah memeluk Endo.
“Jangan-jangan Endo sudah bosen sama kamu Rim?” ujar Diva dari seberang sana.
 “Maksudnya?”
“Kamu sih kebanyakan nolak! Alesan juga gak mutu! Bisa jadi dia ngamuk tuh!”
Aku menelan ludah getir mendengar jawabannya itu.
“Ngarang kamu, Di!”
“Dibilangin kok nggak percaya! Udah ah, aku ada janji sama pasien! Met galau ya mbak bro!” jawab Diva sembari mengakhiri pembicaraan kami.     
Aku termangu, terduduk di pinggiran pagar dan menatap gedung yang berdiri megah di depanku. Masih memegang ponselku dan memikirkan apa yang dikatakan Diva barusan. Seharusnya aku malah senang seandainya Endo merasa bosan dengan kehadiranku. Bisa jadi tak lama lagi dia akan melepaskanku. Aku bisa mendapatkan kembali kebebasanku dan kembali kekeluargaku tanpa perlu memikirkan hutang keluarga kami. Atau paling tidak, dia tidak akan membuat hatiku terus berdebar dengan semua sentuhan dan juga godaannya. Satu-satunya masalah mungkin hanya hati kecilku yang terus berteriak.
Pikiranku kembali teringat akan semua sentuhan Endo dan membuat darahku kembali berdesir mengingatnya. Sudah 3 hari ini dia sama sekali tidak menyentuhku sama sekali. Dia masih tetap mengobrol denganku, tapi hanya obrolan biasa. Sebuah obrolan yang ‘dingin’ tanpa ada canda sama sekali. Bahkan dia sama sekali tidak melihat ke arahku ketika bicara. Seakan malas membuat kontak denganku walaupun hanya pandangan. Apa mungkin dia benar-benar marah setelah kejadian ngelindur saat itu?
Aku mengutuk semua perasaan tidak enak yang terjadi saat aku memikirkan semua hal ini. Seharusnya semua hal ini membuatku bahagia, bukannya kebingungan dan merasa bersalah seperti ini. Dan kenapa saat ini aku harus berdiri di sini? Berdiri di depan kantor Endo.     
“Mbak mau apa di sini?”
Suara pak satpam sangat mengejutkanku. Dia melihatku keheranan seakan melihat sosok aneh. Astaga, apa aku melakukan hal-hal yang memalukan dengan tidak sadar? Pak satpam melihatku semakin curiga karena aku tidak segera menjawab.
“Anu… saya…nggak…anu…” jawabku bingung.
“Mbak, mau minta sumbangan ya?” sentak Pak satpam itu.
Aku melotot dan seakan tak percaya. Apa penampilanku seperti orang yang minta sumbangan? Mungkin sikapku mendukung karakter itu, tapi aku bukan peminta sumbangan!
“Mbak mending pergi deh. Disini nggak menerima permintaan sumbangan!”
Aku melongo terkejut mendengar satpam itu berkata dengan nada yang sangat kasar. Membuatku terdiam beberapa saat karena tidak pernah mendapatkan kata-kata sekasar itu. Tak lama satpam itu mendorongku kasar menjauh dari kantor Endo tanpa membiarkanku mengatakan apapun.
“Pak, sakit!” sanggahku berusaha melepaskan diri, tapi satpam itu terus menarikku menjauh.
Aku berusaha mencari pertolongan untuk membantuku lepas dari satpam ini, hingga aku melihat sosok Endo keluar dari kantor. Tenggorokanku tercekat ketika melihat Endo berjalan bersama sosok seorang wanita yang pernah kulihat. Wanita itu tertawa manis seakan membalas perkataan Endo dan Endo terlihat tersenyum.
Itu Sofi.
Aku melepaskan diri dari satpam itu dan berlari menuju taksi yang sedang menunggu penumpang di sekitar kantor Endo. Dengan tergesa aku masuk ke dalam taksi itu dan langsung memberi instruksi bak sinetron-sinetron.
“Mas, ikutin mobil di depan!”
Sopir taksi yang sedang sibuk memakan gorengan sempat terkejut dan hampir saja tersedak melihatku tiba-tiba masuk dan berteriak. Dia sempat terdiam beberapa saat melihatku.
“Ya elah Mas, cepetan ikutin mobil depan. Narik nggak nih?” tanyaku sewot sembari berharap mobil Endo belum menjauh.
“Narik mbak, narik!” jawab sopir itu cepat dan segera menghidupkan mesinnya.
Sepertinya aku memang tidak salah pilih taksi. Mobil Endo sudah menjauh, tapi dengan kecepatan dan juga cara menyetir yang sukses membuatku terbanting-banting di kursi penumpang, membuat aku bisa mengikuti mobil Endo hingga di dalam sebuah mall. Saat aku sudah yakin Endo dan Sofi memasuki Mall itu, aku segera turun dari taksi dan mengikuti mereka.
Endo dan Sofi beberapa kali berhenti di depan sebuah toko dan mereka tampak serius memilih barang. Aku sama sekali tidak tahu barang apa yang mereka cari, tapi yang aku tahu, hatiku terasa sakit melihat mereka berdua. Kenapa Endo harus bersama Sofi? Kenapa dia tidak mengatakan apapun kepadaku dan melakukan ini semua? Setelah beberapa hari dia menganggapku seperti makhluk asing di apartemennya, bagaimana bisa dia tersenyum dan bicara seperti itu kepada Sofi? Dan kenapa mataku terasa panas?
Aku menengadah, berharap tidak ada bulir air mata yang jatuh. Otakku berusaha mengembalikan semua akal sehatku (walaupun Hati Kecilku yang sepertinya makin tidak tahu diri ini terus berusaha mengekspansi akal sehatku), berusaha mengatakan bahwa apapun yang Endo lakukan sama sekali bukan urusanku. Aku tidak lebih cuma sandera untuk pembayaran hutang Ayah dan Endo, berhak jalan dengan wanita manapun yang dia suka. Tapi kenapa dia seakan memberi harapan kepadaku?
Ponselku berbunyi dan cukup nyaring untuk menandakan ada sebuah panggilan yang masuk. Ini gawat, Endo mengenal suara panggilan ponselku dan jarak kami cukup dekat. Aku berlari seperti maling berusaha menjauhi Endo dan Sofi yang sepertinya juga terkejut mendengar suara ponselku. Sepertinya suara ringtone kucing kawin kiriman Diva harus benar-benar ku ganti (persetan dengan semua ancaman persahabatan! Gimana bisa Diva memaksaku memasang ringtone dari suara kucingnya waktu musim kawin hanya untuk alasan kompak. Alasan itu hampir membongkar persembunyianku tadi)
Setelah aku merasa benar-benar aman, aku kembali melihat nomer di ponselku dan berniat mengangkatnya. Nama yang terpampang di layar ponselku membuatku menelan ludah. Aku kembali melirik Endo dan Sofi yang masih berjalan dan terkadang bercanda dari kejauhan sebelum mengangkat ponselku. Mau apa lagi anak ini menghubungiku!
Perlahan aku memencet tombol penerima panggilan.
“Apa maumu, Lea?”  
*****

