BAB 23
ENDO
“Kenapa kamu harus mengembalikan cek ini kepadaku?” tanya Sofi sedikit
terkejut ketika melihat cek itu berada di depannya.
“Jadi benar cek ini darimu?” tanya Endo. “Logo perusahaan yang tertera di
map yang kamu berikan kepadaku, ketika menawarkan desainermu, mirip dengan logo
yang ada di cek ini.”
Sofi membentuk sebuah senyuman di bibirnya yang indah. Dia menatap Endo
dengan lebih lembut. Tiba-tiba saja kemarin malam asisten Endo menghubunginya
untuk membuat janji sebuah pertemuan dengan Endo. Dan saat mereka bertemu di
ruangan Endo, tanpa banyak bicara, Endo menyodorkan cek yang dulu dia berikan
kepada Rima.
“Aku tahu kamu akan tahu dari siapa cek itu berasal, dan sepertinya ini
saatnya,” ujar Sofi
“Untuk apa? Aku sama sekali tidak membutuhkan ini,” jawab Endo singkat.
“Pertama, kamu menolak bantuan dari desainer agensiku, kemudian cek ini.
Itu kunci kebebasanmu, Ndo!”
“Dari apa?”
“Dari wanita yang berniat menguasaimu, Ndo. Wanita yang memanfaatkan semua
peristiwa untuk mendapatkan dirimu.”
Endo tersenyum miris mendengar perkataan Sofi. Gadis itu sudah melangkah
terlalu jauh dalam mencampuri urusannya.
“Akulah yang mengunci kebebasan Rima. Semua kulakukan demi mendapatkan
dia, Sof.”
“Kamu tahu bahwa itu semua tidak benar! Kamu memaksakan dirimu untuk
mencintai orang yang tidak pernah mencintaimu! Kamu membutakan matamu dari
orang yang benar-benar mencintaimu. Itu semua salah, Ndo!
Gadis itu punya pilihan untuk tetap bersamamu atau meninggalkanmu, dan dia
memilih untuk meninggalkanmu! Dia hanya memikirkan materi, dan keluarganya
sendiri ketika bersamamu. Aku hanya memberi dia kesempatan mendapatkan apa yang
dia inginkan. Aku…aku mau kamu sadar betapa kamu melakukan kesalahan, Ndo!”
“Lalu apa yang kamu pikir, semua yang kamu lakukan ini benar?” teriak Endo
kesal. Dia menarik nafas dalam, menyesal membentak Sofi. Segera diambilnya
rokok di kantongnya dan mulai menghidupkannya.
“Aku cuma mau kamu sadar dan kita kembali lagi seperti dulu, Ndo. Apa kamu
sadar kalau kamu memperlakukan gadis itu secara tidak adil? Kamu anggap dia
pelarian diriku. Aku sudah memperhatikan semuanya, mengumpulkan semua informasi
dan menemukan kalau kamu memilihnya karena mirip denganku. Aku selalu membuka
hatiku untukmu, Ndo.”
Endo tercekat mendengar semua perkataan Sofi. Bagaimana bisa dia berpikir
seperti itu? Bagaimana bisa semua pemikiran yang salah itu kemudian
mendorongnya untuk menjauhkan Rima dari dirinya?
“Kamu! Kamu yang pelarianku, Sof!” sentak Endo kesal. Dia kemudian
mendengus pelan, menyesali semua teriakannya saat melihat Sofi ketakutan di
depannya, ”Aku minta maaf, tapi aku sudah mencintai gadis itu jauh sebelum kita
bertemu. Aku mencintainya sampai membiarkan dirimu muncul di kehidupanku karena
kamu mirip dengannya. Berusaha berpikir bahwa aku sedang bersama dengannya,
bukan denganmu! Maaf Sof, aku benar-benar minta maaf karena melakukan semua itu
kepadamu.”
“Bohong! Kamu cinta aku, Ndo!”
Sofi seakan tak percaya dengan semua perkataan Endo. Tangannya gemetaran
dan dadanya terasa nyeri mendengar itu semua.
“Sofi, aku…”
“Kamu selalu mencintai aku dan aku yakin itu walaupun kita sudah lama
berpisah!”
“Sofi…”
“Kamu menerima semua perlakuanku kepadamu, bahkan memelukku selembut
ketika kita masih bersama.”
“Sofi, maaf! Maafkan semua perbuatanku kepadaku. Aku mencintai Rima. Sejak
awal bertemu dengannya, aku selalu mencintai istriku.”
Sofi tercekat mendengar semua penuturan Endo. Semua hal yang dulu Endo
lakukan kepadanya cuma sebuah pelarian. Dia adalah sebuah pelarian dari seorang
gadis di masa lalu Endo. Dan sekarang dia mengejar cinta yang sebenarnya tidak
pernah ada di hati Endo untuknya.
Sofi mulai menangis memikirkan itu semua. Semua pengorbanan yang dia
lakukan cuma sebuah kesia-siaan saja. Lelaki di depannya ini tak lebih dari
seorang lelaki brengsek yang hanya ingin memuaskan ke egoisannya sendiri dan
melupakan keberadaan Sofi di hadapannya. Dia hanya pengganti dari cinta masa
lalu Endo. Direngkuhnya selembar cek di hadapannya, kemudian dimasukkan paksa
ke dalam kantongnya.
“Kumohon katakan dimana dia, Sof!” pinta Endo menghiba dan itu membuat
Sofi sangat terguncang. Bahkan Endo mengulangi lagi permintaannya, “Kumohon,
Sof…”
Sofi sama sekali tidak membayangkan semua ini yang akan dia terima. Bahkan
pria yang dia puja memohon padanya, demi wanita lain dan bukan dirinya. Pria
dihadapannya menolak semua cinta yang dia berikan dan lebih memilih wanita
lain. Membuat harga diri dan juga kepercayaan diri Sofi sangat terluka.
“Aku tidak pernah tahu dimana dia. Aku tidak pernah mau tahu dimana dia
dan persetan dengan wanita itu juga dirimu, Ndo!” teriak Sofi putus asa. “Kamu
tak lebih dari pria yang tak punya harapan. Bodohnya aku mengejarmu! Sekarang
rasakan sendiri kehancuranmu dan jangan pernah meminta pemohonan maaf dariku!”
Sofi meninggalkan Endo sendiri yang masih terpaku menatap kosong sosok
dirinya yang sudah berlalu. Endo sudah tak mengharapkan apapun dari Sofi.
Satu-satunya hal yang dia harapkan saat ini adalah Rima. Keberadaan Rima yang
sudah menghilang selama beberapa bulan ini dari hadapannya. Meninggalkannya
dalam kesedihan dan juga kesakitan yang mendalam.
