mumpung yang empunya lagi sibuk ngurusin Dora dan saya dipercaya untuk ngebajak blog ini ya ini lah hasilnya hehehe perkenalkan saya admin baru disini nama saya Biru..
ok deh berhubung ni blog dah lama g pos malam ini khusus saya pos 2 bab dan bab ini adalah bab epilog dari pasangan gokil kita say goodbye buat ENDO n RIMA..
Kawin Kontrak -EPILOG
Aku berdiri di bawah siraman air dari shower. Mencoba
mengatur nafasku yang memburu karena semua yang baru saja terjadi. Aku tahu
kalau tingkat libido wanita saat hamil bisa menjadi lebih tinggi dari biasanya
dan inilah yang memang terjadi. Ini sudah ke-dua kalinya aku mandi dari waktu
sore tadi. Itu belum dihitung dari paginya. Apalagi hari ini hari libur.
Aku menghela nafas panjang kemudian mematikan shower dan
mengeringkan tubuhku dengan handuk. Semua persiapan kami sudah siap. Di tengah
kehamilan yang sudah 9 bulan ini, kami berdua harus siap dengan semua
kemungkinan yang terjadi. Dokter sudah mewanti-wanti agar kami selalu siaga
dengan semua tanda-tanda kelahiran yang mungkin muncul sewaktu-waktu. Bahkan
sebuah tas berisi baju ganti, dan juga peralatan bayi sudah siap semenjak 3
bulan yang lalu dan isinya semakin hari semakin lengkap saja.
“Sayang, kamu baru mandi?”
Aku tersenyum mendengar suara itu. Suara yang selalu
membuatku merasa bahagia. Suara yang selalu menemaniku setiap saat sekarang.
“Iya, kamu belum tidur?”
Dia menggeleng, kemudian terlihat menghela nafas pelan. Itu
membuatku sedikit khawatir. Apa dia kelelahan? Selama seminggu ini dia selalu
sibuk dan itu membuatku sedikit bersalah. Aku mendekat ke arahnya kemudian
mencium keningnya perlahan. Menikmati setiap sentuhan kulitnya di bibirku.
Menyesap perlahan wangi tubuhnya yang selalu memabukkanku.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku lagi.
Dia tersenyum melihatku kemudian menyandarkan kepalanya ke
pipiku.
“Sayang, aku mau lagi,” ujarnya perlahan. Aku terkesiap
mendengarnya. Bahkan tubuhku masih belum kering benar setelah mandi barusan,
dan saat ini dia sudah mulai merayuku lagi. “Sayang…”
“Rima, kamu nanti bisa sakit!”
****
Menangis adalah senjata terbesar wanita. Itu yang selalu Diva
katakan kepadaku beberapa waktu yang lalu.
“Ingat, kita punya kemampuan itu dan kita bisa pakai dalam
peperangan!” ujar Diva berapi-api saat menemaniku di ruang tunggu dokter
kandungan.
“Memang aku lagi perang sama siapa, Di?” tanyaku heran
Diva melirik sebal ke arahku dan itu merupakan indikasi bahwa
aku baru saja menanyakan sebuah pertanyaan yang sangat bodoh.
“Rima, pernikahan itu sebuah peperangan!”
“Aku nggak pernah perang sama Endo. Kita emang pernah
tengkar, tapi kita nggak pernah sampai perang, Di!” jawabku.
“Aduh…susah ya ngomong sama ibu hamil! Lemotmu sudah semakin
melebihi batas sabarku, Rim!” ujar Diva sembari membahas hal yang lainnya
setelah itu.
Malam ini, aku tahu maksud dari kata-katanya. Dan sudah
kuputuskan malam ini untuk menggunakan senjata itu secara sadar (biasanya aku
menangis secara tidak sadar dan itu sedikit memalukan bagiku). Dan hasilnya,
tepat seperti kata Diva, Endo mau melakukan apa yang aku mau.
Hasilnya, sekali lagi malam ini aku berhasil memenuhi
dorongan libido kehamilanku. Entah bagaimana bisa, kehamilan ini membunuh semua
rasa malu yang kumiliki dan selalu meminta kesediaan Endo untuk memenuhinya.
Bahkan selelah apapun Endo selalu bersedia memenuhinya, dan itu membuatku
sedikit merasa bersalah.
Walaupun setelahnya aku masih memintanya kembali.
Endo melirik ke arahku yang sedang berusaha bangun untuk
mengambil segelas air di sebelahku. Dengan sigap dia mengulurkan tangannya dan
mengambilkanku gelas. Itu membuat dadanya yang bidang terpampang jelas di
wajahku dan sekali lagi hati kecilku mengambil alih tubuhku untuk menyentuhnya.
