Senin, 20 Mei 2013

Kawin Kontrak - Bab 9



Jumpe lagi di curhat geje...!!! jreng-jreng-jreng
Kali ini eke bakalan bahas soal warung makan yang sering eke datengin. warung makan lalapan sama tempe penyet yang rasanya kadang wuasiiinnnn, tapi gak tau kenapa kok bikin nagih (dan harus siap sama kadar garam yang meninggi di aliran darah).
Banyak cerita soal warung makan ntu, terutama para pelanggannya. Ada beberapa pelanggan yang jadi sorotan eke. Pernah ada pelanggan yang bawa anakknya dan si anak melakukan hal absurd yang langsung bikin eke memutuskan gak pernah lagi maenan tusuk gigi warung. Anak itu maenan tusuk gigi warung, dibuka tutup tempatnya, trus dimainin serasa dia main lego. belum selesai sampai itu aja, anak itu masukin tuh tusuk gigi ke mulutnya, beberapa sih, trus di kembalikan lagi ke tempatnya. Weekkkssss, setelah itu eke kena sindrom jijay tusuk gigi. dan Dara, anak eke, bakalan eke larang maenan tusuk gigi warung. Selamanya! (selamanya...selamanyaa...selamanyaa... ===>echo)
Ada lagi pelanggan mas-mas yang dengan tampang lumayan dan sedikit sangar, berbadan rembo, tapi ternyata berhati Rinto. Dengan kaus putih, gadget keren dan wajah keren dateng sama temennya yang laki juga. Eke berusaha ngintip ke tangan mereka dan alhamdulillah, enggak gandengan. Dan yang paling bikin eke tersentuh sekaligus pengin nyakar adalah saat si Mas ngasih krupuk ke Dara. Eke tersentuh, tapi tuh krupuk enggak enak mas, harusnya ente ambil yang bagian agak gosong. Jadi kalo si Dara dah bosen, emaknya bisa makan krupuk gratis nan enak. Jadi, sebelumnya si mas-mas rupawan ini dah merhatiin tuh bocah dan kadang nelempar senyumnya yang super manis. Eke jadi tersipu malu dan sedikit curiga. Nih mas-mas seneng liat anak kecil, atau mau jadiin anak eke calon istrinya? karena eke orangnya selalu positiv thinking, eke milih opsi pertama (padahal jelas banget eke dah kelewatan kepikiran opsi kedua).
YAng ketiga yang paling fenomenal. Cowok lagi dengan badan gedhe (kliatan fitnes ya bookk) dan kaos hitam juga potongan sangar. matanya kalo liat semua orang serasa dingin. Pas pertama eke liat langsung rada ngeri. Busyet... mas-mas cool ne, pikir eke. dan tragedi terjadi pas temennya dateng. Doi langsung nyapa dengan nada dan suara yang ngondek abesss boookkk.... dan eke langsung nangis darah dalam hati, mikirin cowok ganjen sudah mulai merambah dunia tampang dan body lumayan....
Apa-apaan ini! wakakakakakkakak




BAB 9
RIMA

Acara malam ini benar-benar acara kesukaanku, terutama ketika malam menjelang tidur seperti ini. Sebuah acara komedi yang sanggup mengocok perutku tiap malam dan membuat mimpiku menjadi lebih menyenangkan. Semua pelawak di acara itu selalu sanggup membuatku tertawa terbahak.
Kecuali malam ini.
Aku benar-benar tidak mampu tertawa malam ini. Keringat dingin menetes deras di keningku ketika Endo sudah mulai memasuki kamar. Dia duduk di sampingku di ranjang sembari ikut menikmati acara yang kulihat. Sesekali dia tersenyum mendengar lawakan dan juga tingkah para pelawak di acara itu, tapi tidak denganku. Darahku langsung terkesiap setiap ada pergerakan dari tubuh Endo (berbeda dengan hati kecilku yang mulai menari salsa setiap itu terjadi. Kapan dia belajar menari salsa?), bahkan terkadang otomatis badanku akan berjengit kaget setiap kali Endo melakukan gerakan. Hingga aku merasa Endo tak bergerak dalam waktu yang lama.
Dia tertidur.
Wajahnya terlihat begitu kelelahan seperti tadi sore saat aku menemukannya tertidur di sofa ketika hendak menyiapkan makanan. Apa dia tidak pernah istirahat dengan benar selama ini? Apa pekerjaannya benar-benar berat? Aku hanya bisa bertanya-tanya melihat keadaannya sekarang. Masih terduduk di ranjang, Endo sudah begitu terlelap di dalam tidurnya. Itu akan membuat dirinya semakin kelelahan ketika terbangun. Dengan perlahan aku mencoba menarik kepalanya turun dan membaringkannya di atas bantal. Begitu perlahan, berharap dia tak terbangun, kemudian menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang tersedia di atas ranjang.
Ketika aku mulai berpikir untuk tidur di sofa, tangan Endo tiba-tiba menarik pinggangku ke arahnya. Aku hampir berteriak dan meronta ketakutan kalau saja aku tidak melihat kedua mata itu masih tertutup.
“Endo, kau bilang tidak akan memaksaku!” aku mengingatkannya akan semua ucapan yang baru dia katakan tadi.
Sebuah dengkuran yang perlahan dan teratur di belakang tengkukku membuatku tersadar, Endo menarikku sembari masih tertidur. Kalau aku membangunkannya, itu akan membuat harinya esok akan sangat melelahkan. Tapi, aku tak bisa membiarkannya tidur sambil memelukku seperti ini. Ini sangat buruk dan bisa membuat persediaan nafasku berkurang setengah (rasa panik bisa membuat seseorang seakan kehabisan nafas. Aku sangat tahu itu karena aku mengalaminya sekarang!).
Apa yang harus kulakukan?
****