Selama beberapa saat Endo mulai menyesali semua tindakan bodohnya di masa
lalu. Menyesali semua perbuatannya kepada semua gadis yang pernah menjadi
pelariannya. Menyesali perbuatannya membuat Rima pergi. Menyesali perbuatannya
tidak mempercayai istrinya sendiri dan menuduhnya seperti yang Sofi pikirkan.
Masih bisakah dia bertemu kembali dengan Rima? Daripada jabatan CEO yang di
amanahkan kepadanya dari kakek dan ayahnya, dia lebih berharap bisa bersama
Rima hingga akhir hidupnya.
“Pak, rapatnya akan segera dimulai!” ujar Lukas tiba-tiba yang sudah
berada di depan pintu ruangannya yang terbuka.
Endo mengangguk dan mengambil jasnya yang tersampir di kursi kerjanya,
kemudian mematikan rokok yang dia hisap di asbak yang ada di atas mejanya. Dia menarik
nafas perlahan dan meyakinkan dirinya. Setelah ini, setelah semua pekerjaan
brengsek yang membuat istrinya harus berkorban banyak ini selesai, dia akan
pergi menyelesaikan semuanya. Lukas membukakan pintu lebih lebar dan terlihat
Sandi, Indra maupun Tika yang terlihat sangat gugup menunggu di belakang Lukas.
Mereka tersenyum ketika menatap Endo dan mengangguk menyapanya. Endo melangkah
mantap menuju ruang rapat bersama keempat orang itu. Sekali lagi dia akan
mempertahankan jabatan CEO-nya di hadapan semua pemegang saham.
“Aku akan tetep milih kamu, Ndo!”
Tiba-tiba suara Diva muncul di belakang Endo. Dia berjalan sedikit tergesa
karena merasa hampir saja terlambat mengikuti rapat ini. Endo menahan
langkahnya dan menunggu Diva hingga berada di sebelahnya.
“Tumben kamu ikutan rapat pemegang saham? Biasanya…”
“Biasanya Papa, tapi kali ini kan saham yang orang tuaku punya sudah atas
namaku. Itu artinya, aku harus menyediakan waktu untuk ikut acara-acara rapat
membosankan seperti ini!”
“Yakin nggak mau jadi sainganku?” tanya Endo menggoda sembari melanjutkan
perjalanan menuju ruang rapat.
“Ogah, dokter masih jadi profesi kebanggaanku.”
“Iya, mentang-mentang calon istri kontraktor!”
Diva langsung melancarkan tendangan ke arah pantat Endo, tapi berhasil
Endo hindari. Itu membuat wajah Diva semakin terlihat marah, tapi mereka
akhirnya kembali bersikap formal ketika berada di depan ruang rapat.
“Kalian siap?” tanya Endo kepada para stafnya. Lukas dan juga tim Sandi
mengangguk mantap menjawab pertanyaan Endo. “Tenang saja, aku akan tetap
menduduki posisi ini!”
“Pede!” ejek Diva.
“Terutama setelah Bu dokter Diva, pemilik 25% saham grup ini menyatakan
kesediaannya untuk tetap memilihku sebagai CEO,” lanjut Endo sembari melirik ke
arah Diva.
Diva hanya tersenyum dan memberikan sebuah pukulan ringan di bahu Endo.
“Ayo berjuang Mr. CEO!” ujar Diva
****
Ruang kantor Endo terasa sangat lengang. Setelah semua masalah sudah
terselesaikan dengan baik, Endo kembali menikmati masa santainya. Menikmati
pencariannya istrinya kembali. Setelah dulu selama 10 tahun dia mencari sosok
Rima, kali ini setelah mereka bersatu, dia harus kembali mencarinya. Tapi kali
ini dia tidak akan mencari pelampiasan dari perasaannya terhadap Rima seperti
dulu. Dia harus menemukan istrinya.
Setelah rapat pemegang saham beberapa minggu yang lalu, Endo selalu
menghilang dari kantornya untuk mencari keberadaan Rima. Tidak ada satu
orang-pun yang memprotes keadaan itu, terutama setelah Endo mampu memukau para
pemegang saham dengan semua gebrakannya. Ide-idenya walaupun dirasa gila, tapi
tetap brilian. Tidak ada satupun yang bisa menolak kemampuan Endo sebagai
seorang CEO di grup Widjaya. Bahkan Burhan Hakim yang sebelumnya begitu santer
menghembuskan gosip yang menjatuhkan Endo, tidak mampu berkata apapun. Terutama
setelah anaknya – Tiara – lolos dari ancaman penjara. Tapi itu tidak membuat
Endo gembira. Ketika semua orang sudah meninggalkan ruang rapat, dia kembali
harus menghadapi kenyataan bahwa dia masih harus menemukan Rima. Semua jabatan
tangan, semua pujian akan hasil pekerjaannya tetap tidak bisa membuatnya merasa
bahagia.
Entah sudah batang rokok keberapa saat ini. Endo kembali menghisap
perlahan rokoknya dan mencoba memejamkan matanya, memikirkan cara untuk mencari
Rima. Dia sudah mencoba mencarinya ke rumah orang tuanya, tapi malah Ayah
maupun adiknya sama sekali tidak mengetahui hal itu. Itu membuat Endo harus
berbohong dan mengatakan Rima sedang berlibur hanya supaya keluarga Rima tidak
khawatir. Dia sudah mencari ke seluruh tempat yang memiliki peluang akan Rima
singgahi, tapi tetap tidak menemukan apapun. Seakan-akan istrinya itu sudah
hilang di telan bumi.
“Masih di sini?”
Endo sedikit terkejut dan melihat Diva berdiri di depan pintu masuk ruang
rapat.
“Kamu, ada apa?” tanya Endo kembali menghisap rokoknya dalam dan
menghembuskannya perlahan.
Diva berjalan pelan menuju kursi di dekat Endo kemudian segera duduk di
sana. Dia menatap Endo lagi. Sepupunya itu terlihat sangat depresi dan pipinya
terlihat jauh lebih cekung. Diva sangat yakin, Endo depresi bukan karena
pekerjaannya, tapi itu semua karena sahabatnya, Rima.
“Kenapa kamu tidak memilih untuk bahagia?” tanya Diva lirih, menatap Endo
yang terlihat sangat kacau.
“Kenapa aku harus bahagia?”
“Masalah perusahaanmu sudah beres dan kamu kembali menjadi orang nomer
satu di grup-mu sendiri. Kamu juga sudah menyingkirkan semua sumber masalahmu
selama ini.” jelas Diva. Endo meringis mendengar itu semua.
“Kamu tahu apa yang paling membuatku bahagia,” ujar Endo kemudian
menghisap rokoknya dalam.
“Dia sudah mendapatkan ketenangannya saat ini. Semua masalah yang terjadi
membuatnya tertekan. Semua permainanmu sudah membuatnya terluka, Ndo.”