“Sayang, kita baru aja selesai,” ujar Endo perlahan.
“Nggak suka?” tanyaku sedih.
Endo menghela nafasnya pelan dan menyerahkan gelas yang dia
bawa kepadaku. Dia menungguku meminum air di gelas itu sampai habis kemudian
mengambilnya kembali untuk diletakkan di meja di sebelahku. Dengan perlahan,
Endo mengecup bibirku dan juga keningku.
“Aku takut kamu capek sayang. Perkiraan kelahirannya masih 2
minggu lagi,” ujar Endo.
“Aku nggak capek!” jawabku cepat.
Endo tersenyum kemudian merebahkan tubuhku di atas ranjang
dan dia berada di atasku lagi. Senyuman di wajah tampan Endo membuatku merona
dan itu membuat seluruh ototku terasa tegang, bahkan otot perutku. Dia mulai
mencium wajah dan juga leherku. Lama, tapi menyenangkan, dan sekali lagi
membuat perutku terasa tegang. Sama seperti saat kami melakukan hal ini di sesi
sebelumnya. Sudah sekitar beberapa kali aku merasakan hal ini.
Beberapa kali?
Aku menyorongkan wajah Endo menjauh dariku dan mulai terlihat
panik. Endo sendiri terlihat bingung melihat sikapku.
“Sayang!” ujarku panik memanggilnya,”Aku sepertinya kontraksi
deh!”
Mata Endo terbelalak dan wajahnya berubah panik seketika.
“Apa? Sejak kapan?” teriaknya bingung.
“Mungkin setiap 20 menit. Ini sudah keempat kalinya,”
“Astaga, Rima! Kenapa kamu baru bilang?” ujar Endo panik
kemudian segera meraih celana maupun kaosnya yang berserakan di sudut ranjang.
“Habisnya, waktu-nya kan masih 2 minggu lagi.
Jadinya…astaga…!”
“Astaga kenapa? Ayo cepat kamu ganti baju!” Endo terlihat
semakin panik bahkan saat memasukkan kaosnya sendiri.
Aku teringat sebuah artikel dari majalah yang kubaca kemarin.
Artikel yang mengatakan bahwa sperma bisa mengakibatkan kontraksi bagi ibu
hamil. Dengan segera aku mencari artikel itu di tumpukan majalah di sebelahku
dan menunjukkannya kepada Endo. Endo membaca artikel itu cepat sebelum akhirnya
melihat semakin panik ke arahku.
“Cepat, tunggu apalagi kalau begitu? Kita ke Rumah Sakit
sekarang! Aku telpon dokter Lita, kamu segera ganti baju!” perintah Endo dan
dia berlari mengambil ponselnya di ruang kerja.
Aku terdiam dan kembali merasakan kontraksi di rahimku.
Hingga suara keras membuatku terkejut. Endo sudah terlihat tersungkur di lantai
dan menabrak pintu kamar kami. Sepertinya dia baru saja tersandung kakinya
sendiri karena sangat terburu-buru.
“Rima, cepetan! Kamu nunggu apalagi?” teriak Endo.
Aku menggeleng kemudian mulai menangis.
“Rima?” suara Endo terdengar lebih pelan, tapi tetap terasa
panik.
“Aku nggak mau ke Rumah Sakit!”
“Ap..apa? Kenapa? Kamu mau kemana? Aku antarkan nanti. Kamu
ada opsi tempat bersalin lain, Sayang?” tanya Endo perlahan dan segera berjalan
ke arahku.
“Aku nggak mau! Aku nggak mau kemana-mana!” jawabku sembari
menangis semakin keras.
“Kenapa Rim?” tanya Endo lagi.
“Aku malu, Ndo! Nanti ketahuan kalau kita habis…”
“ASTAGA RIMA!”
Sebuah teriakan itu membuat seluruh tubuhku secara otomatis
mengikuti perintah Endo sebelumnya.
****
Endo berjalan gelisah menunggu dokter kandungan Rima yang
tidak kunjung tiba. Wajahnya masih terlihat pucat sementara ponselnya terus dia
genggam. Sementara itu Rima terlihat sesekali merintih kesakitan di ranjang
sebelahnya. Suara ketukan di pintu membuatnya segera menoleh dan menemukan Diva
di sana.
“Kenapa kamu? Mana dokter Lita?” tanya Endo panik.
“Emang aku manajernya, tahu dia ada dimana?” jawab Diva
sembari mencibir.