Suara ketel air yang berdecit karena mendidih membuatku tersadar dari lamunan setengah mengantukku. Aku bergegas mematikan apinya dan kembali mengaduk saus tomat buatanku dengan sebuah sendok kayu. Di dalam kulkas yang hampir kosong (sepertinya seseorang harus berbelanja untuk mengisinya. Aku merasakan sepi ketika membuka kulkas ini), aku menemukan sebungkus spagheti yang masih utuh dan beberapa kaleng kornet, jadi kuputuskan menu pagi ini adalah spagethi saos tomat.
Masih sedikit mengantuk dan beberapa kali menguap lebar, aku terus mengaduk saos tomat dan mulai memasukkan spagheti yang sudah kurebus sebelumnya. Hari ini masih pagi, bahkan masih terlalu pagi dari waktuku biasanya terbangun, dan itu semua karena kejadian semalam. Semalaman aku berusaha melepas pelukan Endo, tapi bagaimana bisa lengannya begitu kuat memeluk tubuhku. Apa mungkin karena tubuhku yang begitu kecil sehingga Endo hanya mengiraku sebuah guling (itu bukan salahku kalau tubuhku begitu kecil. Aku sudah berusaha melakukan semua hal untuk membuatnya jauh lebih tinggi, tapi sepertinya semua hormon untuk tinggi itu diambil Odea, termasuk gen menawan dari keluarga kami!), atau sebetulnya dia hanya berpura-pura tertidur? Tapi dengkurannya dan hembusan nafasnya kemarin begitu teratur dan benar-benar menandakan kalau dia tertidur. Sekali lagi wajahku memerah ketika mengingat rasa hembusan nafas Endo di tengkukku.
Aku berusaha melepaskan diri dari Endo semalaman (mulai berusaha mengangkat lengannya yang kuat, mengecilkan tubuhku yang sudah kecil, terakhir berpura-pura mati), tapi gagal. Lengan Endo begitu kuat memelukku dan tidak mampu tergoyahkan. Itu benar-benar membuatku hampir terjaga semalaman, dan ketika aku terbangun, aku sudah memeluk erat lengan Endo yang sebelumnya memeluk perutku. Membuatku terkejut dan segera terbangun dari ranjang. Kemudian memutuskan untuk segera mandi dan memasak untuk sarapan untuk menghilangkan pikiran-pikiran aneh dan juga meredam sorakan hati kecilku yang menjadi-jadi. Walaupun jujur, aku merasa sangat nyaman memeluk lengannya (dan sempat terbesit, ingin secara tidak sengaja memeluk tubuhnya ketika nanti kami tertidur lagi. Aarrgghh….ini pasti pikiran kotor yang dihembuskan hati kecilku).
“Wangi.”
Aku tersentak, terkejut ketika mendengar suara itu dan hampir menjatuhkan sendok kayuku. Ketika berbalik, aku melihat Endo tersenyum dengan penampilan bangun tidurnya yang terlihat sangat sensual. Rambut acak-acakan, kaos yang kusut dan juga wajah yang masih separuh mengantuk. Itu semua membuatnya terlihat tampan dari sisi lainya yang biasanya terlihat selalu rapi. Aku membandingkannya dengan wajah bangun tidur yang biasanya selalu hadir di cerminku setiap pagi. Rambut-acak-acakan, kotoran di sudut mata, wajah pucat seperti kekurangan darah dan tidak lupa bekas liur yang tercetak jelas di sudut bibirku, memanjang hingga pipi (astaga, aku lupa memeriksa bantal bekasku tertidur tadi. Semoga di sana tidak ada pulau yang tercetak). Kalau saja aku tidak ingat bahwa itu diriku, bisa kupastikan aku akan berteriak ketakutan seperti melihat setan di dalam cermin.
“Endo, aku membangunkanmu?” tanyaku sedikit cemas.
Dia menggeleng pelan.
“Kopi atau teh untuk sarapan pagi?” tanyaku lagi.
“Sepertinya pagi ini lebih enak segelas kopi pahit,” jawab Endo setelah berpikir sejenak.
Aku bergegas mengambilkan sebuah mug dan mengisinya dengan bubuk kopi. Untung saja hari ini aku bangun lebih awal, setidaknya aku bisa kembali mengingat letak barang-barang Endo di dapurnya. Walaupun sebetulnya semuanya tertata rapi dan terorganisir dengan baik. Endo terlihat mengaduk pelan spagheti di atas wajan sembari menungguku membuatkannya kopi.
“Kamu pintar memasak, dan ternyata kamu juga pintar membuat segelas kopi,” puji Endo ketika dia meminum pelan segelas kopi yang kuberikan. Aku tersipu malu dan berusaha menahan diri supaya tidak bertingkah berlebihan (yang biasanya berakhir memalukan) setiap kali mendengar pujian
“Itu karena kopinya yang enak,” jawabku sembari memasukkan beberapa bumbu ke dalam spagheti buatanku.
“Tidak, aku juga membuat kopi setiap pagi dan tidak pernah bisa membuatnya jadi seenak ini. Apa rahasianya?”
Rahasia?
Tidak ada rahasia.
Aku tidak pernah memasukkan upil ke dalam kopi buatanku, atau memberinya jampi-jampi supaya lebih terasa enak. Kemudian aku tersadar dari semua pemikiran (atau khayalan liar) itu. Aku tersadar kalau Endo hanya memuji dan akhirnya kuputuskan memberinya senyuman sebagai jawaban.
“Jadi benar-benar rahasia ya?”
“Apa?” aku terkejut mendengarnya kemudian mulai panik. “Tidak ada rahasia, sungguh gak ada upil atau jampi-jampi di dalam kopinya!”
Endo terkejut mendengar jawabanku, kemudian terbahak keras. Selamat Rima! Kamu kembali terjatuh di lubang yang sama. Lubang dengan tulisan besar di dasarnya, ‘LUBANG MEMPERMALUKAN DIRI DI HADAPAN ENDO’. Kamu kembali terperosok di lubang itu untuk kesekian kalinya. Seharusnya lubang itu sudah tertutup saat SMA, tapi semenjak Endo kembali datang, lubang itu kembali terbuka dan semakin lama semakin lebar.
“Bodoh…bodoh…bodoh!” bisikku kepada diriku sendiri sembari kembali mengaduk spagheti di hadapanku.
“Apa rencanamu nanti?” tanya Endo sembari mengambil beberapa piring di konter bawah.
“Aku mau ke toko, untuk ketemu Ayah dan Diva di rumah, kemudian belanja. Sepertinya ini bahan makanan terakhir di kulkasmu. Ada pesanan mau makan apa untuk seminggu ini?” tanyaku.
Endo menyesap kembali kopinya kemudan tampak berpikir sejenak.
“Kapan kamu mau belanja?”
“Mungkin sedikit sore, aku pikir ada beberapa bahan yang bisa dibeli di supermarket. Untuk bahan segar, besok pagi aku mau belanja di pasar aja.”
“Baik, pulang dari rumahmu, minta Diva untuk mengantarkan ke tempat fitnesku. Nanti aku yang mengantarkan kamu belanja!”
“Heh, apa?” tanyaku bingung, tapi Endo sepertinya tidak mendengar karena dia terus berjalan menuju kamar dan mulai menutupnya.
****