Endo menatap dalam sosok Diva dan mencerna semua perkataannya.
Bayangan-bayangan tentang Rima terus menerus muncul dan tak pernah berhenti
muncul di kepalanya.
“Kamu betul, aku sama sekali bukan pria yang pantas buat Rima. Aku cuma
pecundang yang begitu sok melindunginya, padahal sebetulnya aku yang dia
lindungi. Aku memaksakan perasaanku kepadanya tanpa pernah mengerti perasaannya
kepadaku. Kamu betul, dia berhak bahagia,” ujar Endo lirih. “Tapi aku ingin
mengatakan padanya bahwa aku sangat membutuhkan dia, Di!”
Diva tersenyum kemudian berjalan ke arah Endo dan menepuk punggung
sepupunya.
“Sekarang kamu merasa membutuhkan dia, Ndo?” tanya Diva.
“Aku selalu membutuhkan dia, Di. Aku selalu membutuhkan dia dan dia sama
sekali tidak bisa tergantikan.”
“Tapi semua perbuatanmu dulu seakan mengatakan bahwa dia selalu bisa
digantikan wanita lain. Apa kamu tahu itu membuatnya sangat terluka dan sangat
tidak percaya akan dirinya sendiri? Membuatnya tidak mempercayai kenyataan
kalau kamu tergila-gila dengannya.”
Endo menghisap dalam rokoknya dan menghembuskannya perlahan. Membayangkan
semua hal yang dia paksakan kepada Rima. Dan dia sama sekali tidak menyadari
kalau perasaan istrinya sangat rentan akan semua perlakuannya.
“Seandainya saja Rima memiliki perasaan yang sama denganmu, apa yang akan
kamu lakukan?” tanya Diva penasaran.
Endo menghisap rokoknya dalam untuk yang terakhir kali, kemudian
membuangnya. Asap putih keluar dari mulut dan hidungnya.
“Aku akan membuatnya bahagia. Aku akan membuatnya bahagia sesuai dengan
keinginannya,” jawab Endo.
“Kalau keinginannya bersama denganmu?”
Endo menatap Diva tak percaya. Sepupunya tersenyum dan menyodorkan sebuah
kertas kepadanya. Dengan ragu Endo mengambil dan membaca tulisan yang tertera
di kertas itu yang ternyata alamat di kota lain.
“Kamu lulus,” jawab Diva. Endo melihat Diva masih tidak percaya. “Kalau
kamu tadi masih mengatakan hal-hal yang egois, aku tidak akan pernah memberikan
kertas itu. Tapi ternyata kamu lulus.”
“Maksudmu?”
“Cepat jemput dia sekarang!” jawab Diva.
Sebuah senyum terkembang di wajah Endo. Kertas ini yang akan
menghubungkannya kepada Rima, wanita yang selama ini dia cari dan dia rindukan.
Endo segera berlari menuju mobilnya yang terparkir. Sementara Diva terduduk dan
menghela nafas lega sendiri.
****
RIMA
“Lha kenapa nangis, mbak?”
Aku terkejut melihat Ayu, salah seorang pegawai Tante Irma, yang tiba-tiba
muncul di sebelahku dan mengusap punggungku. Dengan tergesa aku menghapus air
mataku dan tersenyum kepadanya
“Ini, sedih banget filem-nya!”
ujarku sembari menunjuk film Korea yang tayang sore ini.
Salah satu adegan yang membuatku menangis adalah saat si wanita terpaksa
meninggalkan kekasihnya hanya gara-gara hasutan wanita lain. Entah kenapa
hatiku merasa sakit. Mungkin karena aku merasakan apa yang wanita itu rasakan.
Merasakan bagaimana sakitnya hati yang harus meninggalkan kekasihnya. Dan itu
membuat air mataku kembali turun.
Aku selalu menyumpahi kesenanganku akan sinteron dan menyumpahi rasa
empatiku yang berlebihan akan cerita itu. Bagaimana bisa, seorang wanita yang
sudah berusia di atas 25 tahun sepertiku masih terjebak dengan semua cerita
fiksi di layar kaca itu? Tapi biarpun aku tahu itu semua hanya fiksi, aku
selalu menghayati setiap adegan dan juga ceritanya. Padahal, sebagai seorang
ibu hamil, aku membutuhkan semua ketenangan baik secara fisik maupun mental.
Ketenangan, itu yang kurasakan saat berada di tempat ini. Hampir 3 bulan
aku berada di kota kecil ini dan berusaha hidup dengan usahaku sendiri (dan
juga sedikit bantuan Diva). Nganjuk, dan hanya 4 jam perjalanan dari Malang,
akhirnya aku memulai lagi kehidupanku di sini. Tinggal di salah satu rumah
milik keluarga Diva dan membantu usaha Tante Irma – tante Diva – membuat kue
kering untuk kukirim ke beberapa kota bersama beberapa pekerja di sini.
Tante Irma yang hanya ingin menikmati hari tuanya dengan tenang, merasa
sangat terbantu dengan kehadiranku, dan aku bisa membalas jasanya untuk menampungku
di sini dengan meneruskan usahanya. Dan hasilnya pada badanku semua ketenangan
itu terlihat sangat nyata. Dalam 3 bulan kehamilanku, beratku sudah naik
sebanyak 4 kilo. Membuat celanaku terasa sesak dan pinggulku maupun bokongku
semakin besar.
“Sudah berapa bulan nih, Mbak?” tanya Ayu sembari mengelus lembut perutku.
“Tiga bulan setengah nih!” jawabku bahagia.
Aku mengelus pelan perutku yang mulai terlihat membesar. Selama 3 bulan
ini, setiap aku melihat pertumbuhan janin di dalam perutku, aku selalu menangis
bahagia. Setiap bulan, aku semakin bisa melihatnya. Dari segumpal kecil yang
aku sendiri tidak membayangkan akan mulai bertumbuh dan semakin membesar. Semua
itu terjadi di dalam rahimku. Seandainya saja Endo melihat itu semua, apa yang
akan dia katakan?
Aku menghela nafas perlahan ketika mengingat Endo kembali. Apa yang saat
ini dia lakukan? Seharusnya perusahaan Sofi bisa menyelamatkan kedudukannya
sebagai CEO di perusahaannya. Seharusnya saat ini dia sudah bisa kembali ke
kehidupannya yang dulu. Seharusnya saat ini dia mulai berpikir untuk mengencani
Sofi. Seharusnya saat ini dia mengelus perutku lembut dan menyapa anak kami.
Aku terkesiap memikirkan hal itu.
Bagaimana bisa aku masih mengharapkan hal itu, sementara aku sudah
memutuskan untuk pergi dari sisinya. Perusahaannya membutuhkan dia, dan aku
hanya pelarian dari cintanya saat masih kuliah. Dia begitu mencintai gadis itu
dan tidak mampu melawan semua rasa sakit hatinya sampai kami bertemu kembali di
halte saat itu. Saat dia kembali menemukan aku yang mirip dengan mantan
kekasihnya.