Diva segera berlari ke arah Rima dan menggenggam tangannya.
Sementara Rima tersenyum di tengah rasa nyeri yang dia rasakan.
“Kamu kok ke sini, Di?” tanya Rima perlahan dan kembali wajahnya
terlihat menahan nyeri.
“Ambil nafas dalam, hembuskan lewat mulut…ya, begitu!
Sahabatku mau melahirkan, aku wajib datang dong!” jawab Diva kemudian menyeka
keringat di kening Rima dengan sapu tangan yang dia bawa. “Sudah berapa menit
sekali, kontraksinya, Rim?”
Rima mengambil nafas dalam kemudian menghembuskannya lewat
mulutnya.
“Lima menit sekali!”
“Setelah ini, kamu bakalan jadi ibu!” ujar Diva dan sebuah
senyuman bahagia, muncul di bibir Rima. Endo melihat semua itu dan ikut
tersenyum.
“Tapi Di, ini lebih
cepat 2 minggu dari yang dikatak dokter!” ujar Rima sedikit panik.
“Enggak apa-apa. Semuanya pasti baik-baik aja! Yang penting
kamu tenang, semua pasti lancar!” Diva kembali membelai kening Rima kemudian
memperhatikan Endo yang berdiri di sebelahnya. “Makanya, jangan kimpoi mulu!”
“DIVA!” teriak Endo dan Rima bersamaan.
“Aduh, pada rewel deh! Aku kan bilang berdasarkan bukti!”
“Bukti apa?” tanya Endo heran.
“Tuh, kaosmu kebalik!” jawab Diva santai dan wajah Endo
langsung berubah merah padam.
Dengan segera dia melepas kaosnya, dan tepat saat akan
mengenakan kembali, terdengar suara histeris dari arah pintu. seorang perempuan
paruh baya terlihat terkejut dan segera menutup mulutnya.
“Dokter Lita?” tanya Endo.
“Maaf, saya tadi kaget!” jawab dokter Lita sembari mengusap
dadanya beberapa kali, “Ibu Rima, sudah siap?”
“Siap apa, dok?” tanya Rima mulai terengah-engah menahan rasa
sakitnya.
“Siap nari India.” Jawab dokter Lita sembari memeriksa Rima.
“Ah, dokter bercanda!” jawab Rima.
“Ya siap melahirkan doong! Ayo kita ke Ruang Bersalin! Sudah
bukaan lima ini.”
“Nggak di sini dokter?” tanya Rima panik.
“Nanti habis melahirkan, baru ke sini lagi!” jawab dokter
Lita sembari tersenyum.
Sementara itu, Rima mulai merasa semakin panik. Ruang
Bersalin ada di lantai bawah, dan dia saat ini di lantai dua. Satu-satunya yang
menghubungkan lantai satu dan lantai dua hanyalah sebuah tangga. Itu berarti
dia harus berjuang menuruni tangga itu. Padahal, saat ini untuk duduk saja dia
sudah sangat kesakitan.
“Dokter, saya nggak kuat!” protes Rima, dan Endo terlihat
sangat panik melihat hal itu.
“Kuat…pasti kuat!”
“Dokter kok tahu? Emang dokter peramal?” tanya Endo panik.
“Saya kan dokter, ya tahu dong!” sekali lagi dokter Lita
menjawab santai.
Endo dan Rima langsung menatap serentak ke arah Diva dan Diva
cuma tersenyum.
“Udah, ikutin aja! Tanggung enak dah!”
Dan akhirnya dengan pasrah, Rima berjaan menuruni tangga
dituntun Endo dan juga Diva. Sesekali mereka berhenti saat Rima mulai merasakan
kontraksinya lagi dan mulai berjalan saat kontraksinya sedikit mereda. Saat
Rima merasakan kontraksinya terasa semakin sakit, dia akhirnya berteriak dan
terdengar suara-suara dari lantai dua.
“Itu mau keluar di tangga, anaknya!” terdengar suara dari
beberapa ibu-ibu yang sedang bergosip di atas.
“Endo, ayo cepat! Aku nggak mau anakku lahir di tangga!”
teriak Rima panik dan membuat Diva tertawa terbahak.
Saat di depan ruang bersalin, dokter Lita menghentikan
langkah mereka dan bertanya kepada Endo, “Bapak beneran mau ikut masuk?”
“Iya, dok!”
“Yakin nggak takut darah?”
“Iya, dok!”
“Yakin nggak mual bau darah?”
“Iya!”