“Aku nggak tau, kamu itu bodoh atau lugu!” jawab Diva waktu aku menceritakan semua kejadian kemarin.
Aku mencibir semua omongannya. Aku adalah gadis yang jadi korban saat ini, dan bagaimana bisa dia bilang seperti itu. untung saja saat ini Ayah masih belum pulang dari mengantarkan Odea kembali ke kampus. Aku melihat jam tanganku cemas, sore mulai datang, tapi Ayah masih belum datang.
“Trus aku harus gimana?” tanyaku sebal.
“Manfaatkan dia seperti dia manfaatin kamu. Rayu dia sampai dia gak bisa berkutik terus porotin semua duitnya!”
Aku mengernyit mendengar semua kata kejam Diva.
“Di, kayaknya kamu harus menghindari nonton sinetron deh. Lagipula dia itu sepupumu, gimana bisa kamu setega itu bilang semua rencana antagonismu ke aku!”
“Pertama, kamu yang meracuni aku sama sinetron. Kedua, dia sepupuku, tapi dia juga manfaatin semua masalah kamu,” Diva berdehem sebentar, “Ketiga, sekarang kamu sudah mulai ngebela dia.”
Aku menelan ludah getir mendengar opsi yang ke empat.
“Kenapa Ayah belum pulang sampai sekarang?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Diva melengos kemudian melihat jam tangannya.
“Sepertinya Ayahmu pulang malam. Anak perempuan satu-satunya baru saja dipaksa menikah, dia butuh waktu untuk nerima itu semua,” jawab Diva.
“Sok tahu!”
“Ayahmu cerita sendiri ke aku, bodoh! Ayo kuantar ke tempat Endo!”
Diva menarik tanganku meninggalkan toko sementara Ina mulai menutup toko. Tak lama aku sudah berada di dalam mobil Diva dan melaju menuju tempat fitnes Endo.
“Dia fitnes?” tanyaku bingung.
“Sepertinya sih bukan. Terakhir kutahu, dia latihan aikido di sana sama komunitasnya. Istilahnya, pinjam tempat,” jelas Diva.
“Kamu nggak ikut? Bukannya kamu juga suka berantem?”
“Bela diri, Rima. Aku ikut, tapi sekarang sudah jarang. Banyak kerjaan sama males ngurusin gerombolan cewek penggemar yang rese di sana.”
Darahku terkesiap tiba-tiba ke atas kepala. Di telingaku terdengar samar-samar alarm tanda bahaya mulai berbunyi. Alarm yang sama yang terdengar saat aku SMA, bertemu dengan gerombolan nenek sihir yang siap memakanku.
“Endo?” tanyaku ketakutan.
Diva menaikkan bahunya.
“Siapa lagi” jawabnya santai.
“Aku tunggu di mobil aja kalo gitu!”
“Terus, aku yang manggilin Endo? Ogah!”
Diva membelokkan mobilnya ke arah parkiran sebuah tempat fitnes yang cukup besar. Setahuku tempat fitnes ini masih cukup baru, dan seperti biasa kesukaan Endo, ada tulisan ‘mahal’ yang tak kasatmata tertempel jelas di pintu masuknya (seolah teriak kepadaku, “Yakin loe mau masuk sini?”)
“Turun, atau aku seret kamu ke Endo!” ancam Diva.
Aku gemetar ketakutan membayangkan kejadian ketika SMA akan terulang kembali. Tatapan para wanita yang menusuk dan juga cacian-cacian yang sambung menyambung, itu mengerikan! Tapi Diva seakan tidak peduli, dia membuka pintu mobil dan menarikku turun menuju tempat fitnes itu. Bagaimana bisa aku punya seorang sahabat yang kejam, sadis dan berdarah dingin seperti Diva (itu kuucapkan dalam hati. Sangaaatttt….berbahaya mengatakan hal itu langsung di hadapannya. Apalagi kalau nyawamu cuma satu).
Udara berubah menjadi dingin dan terasa sangat berat ketika aku memasuki tempat fitnes itu. Senyuman resepsionis yang begitu manis, terasa seperti seringai vampir yang siap menghisap darahku (tolong, jangan bayangkan Edward Cullen dan keluarganya yang tersenyum). Dia menyapa Diva dan dibalas dengan senyum bisnis milik Diva. Aku melihat sekeliling dan tampak ruangan-ruangan yang di batasi oleh kaca tembus pandang, sehingga kami bisa melihat isi di dalam ruangan itu. Hingga mataku tertuju pada sebuah ruangan yang dikelilingi wanita-wanita berbaju senam yang saling berteriak satu sama lain. Itu dia tempat Endo.
“Di, aku mules, aku ke kamar mandi dulu ya!”
“Jangan banyak alesan! Setor muka dulu sama Endo baru boleh boker!” sentak Diva.
Sialan! Taktik gagal.