Aku kembali membelai perutku pelan. Sedikitpun tidak ada rasa penyesalan
di dalam hatiku saat ini. Aku menyadari kalau aku mencintai Endo semenjak
mengenalnya di SMA dan aku cukup beruntung bisa menjadi istrinya walaupun hanya
beberapa saat. Dan saat ini, aku mengandung anak dari pria yang kucintai,
suamiku. Itu semua cukup untuk saat ini. Sebuah tepukan di punggung menyadarkanku
dan aku melihat sosok Tante Irma yang tersenyum di belakangku.
“Sudah makan?” tanya Tante Irma lembut dan kujawab dengan sebuah anggukan.
“Tante, pesanan untuk pengiriman ke Jakarta sudah selesai, besok kita
mulai produksi untuk pengiriman ke Surabaya,” laporku tentang semua pencapaian
hari ini.
“Rima, jangan terlalu capek, kamu sekarang lagi hamil muda. Harus banyak
istirahat!”
Aku menelan ludah getir.
“Saya baik-baik saja kok, Tante. Kalau memang saya capek, saya pasti
segera istirahat. Tante tenang saja.
Tante Irma menatapku haru. Di usianya yang sudah melewati separuh abad,
dia hidup sendiri. Suaminya meninggal dan Tante Irma sama sekali belum
dikaruniai anak sama sekali. Karena itu, dia sangat senang ketika Diva meminta
tolong kepadanya untuk menampungku.
“Kok Endo tega ya Rim sama kamu?” tanya Tante Irma sembari mengelus
perutku.
Aku termenung dan pandanganku kembali ke arah televisi yang masih
menayangkan sinetron Korea itu. Endo sama sekali tidak boleh tau keberadanku.
Urusanku dengannya sudah selesai. Aku akan kembali nanti ketika Endo dan Sofi
sudah bersatu kembali dan…
Dadaku terasa nyeri membayangkan semua itu. Bagaimana dengan anak kami
nanti? Bagaimana kalau aku bertemu dengannya nanti? Bagaimana aku mengatakan
semuanya ke Ayah maupun Odea? Bagaimana aku menghadapi dunia ketika anakku
lahir dan Ayahnya tidak mengetahui keberadaanya sama sekali? Tapi aku sama
sekali tidak sampai hati harus melihat Endo mendapatkan masalah seandainya dia
masih bersamaku. Aku tidak sampai hati melihat dia yang hanya menjadikanku
pengganti Sofi.
“Bukan salah Endo, Tante. Ini semua keputusan Rima sendiri. Endo sama
sekali nggak tahu apa-apa,” ujarku sembari menahan nyeri di dadaku.
Tante Irma menepuk punggungku pelan.
“Tante bakalan belain kamu, Rim! Endo memang keponakan tante yang minta
dihajar. Istri seperti kamu malah dibiarkan!” ujar Tante Irma berapi-api.
Semua perkataan itu membuatku teringat akan Diva Apa semua keluarga Endo
memiliki gen ingin menghajar orang-orang yang menurutnya menyebalkan? Tapi aku
kembali mengutuk diriku ketika mengingat hal buruk tentang Diva. Ketika aku
memutuskan untuk pergi dari Endo dan Diva merasa sama sekali tidak bisa
menahanku, dialah yang memberikanku opsi untuk tinggal dengan tantenya. Bahkan
dengan bayaran atas semua pekerjaanku di sini dari Tante Irma, aku merasa yakin
untuk merobek cek kosong yang Sofi berikan. Sekali lagi aku selalu terbantu
dengan semua orang di sekelilingku. Membuatku merasa nyaman dan aman, walaupun
hati kecilku terus menjerit menginginkan kehadiran Endo.
“Kayaknya ada tamu deh!” ujar Ayu tiba-tiba yang kemudian beranjak untuk
pergi melihat ke arah depan. “Bu Irma, ada tamu cowok!”
“Sapa Yu?” tanya Tante Irma bingung.
“Nggak tahu! Pakai mobil sama…ya ampuuunn…gantengnya bu…!” jerit Ayu
riang.
Tante Irma dan juga aku segera berdiri dan menghampiri Ayu. Melihat siapa
orang yang datang ke rumah Tante Irma. Biasanya pelanggan yang datang kemari
kebanyakan adalah ibu-ibu dan juga anak perempuan. Kali ini seorang pria dan
menurut Ayu punya faktor ganteng membuatku menjadi sangat penasaran.
Samar-samar dari balik kelambu yang menerawang kami memperhatikan pria yang
baru saja turun dari mobil dan hendak berjalan ke arah rumah Tante Irma.
Astaga!
Dari semua pria ganteng yang ada dunia ini, kenapa malah dia yang muncul?
Kenapa Endo bisa datang ke sini?!
“Rima, itu Endo!” bisik Tante Irma panik.
“Iya tante, Rima juga lihat! Ngapain dia kesini, Tan?”
“Tanyain gih, Rim!” ujar Tante Irma
Aku cuma bisa melirik heran ke arah Tante Irma, dan sepertinya Tante Irma
menyadari kesalahannya karena kemudian sebuah seringai muncul dari bibirnya.
Ayu melihat kebingungan ke arah kami dan meminta perintah selanjutnya karena
Endo sudah semakin mendekat.
“Sembunyi sana, Rim! Tenang aja, Tante yang bakal atasi. Endo bakalan
pergi tanpa ketemu sama kamu! Kamu bakalan amaaannn!” ujar Tante Irma meyakinkan,
“Yu, jangan bilang ada mbak Rima di sini kalau mas itu nanya!”
“Siap Buk! Saya pasti melindungi mbak Rima sekuat tenaga!” jawab dengan
sigap.
Aku tersenyum lega dan segera berlari ke balik lemari. Bersembunyi sembari
mengintip yang terjadi di depan. Sementara itu Ayu mulai membukakan pintu saat
Endo selesai mengetuknya.
“Cari siapa mas?” tanya Ayu mantap dengan nada suaranya yang berubah
manis.
“Rima ada?” suara Endo tiba-tiba terdengar.
Hatiku berdebar keras mendengar suaranya. Betapa aku sangat merindukan
suara itu memanggil namaku. Aku berusaha bernafas teratur sembari menenangkan
debaran jantungku yang berdetak begitu cepat
“Anu…di sini ndak ada yang namanya mbak Rima…,” jawab Ayu tergagap.
Tiba-tiba terasa keheningan. Aku berusaha mendengarkan apa yang mungkin
terucap, tapi tak terdengar apapun.