“Yakin nggak…”
“DOKTER, SUAMI SAYA MASUK ATAU SAYA SERET DIA KE DALAM KALAU
NGGAK MAU MENEMANI!” Rima berteriak keras kemudian mulai kembali histeris
menahan kontraksinya.
“Silahkan kalau begitu!” jawab dokter Lita datar seakan melupakan
semua kesulitan yang baru saja dia lakukan.
Rima terus merintih di atas ranjang bersalin dan beberapa
perawat terlihat membantunya mempersiapkan persalinan. Sementara Endo beada di
sebelahnya memegang erat tangan Rima.
“Sayang, tahan ya! Sabar!”
“Sudah pembukaan tiga, ayo siap-siap ya Bu!” ujar dokter Lita
lagi.
“Siap-siap apa, dok?” tanya Rima perlahan.
“Siap-siap nari India! Ya elah bu, melahirkan dong! Ingat,
pantatnya jangan diangkat, mengejannya ikuti perintah saya ya! Kalau saya
bilang ‘yak’, ibu langsung mengejan! Ibu mengerti?”
Rima mengangguk.
“Yak!”
“Sekarang dok?” tanya Rima.
“Hastagaaahhh!” ujar dokter Lita
****
“Siapa yang paling ganteng? Pasti anak Papa! Bilang
Paaa…pa..!”
Aku tersenyum mendengar Endo menggoda anak kami yang masih
berusia 4 bulan di ranjang. Sekali lagi dia membuat mimik wajah yang lucu dan
langsung bersemangat saat Jati terlihat tersenyum
“Jati masih bayi, Pa. masih belum bisa bilang Papa!” ujarku
sembari mempersiapkan baju ganti untuk Jati.
“Biarin! Yang penting, Jati nanti bilang Papa dulu ya,
Sayang!”
“Seenaknya!” jawabku.
Endo mengecup pipi dan juga kening Jati beberapa kali sebelum
akhirnya berdiri dan memelukku.
“Makasih ya, Sayang!” ujar Endo perlahan.
Aku tersenyum kemudian membalas memeluknya, “Untuk apa?”
“Untuk anak setampan Jati. Untuk kesediaanmu mengandung dan
melahirkan anakku!”
Endo kemudian mengecup bibirku sebelum melepaskan pelukannya.
Aku beringsut ke arah Jati dan melihat bayi kecilku yang tampan sudah kembali
tertidur.
“Astaga, selalu deh! Setiap sama Papa-nya, Jati mesti tidur.
Mandinya terpaksa molor ini!” ujarku kesal sembari membelai kepala anakku.
“Itu tandanya, Jati nyaman deket Papa-nya!”
“Tapi mandinya jadi molor, Ndo! Padahal aku sudah nyiapin
semuanya. Terpaksa nunggu satu jam sampai Jati bangun ini!”
Endo meraih jemariku kemudian menggenggamnya erat.
“Sayang,” ujarnya lembut, “Gimana kalau kita bikin adik buat
Jati sementara dia masih tidur?”
Sebuah senyuman mengakhiri kalimat itu dan langsung membuat
pipiku merona merah.
****huaaaaaa mba ikeeeee kayanya aq bukan bantuin tapi malah ngerusak ini blog deeeehhh
huks... maafkan aq
Akhirnya d post jg,,hehee
BalasHapusKnp namanya jati?kaya kayu jati aj :p :D
Moga2 cpt post crita baru amiiinn
º°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°ºea mba ike n eko, jgn bosen2 post ya ko..hehehe
Akhirny..\=D/
BalasHapusBtw, kok nanggung bgt yak akhirny?--"
Hmm.. Ni psangan kok nepsong bgt yak? Ckckck
Pntesan ding cpet mbrojol e..--"
aq suka pake banget ni crita rima-endo,, syg.a da yg bqn jidatquw brkrut pas bca adegan rima mw nglahirin si de2 bayi,,
BalasHapusdokternya kn blang prtmanya pmbukaan 5 tpi pas d ruang brsalin doktr.a blang pmbukaan 3,,Maaf ya k' sblumnya krna harusnya kn klau mw d urutkn mulai dri trjdinya pmbukaan pda ibu brsalin mulai dri yg pmbukaan min. sampai yg maksimalnya (sdah bsa mulai d pimpin tuk mlahirkn) 1-10,, N lagi kok bru pmbukaan 3 sdah mw d pimpin si k',, hrusnya pmbukaan 10 ru bsa d pimpin,, skali gi maaf ya k' law kritik aq bqn kk trsinggung atw gmna... (^-^)
Tinggalkan jejak...
BalasHapusDari yang masih ngebet pengen Basera di lanjut ��
terima kasih infonya
BalasHapus