Diva menarikku keras ke arah para wanita itu dan aku mulai komat-kamit membaca doa. Ini jauh lebih menegangkan daripada saat aku harus ujian skripsi. Lebih menegangkan juga daripada saat aku harus naik Roller Coaster. Seakan, salah langkah sedikit saja, para wanita itu sudah siap untuk memakanku. Diva membelah kerumunan itu untuk mencari pintu masuknya dan beberapa di antara mereka mulai memberikan pandangan menusuk, tapi dia sama sekali tidak peduli (aku sangat yakin kalau kulit hati Diva dibuat dari kulit badak yang ketebalannya mampu menolak semua padangan dan juga sindiran yang sangat mengintimidasi itu). Dia menarikku lebih mendekat menuju ke arah depan pintu kaca dan mengetuknya keras.
Dia di sana.
Dengan dada telanjang memperlihatkan tubuh yang sangat terpahat sempurna, keringat yang menetes di seluruh tubuhnya, kaki jenjang yang berbalut celana putih dan juga mata kelabu yang melihatku setelah menyadari suara ketukan Diva. Endo di sana, bersama beberapa pria lain yang juga penuh peluh, dan dia memberikan senyuman menakjubkannya ke arahku. Aku tersenyum ketakutan membalasnya (bayangkan, kau berada di ruangan penuh hewan buas dan memakai kostum kambing sambil menyanyi ‘Aku Mangsa Kalian’, itu keadaanku sekarang), membuat mata para wanita ganas itu melihat langsung ke arahku dan Diva. Diva melambaikan tangannya dan menemui para pria di dalam sana. Itu membuat peranku menjadi tersamarkan (seolah kami berdua memakai kostum kambing, tapi Diva yang bernyanyi lagu ‘Aku Mangsa Kalian’), membuat para ‘pemangsa’ itu menjadikan Diva sebagai targetnya.
Misiku sudah selesai. Endo sudah melihatku dan Diva sudah melepaskan pegangannya. Sekarang saatnya untuk mencari tempat bersembunyi yang paling aman sebelum keadan berubah menjadi tidak mendukung. Aku berjalan mundur, berusaha menjauhi kerumunan dan mencari tempat persembunyian, hingga aku menabrak seseorang di belakangku.
“Maaf!” ujarku cepat, membayangkan seseorang yang marah karena aku sudah mengganggunya melihat Endo.
“Kamu nggak apa-apa? Aku yang minta maaf,” ujar wanita itu lembut.
Dia wanita yang sangat cantik dengan senyum yang menawan. Rambutnya yang bergelombang sebahu, kulitnya yang mulus kecoklatan dan hidungnya yang mancung membuat kata ‘cantik’ tidak cukup untuknya. Tingginya tidak jauh beda denganku, tapi wajahnya memperlihatkan kesenjangan yang sangat besar dibandingkan denganku (dia wanita yang akan dipanggil ‘imut’ dan aku adalah wanita yang cenderung dipanggil ‘kuntet’ biarpun kami punya tinggi yang sama).
“Maaf, aku terlalu kosentrasi melihat temanku di dalam sana, kamu ada yang luka?” tanyanya penuh perhatian. Jadi dia juga mau masuk ke kerumunan ‘pemangsa’ di belakangku.
Aku menggeleng takjub kemudian memberi senyuman pemberi semangat (di dalam hati aku dengan lantang bicara untuknya, “semoga berhasil dan kudoakan keselamatanmu!”). Dia terkekeh melihatku kemudian memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala. Itu sedikit membuatku malu. Sekali lagi aku muncul di tempat mahal seperti ini dengan penampilan yang sangat biasa-biasa saja. Apalagi dibandingkan dengan wanita di depanku. Wangi, cantik, dan juga pakaian yang dia gunakan, walaupun cuma kaos dan juga rok mini, tapi itu jelas sangat bagus dan mahal (kenapa kata mahal itu muncul terus di otakku!). Aku menunduk malu dan dia sepertinya mengerti itu.
“Maaf, ini kebiasaanku. Kebiasaan buruk untuk melihat seseorang seperti itu. Aku harap kamu nggak tersinggung!” ujarnya cemas. Aku tersenyum menggeleng. Selain cantik, wanita ini juga sangat ramah. Betapa tidak adilnya hidup ini!
“Aku lihat kamu datang sama perempuan yang sekarang lagi di dalam sana,” dia menunjuk ke arah Diva yang saat ini terlihat berdebat dengan Endo (bertengkar apalagi mereka sekarang!), “Kamu kenal dia? Mereka pacaran?”
“Bukan, itu Diva, sepupu Endo,” jawabku cepat.
Dia tersenyum puas mendengar jawabanku.
“Kamu temennya?” tanyanya lagi, “Ah maaf, aku Sofi.”
“Rima, teman Diva” jawabku membalas jabatan tangannya, “Maaf, aku permisi dulu.”
“Senang kenal kamu, Rim!” sapa Sofi sembari melambaikan tangan ke arahku yang menjauhi tempat ini. Aku membalasnya kemudian segera berlari ke arah parkiran.
Saat ini, parkiran adalah tempat yang jauh lebih aman!
****