“Mbak, saya mau minta tolong,” tiba-tiba suara Endo berlanjut, “Sepatu di
depan, saya sangat tahu itu milik istri saya. Bisa saya minta tolong mbak ini
untuk menyingkir?”
Astaga, aku tahu taktik itu. Itu ilmu hipnotis Endo. Ilmu hipnotis yang
selalu mampu membuatku menuruti semua kemauannya. Dengan suaranya yang lembut,
pandangan matanya yang tajam tapi lembut dan wajahnya yang tampan, maka aku
akan langsung terbius mengikuti semua kemauannya. Semoga Ayu tidak.
“Tolong…” suara Endo terdengar kembali meminta.
Terngiang di ingatanku, suara Ayu yang akan melindungiku. Dia pasti kuat.
“Saya…”
“Tolong, bolehkan saya masuk…” pinta Endo lagi.
Lanjutkan perjuanganmu, Yu!
“Silahkan!”
PENGKHIANAAATTT…
Sialan, bagaimana bisa Ayu melupakan semua kata-katanya. Mana janjinya
untuk melindungiku dengan sekuat tenaganya? Bagaimana bisa cuma dengan
kata-kata ‘tolong’ saja, Ayu sudah meloloskan semua permintaan Endo? Bayangan
Endo terlihat memasuki rumah dan itu membuatku beringsut. Aku segera berjingkat
ke arah kamarku dan bertemu dengan Tante Irma yang bersiap menghadapi Endo.
“Tante, tolong!” bisikku kepada Tante Irma dan sebuah ancungan jempol
diberikan Tante Irma kepadaku.
Tante Irma bergegas menuju ke arah depan, berusaha menghadang Endo sebelum
dia menemukanku di balik lemari yang menyekat ruang tengah dan depan. Sementara
aku sendiri segera memasuki kamarku yang tidak jauh dari situ. Dengan perlahan,
aku menutup pintu kamarku agar tidak mengeluarkan bunyi yang mencurigakan,
kemudian menunggu dengan cemas di dalamnya.
Di dalam kamar aku terduduk dan membayangkan apa yang akan dikatakan Tante
Irma untuk mengusir Endo. Bagaimana cara Endo tahu keberadaanku di sini? Apa
Diva yang memberi tahu? Dia sudah berjanji kepadaku tidak akan pernah
memberitahu keberadaanku kepada Endo. Lalu darimana dia tahu keberadaanku? Apa
dia meletakkan mata-mata di sekitrarku?
Aku terus berpikir dan menyumpahi hati kecilku yang sepertinya bahagia
melihat kedatangan Endo. dan jantungku hampir saja melompat dari mulutku ketika
terdengar bunyi ketukan di pintuku. Aku masih terdiam dan tidak membukanya sama
sekali. Jemariku bergetar menunggu untuk kejadian selanjutnya.
“Rima, ini Tante Irma.”
Aku menghela nafas lega. Sepertinya Tante Irma sudah berhasil mengusir
Endo. itu membuatku jauh lebih tenang, walaupun hati kecilku berteriak protes.
Aku berjalan menuju pintu dan membukakannya. Tante Irma muncul dan tersenyum
kepadaku, ketika pintu sudah terbuka separuh. Tante Irma masuk ke dalam kamar
dan tiba-tiba tangan besar itu muncul menahan pintu.
PENGKHIANAAAAATTTT!!!
Bagaimana bisa rumah ini sarat akan pengkhianatan? Setelah dikhianati Ayu,
Tante Irma juga ikut mengkhianatiku. Sosok yang menahan pintu kamarku adalah
sosok pria yang begitu aku rindukan, tapi paling kuhindari saat ini.
Endo.
Hatiku melompat kegirangan, tapi jantungku berdebar keras tiba-tiba dan
membuat keringat dingin keluar deras di tubuhku. Wajah Endo terlihat sangat
dekat dan itu membuatku benar-benar terkejut. Wajah yang begitu kurindukan,
wajah yang begitu terlihat lelah bahkan sedikit lebih kurus. Apa dia tidak
makan dengan baik? Apa dia tidak tidur dengan cukup? Sebuah senyuman lega
muncul di bibirnya yang biasanya memanggilku ‘Sayang’ dan begitu menggodaku
untuk menciumnya.
Ingin menciumnya memeluknya…
Apa yang kupikirkan?
Tepat setelah Endo hendak memasuki kamarku, aku menarik Tante Irma dan
menutup keras pintu kamar kemudian menguncinya. Suara ketukan dan juga suara
Endo yang memanggil namaku tidak kuindahkan. Walaupun hatiku menjerit-jerit tak
tahan mendengar suaranya yang sepertinya putus asa.
“Tante! Kenapa Tante biarkan dia masuk?” tanyaku marah ke Tante Irma.
Tante Irma terlihat sangat menyesal, “Tante nggak tahan sama caranya
memohon, Rim. Tante nggak kuat mental buat nolak. Rim..Rima, kamu mau ngapain?”
Tante Irma terlihat panik saat aku mengambil kursi untuk mulai memanjat
jendela. Aku harus kabur, bagaimana juga Endo tidak boleh bertemu denganku.
Bagaimanapun juga, aku bukanlah wanita yang tepat untuk Endo. Aku harus pergi!
Sayangnya Tante Irma membuat pergerakanku melamban karena dia menahan salah
satu kaki-ku.
“Rima, jangan manjat-manjat! Bahaya kehamilanmu!” teriak Tante Irma dan
itu membuatku semakin panik.
Aku berusaha melepaskan pegangan Tante Irma, kemudian suara bantingan yang
sangat keras membuat kami berdua sangat terkejut. Pintu kamarku terbuka lebar
dengan bagian kuncinya yang jebol. Semua itu karena satu tendangan. Satu
tendangan dari pria bernama Endo. Bagaimana bisa aku lupa kalau dia punya
kekuatan sebesar itu, hasil dari gen-nya juga latihan bela dirinya selama ini?
“Apa maksudnya hamil?” tanya Endo yang terlihat panik kepada aku dan Tante
Irma yang masih berpose seperti anak monyet yang saling menarik.
Aku menelan ludah getir.
“Tante Irma hamil,” jawabku asal. Bahkan aku sama sekali tidak tahu
pemikiran darimana itu!
“Enak aja. Mana bisa!” protes Tante Irma. Tiba-tiba tangan Tante Irma
menunjuk ke arahku, “Nih yang bunting!”
Alamak, kenapa Tante Irma harus bilang sih? Kenapa juga harus pakai kata
‘bunting’? dan raut wajah Endo yang sebelumnya panik sekarang berubah menjadi
mengerikan. Apa aku sudah bilang kalau dia tetap terlihat ganteng biar seperti
itu?
“Diam di situ!” teriak Endo dan itu membuat seluruh tubuku otomatis
mengikuti semua maunya.