10 komentar:

  1. jangan² benar kata diva riiimmm.... >„<

    aaaaa, ceritanya semakin keren :D

    BalasHapus
  2. Makasih y mbk crtnya,hhmm,... Kasihan jg y Rima nya,jd org asing,serba salah n ga pd berat,pdhl hati mau Tp nolak

    BalasHapus
  3. Sukurin lo rima, endo ngambek,
    Kahkahkah
    Ah endo paling2 mw bkin rima merasa brsalah, dy prgi am sofi mw beli sesuatu buat rima,bkin kejutan (meski G̲̮̲̅͡åк̲̮̲̅͡ rela mereka pgi b2)
    º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°ºea mba

    BalasHapus
  4. Huaaaaa,,nangiiiissss,,baca nih nangiiiiiiiiiisssssss
    Mba Ike tanggung jwb!!! Kudu posting lagi mlm niiihhh *maksa*
    Hukz,,hukz,,sdih bgtz pas bc adegan Rima dtg kkntor n Endo mlh sm Sofie...
    Mksh Mba Ikeeeeeee....

    BalasHapus
  5. salam kenal mbak rike...

    please..sadarkan rima atas perasaannya...

    cerita nya buat galau.. T__T
    tapi buat ngakak juga (???)...Lol..

    thanks mbak rike..

    BalasHapus
  6. tidakkkk kentang mbaknya hahah . makasih ya mba rik :D

    makin penasaran dengan hubungannya rima dan endo . duh rima sayang ayo cepat sadar itu endo nungguin lho, duh sofi apa yang akan kamu lakukan . endo aaaa ganteng :D

    BalasHapus
  7. Aaaa..:'(
    Ksian Rima..:'(
    Mbak, postny jgn 3 hri skli dong..
    Pnasran + bosen nih nungguinny..:'(

    BalasHapus
  8. aku mulai gak suka sama rima.. egois dan cuma mikirin diri sendiri.. hmm, entahlah.. mending endo sama aku ajaaa.. hihiii.. :D

    BalasHapus
  9. cepetan lanjutannya dong mbaaaaaa hehehehe makasi banyaaaakkk :* -fina

    BalasHapus
  10. Antara kesel n kasihan sama rima.dasarny rima emang krisis PD dperparah sama omonganny tio jd tambah parahlah rasa PDny rima.jd hubunganny sama endo yg kena imbasny.smg rima bs mengatasi krisis PDny n endo bs sabar nunggu rima.
    Tengkyu ya mba rike...ditunggu lanjutanny

    BalasHapus