“Kamu mau belanja untuk setahun?” tanyaku bingung ketika Endo mulai memasukkan beberapa bahan ke dalam troli belanja kami. Dia kelihatan bingung kemudian menatapku minta penjelasan.
“Itu semua terlalu banyak. Lagipula, ambil yang merk biasa aja, jangan yang mahal!” lanjutku sembari mengembalikan beberapa barang ke tempatnya semula.
“Harga kadang nggak bisa bohong sama kualitas, Rima!” jawabnya sembari mengambil lagi merk yang jauh lebih mahal dan mengembalikan pilihanku.
“Itu berat di kantong, Endo!” jawabku sebal.
Endo terkekeh kemudian membelai kepalaku lembut. Sial! Itu teknik hipnotisnya lagi. dengan tekniknya itu, aku tidak bisa lagi menyanggah semua keinginannya!
“Kamu mau buat kue?” tanya Endo ketika aku mengambil beberapa kemasan tepung terigu. Aku mengangguk mantap sembari memeriksa tanggal kadaluarsa yang tertera di sana.
“Kamu suka kue kering manis atau gurih? Kue basah kukus atau panggang?” tanyaku menawarkan.
“Lidahku nggak pilih-pilih!” jawabnya riang.
Bagus, itu meringankan dalam pekerjaan memasakku.
“Kenapa tadi kamu nggak masuk sama Diva?” tanya Endo tiba-tiba ketika aku mulai memilih butter.
Aku terkesiap dan menjatuhkan kaleng butter. Untung saja tangan Endo cukup sigap untuk menerimanya sebelum kaleng itu jatuh ke lantai.
“Di dalam kelihatannya penuh!” jawabku singkat.
Itu cuma alasan pengalihan, alasan sebenarnya karena aku takut dimangsa. Lagipula pemandangan Endo yang seperti tadi terasa terlalu menyilaukan (dan membuat hati kecilku bisa menguasai tubuhku lagi seandainya pemandangan seperti itu berlarut-larut. Sekali lagi secara tidak sadar otakku di kendalikan hati kecilku untuk berpikir bagaimana cara memeluk tubuh Endo nanti malam), dengan kata lain itu sangat berbahaya.
“Jadi, kamu suka yang sepi ya?” tanya Endo setengah berbisik.
Perasaanku mulai tidak enak.
Berbisik itu selalu berujung buruk seandainya Endo yang melakukan.
“Kalau di ranjang nanti malam?” kali ini Endo benar-benar berbisik di telingaku.
Benar kan!
Endo lagi-lagi berusaha menggodaku dan dia sangat berhasil. Wajahku terasa panas karena menahan malu. Aku berusaha mengalihkan pikiranku (dan suara hati kecilku yang berkali-kali mengatakan, “aku siap, ganteng!”) dengan membaca komposisi dari bahan agar-agar yang kupegang.
“Kamu gugup, Rim?” tanya Endo di telingaku.
Iya!
“Nggak!”
“Jangan bohong!”
Jelas aku gugup, Ganteng!
“Nggak!”
“Kalau gitu, kenapa bacanya terbalik?” ujar Endo sembari membetulkan bungkus agar-agar yang kubawa.
Mampus!
Endo menempelkan kepalanya di tengkukku dan kurasakan gerakan dari tubuhnya beraturan dan cukup cepat. Sialan, dia tertawa! Dia tertawa di belakangku, menertawakan semua kegugupanku gara-gara semua omongannya. Sementara aku berdiri kaku di sini, dia tertawa di belakangku. Dan apa-apan ini, aku merasakan tangannya mulai memeluk perutku, di sini, di tempat umum. Walaupun sepi dan tidak ada yang memperhatikan, tapi ini sangat memalukan!
“Ada Eyang Bubur terbang!” teriakku sembari menunjuk ke langit-langit (Sungguh, aku tadinya mau bilang Superman, tapi kenapa malah tokoh sinetron itu yang keluar. Sepertinya aku benar-benar keracunan sinetron!).
Endo terkejut dan menatap ke arah yang kutunjuk. Itu membuat lengannya mengendur dan membuatku bisa melepaskan diri dari pelukannya.
“Aku, mau ke toilet dulu. Nanti tunggu di depan kasir aja ya!” ujarku sambil berlalu meninggalkannya.
Aku berlari ke arah toilet sambil memegang pipiku yang merona merah. Sekali lagi kabur dari kenyataan dan menggunakan toilet sebagai alasan. Kulihat wajahku di cermin dan tampak jelas di sana wajah mungil yang memerah karena malu. Mata lebar, hidung mungil dan bibir tipis. Betapa aku merindukan wajah Angelina Jollie, bisa mampir sejenak di hidupku (atau mungkin Anne Hathaway). Di sebelahku tampak beberapa anak yang sepertinya masih SMA sibuk memakai lipstik dan juga bedak di wajah mereka. Terakhir kali aku melihat peralatan make-up selengkap itu ketika berada di ruang make-up bersama perias dan juga emban setianya. Mereka saling tertawa dan memoles wajah satu sama lain, pemandangan yang membuatku benar-benar terpaku, memperhatikan mereka memakai semua peralatan itu.