Dengan tergesa dia mendekatiku dan menarik lembut tubuhku hingga jatuh
kepelukannya. Begitu lembut dan juga menenangkan. Saat aku sudah ada di
pelukannya, serasa waktu berhenti berputar, dan aku memohon supaya tetap
berhenti berputar. Wajah Endo terlihat amat sangat dekat. Masih tetap tampan,
masih tetap membuat dadaku berdebar kencang, tapi terlihat jauh lebih lelah dan
seperti menanggung beban yang berat. Bayangan hitam di bawah matanya, cambang
yang mulai tumbuh di wajahnya, yang biasanya selalu bersih dan juga pipi yang
lebih tirus. Apa dia begitu tersiksa? Apa semua masalahnya benar-benar
membuatnya tersiksa seperti ini?
Wajah Endo semakin mendekat dan ketika aku tersadar bahwa Endo sedang
mencoba menciumku, aku langsung mendorong wajahnya, meronta dan berusaha turun
dari pelukannya. Sebelum dia menyadari, sebelum semua orang menyadari, bahwa
ketika aku dan Tante Irma sedang melakukan usaha tarik-menarik tadi, celanaku
robek di bagian belahan pantatnya. Kenapa di saat seperti ini pun aku harus
melakukan perbuatan memalukan? Dimana Tante Irma? Bagaimana bisa Tante Irma
sudah kabur duluan dan meninggalkanku? Aku berusaha keluar dari kamar, tapi
tangan Endo menahan lenganku dan itu sangat sulit kulepaskan.
“Duduk!” perintah Endo dingin sembari menarikku lembut ke arah ranjang.
Sekali lagi tubuhku terasa terhipnotis dan menuruti semua kemauannya. Selain
itu, aku memang harus segera duduk, atau robekan ini akan terlihat jelas,
terpampang nyata kalau aku sampai meronta dan berusaha kabur.
Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menyaksikan sosok Endo dari dekat dan
sangat mengerti kenapa tercipta dua pengkhianat di rumah ini. Itu semua karena
sangat sulit menolak pesona Endo. Endo mengambil kursi yang tak jauh dari
tempatnya berdiri dan mendorongnya hingga di depanku, kemudian duduk di
atasnya. Itu membuat kami duduk berhadapan dan sangat membuatku malu. Dia
meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat, kemudian terdiam dan terlihat
sangat bingung.
“Maaf,” itu kata pertama yang meluncur dari mulutnya, “Maaf sudah
membuatmu seperti ini.”
Seperti apa?
“Maksudmu?” tanyaku bingung dan berusaha mati-matian menahan air mataku.
“Membuatmu mendapatkan banyak kesulitan. Maaf, aku mungkin memang bukan
pria yang baik untukmu, Rim…”
“Maksudmu?” tanyaku semakin tidak mengerti.
“Aku akan meninggalkanmu seperti
keinginanmu,” ujar Endo tiba-tiba yang langsung membuat seluruh duniaku seakan
runtuh. “Tapi sebelum itu semua terjadi, aku ingin kamu tahu kalau aku
mencintaimu, Rim!”
Apa yang dia katakan? Apa dia hendak memutuskan semua ini? Apa dia mau
mengakhiri semua ini? Kenapa aku harus sedih? Bukannya ini yang aku inginkan?
Jangan menangis!
“Soal anak, aku akan tetap
bertanggung jawab penuh. Kamu tenang saja, dan tak perlu bekerja apapun. Cukup
istirahat dan rawatlah anak kita. Semua kebutuhanmu dan juga anak kita akan aku
penuhi. Kamu tidak perlu lagi berusaha kabur dariku, “ lanjutnya.
Kumohon air mata jangan keluar!
“Kamu bisa pulang sekarang, Rim. Tidak akan ada lagi yang memaksamu
menikahiku. Tidak akan ada lagi wanita-wanita yang pernah berhubungan denganku
yang akan menerormu. Cek dari Sofi juga sudah aku kembalikan kepadanya, jadi
kamu tidak perlu merasa berhutang budi kepadanya. Soal hutangmu, aku anggap
semua itu sudah lunas,” ujar Endo lagi
Kumohon…kumohon jangan keluar… berhentilah sampai di pelupuk saja.
“Kalau kamu bertemu dengan seseorang yang mampu memberimu ketenangan, kamu
boleh mencintainya. Kamu tidak perlu khawatir aku akan menelantarkan anakku
seandainya kamu menemukan pendampingmu yang baru.”
Sudah cukup!
Aku menampar keras wajah Endo dan dia terlihat sangat terkejut.
“Kenapa kamu harus datang untuk mengatakan itu semua, Ndo? Kenapa kamu
nggak cukup pergi dan meninggalkan aku bersama anakku sendiri di sini?” jawabku
marah. Bulir-bulir air mata mulai berjejalan keluar dari pelupuk mataku.
“Aku sama sekali nggak bisa melakukan hal tidak bertanggung jawab seperti
itu!” sanggah Endo.
“Kalau begitu kenapa kamu harus datang dan mengatakan kamu mencintaiku
kalau kamu mau meninggalkanku, Ndo? Kenapa kamu tidak pergi saja dan seakan
tidak mengenalku sama sekali? Bahkan tanpa bantuanmu, ataupun kekasihmu, Sofi,
aku masih bisa hidup! Aku sudah membuktikannya sampai hari ini!” teriakku
kesal.
“Sofi dan aku tidak pernah ada apa-apa, bahkan sampai saat ini! Tidak
pernah ada wanita lain yang pernah kucintai dan kujanjikan untuk kuserahkan
hidupku kepadanya selain kamu! Cuma kamu Rim! Aku cuma mencintai kamu, bahkan sampai
detik ini!” balas Endo.
“Pembohong!”
“Aku cuma…”
“Bohong!”
“..cinta…”
“Pembohong!” aku menutup telingaku dan berusaha tidak mendengar apapun
dari mulut Endo. Menutup mataku dan membiarkan air mata menetes deras di
wajahku. “Aku cuma pengganti dari Sofi! Aku cuma pelarianmu! Aku cuma…”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Endo sudah menarik kedua
tanganku yang sebelumnya menutup telingaku. membuatku terperanjat dan tanpa
sadar menatap kedua matanya yang berwarna kelabu. Mata yang selalu membuatku
luluh.
“Aku mencintaimu dan cuma kamu, Rima!” ujarnya keras dan seakan bergema di
telingaku. Endo menatap mataku lembut kemudian berbisik seakan begitu merana,
“Kamu, kamu, dan cuma kamu Rima. Berapa kali harus kukatakan kalau cuma kamu?
Kamu yang selalu membuatku bahagia, kamu yang selalu membuatku merasakan cinta,
kamu yang selalu kuinginkan ada di sampingku, kamu yang selalu kubutuhkan di
hidupku. Berapapun wanita yang sudah mencoba menggantikanmu, tidak akan pernah
bisa. Cuma kamu, kamu dan selalu kamu…”
“Tapi…”
“Sofi hanya salah paham, dia salah akan semuanya. Aku sudah berusaha
menerangkan kepadanya, dan sekarang kukira dia sudah mengerti.” Endo menarik
nafas dalam kemudian menatapku lagi. “Tapi aku tidak bisa membuatmu terluka
seperti ini karena cintaku. Sedari awal dasar hubungan kita, ikatan pernikahan
kita sudah salah. Karena itu, kupikir sebaiknya kita mengakhirinya. Sebelum
kamu semakin terluka, sebelum aku terus memaksakan perasaanku lebih jauh
kepadamu.”
“Pernikahan ini salah? Apa aku juga kesalahan bagimu, Ndo?” tanyaku miris.
Endo membelai wajahku lembut dan itu membuat dadaku kembali terasa nyeri.
Membuat setetes lagi air mata jatuh dari mataku.
“Kamu adalah anugerah bagiku, Rim. Seumur hidupku, cuma kamu yang begitu
aku inginkan. Dan aku rasa aku sudah begitu egois, mengambilmu dari kehidupanmu
hanya untuk kumiliki. Satu-satunya kesalahan di sini hanyalah aku. Aku yang
begitu egois ingin memilikimu sepenuhnya tanpa mengindahkan perasaanmu sama
sekali. Maafkan aku, dan biarkan aku memperbaiki semuanya.”
Wajah Endo terlihat sangat terluka setelah dia mengatakan semua itu.
Dengan perlahan dia melepaskan genggamannya dan juga tangannya yang membelai
wajahku lembut. Kemudian dengan senyuman getir, dia beranjak dan pergi
meninggalkanku sendiri.
Jantungku berdetak sangat cepat melihatnya yang semakin menjauh. Dadaku
terasa sangat nyeri melihat punggungnya yang menghilang di balik lemari
penyekat ruangan di depan kamarku. Dan saat bibirku hendak memanggil namanya,
pandanganku langsung terasa gelap.
****
“Rima, Rima kamu sudah sadar?”
Suara keras Tante Irma terdengar ketika aku membuka mataku. Aku melihat
sosok Tante Irma dan juga Ayu di sebelahnya, menatap cemas ke arahku. Hanya ada
mereka berdua dan aku sudah tertidur di atas ranjangku.
“Aku kenapa Tante?” tanyaku bingung, masih tetap terbaring di ranjang.
Kepalaku terasa sedikit pusing.
“Kamu pingsan tadi, Rim. Tapi untung sekarang sudah enggak apa-apa,” jelas
Tante Irma kepadaku.
Aku berusaha bangkit dan duduk di ranjang, kemudian mengingat kembali. Tante
Irma membantuku duduk dan meninggikan bantalku supaya aku bisa bersandar. Aku
pingsan. Aku pingsan setelah Endo pergi. Aku pingsan ketika ingin memanggil
Endo dan menahannya untuk tetap bersamaku. Aku pingsan di saat yang tidak tepat
sama sekali.
“Endo dimana, Tan?” tanyaku cemas.
Tante Irma terdiam kemudian menoleh ke arah Ayu.
“Endo pergi, Rim,” jawab Tante Irma sedih
Perasaanku langsung terasa hancur. Dia sudah pergi meninggalkanku. Kami
tidak akan pernah bersama lagi. Tanpa terasa air mataku kembali jatuh. Semakin
lama semakin deras dan aku terus menangis keras. Membuat Tante Irma kebingungan
menenangkanku.
“Rima nggak akan bisa ketemu Endo lagi, Tante…Rima nggak akan bisa!”
ujarku di tengah tangisku yang begitu deras.
“Rima, sabar Nak,” hibur Tante Rima sembari terus mengelus punggungku.
“Rima salah, Tante. Rima sayang sama Endo! Rima cinta sama Endo. Rima
nggak mau kehilangan dia. Rima cinta sama Endo, Tante. Rima cinta sama dia!”
ujarku sembari terus sesenggukan
Dan di saat itu aku melihat sosok pria tinggi yang berdiri di depan pintu.
Membuatku sangat terkejut dan tersedak ingusku sendiri sampai harus
terbatuk-batuk. Wajahku terasa memerah, selain karena tersedak, juga karena
merasa sangat malu dengan keadaanku saat ini. Aku melirik Tante Irma dan Ayu
yang senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Sekali lagi mereka menjadi
pengkhianat! Endo berdiri di depan pintu kamarku (yang sepertinya sudah tidak
bisa menutup sempurna) dan menatapku seakan tidak percaya sembari membawa
segelas air.
“Tante mau bilang, dia pergi ngambil air minum. Kamu seh seenaknya motong omongan Tante!” bisik Tante Irma.
Bagus, sekarang aku yang salah. Dasar para pengkhianat culas. Setelah
sukses menjerumuskanku dalam keadaan yang sangat memalukan, searang mereka
seenaknya menimpakan semua kesalahan ini kepadaku. Dan setelah Tante Irma dan
juga Ayu puas menertawakanku, mereka tiba-tiba beringsut pergi meninggalkanku.
Meninggalkanku berdua saja dengan Endo.
Apa-apaan ini?
Aku harus bagaimana?
Dan akhirnya aku cuma bisa terdiam saat Endo mendekat ke arahku dan duduk
di tepi ranjang, kemudian menyerahkan segelas air yang dia bawa, untukku.
“Minum dulu,” ujarnya lembut.
Aku menuruti perintahnya dan meminumnya perlahan. Bagaimana bisa aku
merasa sangat haus saat ini? Apa ini efek samping dari rasa gugup yang luar
biasa? Aku mencoba melirik ke arah Endo. Sebuah senyum tercetak di wajahnya
yang tampan. Dan itu membuatku semakin gugup. Membuatku menenggak habis air di
dalam gelas dan membiarkannya tetap menempel di bibirku hanya untuk mengulur
waktu. Sayangnya itu tidak bertahan lama, karena Endo langsung menarik gelas
kosong itu dari bibirku ketika tahu air di gelas itu habis. Dan setelah dia
meletakkan gelas itu ke atas meja, Endo menatapku lembut kemudian diam.
Diam dan hanya menatapku.
Benar-benar diam.
Sampai kapan suasana diam ini akan terus ada?
Masih diam dan membuatku semakin gelisah
Baiklah aku menyerah!
“Kamu kenapa?” tanyaku sebal karena dia terus menatapku tanpa bicara
apapun.
Endo berkedip sekali kemudian menutup matanya dan dengan cepat
menyorongkan wajahnya ke wajahku, hingga bibir kami saling menempel. Membuatku
amat sangat terkejut, tapi hanya bisa terdiam dan membiarkannya melakukan hal
itu. Lama kemudian, dia baru melepaskan bibirnya kemudian membuka kedua
matanya.