Tatapan ngeri anak-anak SMA itu membuatku tersadar kalau aku terlalu lama memperhatikan mereka. Mereka bergerombol dan segera membereskan peralatan mereka dan kabur dari toilet, menjauhiku. Sekali lagi aku mengutuk kelakuanku yang aneh. Aku melihat diriku sendiri di cermin besar toilet dan menatap sosok tidak menarik di sana. Sepertinya semua yang dikatakan Tio benar, aku bukan wanita yang menarik. Tanpa make-up, tanpa pakaian yang modis dan tubuh yang hampir mirip papan. Aku kembali teringat akan wanita yang tadi kutemui di tempat fitnes. Dia memiliki postur yang sama denganku, tapi dia terlihat sangat cantik dan menarik dibandingkan denganku. Aku segera membasuh kembali wajahku dengan air untuk melupakan semua pikiran itu.
Langkahku sedikit gontai ketika keluar dari kamar mandi. Kenapa juga aku harus berpikir bagaimana menjadi wanita yang menarik, terutama bagi Endo. Pernikahan kami akan segera berakhir begitu aku mendapatkan uang untuk melunasi semua hutang keluarga kami. Aku tidak bisa menjadi istri Endo selamanya. Dia adalah pria yang sangat jauh berbeda denganku. Aku selalu merasa bahwa yang dia lakukan hanyalah perasaan sesaat saja, sebuah pemenuhan ego, bukan cinta. Aku tidak pernah berpikir akan mendapatkan cinta dari Endo, karena aku bukanlah sosok yang sempurna untuknya.
Langkahku terhenti ketika melihat sosok Endo dari kejauhan. Berdiri bersandar di tiang mall dan tangannya disandarkan di troli yang sudah berisi beberapa kantung belanjaan kami. Sosok itu mampu membuat siapa saja jatuh cinta (termasuk pria dengan kelainan seksual. Ini serius, pernah terjadi pada Endo, disukai temannya yang berjenis kelamin sama. Aku merinding mengingat saat ‘teman’nya itu berusaha merayu Endo). Walaupun dia tidak memakai setelannya seperti biasa dan hanya memakai kaos dan celana jeans seperti saat ini, dia terlihat sangat menawan. Badannya yang terbentuk sempurna, matanya yang kelabu indah, dan kulitnya yang putih kemerahan, bagaimana seseorang bisa menolak semua itu?
Aku bersembunyi ketika melihat Endo di datangi kerumunan cewek (dan aku bisa merasakan hati kecilku berteriak-teriak marah karena aku justru sembunyi). Hei, itu para cewek SMA yang bersama denganku tadi di toilet. Mereka bergerombol dan terlihat ingin berkenalan dengan Endo. Endo terlihat hanya tersenyum kemudian mengangkat tangan kirinya, menunjukkan jari manisnya yang sudah terisi cincin berwarna putih, cincin pernikahan kami. Para gadis itu terlihat kecewa dan tak lama kemudian mereka pergi meninggalkan Endo kembali lagi sendiri. Aku termangu melihat hal itu. Masih bersembunyi di balik etalase toko, aku melihat cincin pernikahan kami yang melingkar di jariku. Cincin itu terlihat sederhana dengan ukiran nama kami di bagian dalamnya (cincin itu hasil berdebatku dengan Endo di toko perhiasan karena dia selalu memilih cincin dengan berlian besar di tengahnya). Kenapa dia mau mengikatku dengan pernikahan ini? Apa semua ini karena dia merasa bersalah dengan semua kejadian yang dulu pernah kualami?
“Kenapa di sini?”
Aku terperanjat keras ketika mendengar suara itu. Jantungku berdetak keras dan terasa hampir lepas. Endo terlihat kebingungan sembari menarik troli yang berisi semua belanjaan kami.
“Aku melihat-lihat sebentar!” jawabku berbohong. Dia tidak boleh tahu kalau aku baru saja memperhatikannya dari kejauhan.
Endo melihat ke arah etalase toko tempatku bersembunyi. Sekali lagi aku melihat seringai di wajahnya yang tampan.
“Kamu boleh ambil itu atau beberapa model lagi, Sayang. Aku penasaran bagaimana hasilnya di tubuhmu nanti malam,” ujar Endo pelan sembari tersenyum nakal kepadaku.
Apa arti semua ucapannya itu? Apa dia bicara bahasa planet lain? Kenapa aku tidak mengerti maksud semua ucapannya? Endo tersenyum puas sambil terus melihat etalase toko. Aku berbalik keras dan melihat apa yang dia perhatikan.  
Sial!
Ternyata aku bersembunyi di balik etalase toko yang menjual baju tidur dan lingerie. Dan saat ini yang ada di hadapanku adalah lingerie terpanas yang pernah aku lihat. Dengan kain berwarna merah yang menerawang dan celana dalam yang bahkan tidak bisa kusebut celana dalam dengan semua tali-tali itu. Bagaimana bisa aku tidak sadar dengan semua ini? Ini benar-benar memalukan. Apa hidupku ini ditakdirkan untuk terus bersikap memalukan di hadapan Endo?
Sebuah sentakan kurasakan di lenganku. Endo terlihat sangat bersemangat menarikku memasuki toko itu. Ini tidak boleh terjadi karena ini sangat memalukan. Semua lingerie itu, nanti malam, tubuh Endo, kepalaku mulai berpikir segala macam hal yang mungkin terjadi dan itu tidak boleh terjadi. Aku berusaha meronta, menariknya kembali untuk keluar dari toko itu, tapi sebuah kecupan di sudut bibirku meruntuhkan semuanya.
Sialan, hipnotis itu lagi!
****