“Ternyata bukan mimpi,” ujarnya perlahan sembari menatapku.
“Eh?”
“Ini sungguh bukan mimpi. Semua yang kamu bilang tentang perasaanmu tadi
sungguh bukan mimpi,” lanjut Endo.
“Eh?”
“Aku makan kamu di sini kalau berani bilang ‘eh’ lagi!” ancam Endo kesal.
Aku langsung menutup mulutku kemudian menelan ludah getir. Makan yang
dimaksud Endo bukanlah makan biasa di meja makan dengan menggunakan piring
ataupun sendok. Makan yang di maksud Endo adalah memakan aku,
alias…ssss…see…..olahraga ranjang!
“Maaf” ujarku sembari tetap menutup mulutku.
Endo menarik lembut tangan yang menutup mulutku, kemudian kembali mencium
bibirku.
“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” tanya Endo lirih.
“Aku bingung, Ndo. Aku nggak mau jadi pelarian cintamu,” jawabku.
Endo menempelkan keningnya ke keningku dan melingkarkan lengannya ke
tubuhku.
“Kamu sama sekali bukan pelarianku, Rim. Kamulah yang aku cinta.”
Aku mengangguk mendengar pernyataan Endo. hatiku terasa berbunga-bunga
mendengar kata-kata itu. Bahkan seperti ada tombol rewind yang membuat kata cinta Endo diputar berulang di kepalaku.
“Kenapa kamu nggak mengejarku?” tanya Endo lagi.
Aku terdiam.
Aku harus menjawab apa?
Ini semua gara-gara celana keparat yang seenaknya robek. Bahkan sekarang
celana itu masih kupakai.
“Rima?” Endo bertanya lagi.
Aku masih terdiam.
“Rima, kenapa kamu nggak jawab, Sayang?”
“Ndo, pilem Korea yang aku lihat tadi bagus lho!” jawabku berusaha
mengalihkan perhatian Endo.
“Rima!”
Endo mulai menarik lenganku dan menatapku sebal. Ini gawat! Aku nggak
mungkin mengatakan hal yang memalukan itu.
“Ndo, kamu sudah coba makan kue buatanku belum?”
“Rima, jawab!” sentak Endo yang membuat darah dari seluruh tubuhku
langsung naik seketika ke atas kepala.
“Celanaku robek jadi aku kesulitan mau berdiri buat nahan kamu tadi!”
jawabku otomatis mendengar perintah Endo.
Bisa kurasakan wajahku memerah, tapi semua sudah terjadi. Semua omongan
itu sudah keluar dari mulutku. Endo terdiam menatapku tak percaya. Siapa yang
bisa percaya dengan perkataan semacam itu?
“Aku serius…” jawabku lirih, “Ini buktinya.”
Aku memiringkan tubuhku dan menunjukkan sedikit robekan yang nampak di
celanaku.
“Rima…” Endo memanggil namaku dan suaranya seperti bergetar. Seperti
sangat kesal.
”AKU MAKAN KAMU SEKARANG!”
****
Malam masih larut, tapi aku terbangun ketika mendengar suara Endo yang
sepertinya terperanjat. Endo menatapku cemas dan ketika aku berusaha
menenangkannya, dia memelukku erat.
“Aku kira kamu menghilang lagi, Rim!” ujarnya ketakutan sembari terus
memelukku erat.
Aku bisa merasakan bulir-bulir keringar di kening dan kulit tubuhnya,
suara debaran jantungnya yang keras dan juga wajahnya yang pucat. Endo terlihat
benar-benar ketakutan. Sangat ketakutan karena mimpinya. Mimpi yang selalu
datang semenjak dia tidak bisa menemukanku.
Hampir seminggu aku kembali ke apartemen kami. Selama waktu itu pula, Endo
sering mengigau bahkan terbangun dengan ketakutan. Itu semua membuat perasaan
bersalah hadir di hatiku. Seandainya saja aku tidak perlu pergi, dia tidak akan
mengalami semua ini.
“Maaf,” ucapku lirih sembari membelai rambutnya.
Dia menggeleng dan memelukku lebih erat. Kemudian dengan tiba-tiba dia
melepaskan pelukannya dan mendekatkan wajahnya ke perutku.
“Sayang, maaf ya, Papa sudah buat kamu kaget. Tidur lagi ya, Sayang,” ujar
Endo sembari membelai perutku lembut.
Aku terkekeh mendengar itu semua. Setelah membereskan kekacauan di rumah Tante
Irma dan memutuskan kembali pulang ke apartemen kami, Endo langsung mengajakku
pergi ke doker kandungan. Dia akhirnya bisa melihat anaknya melalui monitor
yang terhubung dengan alat USG. Dia melihat anak kami yang sedang terduduk dan
sudah memiliki tangan maupun kaki. Ketika dokter mengatakan bahwa janin itu
sudah memiliki detak jantung, mata Endo terlihat berkaca-kaca. Lama dia melihat
bayi kami dan bahkan menyimpan foto USG-nya di dalam dompetnya.
Sering aku melihat Endo terdiam sebentar dari aktivitasnya hanya untuk
melihat foto di dalam dompetnya. Sebuah senyum selalu tersungging di wajahnya
setiap dia selesai menatap foto itu. Dan terhadapku, Endo berubah dari suami
yang protektif, menjadi suami yang over protektif. Aku sama sekali tidak boleh
mengerjakan apapun di apartemen kami. Bahkan dia menunda kepindahan kami hanya
karena ketakutan aku akan mengurus semuanya sendiri. Dan malam ini – seperti
setiap malam biasanya – ketika Endo terbangun, dia selalu mengusap lembut
perutku sembari bicara dengan bayi kami.
“Sekarang panggilan ‘Sayang’ sudah bukan buat aku lagi ya?” tanyaku
menggoda.
Endo menatapku dan kemudian tersenyum nakal.
“Kamu cemburu, Sayang?” tanya Endo.
“Kamu manggil aku atau anakku yang di dalam perut?”
“Tentu saja anakku!” jawab Endo cepat yang membuatku sangat kesal.
Aku mencubit pinggangnya keras dan dia terbahak sembari menahan rasa sakit
akibat cubitanku.
“Maaf istriku tersayang,” ujar Endo ketika aku menyudahi semua cubitanku.
“Ayo tidur,” ajakku sembari mencium pipi Endo.
Aku menyibakkan selimut yang ada di bawah tubuhku dan memakainya ketika
berbaring. Endo melakukan hal yang sama kemudian memelukku dari samping.
“Sayang, aku masih kangen anak kita!” ujar Endo tiba-tiba sembari
beringsut ke atas tubuhku yang sudah terbaring.
“Maksudnya?”
“Aku nengok bayi kita lagi ya?”
Astaga!