35 komentar:

  1. wkwkwkwk.
    endo jangan menyerah bwt ajak rima ke ranjang.

    rima2 so g mau ih.


    makash mb ike

    BalasHapus
    Balasan
    1. weksss...pan merekasudah seranjang. wekekekekkekekekek

      Hapus
  2. "Ada eyang bubur terbang!!" Hihi...ngakak bacanya, dasar Rima!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. wekekekekekekekek...
      rada ajaib emang cewek satu ntu

      Hapus
  3. wkwkwkwkw
    ya ampun pagi2 udah di suguhin pemikiran rima yg kocak
    trims sis ike

    BalasHapus
    Balasan
    1. semoga pemikiran Rima yang kocak bisa mencerahkan hari-hari semuanya. wakakakakakakkakaka

      Hapus
  4. mbak rike cerita nya sweet banget.. hihi, bikin cekikikan juga..
    thanks ya mbak.. dinantikan kelanjutannya.. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. waa.... pastibacanya sambil ngemut gula. wekekekekekekek...makasihhh... mampir terus yaaa

      Hapus
  5. Oiyeee lupe,udh baca mggu kmrin.wakakakakak
    Komengnya jg udh d bab yg lalu :D
    Baca openingnya aj lah,wakakakakaka
    Ketmu matt bomer ya mba ike,xixixixi

    BalasHapus
    Balasan
    1. weks.... megelno arek iki.pasti termasukgolongan pembaca salting eke. wekekekeekekekekkeekekekek... kamu beruntung anak muda!

      Hapus
  6. Waakaakakakaaakkkkkkk...sumpaahhhh ngakaaakkkk ngakaaakkkk habiiiissss bc klakuan Rima
    Xixixxixi
    Mba Ikeeeeeee pnjem dah Endony sehariiiii ajjh... *usaha*
    Mksh Mba Ikeee crtany keyeennnn

    BalasHapus
    Balasan
    1. boleh kalo mau pinjem. bilang RIma ya. wakakakakakakakk

      Hapus
  7. wkwkwkwkwkwkwk..........rima emang lucuuu.....tingkahnya

    BalasHapus
  8. Endo bikin ketagihan euyy! Nambah lg dong mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. wekekekekekekekk bolehhh... senin depan yaaa

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  9. Ampun dech Rima ga PD bgt ddpn Endo... Rima klo cewek lain jdi istri Πγª Endo Ʊϑɑ̤̈̊ħ dterkam tuch suami ganteng kya gtu..trus Dpajang kmna2.. Eh Rima mlah sembunyi dpojok. Heheh. Mba lanjutan Πγª jgn lama2 ya, penasaran bgt nunggu lanjutan Πγª ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. ekekekekekekek singa kali diterkam.
      wekekekekekek.. sabar sampai senin depan ya.

      Hapus
  10. rimaaaaa jgn mlu2 tp mau gtu dunk.thanx mb ike

    BalasHapus
  11. rimaaaaa jgn mlu2 tp mau gtu dunk.thanx mb ike

    BalasHapus
  12. andai ada cowo kaya endo d depanku...
    pasti langsung ak tarik k kamar,iket trus gak boleh kluar lagi kalo perlu ak formalin skalian lol

    BalasHapus
    Balasan
    1. wakss... di pormalin? endo jadi cetan doong..

      Hapus
  13. Haha curhat gaje nya lucu mbaaaa yg terakhir itu. Aku pernah nemuin juga tuh cowo model begituuu *dunia makin kekurangan cowo ganteng gentle yang straight sepertinya* itu si Endo sweet bener nunjukkin cincin kawin begitu ke orang orang. Jadi suamiku ajadahhhh hahaha. Next chapter Rima diapain Endo yaaaa? Hihi *ngikik*

    BalasHapus
    Balasan
    1. huuuu... mari berdoa, semoga generasi berikutna cowok-cowoknya pada urus dan center semua udelnya. biar gak ada lagi model olga di dunia ini.
      *nangis terharu

      Hapus
  14. New readers here... Hehehehe
    Pertama kali baca diwattpad daaaan... Kocak banget, perpaduan ceritanya gk bikin bosen...

    Meskipun sebenernya gemes bgt liat liat Rima yg super duper pemalu itu... Padahal dia cantik sampe Endo terus2an terpaku sama sosok Rima selama 10 thn... Ĉќ...°ĉќ...°ĉќ..(︶ε︶メ) hebat ya Endo....

    Salam kenal ya mba dan ditunggu bgt lanjutannya secepatnya..
    Hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. wekekekekekek... dari wattpad langsung hijrah ke blog. selamat datang sistaaa!!! wakakakaakakak

      tenang, cerita selanjutnya, bakal tayang tiap senin kalau nggak ada halangan dan rintangan...

      *walau badai menghalang....
      ingatlah ku kan slalu setia menja..gamu...
      **nyanyi

      Hapus
  15. Lanjuttt mbak ike!!!
    Ak ktawa + snyum2 sndri bca ni crita.. Nmbah!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh ya mbak.. Blm knalan.. Xixi

      Slam knal..:D
      Ak mampir sni krn blogny mbak d promosikn sma mbam shin..:D

      Hapus
    2. howaaa... malu di samperin mbak mendiii... wekekekekekekek
      makasih dah mampir mbaaakkkk.... jangan lupa buat mampir teruuusss

      Hapus
    3. Knapa malu mbak? Wkwkwkwk
      Tnang aj.. Psti mmpir trus..:P
      Critany bgus2 kok.. Aplgi yg ni.. Hihihi
      Tpi yg lain sih lmayan ska..
      Oh ya mbak.. Yg code l.b. Kok indexny ga bsa d buka ya?:(

      Hapus
    4. @mbak ike : 1 lgi psenku.. Jgn pnggil ak mbak yah..-_-
      Ak msih remaja.. Hrusny ak yg manggil, bkan d pnggil.. Hihihi >.<

      Hapus
    5. Code L.B masih di kirim buat lomba. kalau gak menang (ya nasib) baru di aplot lagi. wekekekekekekekekekeekkekek
      doakan menang yaaaaa!!!!!

      Hapus